Bentuk Hubungan Logis dalam Bahasa Indonesia

A. Pengertian Bentuk Hubungan Logis

Bentuk hubungan logis merupakan satuan gambaran cirri semantic kata-kata pembentuk kalimat yang dapat membuahkan kesimpulan secara logis serta mengandung nilai kebenaran secara analitis.

B. Bentuk Hubungan Logis dalam Perspektif Kajian Semantik

Menurut Davidson pada tataran pertama bahasa disikapi sebagai “standard logic” atau sebagai gejala yang mengandung kaidah hubungan logis. Bahasa pada tataran tersebut didudukan sebagai “formal language” atau bahasa yang diformulasikan pengaji sesuai dengan norma yang digunakan. Bahasa yang diformalisasikan pengkaji sesuai dengan gambaran bentuk hubungan logisnya pengkaji melakukan pemberian karakteristik bentuk logisnya dengan mendasarkan pada karakteristik hubungan semantisnya.

Sebagai obyek kajian hubungan logis, bahasa yang didudukan dalam konteks “standard formal language” dengan demikian adalah bahasa yang telah diidealisasikan. Selain itu, sesuai dengan kedudukan kalimat-kalimat itu sebagai “formal language” pengkaji dapat saja memodifikasi lambing kebahasaan itu ke lambing logika simbolik. Meskipun demikian, dari adanya pemertalian “standard formal language” dengan bahasa natural, menunjukkan bahwa formal language bukanlah jenis bahasa yang disusun secara “fiktif”, melainkan bahasa yang memiliki pertalian dengan pengalaman keseharian. Dengan kata lain, formal language adalah bahasa keseharian yang diidealisasikan, diformalisasikan.

Betolak dai wawasan Montague, dan Thomason dapat dikemukakan bahwa tugas utama semantic adalah melakukan studi tentang hubungan antara ekspresi (=wujud formal proposisi) yang satu dengan yang lain dalam kaitannya dalam dunia acuan sebagai nonlinguistic subject matter. Dalam pembahasan ini studi tentang hubungan antara bentuk ekspresi dengan dunia acuan selain dikaji lewat pembahasan hubungan dengan unsure referensial atau kongkretum dalam kalimat dihubungkan dengan dunia acuan, juga dihubungkan dengan kajian tentang antara nilai kebenaran dalam suatu proposisi ditinjau dari cirri bentuk hubungan logisnya dihubungkan dengan dunia acuan.

Kaidah hubungan logis yang dihubungkan dengan indeks maupun signifikan, nilai kebenarannya berkaitan dengan kebenaran analitis. dalam hal demikian, antara kebenaran secara logis dengan kebenaran secaa analitis akhirnya merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. keeatan hubungan demikian juga ditunjukkan oleh keeratan hubungan antara kebenaran dengan kebermaknaan. Dalam kajian Semantik sebutan bentuk hubungan logis selain dihubungkan dengan bentuk hubungan logis makna kata-kata dalam kalimat, makna kata-kata dalam hubungan antara kalimat juga dihubungkan dengan inferensi atau pengambilan kesimpulan secara logis.

Dalam logika simbolik, sebutan logika lazim dihubungkan dengan logika proposional, dan logika kuantifikasional. Permasalahannya secara umum meliputi (i) spesifikasi bentuk hubungan logis sesuai dengan perakit yang digunakan, (ii) spesifikasi cirri hubungan antara anteseden dengan konsekuen, dan (iii) kaidah pembuahan inferensi sahih (valid inferences) dari argument dan pedikator dalam proposisi yang berbeda, dan (iv) permasalahan menyangkut kuantifikasi. Dalam kajian semantic, hasil kajian logika simbolik tersebut dijadikan salah satu dasar penafsiran system kaidah hubungan logis dalam bahasa natural.

C. Pemilihan Bentuk Hubungan Logis dalam Kalimat

  1. Bentuk hubungan analitis
    Sebutan analitis dalam studi makna berhubungan dengan dua hal. Pertama, sebutan analitis menyangkut “nilai kebenaan secara analitis”. Kedua, istilah analitis sebagai salah satu bentuk hubungan logis. Ditinjau dari terdapatnya cirri kebenaran secara analitis, semua relasi makna yang memiliki nilai kebenaran berdasarkan “criteria analitis” dapat disebut berbentuk analitis.
  2. Bentuk hubungan simetris
    Dalam hubungan secara simetris, argument-argumen dalam kalimat salain mengarahkan karena predikator yang berlaku bagi argument 1 juga berlaku bagi argument 2. sebaliknya predicator yang berlaku bagi argument 2 juga berlaku bagi argument 1. Dari terdapatnya keharusan cirri demikian, ditinjau dari prinsip kalkulus predikat kalimat yang mengandung hubungan simetris adalah kalimat yang ditinjau dari predikatornya mengharuskan adanya dua argument atau lebih.
  3. Bentuk hubungan refleksif
    Bentuk hubungan logis disebut hubungan refleksif apabila relasi makna dalam kalimat penjelasan yang diberikan pada argument merefleksikan cirri lain pada argument itu sendiri.
  4. Bentuk hubungan transitif
    Relasi makna dalam kalimat disebut mengandung hubungan transitif apabila cirri hubungan argument x dan y, dan hubungan argument y dan z secara logis juga menentukan hubungan argument x dan z.
  5. Bentuk hubungan Kontradiksi
    Hubungan kontradiksi dapat diartikan sebagai hubungan kata-kata dalam suatu proposes yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian atau bersifat kontradiktif. Sebagaimana bentuk hubungan logis yang lain, bentuk hubungan kontradiksi dapat memberikan spesifikasi cirri hubungan unsure-unsur pembentuk proposisi. proposisi tersebut selain dapat berupa proposisi sederhana yang terdiri atas sebuah argument dan sebuah predicator, dapat juga berupa proposisi kompleks.

D. Ciri Bentuk Hubungan Logis dalam Kalimat Bahasa Indonesia

  1. Hubungan analisis dalam kalimat bahasa Indonesia
    Ditandai oleh adanya (i) (A) yang dijelaskan, dan (B) ungkaian yang berisi penjelasan, (ii) kemampuan urutan (A) (B) dinyatakan dalam urutan (B) (A) tanpa mengubah proposisinya, (iii) nilai kebenaran hubungan (A) dan (B) dapat ditentukan berdasarkan identifikasi cirri semantic, dan signifikan secara logis.

    Contoh:
    Durian adalah jenis buah-buahan yang kulitnya berduri.
    (A) = durian
    (B) = jenis buah-buahan yang kulitnya berduri

    Kaidah hubungan logis pada jenis tautologies yaitu relasi makna ditentukan memiliki hubungan tautologies apabila unsure-unsur pembentuk relasi makna itu saling menjelaskan karena beberapa cirri yang dimiliki unsure yang lain.
  2. Hubungan simetris dalam kalimat bahasa Indonesia
    Ditandai oleh adanya (i) ungkaian-ungkaian pembentuk proposisi yang nilai kebenarannya saling mengarahkan, (ii) kehadiran ungkaian yang satu secaa logis dapat menyertakan kehadiran ungkaian yang lain, dan (iii) dalam sebuah kalimat, salah satu ungkaian pembentuk proposisinya memiliki kemungkinan dihilangkan.

    Contoh:
    Ari suami Vivi, Vivi istri Ari

    Kalimat tersebut antara ungkaian yang satu dengan yang lain saling mengarahkan. Ungkaian (P) Ari suami Vivi nilai kebenarannya ditentukan oleh ungkaian (Q) Vivi istri Ari, atau sebaliknya.
    Kaidah hubungan simetris yaitu relasi makna ditentukan memiliki hubungan simetris apabila beberapa cirri pada (P) sebagai salah satu ungkaian pembentuk proposisinya nilai kebenarannya ditentukan oleh ungkaian (Q), sehingga kehadiran ungkaian (P)/(Q) secara logis sudah menyertakan kehadiran ungkaian (Q)/(P).
  3. Hubungan refleksif dalam kalimat bahasa Indonesia
    Ditandai oleh adanya (i) dua predikat atau penjelmaan pada referan yang sama, (ii) kedua penjelasan itu saling merefleksikan cirri referan yang diacu, (iii) refleksi penjelasan pertama secara logis menentukan refleksi penjelasan kedua atau sebaliknya.

    Contoh:
    Bobot tubuh Tya sama dengan berat badan Tya

    Kalimat tersebut mengandaikan adanya signifikasi logis : referensi x pada “bobot Tya” sebagai (P) = “bobot” Tya, adalah juga (P) = “berat badan” Tya. Sebab itulah penjelasan menyangkut (A) Tya, ada sebagai PAP.

    Kaidah hubungan secara refleksif yaitu relasi makna ditentukan memiliki hubungan refleksif apabila cirri x yang satu merefleksikan/direfleksikan cirri x lain yang mengacu pada referan yang sama.
  4. Hubungan transitif dalam kalimat bahasa Indonesia
    Ditandai oleh adanya (i) tiga ungkaian yang salah satunya dapat dibuahkan berdasarkan pada signifikasi secara logis, (ii) berlakunya nilai pada hubungan ungkaian pertama dengan ungkaian kedua pada ungkaian ketiga sehingga nilai ungkaian ketiga nilai kebenarannya dapat dihubungkan dengan ungkaian pertama, dan (iii) dalam sebuah kalimat, ungkaian ketiga sebagai ungkaian yang dibuahkan berdasakan signifikasi logis kehadirannya secara tidak langsung sudah termban dalam ungkaian pertama, dan ungkaian kedua.

    Contoh:
    Tya lebih gemuk dari pada Dipta. Dipta lebih gemuk dari pada Novan. Dengan demikian, Tya lebih gemuk dari pada Novan.

    Merujuk pada kalimat di atas, mengandaikan Tya = X, lebih gemuk = P, Dipta = Y, dan Novan = Z, nilai yang ada pada XPY, dan YPZ, secara logis membuahkan nilai yang berlaku bagi XPZ.
    Kaidah hubungan secara transitif yaitu relasi makna ditentukan memiliki hubungan transifitas apabila perbandingan argument x dengan argumen y, antara y dengan z, secaa logis berlaku bagi pebandingan antara x dengan z.
  5. Hubungan kontradiksi dalam kalimat bahasa Indonesia
    Ditandai oleh adanya (i) ketidaksesuaian hubungan makna kata-kata, sehingga hubungan makna kata-kata sebagai pembentuk satuan proposisinya bersifat kontradiktif, dan (ii) proposisi yang dikandungnya memiliki kesalahan.

    Contoh:
    Ia orang kaya yang miskin.

    Kalimat tesebut, antara lain dibentuk oleh kata (A) kaya, dan (B) miskin. Representasi makna (A) dan (B) mengandung ketidaksesuaian relasi makna. Sebab itu proposisi yang dikandungnya dapat ditentukan mengandung kesalahan.

Kaidah hubungan secara kontradiktif yaitu relasi makna ditentukan memiliki hubungan kontradiksi apabila dalam satuanproposisinya mengandung x dan bukan x.
Baca Lengkap....

Apresiasi Sastra (Pengantar)

1. Pengertian

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita mendengar istilah apresiasi. Barangkali dalam benak kita muncul pertanyaan: apa itu apresiasi? Istilah apresiasi muncul dari kata appreciate (Ing), yang berarti menghargai. Sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan untuk menghargai sastra. Namun, dalam perkembangan berikutnya pengertian apresiasi sastra semakin luas. Banyak tokoh mencoba memberikan batasan tentang apresiasi sastra. S. Effendi memberikan batasan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pada cipta sastra tersebut. Sedangkan tokoh lain, Yus Rusyana mendefinisikan apresiasi sastra sebagai pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai karya satra, dan kegairahan serta kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu.

Dua batasan yang dikemukakan oleh dua tokoh di atas pada prinsipnya tidak saling bertentangan, tetapi justru saling melengkapi. Perbedaan yang tampak hanyalah terletak pada penggunaan istilah saja. Lepas dari perbedaan istilah yang dipakai oleh dua tokoh tersebut, pada intinya kegiatan apresiasi sastra didasari oleh pengertian bahwa karya sastra itu indah dan bermanfaat (dulce et utile). Dengan kata lain, di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai hidup. Untuk itu, apresiasi sastra bertujuan mengasah sikap peka terhadap persoalan hidup, mempertebal nilai moral dan nilai estetis dalam diri . Untuk dapat memahami dan memperoleh nilai-nilai dalam karya sastra, tidak ada cara lain kecuali membaca, bergaul, dan mengakrabi karya sastra itu sendiri.

Istilah Apresiasi berasal dari bahasa latin Apreciation yang berarti “mengindahkan”. Dalam konteks yang lebih luas itilah apresiasi menurut Gove dalam Aminuddin (1987:34) mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan, dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Pada sisi lain, Squire dan Taba dalam Aminuddin (1987:35) berkesimpulan bahwa sebagai suatu proses, apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yakni (1) aspek kognitif, berkaitan dengan keterlibatan unsur intelek pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur kesusastraan yang bersifat objektif (2) aspek emotif, berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca (3) aspek evaluatif, berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik buruk, indah tidak indah, sesuai tidak sesuai serta segala ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh pembaca.

Sejalan dengan rumusan pengertian apresiasi di atas, Effendi (1973:33) mengungkapkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan pikiran yang baik terhadap karya sastra. Dari pendapat itu juga disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan rohaniahnya.

Sehubungan dengan masalah di atas, Djunaedi (1992:2-4) menyebutkan tingkat penerimaan seseorang terhadap karya sastra (novel) ada empat, yaitu : (1) Tingkat reseftif adalah tahap penerimaan menurut apa adanya (2) Tingkat reaktif adalah tahap pemberian reaksi terhadap kehadiran sebuah karya sastra (3) Tingkat produktif adalah tahap pemberian reaksi terhadap karya sastra yang dibacanya (dinikmati) dan sekaligus dapat memproduksi dan menelaah karya sastra tersebut (4) Tingkat implementatif adalah tahap memahami, mengevaluasi dan memproduksi sastra, serta dapat mewujudkan kebenaran yang diperolehnya dari bacaan sastra dalam kehidupan sehari-hari.

2. Tingkatan-Tingkatan dalam Apresiasi Sastra

Mengingat tujuan apresiasi sastra sebagaimana telah diuraikan di atas adalah untuk mempertajam kepekaan terhadap persoalan hidup, membekali diri dengan pengalaman-pengalaman rohani, mempertebal nilai moral dan estetis; maka tingkatan dalam apresiasi sastra diukur dari tingkat keterlibatan batin apresiator. Untuk dapat mengetahui tingkat keterlibatan batin, seorang apresiator harus memiliki “patos”. Istilah “patos” berasal dari kata ‘patere’ (Latin) yang berarti ‘merasa’. Dengan kata lain, untuk dapat mencapai tingkatan-tingkatan dalam apresiasi, seorang apresiator harus dapat membuka rasa.

Tingkatan pertama dalam apresiasi sastra adalah “simpati”. Pada tingkatan ini batin apresiator tergetar sehingga muncul keinginan untuk memberikan perhatian terhadap karya sastra yang dibaca/digauli/diakrabinya. Jika kita membaca karya sastra kemudian mulai muncul perasaan senang terhasdap karya sastra tersebut, berarti kita sudah mulai masuk ke tahap pertama dalam apresiasi sastra, yaitu simpati.

Tingkatan kedua dalam apresiasi sastra adalah ‘empati’ Pada tingkatan ini batin apresiator mulai bisa ikut merasakan dan terlibat dengan isi dalam karya sastra itu. Dengan kata lain, jika kita membaca prosa cerita, kemudian kita bisa ikut merasakan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita tersebut, berarti tingkat apresiasi sastra kita sudah sampai pada tingkat kedua, yaitu empati.
Tingkat ketiga atau tingkat tertinggi dalam apresiasi sastra adalah ‘refleksi diri’. Pada tingkatan ini, seorang apresiator tidak hanya sekedar tergetar (simpati), atau dapat merasakan (empati) saja, tetapi dapat melakukan refleksi diri atas nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu. Dengan kata lain, pada tingkat ketiga ini seorang apresiator dapat memetik nilai-nilai karya sastra sebagai sarana untuk berrefleksi, bercermin diri.

3. Pentahapan dalam Kegiatan Apresiasi Sastra

Jika di atas telah diuraikan tentang tingkatan-tingkatan dalam apresiasi sastra yang didasarkan pada keterlibatan batin apresiator, berikut ini akan dipaparkan tahapan-tahapan dalam kegiatan apresiasi sastra. Pentahapan dalam kegiatan apresiasi sastra ini dilihat dari apa yang dilakukan oleh apresiator.

Pada tahap pertama, seorang apresiator membiarkan pikirannya, perasaan dan daya khayalnya mengembara sebebas mungkin mengikuti apa yang dimaui oleh pengarang karya sastra yang dibacanya. Pada tahap ini apresiator belum mengambil sikap kritis terhadap karya sastra yang dibacanya.
Pada tahap kedua, seorang apresiator menghadapi karya sastra secara intelektual. Ia menanggalkan perasaan dan daya khayalnya, dan berusaha memahami karya sastra tersebut dengan cara menyelidiki karya sastra dari unsur-unsur pembentuknya. Ini berarti, apresiator memandang karya sastra sebagai suatu struktur. Pada tahapan ini, penyelidikan unsur-unsur karya sastra oleh apresiator dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada karya sastra itu.

Pada tahap ketiga, apresiator memandang karya sastra dalam kerangka historisnya. Artinya, ia memandang karya sastra sebagai pribadi yang mempunyai ruang dan waktu. Dalam pandanganya, tidak ada karya sastra yang tidak diciptakan dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan kata lain, pada tahapan ini seorang apresiator mencoba memahami karya sastra dari unsur sosial budaya, situasi pengarang, dan segala hal yang melatarbelakangi karya sastra itu diciptakan.

Lalu, bagaimana sikap apresiator yang baik? Apresiator yang baik adalah apresiator yang dapat menerapkan ketiga tahapan tersebut secara padu, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu benar-benar ia pahami dengan membiarkan perasaannya, mencoba menyelidiki unsur-unsurnya, dan berusaha pula memahami situasi sosial budaya saat karya sastra tersebut diciptakan.
Baca Lengkap....

Mencari File yang Tersembunyi/Hidden

Saya ingin berbagi pengetahuan untuk Anda yang belum mengetahui Tips Komputer yang saya dapat dari pengalaman selama memiliki komputer. Postingan kali ini akan membahas tentang cara melihat file yang tersembunyi/terhidden.

Adakalanya, beberapa file yang ada di PC Anda tiba-tiba menghilang atau terhidden oleh virus. Virus saat ini yang paling sering muncul adalah virus shortcut, smadav85, waver band, dan recycler. Virus ini memang tidak berbahaya, tapi akan membuat kita pusing jika kasusnya seperti yang saya sebutkan tadi.

Demikian juga pada FLASHDISC, virus ini sering juga muncul dan akan cepat menyebar ke dalam komputer Anda jika tidak langsung diatasi. Virus ini secara otomatis akan meng-hidden file dan folder yang ada di dalamnya dan menggantinya dengan shortcut.

Kadang ada yang mengira kalau data yang ada di dalam FD tersebut hilang atau terhapus padahal sebenarnya tidak demikian. Hanya saja disembunyikan/terhidden oleh virus. Yang saya tahu kalau sudah terlalu lama virus ini hidup, komputer Anda terkadang akan menjadi lambat loading atau juga akan mempengaruhi Windows Anda.

Nah, saya akan berbagi tips dan solusi jika Anda mengalami hal ini. Berikut langkah-langkahnya:
  1. Silahkan buka explore dengan mengklik kanan tombol Star.
  2. Pilih menu Tools pada bagian atas kiri Explore.
  3. Klik Folder Option dan akan terbuka seperti gambar di bawah.
  4. Klik View dan hilangkan tanda Centang seperti yang saya tandai pada gambar di atas.
  5. Jika muncul pesan seperti gambar di bawah, klik saja Yes lalu klik OK.
  6. Selesai. Silahkan lihat pada lokasi file Anda yang tersembunyi.

Itulah caranya. Kalau mau yang lebih simpel lagi, langsung saja Scan menggunakan Anti Virus SMADAV lalu klik Fix All. File yang terhidden akan segera Muncul.

Selamat mencoba.
Baca Lengkap....

Keuniversalan Bahasa

Karena anak dapat memperoleh bahasa apapun, maka pastilah ada sesuatu yang mengikat bahasa-bahasa ini secara bersama ada sesuatu yang bersifat universal. Tanpa sifat ini mustahillah manusia dari berbagai latarbelakang yang berbeda-beda dapat memperoleh bahasa yang disajikan kepadanya. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa jauh keuniversalan ini ada pada bahasa. Dalam hal ini terdapat perbedaan pandangan di antara para ahli bahasa. Greenberg (1963), yang boleh dikatakan sebagai pelopor pertama dalam bidang ini, bertitik tolak dari penelitian terhadap banyak bahasa dan dari bahasa-bahasa ini dia simpulkan secara indukif ihwal-ihwal pada bahasa yang terdapat pada bahasa-bahasa tersebut.

Berdasarkan gradasi seperti ini Comrie (1989 :15-23) membagi keuniversalan bahasa menjadi dua kelompok besar yakni keuniversalan solute dan keuniversalan tendensius. Dengan memperhatikan gejala implikasional maka menurut Comrie ada 4 kelompok:

1. Keuniversalan absolute non implikasional
Dalam kelompok ini tidak ada pengecualian.
Contoh : Semuabahasa memiliki bunyi vokal ; bahasa manapun didunia ini menggabungkan bunyi untuk membetuk sukukata atau kata.

2. Keuniversalan absolute implikasional
Contoh : bila suatu bahasa mempunyai refleks persona pertama/kedua, maka bahasa ini mempunyai pula refleks persona ketiga; bilasuatu bahasa mempunyai bunyi hambat Velar, bahasa tersebut mempunyai bunyi hambat bilabial.

3. Keuniversalan tendensius non implikasional
Contoh : hamper semua bahasa memiliki konsonan nasal.

4. Keuniversalan tendensius implikasional
Contoh : Bila suatu bahasa mempunyai suatu urutan dasar SOV, maka kemungkinannya adalah bahwa bahasa ini memiliki urutan posposisi; bila suatu bahas memiliki urutan dasar SVO, maka kemungkinannya adalah bahwa bahasa tadi memakai preposisi.
Baca Lengkap....

Sekilas Tentang HAMKA

hamka
A. Riwayat Hidup HAMKA
Haji Abdul Karim bin Abdul Malik Amrullah atau HAMKA, adalah salah satu ulama besar yang pernah dimiliki oleh Ummat Islam Indonesia. Ia adalah seorang pelopor gerakan tajdid di daerah kelahirannya Minangkabau dan kental dengan didikan Islam yang ditimbanya di Sumatera Thawalib, yaitu sekolah beraliran pembaruan yang didirikan oleh ayahnya, Abdul Malik Amrullah. Di kemudian hari ia juga dikenal sebagai salah satu intelektual dan aktivis Islam yang disegani dan bergelar Doktor meski ia sendiri tidak banyak sekolah di sekolah formal. Berikut ini adalah salah satu buku yang memperbincangkan tenang pendidikan Islam versi HAMKA yang diterbitkan dalam rangka 100 tahun kelahirannya.

HAMKA lahir di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad 16 Februari 1908 dari keluarga yang taan beragama. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah, atau sering disebut Haji rasul, seorang ulama yang pernah mendalami Islam di Mekakkah dan pelopor kaum mudo dan tokoh Muhammadiyah Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tandjung. Dari geneologis ini dapat diketahui, bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan dengan generasi pembaru Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX. HAMKA lahir dari struktur masyarakat matrilineal, yaitu masyarakat yang justru menempatkan posisi laki-laki yang tidak begitu strategis dibanding posisi perempuan yang sangat dominan.

Sejak kecil, HAMKA menerima dasar-dasar agama dan belajar membaca Al-Quran dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padangpanjang. Usia 7 tahun masuk ke sekolah, meski akhirnya ia keluar dari sekolah itu setelah 3 tahun belajar, dan malah belajar mengaji dengan ayahnya sampai khatam. Sejak kecil, ia senang nonton film. Bahkan karena hobinya ini, ia pernah diam-diam ‘mengicuh’ guru ngajinya karena ingin menonton Film Eddie Polo dan Marie Walcamp. Kebiasaan menonton film ini berlanjut terus, dan kerapkali ia mendapat inspirasi menulis karya-karya sastra dari menonton film ini.

Tatkala berusia 12 tahun, kedua orang-tuanya bercerai. Perceraian orangtuanya ini merupakan pengalaman pahit yang dialaminya. Tak heran jika pada fatwa-fatwanya, ia sangat menentang tradisi kaum laki-laki Minangkabau yang kawin lebih dari satu. Sebab bisa merusak ikatan keharmo-nisan rumah tangga. Dalam adat Minang-kabau waktu itu, memiliki istri lebih dari satu adalah kebanggaan bagi keluarga pihak laki-laki. Seorang perempuan (istri) tidak akan khawatir menjadi janda dua atau tiga kali karena diceraikan suami. Sebab, tidaklah sulit baginya karena semua anak-anaknya telah dijamin oleh harta pusaka rendah dan menjadi tanggungjawab mamak-mamaknya (saudara laki-laki dari pihak perempuan). Demikian juga dengan H. Abdul Karim Amrullah, sebagai seorang ulama yang memiliki status sosial tinggi, meski per-ceraian yang dilakukannya akibat perse-lisihan yang ada campur tangan pihak keluarga, perceraian ini mengakibatkan HAMKA kehilangan kasih saying sebagaimana mestinya. Akhirnya HAMKA kecil harus menjadi anak tinggal dan dipandang ‘hina’ karena tidak memiliki saudara perempuan di kampung dan tidak memiliki keluarga utuh dan lengkap, sebab 10 bulan kemudian ibunya menikah lagi dengan seorang saudagar dari tanah Deli dan adiknya ikut bersama mereka.

Kondisi ini pula yang ikut menyebabkan kerenggangan tali kekeluargaan dengan pihak orangtuanya. Untuk sementara, ia tinggal bersama ayahnya di Padangpanjang. Akan tetapi, karena karena seringnya mendapat cemoohan dari keluarga ayahnya yang dating, membuatnya tak tahan dan kemudian tinggal bersama andung-nya yang sangat mencintainya. Hampir setahun lamanya ia hidup terlunta-lunta sebagai anak tualang dan akhirnya ia sekolah mengaji ke Parabek, 5 km dari Bukittinggi dengan Syekh Ibrahim Musa, karena andung-nya khawatir dengan masa depannya.

Pendidikan formal yang dilalui HAMKA sebetulnya di mulai sejak tahun 1916 sampai 1923 dengan belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di Padang-panjang serta Sumatera Thawalib di Padangpanjang dan Parabek. Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih bersifat tradisional dengan emnggunakan system halaqoh. Materi pendidikan waktu itu masih berorientasi pada pengajian kitab-kitab klasik seperti nahwu, sharaf, manthiq bayan, fiqh dan sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilakukan dengan menekankan pada sapek hafalan. Meskipun padanya diajarkan membaca dan menulis Arab dan latin, tetapi diutamakan adalah mempelajari kitab-kitab Arab klasik dengan standar buku-buku pelajaran sekolah rendah di Mesir. Akibatnya, banyak dia antara teman-temannnya yang fasih membaca kitab, tetapi tidak bisa menulis dengan baik. HAMKA tidak puas dengan sistem pendi-dikan semacam ini, tetapi ia tetap berusaha mengikutinya dengan baik.

Dalam menerima berbagai informasi pendidikan karya-karya ilmuwan non-muslim, ia menunjukkan sikap hati-hati. Sikap demikian dilatatarbelakangi oleh dia pikiran, pertama, dalam bidang sejarah ia melihat adanya kesalahan data dan fakta yang sesungguhnya. Misalnya tentang persoalan di seputrar masuknya Islam ke Nusantara. Menurutnya, Islam masuk melalui saudagar dari Arab (Mekkah), bukan dari Gujarat maupun Persia. Kedua, dalam bidang keagamaan, terdapat upaya untuk mendiskreditkan Islam. Tidak sedikit para penulis tersebut memberikan pesan misionaris.
Sistem pendidikan tradisional, membuat-nya merasa kurang puas. Kegelisahan intelektual yang dialaminya menyebabkan ia berhasrat merantau guna menambah wawasannya. Tujuannya adalah pulau Jawa. Awalnya ia hendak ke Pekalongan mengun-jungi kakak iparnya, H. Sutan Mansur, tetapi ia dilarang ayahnya karena khawatir dengan perkembangan komunis waktu itu. Namun, akhirnya ia diizinkan dan berangkatlah menumpang seorang saudagar yang hendak ke Jogjakarta dan Pekalongan. Di Peka-longan, tinggal bersama pamannya dan belajar dengan beberapa ulama seperti Ki Bagus Hadikusuma (tafsir), RM. Soeryo-pranoto (sosiolog), KH. Mas Masur (filsafat dan tarikh Islam), Haji Fachruddin, HOS Tjokroaminoto (Islam dan sosialisme), Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan Bandung dan terutama AR Sutan Mansur.

Di Jogja, ia berkenalan dan sering melakukan diskusi dengan teman-teman seusianya yang memiliki wawasan luas dan cendekia. Mereka antara lain adalah Muhammad Natsir. Di sini, ia mulai berkenalan dengan ide pembaruan gerakan Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Ide-ide modernisasi yang dihembuskan oleh pemikir Ilsam waktu itu telah banyak mempengaruhi pembentukan atmosfer pemikirannya tentang Islam sebagai suatu ajaran hidup, inklusif dan dinamis. Di sini, ia melihat perbedaan yang demikian tajam antara Islam yang hidup di Minangkabau dengan Islam di Jogjakarta.
Pada tahun 1925, ia kembali ke Pekalongan. Ia banyak belajar dari iparnya AR. Sutan Mansur, baik tentang Islam maupun politik. Di sini, ia berkenalan dengan ide-ide pembaruan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan rasyid Ridha yang berupaya mendobrak kebekuan ummat. Perkenalan dengan pemikiran mereka ini ikut mempengaruhi wacana pembaruan yang dilakukannya. Juni 1925, ia kembali ke maninjau membawa semangat dan wawasan baru Islam yang dinamis. Ia membawa beberapa buah tangan, yaitu pemikiran dinamis ilmuwan muslim waktu itu, paling tidak ada dua buah buku yang dibawanya dari jawa. Kedua buku itu adalah Islam dan Sosialisme (kumpulan pidato HOS. Tjokroaminoto) dan Islam dan Materialisme (salinan merdeka dari AD. Hani atas karangan Jamaluddin Al-Afghani). Berbekal pengetahuannya, ia mulai berani tampil berpidato di muka umum. Ia membuka wawasannya dengan berlangganan surat kabar dari Jawa. Dan dengan surat kabar inilah ia juga mulai berkenalan dengan beberapa pemikiran yang berkembang waktu itu, baik pemikiran dalam maupun luar negeri. Sperti pemikiran, Soekarno, Mustafa Kemal Attaturk dan lain sebagainya. Ia sendiri tetap belajar tentang adat daerahnya dengan Dt. Singo Mangkuto dan membuka kursus pidato “Tabligh Muhammadiyah” dengan menulis naskah kumpulan pidatonya pada buku dengan judul Khatib al-Ummah.

Tahun 1927 ia berangkat ke Mekkah untu menunaikan haji sambil mejadi kores-ponden harian“Pelita Andalas. Sekem-balinya dari Mekkah, ia tidak langsung ke Minangkabau, tetapi singgah di Medan untuk beberapa waktu lamanya. Di Medan, ia banyak menulis artikel di pelbagai majalah, seperti “Seruan Islam” di Tanjungpura, “Bintang islam dan“Suara Muhammadiyah. Atas desakan iparnya AR. Sutan Mansur, ia kemudian diajak kembali ke Padangpanjang menemui ayahnya yang demikian merindukannya. Di sini, ia dinikahkan dengan Siti Raham, ia dikaruinai 11 anak, antara lain Hisyam (meninggal usia 5 tahun), Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, ‘Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif dan Syakib.
Setelah istrinya meninggal dunia, satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973 ia menikah lagi dengan seorang perempuan Cirebon, yaitu Hj. Siti Khadijah. Perkawinan keduanya ini tidak memperoleh keturunan karena faktor usia.

B. Pemikiran dan Karyanya
Kreatifitas jurnalistik HAMKA makin kelihatan melalui beberapa karya tulisnya. Tahun 1928, HAMKA menulis roman pertamanya Si Sabariyah. Ia juga memimpin majalah Kemajuan Zaman” di Medan. Pada tahun 1929, muncul buku-bukunya Sadjarah Sajjidina Abubakar Shidiq, Ringkasan Tarich Umat Islam, Agama dan Perempuan, Pembela Islam dan Adat Minangkabau (kemudian buku ini dilarang oleh Kolonial Belanda). Karirnya di Muhammadiyah makin diperhitungkan ketika pidatonya Agama Islam dan Adat Minangkabau disampaikannya pada Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi 1930.

Berkat kepiawaiannya dalam berdakwah, di ia diundang ke berbagai tempat di Sumetera seperti Bengkalis, bagan Siapiapi, Labuhan Bilik, Medan dan Tebing Tinggi. Kepiawaiannya juga terlihat pada saat berpidato di Kongres Muhammaiyah berikutnya di Jogjakarta tahun 1931 dengan judul Muhammadiyah di Sumatera. Ketika di Makassar, melaksanakan tugasnya sebagai mubaligh Muhammadiyah, ia menerbitkan“al-Mahdi” sebuah majalah yang juga memuat pengetahuan Islam yang terbit sebulan sekali.

HAMKA memiliki peran yang luas dalam pembaruan Islam di Makasar dan Minangkabau. Ia menawarkan model pendidikan Islam yang reformis. Bahkan, melalui ide-ide pembaruannya, ia membuka wawasan intelektual ummat Islam dan mensejajarkan pendidikan Islam dengan pendidikan yang dikelola pemerintah Kolonial. Ia mencoba melakukan periodesasi perjalanan intelek-tualnya delam empat periode: pertama, masa munculnya konversi intelektual. Proses ini terjadi tatkala ia melihat adanya ketimpangan terhadap pola pemikiran ummat Islam yang jumud, serta pendidikan Islam yang hanya berorientasi Arab dan dikotomis. Kedua, tahap pencarian identitas dan pembentukan wawasan intelektual. Masa ini dipengaruhi oleh pemikiran ketika ia belajar di Pekalongan dan Jogjakarta. Persentuhannya dengan ide-ide Islam modernis yang berkembang waktu itu, telah ikut mempengaruhi warna dan dinamika pemikirannya. Ketiga, tahap pengembangan intelektual awal. Masa ini adalah setelah kembali dari Jawa. Dinamika ini bisa dilihat dari upayanya mengembangkan ide pembaruan, baik ketika di Minangkabau maupun di Medan dan Makassar. Proses tersebut dilakukan melalui wadah Muhammadiyah maupaun karya-karyanya. Keempat, tahap pengembangan intelektual kedua dan pemaparan pemikiran-pemikiran pembaruannya. Masa ini diawali ketika berangkat ke Jakarta, dan terutama tahun 1952 sampai akhir hayatnya.

Ketika zaman Jepang, HAMKA memang sempat mendapat posisi sebagai anggota Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Rakyat), setelah banyak sekali pelarangan yang dilakukan Jepang terhadap perkumpulan dan majalah yang dipimpinnya. Dan sikap kompromi dengan mau bekerjasama dengan Jepang ini juga yang memunculkan sikap sinis terhadap dirinya, hingga akhirnya ia “lari malam”, pergi ke menuju Padang-panjang tahun 1945 sampai tahun 1949. Sesudah Perjanjian Roem-Royen, ia ingin mengembangkan dakwah dan pemikirannya ke Jakarta dan mulai melakukan aktifitasnya sebagai koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Ia kemudian mengarang karya otobiografinya Kenang Kenangan Hidup, tahun 1950. Disamping itu, ia mulai aktif di Masyumi dan bersama tokoh-tokoh lainnya, ia mendukung gagasan mendirikan negara Islam. Bersama KH. Faqih Usman dan M Jusuf Ahmad, pada 15 Juni 1959, ia menerbitkan Majalah Pandji Masjarakat, majalah ini menitikberatkan pada soal-soal kebudayaan dan pengetahua Islam.

Dalam perkembangannya, kehadiran majalah ini mengalami perkembangan yang luar biasa dan dinantikan oleh pembaca. Majalah ini pernah dibreidel oleh pemerintah Soekarno karena tersentil oleh tulisan Hatta yang berjudul ‘Demokrasi Kita’ pada tahun1960. Tujuh tahun kemudian majalah ini terbit kembali dan memper-banyak frekuensi penerbitannya menjadi tiga kali sebulan.

Secara umum, HAMKA memiliki karier yang cemerlang. Hal ini dapat dilihat dari keriernya selama 1952 hingga akhir hayatnya tahun 1981. Kesempatan dan jabatan tersebut antara lain, memenuhi undangan Pemerintah Amerika (1952), anggota komisi kebudayaan di Muangthai (1954), menghadiri Konferensi islam di Lahore (1958), Imam Masjid Al Azhar, Konferensi Negara-negara Islam di Rabat (1968), Muktamar masjid di Mekkah (1976), Seminar Islam dan Peradaban di Kuala Lumpur, Konferensi Ulama di Kairo (1977), Badan Pertimbangan Kebudayaan Kemen-terian P dan K, Guru Besar Perguruan Tinggi dan Universitas dn Makassar, Penasihat Kementerian Agama, Ketua Dewan Kurator PTQ, Ketua Majelis Ulama Indonesia (1975-1981) dan sejumlah posisi penting lainnya.

Banyak karya tulis, buku dan tulisannya yang menjadi karya terbaiknya. Antara lain biografi ayahnya berjudul Ayahku: Riwayat Hidup Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya (1958); buku-buku filsafat dan keagamaan seperti; Tasauf Modern, Tafsir Al Azhar, Falsafah Hidup, Falsafah Ideologi Islam, Pengarus Muhammad Abduh Di Indonesia, Lembaga Hikmat, Hubungan Antara Agama Dengan Negara Menurut Islam, Islam Dan Kebatinan dan puluhan karya lainnya. Sementara buku-buku sastra karyanya adalah Si Sabariyah, Laila Majnun, Salahnya Sendiri, Toean Direktoer, Keadilan Ilahi, Angkatan Baroe, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Dalam Lembah Kehidupan, Dibawah Lindungan Kaabah dan lain-lain.

Referensi: Nizar, Samsul. 2008. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Grip Jakarta.
Baca Lengkap....

Pendidikan Menurut HAMKA

Ada tiga term yang digunakan para ahli untuk menunjukkan istilah pendidikan Islam, yaitu ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. HAMKA memosisikan pendidikan sebagai proses (ta’lim) dan menyampaikan sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah kelihatannya mengandung arti yang lebih kompre¬hensif dalam memaknai pendidikan Islam, baik vertikal maupun hori¬zontal. Prosesnya merujuk pada pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik, baik jasmaniah maupun rohaniah. Misi pendidikan Islam menitik-beratkan pada tujuan penghambaan dan kekhalifahan manusia, yaitu hubungan pemeliharaan manusia terhadap makhluk Allah lainnya, sebagai perwujudan tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi, serta hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya secara harmonis. Bila kata tarbiyah ditarik pada pengertian interaksi edukatif, pandangan HAMKA tarbiyah mengandung makna:
  1. Menjaga dan memelihara per-tumbuhan fitrah (potensi) peserta didik untuk mencapai kedewasaan.
  2. Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, dengan berbagai sarana pendukung (terutama bagi akal dan budinya).
  3. Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan dan kesempurnaan seoptimal mungkin.
  4. Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan diri peserta didik.

HAMKA membedakan makna pendidi-kan dan pengajaran. Menurutnya, pen-didikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.

Dalam mendefinisikan pendidikan dan pengajaran, ia hanya membedakan makna pengajaran dan pendidikan pada pengertian kata. Akan tetapi secara esensial ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut (pendidikan dan pengajaran) merupakan suatu sistem yang saling berkelindan. Setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti bila tidak dibarengi dengan proses pendidikan. Dengan pertautan kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.

Bila dilihat dari dataran filsafat, batasan definisi pendidikan Islam yang dikemukakannya dapat dipandang sebagai ontologi pendidikan Islam. Definisi di atas merupakan salah satu titik perbedaan pendapatnya dengan batasan pendidikan dewasa ini yang mendikotomikan kedua istilah tersebut secara parsial. Ia mencoba membangun proses pengajaran dan pendidikan dalam sebuah konstruksi yang integral. Dalam pandangannya, proses pendidikan tidak hanya berorientasi pada hal-hat yang bersifat material belaka. Pendekatan yang demikian itu tidak akan dapat membawa manusia kepada kepuasan batin (rohani). Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat mengintegralkan potensi fitrah-Nya yang tinggi dengan potensi akal pikiran, perasaan dan sifat-sifat kemanusiaannya yang lain secara serasi dan seimbang.

Melalui integrasi kedua unsur potensi tersebut, maka peserta didik akan mampu mengetahui rahasia yang tertulis (Al-Qur’an dan Hadis) dan fenomena alam semesta yang tak tertulis (QS. Faathir: 28). Melalui pendekatan ini manusia (peserta didik) akan dapat menyingkap rahasia keagungan dan kebesaran-Nya, sekaligus untuk memper-tebal keimanannya kepada Allah. Namun demikian, pendidikan bukan berarti hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat metafisik belaka. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh, manusia juga memerlukan pendidikan yang bersifat material. Hanya melalui pendekatan kedua proses tersebut, manusia akan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya.

Di sini ia memaknai manusia sebagai khalifah fi al-ardh sebagai makhluk yang telah diberikan Allah potensi akal sebagai sarana untuk mengetahui hukum-Nya, me-nyingkap rahasia alam dan meman-faatkannya bagi kemaslahatan umat manusia.

Menurut HAMKA, melalui akalnya manusia dapat menciptakan peradabannya dengan lebih baik. Fenomena ini dapat dilihat dari sejarah manusia di muka bumi. Disamping itu, fungsi pendidikan bukan saja sebagai proses pengembangan intelektual dan kepribadian peserta didik, akan tetapi juga proses sosialisasi peserta didik dengan lingkungan di mana ia berada. Secara inheren, pendidikan merupakan proses penanaman nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan kepada peserta didik untuk menyatakan pikiran serta mengembangkan totalitas dirinya. Dengan kata lain pendidikan (Islam) merupakan proses transmisi ajaran Islam dari generasi ke generasi berikutnya. Proses tersebut melibatkan tidak saja aspek kognitif pengetahuan tentang ajaran Islam, tetapi juga aspek afektif dan psiko¬motorik (menyangkut bagaimana sikap dan pengamalan ajaran Islam secara kaffah).

HAMKA menekankan pentingnya pendidikan jasmani dan rohani (jiwa yang diwarnai oleh roh agama dan dinamika intelektual) yang seimbang. Integralitas kedua aspek tersebut akan membantu keseimbangan dan kesempurnaan fitrah peserta didik. Hal ini disebabkan karena esensi pendidikan Islam berupaya melatih perasaan peserta didik sesuai dengan fitrah-Nya yang dianugrehkan kepada setiap manusia, se¬hingga akan tercermin dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap semua jenis dan bentuk pengetahuan dipengaruhi nilai-nilai ajaran Islam.

Menurut HAMKA, untuk membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian paripurna, maka eksistensi pendidikan agama merupakan sebuah kemestian untuk diajarkan, meskipun pada sekolah-sekolah umum. Namun demikian, dalam dataran operasional prosesnya tidak ha¬nya dilakukan sebatas transfer of knowledge, akan tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampu membuahkan suatu sikap yang baik (akhlak al-karimah), sesuai dengan pesan nilai ilmu yang dimilikinya. Lembaga pendidikan agama yang tidak mampu membina dan membentuk peserta didik berkepribadian paripuma, samalah kedudukannya dengan lembaga pendidikan umum yang sama sekali tidak mengajarkan agama, sebagaimana yang dikembangkan pada lembaga pen¬didikan kolonial. Hal ini disebabkan, karena secara epistemologi, pada dasarnya ilmu pengetahuan memiliki nilai murni yang bermuara kepada ajaran Islam yang hanif. Pandangannya di atas merupakan kritik terhadap proses pendidikan umat Islam waktu itu. Di mana banyak lembaga pendidikan yang mengajar¬kan agama, akan tetapi tidak mampu ‘mendidikkan’ agama pada pribadi peserta didiknya. Akibat proses yang demikian, mereka memang berhasil melahirkan out put yang memiliki wawasan keagamaan yang luas, dan fasih berbahasa Arab, akan tetapi memiliki budi pekerti yang masih rendah.

Referensi: Nizar, Samsul. 2008. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Grip Jakarta.
Baca Lengkap....

Pendidikan Menurut Para Ahli

A. Definisi Secara Universal
Secara universal, pendidikan dapat didefinisikan sebagai suatu cara untuk mengembangkan keterampilan, kebiasaan, dan sikap-sikap yang diharapkan dapat membuat seseorang menjadi warga negara yang baik dengan tujuan untuk mengembangkan atau mengubah kognisi, afeksi, dan konasi seseorang.

B. Menurut Kamus dan Ensiklopedi
  1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, seperti proses, cara, pembuatan mendidik.
  2. Menurut Ensiklopedi Wikipedia, education is a social science that encompasses teaching and learningspecific knowledge, beliefs, and skills. The word education is derived from theLatin educare meaning "to raise", "to bring up", "to train", "to rear", via"educatio/nis", bringing up, raising. Pendidikan adalah ilmu sosial yang meliputi ajaran dan pengetahuan khusus, keyakinan, dan keterampilan. Kata pendidikan ini berasal dari bahasa Latin "Educare" berarti "untuk meningkatkan", "untuk membuka", "untuk melatih", "ke belakang", melalui "educatio/nis", membesarkan, meningkatkan.

C. Menurut Undang-Undang
Pendidikan menurut UU SISDIKNAS No. 2 tahun 1989 adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.

Sedangkan menurut UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

D. Menurut Bahasa
  1. Bahasa Yunani. Pendidikan berasal dari kata “Pedagogi”, yaitu dari kata “paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing. Itulah sebabnya istilah pedagogi dapat diartikan sebagai “ilmu dan seni mengajar anak (the art and science of teaching children).
  2. Bahasa Romawi. Pendidikan berasal dari kata “educare”, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan, merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia.
  3. Bahasa Jerman. Pendidkan berasal dari kata “Erziehung” yang setara dengan “educare”, yaitu: membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak.
  4. Bahasa Jawa. Pendidikan berasal dari kata “panggulawentah” (pengolahan), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.

E. Menurut Para Ahli
Berikut akan dipaparkan definisi pendidikan menurut para ahli pendidikan.
  • Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa pendidikan adalah segala daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
  • Darmaningtyas mengatakan, pendidikan adalah usaha dasar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup dan kemajuan yang ledih baik.
  • Paulo Freire menjelaskan, pendidikan merupakan jalan menuju pembebasan yang permanen dan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah masa di mana manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka, yang melalui praksis mengubah keadaan itu. Tahap kedua dibangun atas tahap yang pertama, dan merupakan sebuah proses tindakan kultural yang membebaskan.
  • Menurut Prof. Dr. John Dewey, pendidikan adalah suatu proses pengalaman. Karena kehidupan adalah pertumbuhan, pendidikan berarti membantu pertumbuhan batin tanpa dibatasi oleh usia. Proses pertumbuhan ialah proses menyesuaikan pada tiap-tiap fase serta menambahkan kecakapan di dalam perkembangan seseorang.
  • Menurut Prof. Herman H. Horn, pendidikan adalah proses abadi dari penyesuaian lebih tinggi bagi makhluk yang telah berkembang secara fisk dan mental yang bebas dan sadar kepada Tuhan seperti termanifestasikan dalam alam sekitar, intelektual, emosional dan kemauan dari manusia.
  • Menurut Prof. H. Mahmud Yunus, pendidikan adalah usaha-usaha yang sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak dengan tujuan peningkatan keilmuan, jasmani dan akhlak sehingga secara bertahap dapat mengantarkan si anak kepada tujuannya yang paling tinggi. Agar si anak hidup bahagia, serta seluruh apa yang dilakukanya menjadi bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
  • Menurut M.J. Langeveld, pendidikan adalah setiap pergaulan yang terjadi adalah setiap pergaulan yang terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan lapangan atau suatu keadaan dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung.
  • Asram, Sudianto berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu proses pembelajaran yang dilakukan baik formal maupun nonformal dan menjadi tanggung jawab semua orang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
  • Warta Politeknik Negeri Jakarta, April 2007 memberikan definisi pendidikan adalah berbagai upaya dan usaha yang dilakukan orang dewasa untuk mendidik nalar peserta didik dan mengatur moral mereka.
  • Menurut Ruseu, pendidikan adalah memberikan pembekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi dibutuhkan waktu dewasa.
  • Menurut Riarkara, pendidikan adalah kemanusian manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke arah insani.
  • Ahmad Manimba mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan, atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Baca Lengkap....

Mengenal Tuhan Adalah Fitrah

Maksud daripada pengenalan Tuhan secara fitri ada dua bentuk pengenalan.
Pertama: Pengenalan lewat ilmu pengetahuan (Khusuli)
Kedua: Pengenalan lewat Ilmu Khuduri


PENGENALAN TUHAN LEWAT ILMU KHUSULI
Pengenalan Tuhan lewat Ilmu Khusuli, yaitu bahwa akal manusia untuk membuktikan keberadaan Tuhan tidak perlu mengerahkan segala pikiran dan kemampuannya akan tetapi cukup hanya dengan melihat bahwa keberadaan manusia dan fenomena-fenomena alam ini membutuhkan kepada adanya pencipta yang Maha Kaya. Ringkasnya akal manusia untuk memahami bahwa setiap ciptaan pasti menunjukkan adanya pencipta tidak perlu pemikiran yang panjang.

CIRI-CIRI PENGETAHUAN KHUSULI
 Ada kemungkinan salah.
 Memakai perantara
 Bisa ditransfer kepada orang lain
 Bersifat perolehan.
 Tidak memiliki degradasi dan tingkatan secara esensial.

PENGENALAN TUHAN LEWAT PENGETAHUAN KHUDURI
Setiap manusia dalam hatinya merasakan kehadiran Tuhan serta merasakan adanya hubungan batin dengan sesuatu yang maha (Tuhan) hanya saja jarang sekali manusia yang menyadari hal itu. Hal ini karena volume pengetahuan khuduri setiap manusia itu berbeda-beda.Dalam hadits Nabi disebutkan adanya penetahuan seperti ini dengan istilah “Al-Fitrah”.

Setiap yang dilahirkan berdasarkan atas fitrah. Imam Ja’far Shodiq a.s. memberika interpretasi tentang pengertian fitrah tersebut, yaitu kecenderungan bertauhid.

CIRI-CIRI PENGETAHUAN KHUDHURI
  • Pengetahuan khudhuri tidak pernah salah. Hal ini disebabkan karena yang mengetahui (alim) dengan yang diketahui (maklum) tidak ada perantara.
  • Pengetahuan khudhuri tidak dapat ditransfer kepada orang lain karena itu bersifat individualis
  • Tidak bersifat iktisaby (perolahan) akan tetapi pemberian Tuhan.
  • Pengetahuan khudhuru memiliki gradasi antar individu yang berbeda.

SEBAB-SEBAB MANUSIA TIDAK MENYADARI ADANYA PENGETAHUAN KHUDHURI
Diantara sebab-sebab manusia tidak menyadari adanya pengetahuan khudhuri terhadap Tuhan antara lain:
 Kecintaan terhadap materi
 Mementingkan ego
 Kemaksiatan dan dosa
 Berpikir tentang keduanya
Baca Lengkap....