Ada tiga term yang digunakan para ahli untuk menunjukkan istilah pendidikan Islam, yaitu ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. HAMKA memosisikan pendidikan sebagai proses (ta’lim) dan menyampaikan sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah kelihatannya mengandung arti yang lebih kompre¬hensif dalam memaknai pendidikan Islam, baik vertikal maupun hori¬zontal. Prosesnya merujuk pada pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik, baik jasmaniah maupun rohaniah. Misi pendidikan Islam menitik-beratkan pada tujuan penghambaan dan kekhalifahan manusia, yaitu hubungan pemeliharaan manusia terhadap makhluk Allah lainnya, sebagai perwujudan tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi, serta hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya secara harmonis. Bila kata tarbiyah ditarik pada pengertian interaksi edukatif, pandangan HAMKA tarbiyah mengandung makna:
HAMKA membedakan makna pendidi-kan dan pengajaran. Menurutnya, pen-didikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.
Dalam mendefinisikan pendidikan dan pengajaran, ia hanya membedakan makna pengajaran dan pendidikan pada pengertian kata. Akan tetapi secara esensial ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut (pendidikan dan pengajaran) merupakan suatu sistem yang saling berkelindan. Setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti bila tidak dibarengi dengan proses pendidikan. Dengan pertautan kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Bila dilihat dari dataran filsafat, batasan definisi pendidikan Islam yang dikemukakannya dapat dipandang sebagai ontologi pendidikan Islam. Definisi di atas merupakan salah satu titik perbedaan pendapatnya dengan batasan pendidikan dewasa ini yang mendikotomikan kedua istilah tersebut secara parsial. Ia mencoba membangun proses pengajaran dan pendidikan dalam sebuah konstruksi yang integral. Dalam pandangannya, proses pendidikan tidak hanya berorientasi pada hal-hat yang bersifat material belaka. Pendekatan yang demikian itu tidak akan dapat membawa manusia kepada kepuasan batin (rohani). Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat mengintegralkan potensi fitrah-Nya yang tinggi dengan potensi akal pikiran, perasaan dan sifat-sifat kemanusiaannya yang lain secara serasi dan seimbang.
Melalui integrasi kedua unsur potensi tersebut, maka peserta didik akan mampu mengetahui rahasia yang tertulis (Al-Qur’an dan Hadis) dan fenomena alam semesta yang tak tertulis (QS. Faathir: 28). Melalui pendekatan ini manusia (peserta didik) akan dapat menyingkap rahasia keagungan dan kebesaran-Nya, sekaligus untuk memper-tebal keimanannya kepada Allah. Namun demikian, pendidikan bukan berarti hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat metafisik belaka. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh, manusia juga memerlukan pendidikan yang bersifat material. Hanya melalui pendekatan kedua proses tersebut, manusia akan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya.
Di sini ia memaknai manusia sebagai khalifah fi al-ardh sebagai makhluk yang telah diberikan Allah potensi akal sebagai sarana untuk mengetahui hukum-Nya, me-nyingkap rahasia alam dan meman-faatkannya bagi kemaslahatan umat manusia.
Menurut HAMKA, melalui akalnya manusia dapat menciptakan peradabannya dengan lebih baik. Fenomena ini dapat dilihat dari sejarah manusia di muka bumi. Disamping itu, fungsi pendidikan bukan saja sebagai proses pengembangan intelektual dan kepribadian peserta didik, akan tetapi juga proses sosialisasi peserta didik dengan lingkungan di mana ia berada. Secara inheren, pendidikan merupakan proses penanaman nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan kepada peserta didik untuk menyatakan pikiran serta mengembangkan totalitas dirinya. Dengan kata lain pendidikan (Islam) merupakan proses transmisi ajaran Islam dari generasi ke generasi berikutnya. Proses tersebut melibatkan tidak saja aspek kognitif pengetahuan tentang ajaran Islam, tetapi juga aspek afektif dan psiko¬motorik (menyangkut bagaimana sikap dan pengamalan ajaran Islam secara kaffah).
HAMKA menekankan pentingnya pendidikan jasmani dan rohani (jiwa yang diwarnai oleh roh agama dan dinamika intelektual) yang seimbang. Integralitas kedua aspek tersebut akan membantu keseimbangan dan kesempurnaan fitrah peserta didik. Hal ini disebabkan karena esensi pendidikan Islam berupaya melatih perasaan peserta didik sesuai dengan fitrah-Nya yang dianugrehkan kepada setiap manusia, se¬hingga akan tercermin dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap semua jenis dan bentuk pengetahuan dipengaruhi nilai-nilai ajaran Islam.
Menurut HAMKA, untuk membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian paripurna, maka eksistensi pendidikan agama merupakan sebuah kemestian untuk diajarkan, meskipun pada sekolah-sekolah umum. Namun demikian, dalam dataran operasional prosesnya tidak ha¬nya dilakukan sebatas transfer of knowledge, akan tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampu membuahkan suatu sikap yang baik (akhlak al-karimah), sesuai dengan pesan nilai ilmu yang dimilikinya. Lembaga pendidikan agama yang tidak mampu membina dan membentuk peserta didik berkepribadian paripuma, samalah kedudukannya dengan lembaga pendidikan umum yang sama sekali tidak mengajarkan agama, sebagaimana yang dikembangkan pada lembaga pen¬didikan kolonial. Hal ini disebabkan, karena secara epistemologi, pada dasarnya ilmu pengetahuan memiliki nilai murni yang bermuara kepada ajaran Islam yang hanif. Pandangannya di atas merupakan kritik terhadap proses pendidikan umat Islam waktu itu. Di mana banyak lembaga pendidikan yang mengajar¬kan agama, akan tetapi tidak mampu ‘mendidikkan’ agama pada pribadi peserta didiknya. Akibat proses yang demikian, mereka memang berhasil melahirkan out put yang memiliki wawasan keagamaan yang luas, dan fasih berbahasa Arab, akan tetapi memiliki budi pekerti yang masih rendah.
Referensi: Nizar, Samsul. 2008. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Grip Jakarta.
- Menjaga dan memelihara per-tumbuhan fitrah (potensi) peserta didik untuk mencapai kedewasaan.
- Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, dengan berbagai sarana pendukung (terutama bagi akal dan budinya).
- Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan dan kesempurnaan seoptimal mungkin.
- Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan diri peserta didik.
HAMKA membedakan makna pendidi-kan dan pengajaran. Menurutnya, pen-didikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.
Dalam mendefinisikan pendidikan dan pengajaran, ia hanya membedakan makna pengajaran dan pendidikan pada pengertian kata. Akan tetapi secara esensial ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut (pendidikan dan pengajaran) merupakan suatu sistem yang saling berkelindan. Setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti bila tidak dibarengi dengan proses pendidikan. Dengan pertautan kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Bila dilihat dari dataran filsafat, batasan definisi pendidikan Islam yang dikemukakannya dapat dipandang sebagai ontologi pendidikan Islam. Definisi di atas merupakan salah satu titik perbedaan pendapatnya dengan batasan pendidikan dewasa ini yang mendikotomikan kedua istilah tersebut secara parsial. Ia mencoba membangun proses pengajaran dan pendidikan dalam sebuah konstruksi yang integral. Dalam pandangannya, proses pendidikan tidak hanya berorientasi pada hal-hat yang bersifat material belaka. Pendekatan yang demikian itu tidak akan dapat membawa manusia kepada kepuasan batin (rohani). Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat mengintegralkan potensi fitrah-Nya yang tinggi dengan potensi akal pikiran, perasaan dan sifat-sifat kemanusiaannya yang lain secara serasi dan seimbang.
Melalui integrasi kedua unsur potensi tersebut, maka peserta didik akan mampu mengetahui rahasia yang tertulis (Al-Qur’an dan Hadis) dan fenomena alam semesta yang tak tertulis (QS. Faathir: 28). Melalui pendekatan ini manusia (peserta didik) akan dapat menyingkap rahasia keagungan dan kebesaran-Nya, sekaligus untuk memper-tebal keimanannya kepada Allah. Namun demikian, pendidikan bukan berarti hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat metafisik belaka. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh, manusia juga memerlukan pendidikan yang bersifat material. Hanya melalui pendekatan kedua proses tersebut, manusia akan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya.
Di sini ia memaknai manusia sebagai khalifah fi al-ardh sebagai makhluk yang telah diberikan Allah potensi akal sebagai sarana untuk mengetahui hukum-Nya, me-nyingkap rahasia alam dan meman-faatkannya bagi kemaslahatan umat manusia.
Menurut HAMKA, melalui akalnya manusia dapat menciptakan peradabannya dengan lebih baik. Fenomena ini dapat dilihat dari sejarah manusia di muka bumi. Disamping itu, fungsi pendidikan bukan saja sebagai proses pengembangan intelektual dan kepribadian peserta didik, akan tetapi juga proses sosialisasi peserta didik dengan lingkungan di mana ia berada. Secara inheren, pendidikan merupakan proses penanaman nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan kepada peserta didik untuk menyatakan pikiran serta mengembangkan totalitas dirinya. Dengan kata lain pendidikan (Islam) merupakan proses transmisi ajaran Islam dari generasi ke generasi berikutnya. Proses tersebut melibatkan tidak saja aspek kognitif pengetahuan tentang ajaran Islam, tetapi juga aspek afektif dan psiko¬motorik (menyangkut bagaimana sikap dan pengamalan ajaran Islam secara kaffah).
HAMKA menekankan pentingnya pendidikan jasmani dan rohani (jiwa yang diwarnai oleh roh agama dan dinamika intelektual) yang seimbang. Integralitas kedua aspek tersebut akan membantu keseimbangan dan kesempurnaan fitrah peserta didik. Hal ini disebabkan karena esensi pendidikan Islam berupaya melatih perasaan peserta didik sesuai dengan fitrah-Nya yang dianugrehkan kepada setiap manusia, se¬hingga akan tercermin dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap semua jenis dan bentuk pengetahuan dipengaruhi nilai-nilai ajaran Islam.
Menurut HAMKA, untuk membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian paripurna, maka eksistensi pendidikan agama merupakan sebuah kemestian untuk diajarkan, meskipun pada sekolah-sekolah umum. Namun demikian, dalam dataran operasional prosesnya tidak ha¬nya dilakukan sebatas transfer of knowledge, akan tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampu membuahkan suatu sikap yang baik (akhlak al-karimah), sesuai dengan pesan nilai ilmu yang dimilikinya. Lembaga pendidikan agama yang tidak mampu membina dan membentuk peserta didik berkepribadian paripuma, samalah kedudukannya dengan lembaga pendidikan umum yang sama sekali tidak mengajarkan agama, sebagaimana yang dikembangkan pada lembaga pen¬didikan kolonial. Hal ini disebabkan, karena secara epistemologi, pada dasarnya ilmu pengetahuan memiliki nilai murni yang bermuara kepada ajaran Islam yang hanif. Pandangannya di atas merupakan kritik terhadap proses pendidikan umat Islam waktu itu. Di mana banyak lembaga pendidikan yang mengajar¬kan agama, akan tetapi tidak mampu ‘mendidikkan’ agama pada pribadi peserta didiknya. Akibat proses yang demikian, mereka memang berhasil melahirkan out put yang memiliki wawasan keagamaan yang luas, dan fasih berbahasa Arab, akan tetapi memiliki budi pekerti yang masih rendah.
Referensi: Nizar, Samsul. 2008. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Grip Jakarta.