Tampilkan postingan dengan label Ilmu Film. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu Film. Tampilkan semua postingan

Cerita dengan Struktur Cerita Tiga Babak Pada Film

Oleh Perdana Kartawiyudha

Struktur 3 babak sebenarnya telah diperkenalkan Aristoteles, pada jaman Yunani Kuno. Konsep ini secara turun-temurun digunakan dan terbukti sukses dalam berbagai macam bentuk penceritaan. Belakangan konsep ini disempurnakan dalam konteks cerita film oleh Syd Field dalam bukunya Screenplay.

Disebut struktur karena menjadi kerangka dasar yang menentukan seperti apa bangunan ceritanya nantinya. Tiga babak dalam struktur ini terdiri dari babak 1 yang berisi perkenalan (beginning), babak 2 berisi perkembangan konflik (middle), dan babak 3 berisi resolusi (end). Antar babak dipisahkan oleh tiang-tiang penyangga cerita yang disebut Plot Point (PP) atau disebut juga Key Turning Point (KTP) yang menjadi penanda posisi karakter dalam mencapai tujuannya.

Cerita dengan Struktur Cerita Tiga Babak Pada Film
Struktur Cerita Tiga Babak Pada Film
Dengan menggunakan struktur 3 babak, kita bisa mendapatkan kerangka cerita yang solid, terarah, sekaligus dramatik sebelum masuk hal-hal detil seperti plot, adegan atau dialog.

Pada bab ini kita akan membahas lebih jauh mengenai struktur 3 babak dan bagaimana penerapannya dalam film pendek.

Babak 1
Babak 1 secara umum berisi perkenalan karakter, beserta problematika yang hadir dan kemudian berkembang pada babak-babak berikutnya. Berikut adalah hal-hal yang mestinya terwujud dalam Babak 1 antara lain:

1. Karakter dalam Eksposisi Awal (Status Quo)
Pada bagian ini protagonis ditampilkan dalam kesehariannya. Ketika membicarakan kesehariannya, tidak kemudian diartikan bahwa kita hanya menampilkan kejadian rutinitas yang tampak membosankan seperti bangun pagi, sarapan, berangkat kerja, dan seterusnya. Kita bisa memilih bagian yang menarik dan dramatik dari keseharian karakter kita untuk memulai cerita. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mendesain karakter kita seutuh mungkin sejak awal, sehingga kita bisa mudah mengidentifikasi rutinitas karakter seperti apa yang menarik untuk ditampilkan kepada penonton.

Jika karakter kita adalah seorang pencuri, kita bisa gambarkan keseharian dia berusaha untuk lolos menjalankan aksi pencuriannya. Contoh lain adalah jika protagonis kita adalah seorang penjual makanan di pinggir jalan, kita bisa tampilkan usahanya menarik pejalan kaki untuk mampir dan membeli dagangannya, atau bisa jadi rutinitasnya adalah dikejar-kejar Satpol PP.

Pengenalan awal ini bertujuan untuk membuat penonton mengenal siapa protagonis kita dan kesehariannya, sebelum problem baru datang dan berkembang menjadi cerita dalam film ini. Pada saatnya problem datang, penonton bisa berharap untuk karakter bisa kembali pada kondisi tanpa gangguannya (status quo) atau bahkan lebih baik lagi dari itu. Konsekuensi dari ini, penonton jadi lebih terikat dan peduli pada karakter sehingga mereka merasa perlu untuk terlibat dalam perjalanan karakter di sepanjang film.

Meski demikian, penulis perlu berhati-hati untuk tidak memberikan informasi yang terlalu banyak pada bagian ini karena penonton butuh sesegera mungkin diperkenalkan pada problem utama. Eksposisi awal yang terlalu panjang membuat penoton bosan. Pengenalan karakter bisa terus dilanjutkan seiring berkembangnya cerita, jadi tidak perlu semua ditumpuk di depan.

Tidak pernah ada ukuran baku untuk berapa seharusnya bagian ini dalam suatu cerita. Justru di sinilah seninya. Penulis harus dapat menakar dengan baik apakah pengenalan ini sudah cukup membuat penonton merasa terikat dengan karakter utamanya tanpa membuat penonton merasa bosan menontonnya.

2. Inciting Incident (point of attack)
Pada bagian ini, untuk pertama kalinya karakter mendapat “serangan”, baik secara fisik, emosional, ataupun gabungan keduanya. Serangan fisik bisa berbentuk gangguan dari karakter lain atau situasi alam, sedangkan serangan emosional bisa berupa kebosanan, kerinduan, kecemasan, dan lain sebagainya.

Jangan bayangkan inciting incident ini selalu hal negatif yang mengganggu rutinitas karakter.Dia bisa berwujud sesuatu yang seolah positif seperti bertemu dengan idola, bertemu dengan benda pengabul harapan, atau sekadar menemukan dompet ketika lagi butuh-butuhnya uang. Ketika karakter menindaklanjuti inciting incident yang seolah-olah positif ini, dalam perkembangan ceritanya akan memunculkan konsekuensi-konsekuensi yang tak terbayangkan sebelumnya yang kemudian jadi konflik dalam cerita ini.

Inciting incident yang baik biasanya memang harus mendesak protagonis untuk sesegera mungkin bereaksi dan beraksi. Serangan ini mestinya sesuatu yang baru bagi karakter, tidak dengan mudah dihindari atau diselesaikan, sehingga memiliki urgensi untuk segera ditindaklanjuti. Karakter sebenarnya punya alasan untuk tidak menindaklanjutinya dan tetap bertahan dalam status quo, tapi dorongan inciting incident ini harus sebegitu besarnya sehingga membuatnya harus bertekad menghadapi apapun risiko yang ada di depannya. Kalau tidak, tidak akan jadi cerita.

3. Protagonis bertemu konflik utama
Pada saat mendapat “serangan” dalam inciting incident yang memaksanya bereaksi, karakter pun dihadapkan pada ancaman atau hambatan yang bertubrukan dengan tujuan yang ingin dicapai. Halangan ini bisa sudah ada sejak awal lalu menyusul keinginan (sebagai reaksi atas hambatan tersebut), atau sebaliknya, bisa juga keinginan hadir sejak awal dan dalam proses mewujudkannya, muncul halangan.

Ketika tujuan karakter diganggu oleh suatu atau beberapa halangan (obstacle), disitulah muncul konflik. Cerita film yang baik, mestinya bisa dipahami dengan jelas benturan konfliknya sehingga penonton bisa secepatnya terikat dengan film untuk menyaksikan bagaimana karakter bersusah payah mengatasi konfik tersebut.

Hambatan bisa terukur tingkat kesulitannya sejak awal tetapi bisa juga mengelabuhi karakter seperti efek gunung es.Artinya, hambatan tipe gunung es, adalah tipe hambatan pada awalnya terlihat kecil dan mudah ditaklukkan. Realitanya, ketika protagonis benar-benar sudah bertekad menaklukkannya, ternyata hambatan ini lebih besar dan berbahaya. Ketika karakter menyadarinya, biasanya sudah terlambat untuk memutar kembali karena dia sadar pada titik itu risiko untuk kembali sudah begitu besar. Karakter tak punya pilihan lain selain menghadapinya.

Halangan bisa berbagai bentuk dan tak jarang lebih dari satu jenis. Berikut adalah kemungkinannya:
a. Karakter lain (antagonis)
b. Setting (ruang dan waktu)
c. Sistem
d. Nasib/Takdir
e. Diri sendiri

4. Nuansa film (genre)
Nuansa dalam film sangat menentukan emosi seperti apa yang muncul dalam diri penonton selama menonton film ini. Apakah berwujud ketakutan, kecemasan, suka cita, atau duka lara? Rasa yang mampu diidentifikasi dengan jelas pada awal film membuat penonton secara sadar ataupun tidak bisa menentukan genre dari film ini, apakah drama, horror, komedi, atau genre yang lain. Dengan genre yang lebih jelas, selanjutnya penonton bisa membuat ekspektasi akan dibawa kemana rasa dan cerita film ini kemudian. Ekspektasi inilah yang sebaiknya terus dijaga konsistensinya disepanjang film. Meski demikian, penulis pun bisa saja membelokkan genre, memainkan ekspektasi penonton menjadi kejutan-kejutan yang tampil di tengah ataupun akhir film.

Plot Point 1 atau Key Turning Point 1
Babak 1 dan Babak 2 biasanya dipisahkan oleh Plot Point 1 atau disebut juga Turning Point 1. Ini adalah titik di mana karakter, setelah menyadari tujuan yang ingin diwujudkan dan problem yang dihadapi, akhirnya memutuskan untuk berusaha untuk mendapatkan apa yang dinginkan dalam cerita ini. Let’s do this! Ini menjadi titik awal di mana karakter menjalani “petualangan baru” dalam hidupnya, dimulai dari babak 2.

Lanjutan artikel ini bisa dilihat di Cerita dengan Struktur Cerita Tiga Babak Pada Film (Bagian 2)

Sumber: Buku Menulis Cerita Film Pendek: Sebuah Modul Workshop Penulisan Skenario Tingkat Dasar. Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017. Tim Penyusun: Perdana Kartawiyudha (koordinator), Baskoro Adi Wuryanto, Damas Cendekia, Melody Muchransyah, dan Rahabi Mandra.
Baca Lengkap....

Karakter dalam Film (Bagian 2)

Katniss Everdeen - The Hunger Games

Oleh: Melody Muchransyah

Karakter dalam Film (Bagian 2). Untuk karakter dalam film point [a] dan [b], dapat dilihat di postingan sebelumnya di Karakter dalam Film (Bagian 1).

c. Character Breakdown
Sebelum menulis skenario, penulis biasanya membuat daftar karakteristik dari karakter-karakter yang akan muncul di dalam cerita. Ini yang disebut dengan Character Breakdown. Formatnya bisa bermacam-macam, namun biasanya ditulis dengan format standar sebagai berikut: Nama (Umur/Jenis Kelamin) yang diikut dengan deskripsi karakter. Nama karakter adalah hal terpenting, sebab ia memberitahu siapa yang sedang berada di dalam sebuah scene di skenario kita kelak, baik dengan dialog atau tidak. Yang perlu diingat adalah untuk selalu konsisten dengan nama yang dipilih. Jangan menamai seseorang Justin di scene 1, lalu memanggil dia Pak Bieber di scene 10, walaupun namanya adalah Pak Justin Bieber. Apabila terdapat flashback di dalam skenario kita, di mana karakter kita muncul dalam sosok yang lebih muda, maka kita harus menuliskan karakter tersebut sebagai karakter yang berbeda dengan karakter utama kita. Contoh: Taylor Swift (22/P) berbeda dengan Taylor Swift Remaja (15/P). Johnson (2015) menuliskan hal-hal penting yang biasa ia jabarkan di saat menulis mengenai karakter:

  1. Nama?
  2. Penampilan fisik?
  3. Backstory (latar belakang cerita karakter sebelum ceritanya di film dimulai)?
  4. Keadaannya saat ini (pekerjaan, pemasukan, lokasi geografis, kondisi tempat tinggal, orang-orang yang penting di kehidupannya)?
  5. Pandangan terhadap dunia?
  6. Sikap?
  7. Opini?
  8. Nilai-nilai yang dipegang?
  9. Kepercayaan?
  10. Kelemahan-kelemahannya?

Contoh Character Breakdown di dalam film The Hunger Games (Ross, 2012) bisa kita lihat di bawah ini:

Character Breakdown di film The Hunger Games
- Katniss Everdeen (16/P) adalah karakter utama protagonis yang berasal dari Distrik 12, sebuah distrik pertambangan batu bara yang merupakan distrik paling miskin dan paling padat penduduknya di negara Panem. Katniss menjadi seorang sukarelawan untuk menggantikan adiknya, Primrose Everdeen, setelah dia terpilih di hari pemungutan, hari di mana satu anak laki-laki dan satu anak perempuan berumur 12 hingga 18 tahun dari setiap distrik dipilih untuk bertarung sampai mati dalam pertarungan mematikan bernama The Hunger Games. Dia menggunakan pengetahuannya soal berburu dan memanah untuk bertahan hidup, dan dia bersama Peeta menjadi pemenang setelah menentang upaya Capitol untuk memaksa seseorang untuk membunuh yang lain.

- Peeta Mellark (16/L) adalah peserta laki-laki dari Distrik 12, bersama Primrose Everdeen (yang selanjutnya digantikan oleh kakaknya, Katniss Everdeen) untuk berpartisipasi dalam Hunger Games ke-74. Dia adalah putra seorang tukang roti, sangat pemalu tapi percaya diri, dan ia mengatakan dalam wawancara sebelum Hunger Games ke-74 dimulai bahwa ia telah jatuh cinta pada Katniss sejak hari pertama dia melihatnya. Hubungannya dengan Katniss tumbuh sepanjang cerita.

- Gale Hawthorne (18/L) adalah seorang remaja berumur 18 tahun dan merupakan teman berburu sekaligus teman terdekat Katniss Everdeen. Ayahnya tewas dalam ledakan tambang, sehingga ia terpaksa menjadi tulang punggung keluarga bagi ibu dan adik-adiknya.

- Presiden Coriolanus Snow (76/L) adalah karakter antagonis utama yang merupakan penguasa otokratis di Capitol dan semua distrik di Panem. Meskipun kelihatan santai, terbukti kalau dia itu seorang psikopat dan sangat sadis.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam mengenai karakter yang ada di dalam skenario film yang akan kita tulis, kita bisa saja menambahkan detail-detail mengenai perjalanan hidup serta pandangan karakter tersebut. Di dalam sebuah workshop penulisan skenario yang saya ikuti beberapa tahun yang lalu, Tom Abrams, seorang penulis skenario kenamaan di Hollywood, membagikan daftar pertanyaan berikut yang bisa kamu gunakan untuk mengenal karaktermu lebih jauh lagi.

Pertanyaan-pertanyaan mengenai Karakter:

  • Apa pendapat dia mengenai ayahnya? Apa yang dia suka dan benci dari ayahnya? Bagaimana pengaruh ayah atas dirinya?
  • Bagaimana dengan ibunya? Apa pendapat dia atas ibunya? Apa yang dia suka dan benci dari ibunya? Menurut dia, bagaimana pengaruh ibu atas dirinya?
  • Saudara laki-lakinya? Saudara perempuannya? Apa yang dia suka dari mereka? Mengapa? Apa yang tidak dia suka dari mereka?
  • Cara disiplin seperti apakah yang diterapkan padanya di rumah? Keras? Luwes?
  • Apakah dia overprotected (dilindungi secara berlebihan – oleh keluarganya, orangtuanya)? Apakah dia pernah merasa ditolak atau diterima semasa kecilnya?
  • Apa status ekonomi keluarganya? Apakah ada situasisituasi yang tidak menguntungkan atau tidak menyenangkan?
  • Apakah ada perceraian, penyakit, alcoholism, dll (dalam kehidupannya)?
  • Pengaruh agama apa yang ada dalam keluarganya?
  • Bagaimana pendapatnya tentang agama itu sendiri?
  • Apakah dia cerdas, pandai atau lambat (dalam berpikir)?
  • Bagaimana prestasinya di sekolah? Apa tingkatan terakhir pendidikannya? Apa pendapatnya mengenai dirinya sendiri? Pandai? Cerdas? Kurang terpelajar? Bagaimana latar belakang pendidikan dan kecerdasannya bisa terlihat dari cara bicaranya, kosa katanya dan pelafalan katakatanya?
  • Apakah dia menyukai sekolah? Guru-gurunya? Teman-teman sekolahnya? Apa (kegiatan sekolah) yang paling menarik untuknya, di mana dia suka melibatkan diri? Bagaimana pandangan politiknya?
  • Apa pekerjaannya/nafkahnya? Apa pendapatnya mengenai profesinya sendiri? Sebagai “pekerjaan”? Sebagai “karir”? Apa yang dia suka dan tidak suka mengenai pekerjaannya?
  • Apakah dia senang berpergian (travel)? Ke mana? Mengapa? Apa yang dia temukan di sana dan apa yang masih dia ingat (mengenai perjalanannya, atau hal-hal yang dia temukan di sana)?
  • Apa kekecewaan terbesar dalam hidupnya?
  • Kejadian apakah, politik atau sosial – nasional atau internasional, yang pernah dia alami, yang paling meninggalkan kesan yang dalam untuknya?
  • Bagaimana kelakuannya? Pahlawan seperti apakah yang dia puja? Tokoh seperti apakah yang dia benci?
  • Siapa teman-temannya? Para kekasihnya? Apa tipe pasangan hidup idealnya? Apa yang dia cari dari pasangan hidupnya? Apa pandangannya dan perasaannya mengenai sex?
  • Kelompok dan kegiatan sosial seperti apakah yang dia ikuti? Peran apakah (di masyarakat) yang dia ingin lakoni? Peran apakah yang sebenarnya ia lakoni, biasanya?
  • Apa hobby dan kesenangannya? Apa yang ia lakukan untuk bersenang-senang?
  • Seperti apakah rumahnya? Seleranya? Pakaiannya? Perabotannya? Rambutnya? Berewok? Kumis? Makeup? Bagaimana dia tercermin dalam penampilannya? Bagaimana caranya berpakaian? Gayanya? Kualitasnya?
  • Siapa sahabatnya? Bagaimana mereka berhubungan/bertemu? Mengapa dan bagaimana dia memutuskan untuk bersahabat (dengan orang ini)?
  • Peran apa yang dia lakoni di rumah? Peran apa yang sebenarnya ingin dia lakoni?
  • Apakah dia mempunyai anak-anak? Bagaimana perasaannya mengenai perannya sebagai orangtua? Bagaimana pendapatnya mengenai anak-anaknya? Bagaimana ambisinya (mengenai anak-anaknya)? Bagaimana hubungan anak-anaknya dengan dia?
  • Bagaimana cara dia menangai situasi-situasi sulit? Dengan bertahan? Dengan agresif? Dengan mengelak?
  • Apakah dia “minum”? Atau ‘ngobat’? Apakah dia merasa dirinya paling benar? Apakah dia seorang pendendam? Apakah dia suka merasionalisasi kesalahannya? Bagaimana caranya menerima musibah dan kegagalan? Apakah dia menikmati penderitaan? Apakah dia menikmati penderitaan orang lain? Apakah dia seorang yang manipulatif? Apakah dia suka melepas tanggungjawabnya?
  • Bagaimana imajinasinya? Apakah dia sering melamun dan berangan-angan? Apakah dia sering merasa khawatir? Apakah dia ‘hidup di masa lalu’?
  • Apakah dia biasa berpandangan negative terhadap hal-hal yang baru? Curiga? Menyerang? Takut? Bersemangat? Apa yang sering ia ejek? Hal-hal apa yang menurutnya bodoh? Bagaimana selera humornya? Apakah ia menyadari dirinya sendiri? Kekurangan-kekurangannya? Kebiasaan-kebiasaannya yang unik dan aneh? Apakah dia mampu melihat sisi ironis dari dirinya sendiri?
  • Apa yang paling dia inginkan? Hal apa yang amat dia perlukan? Bahkan secara kompulsif? Apa yang rela ia lakukan atau korbankan untuk mendapatkan apa yang dia inginkan?
  • Seberapa besar keinginannya untuk mencapai hal yang menjadi tujuan hidupnya? Bagaimana cara dia untuk mengejar cita-citanya tersebut?
  • Apakah dia tinggi? Pendek? Berapa beratnya? Bagaimana perasaannya mengenai ukuran badannya, berat badannya? Bagaimana postur tubuhnya? Bagaimana caranya berjalan? Apakah dia ingin menunjukan bahwa dirinya adalah seorang yang lebih muda, lebih tua, lebih penting? Apakah dia ingin dilihat orang, atau malah menjadi sosok yang tidak terlihat?
  • Apa yang menjadi kebiasaan tindak tanduknya secara fisik? Bugar? Lemah? Teratur? Serampangan? Apakah dia bersemangat atau lamban?
  • Bagaimana dengan suaranya? Lengkingan suranya? Kekuatan suaranya? Kecepatan dan irama bicaranya? Lafalnya? Aksennya?
  • Apakah kamu menyukainya? Membencinya? Mengapa kamu perlu menulis tentang dia? Mengapa orang lain perlu mengenalnya?
Yang perlu diingat, di saat menciptakan tokoh-tokoh yang akan berperan di dalam skenario kita, kita dapat menggunakan rumus yang dinamakan dengan The Clash of Characters atau tabrakan karakteristik antar karakter. Yang dapat kita lakukan adalah menciptakan karakter-karakter dengan karakteristik yang saling bertolak belakang sehingga di saat mereka bertemu, perbedaan mereka akan menjadi potensi terciptanya konflik. Contohnya saja di film The Fault in Our Stars (Boone, 2014), karakter Hazel yang depresif bertemu dengan Augustus yang ceria dan selalu menentang kehidupan. Setelah melewati konflik di awal pertemuan mereka, kedua tokoh ini menemukan kualitas satu sama lain yang tidak mereka miliki di diri mereka yang akhirnya membuat mereka jatuh cinta. Namun perbedaan inilah yang akhirnya membuat kualitas cinta mereka terus-menerus diuji di sepanjang film.
 
d. 3 - Dimensional Character
Untuk dapat menciptakan karakter yang ‘hidup’, kita harus bisa menciptakan karakter yang memiliki tiga dimensi. Seperti setiap objek di dunia ini yang memiliki tiga dimensi: tinggi (y), panjang (x), dan lebar (z); manusia pun memiliki unsur tambahan tiga dimensi: fisiologi, psikologi, dan sosiologi. Tanpa pengetahuan atas tiga dimensi ini, penulis skenario tidak dapat menilai karakter manusia pada umumnya (Egri, 1960). Mari kita lihat masing-masing dari ketiga dimensi tersebut:

a) Fisiologi
Dimensi yang pertama adalah fisiologi. Aspek fisiologi dapat dilihat berdasarkan keadaan fisik karakter. Keadaan fisik setiap orang dapat mempengaruhi cara pandang seseorang. Si buta, si tuli, si cantik, si tinggi, si pendek, memandang segala hal berbeda dari yang lainnya. Seseorang yang sedang sakit, akan melihat kesehatan adalah kebutuhan yang paling penting, sedangkan orang tanpa gangguan kesehatan akan meremehkan kesehatan, itupun jika ia memikirkannya.

Penampilan fisik seseorang dianggap dapat menggambarkan warna dari hidup seseorang. Penampilan fisik mempengaruhi manusia tanpa henti dalam pengembangan mental yang berfungsi sebagai dasar kepribadian inferiority (rendah diri) dan superiority (sombong). Inilah hal yang paling jelas dari set pertama dimensi seseorang. Berikut adalah aspek-aspek yang termasuk kedalam fisiologi: 1) Jenis kelamin; 2) Umur; 3) Tinggi badan dan berat badan; 4) Warna mata, kulit, rambut; 5) Postur tubuh; 6) Penampilan: berpenampilan menarik, kelebihan atau kekurangan berat badan, bersih, bentuk kepala, wajah, dan anggota tubuh lainnya; 7) Kekurangan fisik: Abnormal, tanda lahir, penyakit; 8) Keturunan.

b) Sosiologi
Sosiologi adalah hal kedua dari tiga dimensi karakter yang harus dipelajari. Orang-orang yang terlahir di lingkungan pinggiran kota yang kotor, akan memiliki pola pikir dan reaksi yang berbeda dibanding orang-orang yang terlahir dari lingkungan yang serba bersih dan teratur. Secara sederhana, sosiologi menganalisa karakter seseorang melalui lingkungan tempat ia lahir dan dibesarkan, juga bagaimana orang-orang di sekitarnya memperlakukannya.

Unsur yang termasuk kedalam dimensi sosiologi adalah: 1) Kelas sosial: Bawah, menengah, atas; 2) Pekerjaan: Jenis pekerjaan, jam kerja, penghasilan, kondisi pekerjaan, serikat atau tidak berserikat, perilaku di organisasi, kecocokan dengan pekerjan; 3) Pendidikan: jumlah biaya pendidikan, jenis sekolah, nilai, pelajaran favorit, pelajaran yang dibenci, bakat; 4) Kehidupan di rumah: orang tua yang masih hidup, kekuasaan, yatim piatu, orang tua berpisah atau bercerai, kebiasaan orang tua, pengembangan mental orang tua, kejahatan orang tua, pengabaian, status perkawinan; 5) Agama; 6) Ras, kebangsaan; 7) Posisi di komunitas: Pemimpin diantara teman, berkelompok, berolahraga; 8) Keanggotaan secara politik; 9) Kesenangan, hobi: buku, koran, majalah.

c) Psikologi
Psikologi adalah hasil dari gabungan dua dimensi yang lain, fisiologi dan sosiologi. Kombinasi ini melahirkan ambisi dalam hidup, rasa frustasi, watak, tingkah laku, dan kepribadian. Yang termasuk kedalam aspek psikologi adalah: 1) Kehidupan seksual, standar moral; 2) Alasan personal, ambisi; 3) Frustrasi, kekecewaan; 4) Watak: koleris, easygoing, pesimistis, optimistis; 5) Perilaku terhadap hidup: pengunduran diri, militan, pengalah; 6) Complexes: Obesesi, kekangan, takhyul, fobia; 7) Extrovert, introvert, ambivert; 8) Kemampuan: bahasa, talenta; 9) Kualitas: imajinasi, penilaian, selera; 10) IQ.


Sumber: Buku Menulis Cerita Film Pendek: Sebuah Modul Workshop Penulisan Skenario Tingkat Dasar.
Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Tim Penyusun: Perdana Kartawiyudha (koordinator), Baskoro Adi Wuryanto, Damas Cendekia, Melody Muchransyah, dan Rahabi Mandra.
Baca Lengkap....

Karakter dalam Film (Bagian Pertama)

The Godfather (Coppola, 1972)

Oleh: Melody Muchransyah

Masih ingat tiga komponen dalam sebuah logline? Ya, logline yang baik akan memaparkan mengenai seorang karakter yang menginginkan sesuatu namun mengalami kesulitan untuk mendapatkannya. Jika lupa, silakan baca lagi di SINI.

Jika masih ingat, kita lanjut saja. Oleh karenanya, sebelum menuliskan skenario untuk filmmu, kamu harus mengetahui tiga hal berikut ini:
(1) Siapa tokohmu?
(2) Apa yang ia inginkan?
(3) Apa yang menghalanginya dari mewujudkan keinginannya tersebut?

Pembahasan ini akan berfokus untuk merumuskan mengenai hal terpenting yang ada di dalam skenario, yaitu karakter.

a. Pengertian Karakter
Menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Elektronik” (2008), karakter adalah “tabiat; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; watak.” Di dalam bukunya “Screenplay: The Foundations of Screenwriting” (2005), Syd Field menuliskan bahwa karakter adalah dasar internal yang penting dari sebuah skenario. Karakter adalah landasan utama, bagikan jantung, jiwa, dan sistem saraf dari skenario. Sebelum kamu dapat menempatkan satu kata di atas kertas, kamu harus mengenal karakter yang akan kamu buat.

Hal yang paling mudah yang dapat kita lakukan dalam menciptakan karakter adalah dengan mengamati sekeliling kita. Saya sendiri seringkali menulis cerita dan skenario berdasarkan tokoh-tokoh yang ada di kehidupan saya sehari-hari: mulai dari adik saya, orang tua saya, teman-teman saya, hingga ke diri saya sendiri! Hal ini disebabkan karena membuat karakter harus dilakukan dengan seksama: kita ingin membuat karakter yang ‘hidup’. Proses menghidupkan karakter berarti memberikan dimensi pada karakter tersebut sehingga segala hal yang terkait dengan karakter tersebut menjadi konsisten dan penonton dapat percaya bahwa karakter yang kita ciptakan dapat hidup di tengah-tengah mereka. Inilah mengapa menjadi penting untuk mengamati orang-orang di sekeliling kita: bagaimana mereka berbicara, bagaimana mereka bertindak, apa yang menjadi masalah di dalam kehidupan mereka, serta interaksi mereka terhadap lingkungan mereka sehari-hari.

b. Tipe Karakter
Ada beberapa versi mengenai tipe karakter.Namun yang terpenting untuk diingat adalah membagi karakter kita menjadi karakter utama dan karakter pendukung. Berikut adalah beberapa tipe karakter:

1. Protagonis
Protagonis disebut juga sebagai the pivotal character (karakter yang penting) karena protagonis memang merupakan karakter terpenting dalam sebuah cerita. Protagonis merupakan karakter utama dalam cerita yang akan memimpin jalannya cerita. Protagonislah yang menciptakan konflik dan membuat cerita mengalir. Protagonis harus tahu apa yang ia mau (want). Tanpa protagonis, cerita akan terasa janggal, nyatanya tidak akan ada cerita. Dalam menginginkan sesuatu, protagonis harus memiliki hasrat yang kuat dalam mengabulkan keinginnya sehingga dalam perjalanan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, ia akan menyerang atau diserang (Egri, 1960). Contohnya, karakter Don Vito Corleone adalah protagonis di dalam film The Godfather (Coppola, 1972) yang merupakan seorang bos mafia terkemuka.

2. Antagonis
Karakter pendukung yang menentang atau melawan karakter utama akan menjadi penentang atau antagonis. Antagonis adalah karakter yang akan merusak usaha protagonis dan akan menekan keadaan protagonist dengan segala kekuatan yang ia punya. Egri (1960) menyatakan bahwa tokoh protagonis dan antagonis harus menjadi lawan yang memiliki kekuatan yang sama, agar terjadi perlawanan yang seimbang. Karena fungsinya yang penting dalam cerita, penulis skenario terlebih dahulu harus mengenal karakter-karakter yang akan ditulis dengan sepenuhnya. Karakter-karakter inilah yang nanti akan mengendalikan cerita. Di dalam film Silence of the Lambs (Demme, 1991), karakter antagonisnya adalah Dr. Hannibal Lecter. Selain kedua tipe karakter di atas, Set & Sidharta (2003) menyebutkan beberapa tipe karakter pendukung lain seperti Karakter Sidekick yang bertugas membantu karakter protagonis, Karakter Kontagonis yang bertugas membantu karakter antagonis, dan Karakter Skeptis yang paling tidak peduli dengan aktivitas yang dilakukan oleh karakter protagonis.


Sumber: Buku Menulis Cerita Film Pendek: Sebuah Modul Workshop Penulisan Skenario Tingkat Dasar. Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Tim Penyusun: Perdana Kartawiyudha (koordinator), Baskoro Adi Wuryanto, Damas Cendekia, Melody Muchransyah, dan Rahabi Mandra.
Baca Lengkap....

Statement dan Tema dalam Film

Statement dan Tema dalam Film

Oleh Baskoro Adi dan Perdana Kartawiyudha

A. Statement
Statement adalah sikap pembuat cerita terhadap topik atau kasus yang diangkat. Biasanya topik atau kasus ini sudah terwujud dalam logline.Cara pencerita menyikapi kasus yang tertuang dalam logline inilah yang disebut statement. Beberapa orang menyebut statement ini dengan istilah pesan moral (moral of the story).

Berbeda dengan director’s statement yang umumnya berisi penjabaran latar belakang dan alasan sutradara terlibat dalam suatu film, statement dalam pembuatan cerita ini ditulis lebih singkat, padat, dan jelas dalam menyampaikan sikap pembuat cerita terhadap topik yang disampaikan. Umumnya statement dalam cerita ini hanya ditulis dalam satu kalimat saja. Contoh kalimat statement adalah sebagai berikut:
a. cinta datang di saat ketika kita membuka diri
b. kebahagiaan dimulai dari diri sendiri
c. nikmati hidup selagi bisa

Bandingkan dengan kalimat logline seperti “seorang mahasiswa yang sudah tak tahan ingin buang air di toilet tapi semua toilet yang ada di kampus terpakai”. Kalimat statement cenderung lebih mendalam, filosofis, dan menunjukkan sikap, tetapi memang tidak terlalu jelas menjelaskan ceritanya seperti apa. Berbeda dengan kalimat logline yang secara jelas menggambarkan cerita dalam film, terutama dari segi karakter dan konflik yang dihadapinya.

Ketika menonton film, kita bisa menangkap apa logline film tersebut dengan menonton sepertiga awal film. Sedangkan untuk memahami statement dari suatu film, penonton perlu menonton film hingga selesai.

Bagi beberapa pembuat film, statement atau yang lebih umum disebut pesan moral ini adalah sesuatu yang berusaha dihindari dalam mendesain cerita. Hadirnya statement atau pesan moral dianggap hanya membuat cerita terkesan menggurui penonton ke arah normatif. Padahal inti dari dibuatnya statement atau pesan moral ini adalah menunjukkan sikap pembuat film. Apapun itu. Bahkan ketika pembuat film ingin menunjukkan ketidakberpihakannya terhadap suatu kasus, itu juga bisa dianggap pencerita sudah menentukan sikapnya.

Bagi pencerita tingkat tinggi, mereka seringkali sudah sangat mahir mengolah cerita sehingga mereka bisa langsung bercerita dengan sangat baik tanpa terlebih dahulu merancang logline dan statement, bahkan perlu melewati tahapan sinopsis ataupun treatment. Beberapa dari mereka tidak sadar bahwa tanpa memformulasikan logline dan statement, dua unsur tersebut sudah langsung terwujud dengan kuat dalam karya mereka. Hanya saja tidak semua dari kita mempunyai bakat dan kemampuan sehebat itu.

Apalagi ketika dalam proses belajar, statement dan logline penting untuk dirancang sejak awal. Bukan dengan niatan menggurui penonton, tetapi keberadaan statement sesederhana menjadi titik yang ingin dicapai dalam proses bercerita. Dengan titik tuju yang jelas, pencerita bisa meminimalisasi kemungkinan tersesat di tengah jalan.Bahwa nanti di tengah jalan titik tujunya perlu berubah, bisa saja dilakukan. Artinya harus tetap ada titik lain yang dituju. Dengan demikian bisa mengurangi kemungkinan penulis tersesat di tengah proses menulis dan tak tahu harus ke mana.

Statement dan Tema dalam Film
Lebih jauh lagi, logline yang persis sama, bisa disikapi berbeda oleh pembuat cerita yang berbeda. Ada yang bersikap bijak, ada yang bersikap sinis, ada yang apatis, ada yang penuh amarah, dan lain sebagainya. Inilah hal yang bisa dimainkan dalam merancang statement. Sebagai pencerita, kita bisa memasang topeng yang berbeda dalam menyikapi suatu permasalahan. Statement yang baik juga tidak harus bijak. Kita bisa membuat orang belajar sesuatu dengan memperlihatkan kondisi yang tidak selalu positif. Akhiran yang ironi atau bahkan tragis pun dapat membuat penonton belajar sesuatu dari cerita yang ada, misalnya:
a. bahagiakan diri sendiri, baru bisa membahagiakan orang lain
b. Tuhan tak pernah tidur, demikian juga iblis
c. sepandai-pandainya menyimpan bangkai, akhirnya tercium juga

Kejelian dan keberanian menentukan statement, akan menentukan kesan yang penonton tangkap setelah menonton film. Kesan ini bisa menjadi bahan pemikiran atau bahkan inspirasi bagi mereka dalam memandang suatu permasalahan maupun menjalani hidup. Tidak hanya itu, kesan yang dimunculkan dari statement, bisa membuat penonton juga sadar bahwa orang yang berbeda bisa menyikapi suatu permasalahan dengan cara yang berbeda pula. Dan itu tidak apa-apa.

B. Tema
Tema adalah satu kata (atau 2 kata majemuk) yang menjelaskan film Anda. Bisa juga berarti pesan dari film Anda.

Film The Conjuring (2013) adalah film horor dengan tema keluarga. Dalam film tersebut, digambarkan bagaimana jahatnya Bathsheba, sebuah roh jahat yang berumur ratusan tahun, kalah oleh kekuatan keluarga.

Saat Carolyn Perron, sang Ibu dalam kisah itu kerasukan arwah Bathsheba, bukan kekuatan air suci yang menghentikannya membunuh keluarganya. Tapi Lorraine Warren, sang paranormal, memegang kepala Carolyn, dan mengingatkan kembali betapa berartinya keluarga bagi Carolyn. Akhirnya Carolyn bisa mendapatkan kekuatan kembali, dan mengeluarkan Bathsheba dari dalam tubuhnya.

Contoh lain adalah film Up (2013), yang mengangkat tema petualangan. Dalam film itu, Carl Frederiksen berusaha mengabulkan permintaan terakhir istrinya, yaitu memindahkan rumahnya ke Paradise Falls.

Carl menikah dengan Ellie, karena keduanya menyukai petualangan. Carl dan Ellie, menganggap pernikahan mereka adalah sebuah petualangan. Mereka mencatat semua perjalan kehidupan pernikahan mereka dalam sebuah adventure book.

Usaha Carl memindahkan rumah tidak berjalan mulus. Saat ia putus asa akan usahanya yang akan kandas, ia membuka kembali adventure book. Di sana ia menemukan kembali semangat hidup, saat menemukan tulisan Ellie, “and now, find your new adventure!”.


Sumber: Buku Menulis Cerita Film Pendek: Sebuah Modul Workshop Penulisan Skenario Tingkat Dasar. Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Tim Penyusun: Perdana Kartawiyudha (koordinator), Baskoro Adi Wuryanto, Damas Cendekia, Melody Muchransyah, dan Rahabi Mandra.
Baca Lengkap....