Semiotika Komunikasi Alex Sobur: Ideologi dan Mitologi

Ideologi dan mitologi di dalam hidup kita sama dengan kode-kode dalam perbuatan semiotis dan komunikasi kita. Tanpa itu, komunikasi tidak dapat berlangsung (Aart van Zoest, 1980).
Semiotika Komunikasi Alex Sobur: Ideologi dan Mitologi

Istilah ideologi dan mitologi sering disebut dalam analisis-analisis ekonomi-politik. Tidak cuma dalam argumentas akademis yang dibuat oleh para teoretikus kritis, namun juga dalam laporan-laporan jurnalistik. Pemberitaan pers umpamanya, bisa menciptakan citra yang mengandung unsur-unsur mitos. Namun ada gap antara berita yang tak lengkap ata ulasan yang sangat spekulatif dengan realita. Ulasan penulis penulis asing ikut menciptakan unsur-unsur mitos itu.

    Istilah mitos juga kerap dipakai dalam pemikiran ekonom politik, cuma saja dalam penggunaan yang lebih proporsional. Analisis ekonomi-politik sering merupakan kritik terhadap pemikiran ekonomi konvensional. Keduanya menggunakan paradigma yang berbeda. Karena itu penglihatan keduanya mengenai hal yang sama menghasilkan kesimpulan yang boleh jadi berbeda, bahkan bertentangan. Seringkali hasil pemikiran ekonomi konvensional dikatakan pengkritik ekonomi-politik sebagai tidak berdasarkan fakta empiris, bias kepada kepentingan kelas atau menyesatkan; misalnya, tentang soal pangan dan kelaparan dunia.

    Sepuluh pandangan yang "tak benar” tentang masalah pangan dunia itu, misalnya, disebut oleh Francess Moore Lappe & Joseph Collins sebagai mitos-mitos dalam bukunya World Hunger: 10 Myth (1979, 1982, dikutip Rahardjo, 1996:192). Salah satu gejala yang disebut mitos itu adalah tentang pendapat dominan bahwa kelaparan yang terjadi di berbagai tempat di dunia adalah karena kelangkaan (scarcity). Padahal menurut data yang mereka peroleh, produksi pangan dunia itu sebenarnya lebih dari cukup untuk kebutuhan pangan seluruh umat manusia.

    Boleh jadi, mitos adalah kebutuhan manusia. Itulah sebabnya mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi, sebagaimana dikatakan Barthes dalam bukunya Mythologies (1993). Dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa sebagai bentuk simbol dalam komunikasi, mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olah raga dan televisi. Gejala ini memang kita saksikan sehari-hari, terutama dalam advertensi lewat televisi.

    Dikaitkan dengan ideologi maka, seperti dikatakan van Zoest (1980), “ideologi dan mitologi di dalam hidup kita sama dengan kode-kode dalam perbuatan semiotis dan komunikasi kita.” Tanpa itu, menurutnya, komunikasi tidak dapat berlangsung. Setiap penggunaan teks, setiap penanganan bahasa, setiap semiosis (penggunaan tanda) pada umumnya hanya timbul berkat suatu ideologi yang secara sadar atau tidak sadar dikenal oleh pemakai tanda. Sebuah teks tak pernah terlepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi.

    1. Peranan ideologi di dalam semiosis

    Peranan ideologi di dalam semiosis acapkali secara praktis jauh menyelinap, sehingga tidak begitu kentara. Van Zoest (1996b:104) mencontohkan, bagaimana kita dapat mengetahui apakah yang dikatakan sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang tidak menyenangkan, bilamana orang mengatakan tentang seseorang “dia sangat sopan”. Di Indonesia, kata van Zoest, ucapan ini mungkin sekali menyenangkan. Di Nederland, hal ini sama sekali tidak pasti. Konotasi kata sopan berhubungan dengan ideologi orang yang berbicara, dan juga berhubungan dengan ideologi orang yang diajak berbicara. Tidak mengetahui konteks dapat menghentikan komunikasi, tetapi tidak mengetahui masalah ideologi, menurut van Zoest, jaun lebih membahayakan: orang tanpa menyadarinya dapat keliru dalam menginterpretasi.

    Balibar dan Macherey (1978), seperti dikutip van Zoest, berpendapat bahwa terutama sastralah yang melakukan manipulasi, meski van Zoest sendiri meragukan apakah benar bahwa “teks sastra sangat ideal untuk mereproduksi ideologi umum karena teks sastra dalam kaitan dengan ideologi-ideologinya yang khas mengenai penulis dan pembaca sebagai subjek yang bebas, tampaknya terlepas dari segala keharusan” (van Zoest, 1980:70). Bagi van Zoest, manipulasi cerita, atau bualan itu, cuma sekadar gaya. Dan itu lebih menyangkut kepada mitos individual.

    Memang dalam sastra, ideologi acapkali memunculkan kejutan, baru dan tak terduga, meski entah dengan cara bagaimana harus ada kontak antara ideologi dan pembaca. Yang jelas, kita bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti pelbagai konotasi yang ada di dalamnya. Salah satu cara adalah mencari mitologi dalam teks-teks semacam itu. Ideologi adalah sesuatu yang abstrak, sementara mitologi (kesatuan mitos-mitos yang koheren) menyajikan inkarnasi makna-makna yang mempunyai wadah dalam ideologi.

    “Ideologi harus dapat diceritakan,” kata van Zoest. Cerita itulah mitos. Setiap bangsa mempunyai cerita-cerita kunonya dan cerita-cerita turun temurun yang disebut mitos mengenai bangsanya. Mitos adalah uraian naratif atau penuturan tentang sesuatu yang suci (sacred), yaitu kejadian-kejadian yang luar biasa, di luar dan mengatasi pengalaman manusia sehari-hari.

    Penuturan itu umumnya diwujudkan dalam dongeng-dongeng, atau legenda tentang dunia supra-natural. Karena itu maka studi tentang mitos biasanya digali dari cerita-cerita rakyat (folklore).

    2. Ideologi dan Mitos Sulit Dipisahkan

    Di negeri kita, mitos terkadang lebih efektif daripada ideologi pada saat-saat kritis seperti tahun 1965, sebab mitos bertumpu pada kepercayaan, sedangkan ideologi pada intelektualitas. Tetapi mitos akan lumpuh pada waktu normal. Jika merujuk pada sejarah, mitos lebih subjektif, ideologi lebih objektif (Kuntowijoyo, 1997:80).

    Meski demikian, antara ideologi dan mitos tampaknya dua hal yang sulit dipisahkan. Karena itulah mengapa ideologi Amerika sering diceritakan dalam mitos-mitos. Lewat film-film, misalnya, kekerasan Amerika disahkan. Tidak hanya pada era film-film koboi tempo dulu yang kerap diperankan aktor John Wayne, namun juga sampai aktor-aktor “keras” masa kini: Stallone dan Swazzenegger.

    Dalam perspektif semiotika, mitos dapat dikaji atau ditemukan jejaknya dengan mencari indikasi fiksional dalam teks, yang secara keseluruhan disajikan sebagai nonfiksional (melalui indikasi nonfiksional dengan sifat referensial: nama-nama orang yang kita kenal sebagai nonfiktif).

    Kelompok indikasi nonfiksional yang paling penting mungkin ialah indikasi peristiwaan. Peristiwa yang diceritakan boleh jadi sedemikian klise atau begitu tak bisa dipercaya sehingga dunia yang digambarkan, yang pada dasarnya nyata, memperlihatkan tanda-tanda dunia fiktif seperti yang kita kenal dalam dongeng dan sebagainya.

    Mitos, yang bisa dibaca pada “tuturan-tuturan” anonim seperti iklan, pers, dan lain-lain, dikendalikan secara sosial dan merupakan suatu "cerminan" yang terbalik: mitos membalik sesuatu yang kultural atau historis menjadi alamiah. Lewat sebuah kajian semiotika, inversi pada mitos ini dapat “dikembalikan” dengan cara memilah amanatnya ke dalam dua buah sistem signifikasi: pertama, sistem konotasi yang petanda-petandanya bersifat ideologis dan, kedua, sistem denotasi yang berfungsi untuk menaturalisasi proposisi dengan cara memberikan sebuah jaminan berupa sesuatu yang paling “inosens”, yaitu bahasa (Budiman, 1999:76).

    Lantas, apa sebetulnya yang disebut ideologi? Apa yang terkandung atau akibat dalam penggunaannya? Apa pula yang dimaksud mitos atau mitologi? Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas, uraian berikut ini mencoba menjelaskannya.

    3. Pengertian dan Teori-Teori Ideologi

    Ternyata, kata ideologi pun ditentukan oleh sejarah. Napoleon dalam kemarahannya terhadap lawan-lawannya menyebut mereka “kaum ideologis”, yaitu dengan konotasi bahwa mereka tidak mau tahu tentang realita-bahwa Napoleon telah menjadi Kaisar Prancis.

    Memang, kata ideologi itu asal-usulnya hanyalah berarti teori gagasan-gagasan. Kaum ideolog, seperti disebut-sebut Napoleon, adalah para anggota kelompok filosofis di Prancis yang dalam tradisi Condillac menolak metafisika dan mencari dasar ilmu-ilmu budaya pada dasar-dasar antropologis dan psikologis (Mannheim, 1991:74).

    Konsep modern tentang ideologi lahir ketika Napoleon yang mendapati bahwa kelompok filsuf ini menentang ambisi-ambisi imperialnya mencemooh dan mencap mereka sebagai ideolog ideolog. Dari situ kata ideologi itu mengalami kemerosotan makna vang seperti kata “doctrinaire”, yang menurut Mannheim (1991:75), kata itu bertahan sampai hari ini.

    Pada akhir abad ke-18, Destut de Tracy memunculkan kata ideologi sebagai istilah yang menunjuk pada “ilmu tentang gagasan” (Kaplan, 2000:154). Secara historis memang istilah ideologi pertama-tama dikemukakan oleh de Tracy, seorang Prancis yang nunya cita-cita membangun suatu sistem pengetahuan, yang ta sebut sebagai “science of ideas” (Pranarka, 1987:415). De Tracy sendiri pernah menduduki jabatan penting sebagai orang yang dipercaya untuk membangun sistem pendidikan di Prancis. Oleh Napoleon orang-orang seperti de Tracy ini disebut sebagai orang-orang yang bermimpi. Maka itu bagi Napoleon, ideologi bukanlah hal yang besar dan terhormat, melainkan merupakan hal yang remeh dan tidak terpakai (walaupun Napoleon sendiri adalah orang yang mempunyai temperamen yang amat ideologikal).

    Di abad ke-19, kata ideologi terutama dipakai dalam arti aliran yang tidak mau mengetahui kenyataan, di mana kenyataan adalah apa yang dianggap benar karena terdapat dalam praktik politik. Dengan adanya kenyataan praktik politik ini, maka dianggap inilah kenyataan dan orang tidak perlu memikirkan persoalannya lagi.

    Mulai saat itulah kata ideologi meninggalkan bidang ilmiah dan mendapat arti politik dan terutama dipengaruhi penggunaannya oleh Marxisme. Marxisme kemudian menggunakan istilah ideologi sebagai senjata melawan middle class dengan pemikiran mereka. Pemikiran middle class disebut teori saja, sementara teori Marxisme disebutnya “satu-satunya ideologi”. Sebaliknya, jika kata ideologi dipakai oleh Marxisme terhadap idea golongan lain, maka ideologi mendapat arti khas, yakni “teori-teori yang menyembunyikan maksud tertentu” (Susanto, 1985:225).

    4. Ideologi Menurut Karl Marx

    Karl Marx, ketika itu, banyak berbicara tentang ideologi. Bahkan salah satu bukunya ia beri judul The German Ideology. Ideologi menjadi vokabuler yang penting di dalam pemikiran politik maupun ekonomi Karl Marx. Bagi Marx, ideologi adalah suatu bagian dari apa yang disebutnya sebagai suprastruktur. Ideologi adalah sebuah wawasan yang dihasilkan oleh kekuatan pada bangunan bawah, yaitu kekuatan yang memiliki faktor-faktor produksi.

    Maka itu ideologi bukanlah wawasan yang sifatnya empirikal, diangkat dari kenyataan-kenyataan. Ideologi adalah sebuah rekayasa mental (Pranarka, 1987:415). Ideologi itu terjadi disebabkan karena kekuatan yang membentuk ideologi itu memerlukannya untuk dapat mempertahankan posisi dan kekuatannya. Makanya ideologi selalu bersifat fungsional. Ideologi tidak berbicara mengenai kebenaran, tidak berbicara mengenai kenyataan empirik, akan tetapi ideologi berbicara mengenai kemanfaatan, kepentingan, kemauan, dan pamrih. Itulah sebabnya maka pada hakikatnya suatu ideologi selalu dipandang sebagai sesuatu yang tidak ilmiah, sesuatu yang tertutup.

    Menurut Marx, semua sistem ekonomi sampai sekaran oleh adanya kelas-kelas bawah dan kelas-kelas atas. Struktur kekuasaan dalam bidang ekonomi itu tercermin juga dalam bidang politik. Salah satu pokok teori Karl Marx adalah bahwa negara secara hakiki merupakan negara kelas, artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi (Magnis-Suseno, 2001:120). Karena itu, menurut Marx, negara bukanlah lembaga di atas masyarakat tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka.

    Jadi, negara pertamatama tidak bertindak demi kepentingan umum, melainkan demi kepentingan kelas-kelas atas. Mengajukan sesuatu sebagai kepentingan umum sebenarnya merupakan kepentingan egois pihak yang berpamrih itulah inti dari apa yang oleh Marx disebut sebagai ideologis.

    “Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi” (Magnis-Suseno, 2001:122).

    Kritik ideologi banyak disebut-sebut para ahli-Karl Mannheim, misalnya sebagai salah satu sumbangan terpenting teori Marx terhadap analisis struktur kekuasaan dalam masyarakat. Karl Mannheim (Sunarto, 2000:33) setuju pada kesimpulan Marx. Bahkan, dia menyumbangkan sebuah analisis ideologi dari perspektif sejarah. Mannheim membandingkan ideologi itu dari satu era ke era yang lain, dengan menyatakan tidak ada ideologi yang dapat dipahami sepenuhnya kecuali hubungan kesejaharahannya jelas mengenai gagasan-gagasan dari era sebelumnya dan meneliti pengaruh dari ideologi sebelumnya itu pada era terkini.

    Istilah ideologi memang seringkali hanya diartikan sebaga sebuah sistem ide seperti ketika orang berbicara tentang ideolog liberal, konservatif, atau sosialis. David Kaplan, misalnya, menggunakan istilah ideologi untuk mengacu kepada kawasan idea sional dalam suatu budaya (Kaplan, 2000:154). Arthur Schlesinger, Jr. melihat, pembedaan antara gagasan (ideas) dengan ideologi adalah hal yang bermanfaat.
    Menurutnya (1960:47): Gagasan atau ide ialah kawasan atau pemahaman tertentu, sedangkan ideologi merupakan kristalisasi gagasan menjadi sistem yang bersifat universal. Gagasan relatif, sedangkan ideologi absolut. Ada orang yang menerima begitu saja pengalamannya yang campur-aduk, tetapi ada pula yang membutuhkan gambaran tentang sosok rasionalitas-akhir semesta ini. Pihak yang disebut belakangan itu mendambakan pola tunggal yang mendasar, yang serba-cakup dan serba menjelaskan serta dapat dipahami manusia dan memberikan serangkaian kaidah yang memadai untuk semua kemungkinan (tak terduga) dalam politik dan kehidupan.
    Bagi Gramsci, ideologi lebih dari sekadar sistem ide. Ia membedakan antara sistem yang berubah-ubah (arbitrary systems) yang dikemukakan oleh intelektual dan filsuf tertentu, dan ideologi organik yang bersifat historis (historically organic ideologies), yaitu ideologi yang diperlukan dalam kondisi sosial tertentu: “Sejauh ideologi itu secara historis diperlukan, ia mempunyai keabsahan yang bersifat psikologis: ideologi ‘mengatur’ manusia, dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka, dan sebagainya” (Simon, 2000:83). Ideologi bukanlah fantasi perorangan, namun terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat. Di sini Gramsci merujuk pada pendapat Marx tentang ‘solidaritas keyakinan masyarakat’.

    Sebenarnya, apa pun dan dari siapa pun yang mencoba merumuskan pengertian ideologi, kita secara singkat dapat mengklasifikasikannya ke dalam tiga pengertian atau kecenderungan: yang positif, yang negatif, dan yang netral.

    5. Positif dan Negatif Ideologi Dikemukakan Jorge Larrain

    Pengertian ideologi secara positif dan negatif dikemukakan Jorge Larrain (dalam Sunarto, 2000:31). Secara positif, ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia (worldview) yang menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial. Pengertian ideologi yang demikian juga tampak dari pendapat Franz MagnisSuseno yang menyatakan “Ideologi sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap-sikap dasar rohani sebuah gerakan, kelompok sosial, atau kebudayaan” (Magnis-Suseno, 1992:230).

    Dalam pengertian netral, ideologi dipersepsi David Kaplan dalam penggunaannya tentang nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang dunia, etos, dan semacamnya. “Kami menggunakannya dalam pengertian netral dan umum seperti dimaksudkan oleh penemunya, yakni de Tracy,” kata Kaplan (2000:154).

    Bagi kebanyakan orang, ideologi mewakili suatu kecenderungan umum untuk menukarkan yang benar dengan apa yang tidak baik bagi kepentingan sendiri. Sekalipun anggapan yang sangat luas tersebar ini tidak harus berarti bahwa ideologi adalah suatu konsepsi palsu mengenai kebenaran, namun anggapan itu mengakui bahwa hanya ada satu ideologi saja yang dapat dikatakan benar; dan ada tanda-tanda bahwa kita dapat menemukan ideologi mana dikatakan Leonard Binder (1966:210), dapat mengajukan suatu pandangan lain yang juga telah tersebar luas bahwa selalu ada dua interpretasi atas setiap cerita. Teori yang kedua ini mengemukakan bahwa mungkin saja ada kebenaran dalam setiap dua macam (atau lebih?) perspektif yang berbeda tentang suatu keadaan yang sama.

    Di mata Binder, anggapan-anggapan mengenai ideologi ini menjadi lebih rumit lagi dengan adanya persoalan yang ketiga, yang dapat dirumuskan dalam suatu ucapan yang sering disebut “things are not what they seem,” apa yang diketahui itu belum tentu sesuai dengan kebenaran (Binder, 1966:210). Persoalan yang ketiga ini, menurut Binder, menyangkut hubungan yang tidak begitu tegas antara dunia pikiran kita dan apa yang ada dalam dunia kenyataan.

    Teori mengenai ideologi terutama mempermasalahkan tiga soal ini (Binder, 1966:21). 
    1. whether or how self or group interest distorts three understanding” (apakah benar dan bagaimanakah lepentingan sendiri dan kepentingan kelompok mengacaukan kemampuan untuk memahami sesuatu);
    2. whether the only validity any ideological view can have is relative to circumstances” (apakah suatu ideologi itu diterima hanya jika sesuai dengan kenyataan); dan
    3. whether empirical observation gives us any test of the validity of an ideology” (apakah observasi empiris dapat memberi kita suatu batu ujian untuk mengetahui validitas suatu ideologi).
    Batas-batas yang inheren dalam kemampuan observasi empass untuk menemukan validitas ideologi, menurut Binder, tidak dengan sendirinya membenarkan pendirian relativis kecuali mempersukar bahkan memustahilkan pembuktian pandangan mana yang benar. “Adalah merupakan sifat manusia, saya kira, untuk selalu berada dalam keadaan ragu-ragu dan berperasaan jangan-jangan lawannya berada pada pihak yang benar,” kata Binder.

    Sebagai implikasi dari keadaan yang rumit ini, di mana relativisme ideologis dipertahankan, baik sebagai asumsi yang valid ataupun yang hanya praktis, kita, ujar Binder, dapat bertanya apakah perspektif-perspektif atau ideologi-ideologi berhubungan dengan sifat-sifat yang tidak berubah dan yang tetap dari setiap kelompok ataukah hal-hal ini berhubungan dengan tingkat-tingkat perkembangan yang universal.

    Apakah tanggapan seseorang mengenai realitas sebenarnya bergantung pada kedudukan sosialnya, ataukah kemampuan seseorang untuk mencapai kemajuan dalam dunia ini bergantung pada pandangannya mengenai sifat dari realitas? Apakah ideologiideologi itu berdasarkan pengalaman-pengalaman dan kenyataan sejarah yang unik yang sedemikian rupa sehingga sangat besar perbedaan-perbedaannya; atau apakah ideologi-ideologi itu berdasarkan tingkat rasionalitas dari tanggapan terhadap dunia?

    6. Perbedaan Pendapat Para Ahli Mengenai Ideologi dan Filsafat

    Dalam hal ini, para ahli mengenai ideologi dan filsafat sangat berbeda pendapat (Binder, 1966:211). Ada yang berat pada pihak yang satu dan ada yang berat pada pihak yang lain, dan ada pula yang di tengah-tengah. Binder dalam hal ini melihatnya sebagai suatu dikotomi yang sederhana. la merumuskan dikotomi ini sebagai “romantik-nasionalis” dan “rasional-evolusionis”. Menurut Binder, kaum rasional-evolusionis telah banyak berjasa dalam memperkaya pengertian kita mengenai ide perkembangan. Biasanya, kata Binder, rumusan ini mengandung tiga tingkat perkembangan ontologis yang harus dilalui oleh setiap bangsa, sekalipun ada ahli-ahli yang mengemukakan dua tingkat saja.

    Ketiga tingkat yang dimaksud Binder itu adalah animisme, spekulasi teologi dan metafisik, serta rasionalitas ilmiah-suatu trias yang mengingatkan kita pada penggunaan yang tidak jelas dan tidak tegas bentuknya dari kata-kata “tradisi” dan “kemodernan". Implikasi dari doktrin yang evolusioner ini adalah, tentunya, bidang ideologi setiap negara harus melalui suatu proses perubahan ide-ide dan nilai-nilai. Rupanya, tandas Binder, proses ini bisa dipercepat dengan menekankan elemen-elemen pikiran-pikiran rasional-ilmiah yang dimiliki secara universal.

    Sementara itu, dalam ilmu-ilmu sosial dikenal dua pengertian mengenai ideologi, yaitu ideologi secara fungsional dan secara struktural (Surbakti, 1992:32). Ideologi secara fungsional diartikan seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik, sedangkan ideologi secara struktural diartikan sebagai sistem kebenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa.

    Sekarang ini tampaknya banyak bermunculan interpretasi baru yang diberikan terhadap nilai-nilai dasar ideologi (Alfian, 1995:90). Ini adalah sesuatu yang wajar mengingat kenyataan bahwa masyarakat mengalami perubahan-perubahan. Mereka beranjak dari suatu realita ke realita yang lain dan baru. Proses perubahan atau perpindahan itu barangkali pada awalnya tidak terasa dan terlihat, namun pada jarak waktu tertentu ia muncul sebagai suatu kenyataan yang amat kentara dan tak mungkin ditolak lagi. Misalnya, masyarakat yang semulanya agraris kemudian mengalami proses industrialisasi, maka pada tingkat tertentu dari proses itu mereka mungkin akan menyadari dan melihat terjadinya perubahan yang mencolok dalam diri mereka.


    Sumber:
    Buku SEMIOTIKA KOMUNIKASI
    Hal: 207-216
    Penulis: Drs. Alex Sobur, M. Si.
    Tahun Terbit: 2003
    Penerbit: Rosda
    Baca Lengkap....

    Paulo Freire dan Wacana Kekuasaan dalam Politik Pendidikan

    Paulo Freire dan Wacana Kekuasaan dalam Politik Pendidikan

    Freire telah membuat salah satu dari banyak konsep kekuasaan yang paling radikal dalam teori sosial kontemporer miliknya. Kekuasaan dipandang sebagai kekuatan yang negatif dan juga positif, sifatnya dialektis tetapi mode of operation-nya selalu represif.

      Menurut Freire, kekuasaan bekerja pada dan melalui masyarakat. Di satu sisi, ini berarti bahwa dominasi tidak pernah sepenuhnya mutlak, yang dalam hal ini kekuasaan bersifat eksklusif dan sebagai kekuatan negatif. Di sisi yang lain, kekuasaan merupakan daya dorong dari semua perilaku manusia di mana masyarakat mempertahankan hidupnya, berjuang dan berusaha mewujudkan cita-cita kehidupannya yang lebih baik.

      Secara umum teori Freire tentang kekuasaan dan gambarannya mengenai sifatnya yang dialektis menunjukkan bahwa fungsi kekuasaan ini sangat penting dan merasuk ke berbagai segi kehidupan.

      Dalam hal ini, kekuasaan tidak dipahami hanya dalam wilayah publik dan pribadi di mana pemerintah, kelas-kelas yang dominan dan kelompok-kelompok lainnya memainkan peran. Kekuasaan itu ada di tangan siapa saja dan menemukan bentuknya dalam ruang publik yang saling beroposisi yang secara tradisional telah kehilangan kekuasaannya dan bentuk bentuk resistensinya.

      Pandangan Freire tentang kekuasaan bukan hanya merupakan cara pandang yang menjadi alternatif dan berguna bagi para teoritisi radikal yang terperangkap dalam keputusasaan dan sinisme, tetapi juga menekankan bahwa kekuasaan itu selalu diikuti dengan pertentangan, ketegangan dan kontradiksi dalam berbagai institusi sosial, seperti sekolah di mana kekuasaan seringkali dianggap sebagai kekuatan positif yang resisten.

      Akhirnya, Freire mengetahui bahwa kekuasaan sebagai sebuah bentuk dominasi tidak dipaksakan pemerintah secara sederhana melalui tangan-tangannya, seperti polisi, tentara dan departemen kehakiman.

      Dominasi dipraktikkan lewat kekuasaan, teknologi dan ideologi yang secara bersama-sama menghasilkan pengetahuan, hubungan sosial dan ekspresi budaya yang berfungsi secara aktif untuk membuat masyarakat diam. Pembicaraan dominasi tidak hanya mengacu pada ekspresi budaya yang mempengaruhi kaum tertindas dalam kesehariannya, namun juga menyangkut bagaimana kaum tertindas ini menginternalisasi pengaruh dan turut melestarikan penindasan tersebut.

      Pembicaraan ini merupakan topik yang sangat penting di dalam buku Freire dan mengindikasikan bagaimana dominasi itu dipraktikkan secara subjektif melalui proses internalisasi dan “pengendapan diri” dalam bentuk-bentuk kebutuhan pribadi.

      Pentingnya menyelidiki dominasi yang menindas secara psikis

      Apa yang sedang kita bicarakan adalah pemikiran Freire tentang betapa pentingnya usaha untuk menyelidiki dominasi yang menindas secara psikis, dan oleh karenanya, juga perlu pengamatan internal terhadap pengetahuan diri dan terhadap bentuk-bentuk emansipasi sosial dan individu.

      Konsep dominasi dan bagaimana kekuasaan bekerja secara represif terhadap jiwa manusia memperluas konsep belajar, termasuk bagaimana manusia belajar tanpa berkata-kata, bagaimana kebiasaan kemudian menjadi sejarah yang beku, dan bagaimana pengetahuan itu sendiri menghambat perkembangan subjektivitas tertentu dan cara manusia menjalani kehidupan di dunia.

      Persepsi terhadap pengetahuan sangat penting karena akan menunjukkan bagaimana perbedaan-perbedaan konsep pengetahuan yang emansipatoris mungkin akan ditolak oleh orang yang mendapatkan keuntungan darinya. Dalam kasus yang seperti ini, masyarakat tertindas mendapatkan akses terhadap logika dominasi mungkin dikarenakan mereka mempertahankan pengetahuan yang bertentangan dengan pandangan dunia mereka.

      Pengetahuan justru turut mempertahankan status quo dominasi ini karena menjadi kekuatan aktif yang bersifat negatif dan menolak untuk melihat adanya kemungkinan lain dalam kehidupan ini. Dengan kondisi yang seperti ini, dari sudut pandang pendidikan muncul pertanyaan, bagaimana para pendidik yang radikal menilai dan mendiskusikan pihak-pihak yang melakukan represi dan yang melupakan tujuan inti dari dominasi?

      Bagaimana penjelasan terhadap kondisi yang tetap menolak untuk mengetahui dan menyelidiki bahwa pengetahuan mengandung kemungkinan yang bertentangan dengan dominasi itu sendiri?

      Pesan Freire dari konsep pendidikannya

      Pesan yang ingin disampaikan Freire dari konsep pendidikannya relatif cukup jelas. Jika pendidik yang radikal mengetahui makna kebebasan, mereka pertama-tama harus menyadari bentuk-bentuk dominasi, di mana dominasi itu tumbuh subur, dan masalah apa yang dihadapi mereka yang ditindas oleh dominasi itu secara subjektif maupun objektif.

      Akan tetapi, proyek ini tidak akan mungkin terlaksana jika mereka tidak mengetahui karakteristik sejarah dan kebudayaan yang spesifik, bentuk-bentuk kehidupan sosial, siapa kelompok penindas dan siapa yang tertindas, sebagai titik awal melakukan analisa. Inilah isu yang diangkat Freire dalam bukunya Politik Pendidikan.


      Sumber:
      Buku Politik Pendidikan (Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan)
      Halaman 16-19
      Penerbit: REaD (Research, Education, and Dialogue) bekerjasama dengan PUSTAKA PELAJAR 2007
      Baca Lengkap....

      Perilaku Belajar Paulo Freire (Mengembangkan Sikap Kritis dalam Belajar)

      Pada saat menulis bibliografi (daftar pustaka) mestinya kita dengan sendirinya mempunyai satu tujuan yaitu untuk memfokuskan atau merangsang keinginan pembaca agar dapat mempelajari lebih lanjut materi yang telah dibacanya.

        Jika sebuah bibliografi tidak mempunyai tujuan seperti itu, jika dalam bibliografi tersebut tampaknya ada sesuatu yang hilang atau tidak menantang pembacanya, maka berkuranglah daya tarik bibliografi tersebut. Sehingga bibliografi menjadi tidak berguna, tertimbun oleh barang-barang lain di dalam laci meja.

        Perilaku Belajar Paulo Freire (Mengembangkan Sikap Kritis dalam Belajar)

        Dalam menyusun bibliografi, ada tiga tipe pembaca yang perlu diperhatikan, yaitu pembaca yang memang menjadi sasaran utama, penulis yang bukunya dicantumkan dalam bibliografi itu sendiri, dan penulis-penulis bibliografi lainnya. Bibliografi tidak dapat disusun hanya dengan menuliskan judul-judul buku secara serampangan apalagi tidak mendasarkan pada sumber yang jelas.

        Lebih dari itu, sebuah bibliografi tidak boleh menjadi bacaan yang dogmatis, justru seharusnya menawarkan tantangan bagi mereka yang membacanya. Tantangan ini menjadi nyata kalau orang mulai mempelajari buku-buku yang ditulis itu, bukan hanya membaca secara serampangan atau hanya membuka-buka halaman demi halaman.

        Sesungguhnya, belajar (studying) itu merupakan pekerjaan yang cukup berat yang menuntut sikap kritis-sistematik (systematic critical attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktik langsung. Sikap kritis manusia sama sekali tidak dapat dihasilkan oleh pendidikan yang bergaya bank (banking education).

        Sebaliknya pendidikan semacam itu justru pada dasarnya membunuh semangat, keingintahuan, dan kreativitas kita. Mata pelajaran sekolah mencerdaskan siswa, tetapi kecerdasan yang hanya berkaitan dengan teks, dan ini tidak akan menjadi kritik yang mendasar terhadap teks itu sendiri.

        Ketika pembaca terlibat dalam proses yang sederhana itu, maka membaca hanya bersifat mekanis, dan proses itu - beserta faktor-faktor yang lain - menggambarkan bagaimana pembaca tidak memfokuskan diri pada buku yang dibacanya tetapi justru memikirkan hal yang lainnya. Intinya dalam pendidikan gaya bank ini, yang dibutuhkan pembaca bukanlah pemahaman akan isi, tetapi sekedar hafalan (memo rization). Sekali lagi bukannya memahami teks, tetapi tugasnya hanya menghafal dan jika siswa melakukannya berarti telah memenuhi kewajibannya.

        Lain halnya dengan visi pendidikan yang kritis: seorang pembaca merasa tertantang oleh teks yang disodorkan padanya dan tujuan membaca adalah untuk memahami (appro priate) makna yang lebih dalam.

        Berikut ini beberapa cara untuk mengembangkan sikap kritis dalam belajar:

        a. Pembaca harus mengetahui peran dirinya

        Tidak mungkin orang dapat belajar secara serius jika motivasi membaca disebabkan oleh ketertarikan terhadap daya pikat kata-kata pengarangnya, terpesona oleh kekuatan magis, atau jika dia bersikap pasif dan menjadi terbelenggu (domes ticated), hanya berusaha menghafal pemikiran pengarangnya, atau jika dia membiarkan dirinya ‘diserbu’ (invaded) oleh pemikiran pengarang, atau jika pembaca dijadikan sebuah ‘bejana’ yang cukup diisi dengan kutipan-kutipan dari teks yang termaktub di dalamnya.

        Mempelajari sebuah teks secara serius memerlukan analisa terhadap sebuah bidang kajian yang ditulis oleh orang yang telah mempelajarinya. Ini juga memerlukan pemahaman terhadap sosio-historis ilmu pengetahuan. Selain itu, pun perlu meneliti isi teks tersebut dan mempelajari pengetahuan-pengetahuan yang lain.

        Belajar adalah sebuah bentuk penemuan kembali (reinventing), penciptaan kembali (recreating), penulisan ulang (rewriting), dan ini merupakan tugas seorang subjek, bukan objek. Selanjutnya, dengan pendekatan ini pembaca tidak dapat memisahkan dirinya dari teks itu karena dia akan, jika dia melakukannya berarti, meninggalkan sikap kritis terhadap teks tersebut.

        Sikap kritis dalam belajar sama dengan sikap yang diperlukan untuk menghadapi dunia (yakni dunia dan kehidupan nyata pada umumnya), untuk bertanya dalam hati, yang dimulai dengan terus mengamati kebenaran yang tersembunyi di balik fakta yang dipaparkan dalam teks-teks.

        Semakin tekun kita belajar semakin kita mempunyai pandangan global dan makin mampu mengaplikasikan nya ketika membaca suatu teks dengan cara memilah-milah komponennya. Membaca ulang sebuah teks untuk mengetahui batasan-batasan komponen tersebut akan menciptakan pemahaman yang lebih signifikan secara keseluruhannya.

        Ketika melihat kata-kata inti dalam indeks, pembaca yang kritis akan terkesima dengan susunan tema yang selalu tidak eksplisit dicantumkan dalam bagian indeks suatu buku. Garis pembatas antara tema-tema tersebut tentu saja akan menjadi kerangka acuan pembaca (frame of reference) sebagai pembaca atau subjek (subject-reader).

        Sewaktu membaca sebuah teks, kita sebagai subjek harus merefleksikan (merenungkan) setiap topik pembicaraan, walaupun bukan merupakan tema utama teks (buku) tersebut. Dengan merenungkannya yang berarti menghubungkan antara tulisan yang kita baca dan pengetahuan yang telah kita miliki sebelumnya, maka sebagai pembaca yang baik kita seharusnya menganalisa teks tersebut, mencari hubungan antara gagasan utama teks tersebut dengan tujuan (kepentingan) membaca.

        Namun demikian, ada sebuah syarat yang perlu diperhatikan: Kita harus menganalisa isi teks dengan cara mengingat apa yang telah kita ketahui sebelum membaca teks tersebut atau sesudahnya, supaya kita tidak dianggap mengkhianati pemikiran utuh penulis.

        Sekali kita telah menemukan titik temu apa yang kita pelajari dengan kepentingan kita, maka harus dibuat catatan tentangnya di sebuah kartu dan diberi judul sesuai dengan topiknya. Kita harus meluangkan waktu untuk memikirkan topik itu ketika teks tadi menawarkan ruang gerak untuk kita. Kemudian, kita dapat melanjutkan membaca, berkonsentrasi pada teks yang mengundang refleksi yang mendalam.

        Dalam analisa akhir, mempelajari sebuah teks de jangan serius, laiknya mempelajari sebuah artikel, mensyaratkan bukan hanya pengamatan yang kritis terhadap isi pokok tetapi juga pengamatan terhadap kepekaan, ketenangan intelektual yang mantap, dan keinginan untuk meneliti.

        b. Pada dasarnya praktik belajar adalah bersikap terhadap dunia

        Karena praktik ini merupakan sikap terhadap dunia, maka praktik ini tidak dapat direduksi menjadi sekedar hubungan antara pembaca dengan teks.

        Sebenarnya sebuah teks merupakan refleksi dan mengekspresikan pergulatan penulis dengan dunia. Dan bahkan ketika seorang penulis tidak begitu mena ruh perhatian terhadap kenyataan yang sesungguhnya, dia tetap akan mengekspresikan bagaimana dia berseteru dengan dunia. Dengan demikian, belajar adalah memikirkan pengalaman, dan memikirkan pengalaman adalah cara terbaik untuk berpikir secara benar.

        Orang yang sedang belajar tidak boleh menghentikan rasa ingin tahunya terhadap orang lain dan kehidupan nyata. Mereka itu selalu bertanya dan berusaha menemukan jawaban, serta terus mencarinya.

        Dengan memelihara sikap ingin tahu ini menyebabkan kita menjadi cekatan (skillfull) dan mendapat banyak keuntungan. Dalam hal ini sebenarnya kita memanfaatkan apa yang telah kita pelajari dalam pergulatan antara pengalaman sehari-hari dan apa yang kita bicarakan.

        Sepercik ide-ide yang seringkali menghantam kita ketika sedang berjalan-jalan adalah akibat dari apa yang disebut Wright Mills dengan file of ideas. Ide-ide itu jika disimpan dengan tepat menjadi tantangan nyata yang harus kita tangkap. Ketika kita memikirkan secara lebih mendalam ide-ide tersebut maka akan menjadi alat refleksi yang lebih tajam pada saat kita membaca sebuah teks.

        c. Kapan saja mempelajari sesuatu kita dituntut menjadi lebih akrab dengan bibliografi yang telah kita baca, dan juga bidang studi secara umum atau bidang studi yang kita alami.

        d. Perilaku belajar mengasumsikan hubungan dialektis antara pembaca dan penulis yang refleksinya dapat ditemukan dalam tema teks tersebut.

        Dialektika ini melibatkan pengalaman sosio-historis dan ideologis penulis, yang tentu tidak sama dengan pengalaman pembaca.

        e. Perilaku belajar menuntut rasa rendah hati (sense of modesty)

        Jika kita benar-benar mempunyai sikap rendah hati dan kritis, kita tidak perlu merasa bodoh sewaktu kita dihadapkan pada kesulitan yang besar untuk memahami makna sebenarnya dari suatu teks. Teks yang kita baca tidak selalu mudah untuk dipahami. Dengan sikap rendah hati dan kritis kita lantas mengetahui bahwa teks tersebut bisa jadi berada di luar kemampuan kita untuk memahaminya, sehingga teks itu menjadi sebuah tan tangan tersendiri.

        Dalam hal ini, apa yang harus kita ketahui adalah pentingnya meningkatkan diri menjadi lebih baik, dan ketika suatu saat nanti kita ‘sudah siap’ maka kita dapat kembali membaca teks tersebut. Sungguh, tidak akan berguna jika kita meneruskan membaca apa yang tidak kita pahami. Sebaliknya, kita mestinya berhenti dan membiarkannya untuk sementara waktu. Memahami suatu teks bukanlah hadiah dari orang lain. Ini membutuhkan kesabaran dan komitmen kita.

        Kualitas perilaku belajar (the act of study) tidak bisa diukur dengan jumlah halaman yang dibaca selama satu malam atau jumlah buku yang dibaca selama satu semester.

        Belajar bukanlah mengkonsumsi ide, namun ciptakan dan terus menciptakan ide.


        Sumber:
        Buku Politik Pendidikan (Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan)
        Bab I Halaman 27 - 33
        Penerbit: REaD (Research, Education, and Dialogue) bekerjasama dengan PUSTAKA PELAJAR 2007
        Baca Lengkap....

        Karakteristik Guru dengan Kemampuan Mengajar yang Unggul

        Karakteristik Guru dengan Kemampuan Mengajar yang Unggul

        Guru harus mampu menginspirasi siswa. Inilah yang disebut guru inspirasional. Guru harus selalu tampil dengan mental yang unggul. Kegiatan mengajar yang unggul dipandang sebagai proses akademik, dimana siswa termotivasi belajar secara berkelanjutan, substansial, dan positif terutama berkaitan dengan bagaimana mereka berpikir, bertindak, dan merasa.

          Keunggulan ini juga bermakna suatu proses yang mengangkat motivasi belajar siswa ke tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan efek mengjar biasa. Kegiatan mengajar semacam ini menginspirasi siswa untuk terus belajar, selayaknya orang terhipnotis karena inspirasi dari gurunya.

          Seorang guru yang sangat baik dipandang sebagai salah satu energi yang memberikan kontribusi positif yang luar biasa terhadap terciptanya suasana belajar siswa, termasuk membangkitkan minat mereka.

          Berdasarkan hasil kajian terhadap beberapa referensi, guru dengan kemampuan mengajar yang unggul memiliki karakteristik seperti berikut ini.

          1. Keahlian pokok

          • memiliki pengetahuan tentang materi pelajaran secara menyeluruh dan menunjukkan antusiasme yang menular untuk itu;
          • menguasai materi lebih jauh dari sekadar yang tertuang dalam buku teks standar;
          • meneliti dan mengembangkan pikiran-pikiran penting dan asli mengenai materi pelajaran khusus;
          • mendalami secara kontinyu mata pelajaran, menganalisis sifat dan cakupan materi pelajaran, dan mengevaluasi kualitas;
          • mengikuti perkembangan secara teratur dalam mata pelajaran terkait dan pengembangan intelektual bidang lain yang menunjang;
          • memiliki minat yang kuat dalam isu-isu yang lebih luas demi pengembangan intelektual yang mengagumkan.

          2. Ahli pedagogis

          • menetapkan tujuan-tujuan pembelajaran yang sesuai dan mampu mengkomunikasinya dengan jelas;
          • menunjukkan sikap positif dan kepercayaan terhadap siswa, serta secara kontinyu bekerja untuk mengatasi kendala yang mungkin menghambat kemajuan belajar;
          • mengevaluasi dan menilai siswa secara adil dan cepat;
          • mendorong siswa berpikir dan memberdayakan diri untuk menemukan kreativitas mereka sendiri;
          • mempromosikan berbagai ide-ide, ekspresi, dan pendapat terbuka yang beragam, dengan tetap menjaga suasana integritas, kesopanan, dan rasa hormat;
          • memandu siswa berhasil belajar melalui eksplorasi proses pemecahan masalah secara kreatif dan kritis, serta dan membantu siswa bergulat dengan ide-ide dan informasi yang mereka butuhkan untuk mengem bangkan pemahaman mereka sendiri;
          • mempromosikan penemuan siswa;
          • menjadikan mengajar dan belajar sebagai kegiatan ilmiah;
          • menunjukkan rasa komitmen yang kuat bagi komunitas akademis di samping keberhasilan pribadi di dalam kelas;
          • memberikan umpan balik secara teratur, konstruktif, dan obyektif untuk siswa;
          • menemukan cara yang unik dan kreatif untuk menghubungkan siswa satu sama lain.

          3. Komunikator yang unggul

          • menunjukkan kemampuan berkomunikasi lisan dan tulisan yang efektif;
          • menunjukkan kemampuan berorganisasi dan keterampilan perencanaan yang baik;
          • membantu siswa belajar menggunakan keterampilan berkomunikasi yang efektif; mendengarkan dengan penuh perhatian, bersemangat, dan menunjukkan keakraban;
          • memanfaatkan alat pembelajaran secara tepat dan efektif; menyederhanakan dan menjelaskan materi pelajaran yang kompleks, serta menghasilkan wawasan yang menginspirasi;
          • menggunakan bahasa sebagai jembatan budaya.

          4. Mentor yang berpusat pada siswa

          • menjadikan dan membuat kegiatan belajar siswa sebagai prioritas tertinggi;
          • menyediakan waktu secara ikhlas untuk mempengaruhi motivasi belajar siswa;
          • berusaha untuk merangsang setiap siswa belajar melalui berbagai metode serta mendorong dan mengundang partisipasi aktif siswa;
          • membantu siswa menghubungkan pengalaman pembelajaran dan memfasilitasi pengembangan pengetahuan dirinya;
          • menyampaikan kepada siswa bahwa mereka harus mampu memahami fakta dengan pemahaman dan aplikasi konsep-konsep;
          • menanamkan keinginan pada siswa untuk belajar seumur hidup;
          • mengilhami mereka untuk mencapai tingkat intelektual yang lebih tinggi dan tidak menyerah ketika menghadapi kesulitan belajar;
          • membuat siswa dengan mudah memahami kepribadiannya.

          5. Asesor yang sistematis dan berkelanjutan

          • mengembangkan dan menggunakan hasil penilaian untuk terus meningkatkan pengalaman belajar siswa sesuai dengan tujuan program;
          • menggunakan pendekatan sistematis untuk menilai kemampuan diri dalam mengajar, menyiapkan bahan belajar yang segar dan baru, membuat perubahan yang sesuai pada saat yang tepat dan menetapkan tujuan yang jelas, serta menunjukkan cara berpikir dan bertindak yang diharapkan dari siswa;
          • menciptakan lingkungan yang mengundang umpan balik siswa yang membangun untuk perbaikan pembelajaran;
          • menyesuaikan gaya mengajar untuk mencapai tujuan belajar siswa yang berhasil;
          • mengakui keterbatasan dan kekurangan sendiri, menerima realitas keterbukaan dan daya kritis siswa, serta belajar dari mereka;
          • mendukung upaya pengujian untuk mengetahui keberhasilan kegiatan pembelajaran.

          Pertanyaan selanjutnya adalah calon guru seperti apa yang diinginkan? Windsor dan Rowland (2005) melakukan survei terhadap sekelompok administrator sekolah mengenai calon guru yang mereka inginkan. Administrator sekolah yang disurvei ternyata menghendaki calon guru yang memiliki sifat-sifat spesifik atau keterampilan yang merupakan ciri khas dari administrators seorang guru yang efektif.

          Karakteristik Calon Guru

          Karakteristik calon guru yang dikehendaki oleh inistrator sekolah di Amerika Serikat disajikan berikut ini.

          1. Memiliki kepribadian yang asli, yaitu tulus dan rendah hati setiap saat.
          2. Memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, tertulis dan lisan. Guru-guru yang memiliki pola berpikir yang buruk atau berkomunikasi dengan cara yang tidak jelas dengan cepat akan membawa guru itu segera "keluar” dari lembaganya bertugas.
          3. Menjadi pendengar yang baik dan memahami apa yang dikomunikasikan kepadanya.
          4. Memiliki sikap yang kooperatif. Calon guru yang dikehendaki adalah individu-individu yang fleksibel dan mudah bekerjasama dengan komunitas sekolah dan masyarakat.
          5. Memiliki pandangan positif pada pengajaran, pembelajaran, dan siswa.
          6. Dapat dipercaya dan diandalkan. Guru harus mampu menampilkan peran guru model untuk siswa dan dia sangat unggul dalam bidang ini.
          7. Memahami apa yang dibutuhkan untuk menjadi guru yang efektif. Mereka harus mengetahui tentang bagaimana siswa belajar dan bagaimana guru mampu memfasilitasi proses pembelajaran.
          8. Dapat mengelola siswa di dalam dan di luar kelas.
          9. Memiliki sikap ambisius untuk mencapai prestasi dan berkinerja terbaik. Administrator sekolah menghendaki guru yang mampu menjadi pemrakarsa kegiatan dan aneka acara. Guru yang mereka kehendaki adalah yang bisa membuat sesuatu benar-benar terwujud.
          10. Memiliki keterampilan kepemimpinan, tampil hati-hati dan tidak berperilaku kasar.
          11. Memiliki pemahaman dasar tentang prinsip-prinsip yang berlaku umum di pendidikan psikologi. Calon guru dapat menggunakan dan mengaplikasikan istilah-istilah seperti "penguatan," "penguasaan," "tujuan pembelajaran," dan "hasil belajar", khususnya ketika berbicara tentang proses belajar.
          12. Memahami materi pelajaran dengan baik dan dapat menyajikannya secara merangsang dan menarik.
          13. Memiliki kemampuan lebih dari satu mata pelajaran. Administrator sekolah menghendaki calon guru yang memiliki kemampuan mengajar untuk lebih dari satu subjek area. Bagi calon guru sekolah dasar, mereka menghendaki calon guru yang memiliki kemampuan dan keterampilan mengajar di berbagai tingkat kelas.
          14. Memiliki harapan atas standar pribadi yang tinggi dan profesional, namun tidak menampilkan kekakuan. Bagi mereka, guru yang baik harus memahami realitas siswanya.
          15. Dapat memodifikasi teknik pengajaran untuk mengakomodasi keragaman kemampuan siswa dan gaya belajar mereka yang berbeda.
          16. Dapat menghubungkan kegiatan mengajar dengan tujuan lain dari aneka kegiatan sekolah.
          17. Mampu mengorganisasikan kegiatan bersama guru lainnya. Juga memiliki kemampuan melakukan tindak lanjut atas aneka kegiatan.
          18. Memiliki selera bagus dalam berpakaian. Bagus dalam berdandan akan sangat mengesankan siswa.
          19. Memiliki selera humor yang baik. Tersenyum atau tertawa adalah jarak terpendek di antara dua orang.
          20. Memiliki semangat untuk berkembang sebagai seorang profesional. Administrator sekolah menghendaki calon guru yang terbuka dengan ide-ide, teknik, dan pendekatan baru yang dapat meningkatkan efektivitas kerja guru secara keseluruhan.

          =============================================
          Sumber: Buku PROFESIONALISME GURU DALAM PEMBELAJARAN
          Penulis: Drs. H. Zainal Aqib, M.Pd.
          Cetakan pertama, 2002 Cetakan kedua, 2007 Cetakan ketiga, 2010
          Percetakan Insan Cendekia, SURABAYA
          Baca Lengkap....

          Ciri-Ciri dan 10 Kualitas Guru yang Baik

          Ciri-Ciri dan 10 Kualitas Guru yang Baik

          Marie F. Hassett mengemukakan bahwa ketika berbicara tentang kualitas mengajar seorang guru, fokusnya berkaitan dengan masalah-masalah teknik, konten, dan presentasi. Tapi pada kenyataannya, banyak orang yang tahu bahwa guru yang memiliki pengetahuan yang luar biasa terkadang gagal berkomunikasi secara baik dengan siswanya.

          Guru semacam ini, di atas kertas sangat hebat penguasaannya di bidang mata pelajaran, tapi sayangnya siswa bosan atau frustrasi ketika menerima pelajaran darinya.

          Banyak orang, termasuk siswa mengakui bahwa mengajar yang baik sering kali tidak terlalu terkait dengan pengetahuan dan keterampilan dibandingkan dengan sikap terhadap siswa, materi yang diajarkan, dan pekerjaan itu sendiri.

          Lalu, bagaimana karakteristik yang menunjukkan guru yang baik itu? Hal ini tidak dimaksudkan untuk menjadikan semua ciri-ciri itu harus dipenuhi seluruhnya. Karena banyak guru yang oleh siswa dinilai sangat baik ternyata hanya memiliki beberapa sifat dominan.

          Karakteristik rinci yang disajikan di sini hanya sebagai pilihan alat yang memungkinkan guru-guru menciptakan dan mempertahankan konektivitas di kelas mereka.

          Guru yang baik memiliki ciri-ciri seperti berikut ini:

          • Memiliki kesadaran akan tujuan;
          • Harapan akan keberhasilan bagi semua siswa;
          • Ambiguitas;
          • Menunjukkan kemauan beradaptasi dan berubah untuk memenuhi kebutuhan siswa;
          • Merasa tidak nyaman jika kurang mengetahui;
          • Mencerminkan komitmen pada pekerjaan mereka, belajar dari berbagai model;
          • Menikmati pekerjaan dan siswa mereka

          10 Kualitas Guru yang Baik

          Semua guru harus menjadi guru yang baik. Kalau ada yang menyatakan bahwa "salah satu tujuan terbesar saya adalah menjadi seorang guru", orang itu sangat potensial akan menjadi guru yang baik. Orang seperti ini biasanya memiliki misi untuk memperoleh pengalaman hidup melalui mengajar orang lain. Orang semacam ini akan menghindari perilaku sebagai guru yang membosankan.

          Kita semua tahu guru itu dikategorikan baik atau buruk ketika melihatnya tampil di kelas dan di luar kelas. Dari situs Ripplesofimprovement.com terungkap top 10 kualitas guru yang baik, yang bukan tidak mungkin sangat sedikit yang memilikinya.

          1. Confidence atau keyakinan diri sendiri

          Guru yang baik tetap memiliki kepercayaan diri, meski sesekali merasakan kemunduran. Guru yang baik menghadapi semua situasi dan waktu yang bisa saja olchnya dianggap sebagai kemunduran. Anak-anak bisa saja kejam. baik sesama rekannya maupun kepada guru. Mereka adakalanya bersikap kurang menyenangkan, terutama anak-anak remaja.

          Ada juga guru yang gugup ketika mengajar. Guru yang lainnya malu malu dan hanya setengah berkomitmen untuk mata pelajaran mereka.

          Tetapi guru yang terbaik menertawakan kesalahan mereka melempar kapur tulis atau menjatuhkan buku. Beberapa guru bingung dan meng banu, meski tetap melanjutkan pelajaran, bahkan kadang-kadang Bercanda yang mengacaukan, Guru-guru tahu mereka manusia biasa akan kesalahannya. Mereka tidak mengambil proporsi pribadi yang terlalu besar dan membiarkan masalah yang membuat mereka marah.

          2. Patience atau kesabaran

          Guru-guru terbaik bisa membantu siswa yang mengalami gangguan mental. Bukan berarti mereka harus tetapi mereka begitu sabar, meski mungkin bukan lagi menjadi tugas utamanya. Guru yang terbaik adalah mereka yang bersedia terus menjelaskan mengetahui, dan akhirnya menerima bahwa hal itu masuk akal. Mereka bersedia menunggu sampai siswa yang mengganggu menjadi tenang dan tidak meninggalkan pelajaran sepenuhnya, apakah materi itu telah jelas atau perlu ditinjau kembali.

          Guru-guru terbaik tidak terjebak dengan hal itu. Mereka bersedia melakukan apa yang diperlukan, tidak peduli berapa lama waktu yang diperlukan.

          3.True compassion for their students atau memiliki rasa kasih sayang sejati pada siswanya

          Barangkali siswa pernah berhadapan dengan seorang guru yang jahat, yang tidak peduli apa alasan siswanya berperilaku ter tentu. Tentu saja ini ada alasannya, meski tidak valid.

          Guru-guru terbaik peduli dengan siswa mereka sebagai individu dan ingin membantunya. Mereka memiliki indera keenam ketika siswa membutuhkan perhatian ekstra dan memberikannya dengan senang hati. Mereka tidak mengharapkan siswa meninggalkan pikiran tentang dunia luar di depan pintu kelas.

          Mereka mengambil waktu untuk mendiskusikan mata pela jaran di luar tugas mengajarnya, dengan mengetahui bahwa kadang kadang pelajaran masih dapat diajarkan tanpa mengikuti buku teks.

          Guru yang baik bersedia berbicara kepada semua siswa dan guru-guru lain, jika perlu. Mereka peduli tentang siswanya meski berada di luar tembok kelas.

          4.Understanding atau pemahaman

          Guru yang baik memiliki pemahaman yang benar prima tentang bagaimana mengajar. Mereka tidak memiliki teknik yang kaku dan bersikeras menggunakannya, sehingga hal itu membantu kelancaran dan kemudahan siswa belajar. Guru yang baik fleksibel dalam gaya mengajar dan menyesuaikannya setiap hari, jika perlu.

          Mereka mengerti hal-hal kecil yang dapat memberi dampak bagi kemampuan siswa untuk belajar, seperti iklim dan suasana di dalam kelas. Dia memiliki pemahaman tentang sifat siswa dan perkembangannya sebagai remaja. Guru yang baik tahu bahwa siswanya tidak suka disebut “masih anak-anak” dengan konotasi "kekanak-kanakan" secara “dihakimi”. Siswa menghendaki agar gurunya memperlakukan mereka sebagai manusia nyata, bukan hanya sebagai "siswa" semata.

          5.The ability to look at life in a different way and to explain a topic in a different way atau kemampuan melihat kehidupan dengan cara yang berbeda dan menjelaskan topik dengan cara yang berbeda.

          Ada banyak gaya belajar yang berbeda di kalangan siswa. Tidak semua siswa dapat menyerap materi pelajaran seperti yang diajarkan oleh setiap guru secara sama cepat. Guru harus memberi perlakuan yang berbeda untuk siswa yang berbeda.

          Guru yang baik tidak menggunakan satu cara untuk semua pokok bahasan yang disajikan. Guru yang baik melakukan perbuatan mengajar berdasarkan bagaimana cara siswanya belajar, meski ini bukan pekerjaan yang mudah.

          Namun, setidaknya bergerak ke arah itu. Cara guru bekerja sangat mungkin bernilai tinggi bagi sebagian siswa, tapi gagal untuk siswa lainnya. Guru-guru yang baik adalah yang mampu mengajar untuk gaya belajar yang berbeda. Jika siswa tidak memahami mata pelajaran, mereka mengajar dengan cara yang berbeda.

          Daripada melihat rumus abstrak, ada baiknya guru menjelaskan rumus dengan gambar yang mewakili.

          6. Dedication to excellence atau dedikasi untuk keunggulan

          Guru yang baik memiliki dedikasi dan menginginkan capaian yang terbaik dari siswa-siswanya dan diri mereka sendiri. Mereka tidak puas dengan nilai siswanya yang kecil, melainkan mengabdikan diri untuk secara penuh menuju kemampuan siswa untuk unggul.

          Guru-guru terbaik mendorong berbagi ide dan menawarkan insentif, tidak harus melakukan pekerjaan rumah setiap sehari, untuk mendapatkan siswa bisa berpikir di luar kotak sekolah.

          Mereka tidak mentolerir guru lain menjelek-jelekan guru lainnya di depan siswa. Mereka akan melakukan yang terbaik untuk menunjukkan bahwa guru-guru lain juga manusia. Mereka mendorong siswa untuk menjadi orang baik, tidak hanya baik dalam mengingat teks, melainkan memahami dan dapat mengaplikasikannya.

          Mereka ingin siswa belajar dan dapat menerapkan apa yang mereka pelajari, tidak hanya sebatas bisa lulus tes.

          7. Unwavering support atau teguh dalam memberikan dukungan

          Guru guru terbaik tahu bahwa setiap siswa dapat melakukan kegiatan belajar dengan baik jika mereka memiliki guru yang tepat. Mereka tidak menerima bahwa sSiswa adalah penyebab kegagalan kegiatan pembelajaran. Mereka mendorong siswa yang frustasi untuk berprestasi dan memberikan keyakinan besar kepada siswanya, bahwa dia bisa memahami materi pelajaran dengan baik.

          Mereka berdiri secara adil di mata siswa, serta tidak memuji satu pihak dan mengejek pihak lain. Kadang-kadang, mereka bahkan memperpanjang waktu mengajar di luar sesi kelas, walaupun ada ejekan siswa lain di lorong sekolah dan itu memang sangat sulit bagi guru untuk menghindarinya.

          Guru-guru terbaik selalu ada di samping siswa jika dia memerlukan bantuan dan dorongan ekstra.

          8. Willingness to help student achieve atau kesediaan untuk membantu siswa mencapai prestasi

          Guru-guru terbaik adalah mereka yang tidak secara otomatis "berhenti mengajar” ketika bel berbunyi. Mereka mengadakan sesi tambahan untuk persiapan tes prestasi siswa (TPS/SAT), dan karenanya mereka memberi pelajaran tambahan bagi siswa setelah sesi kelas.

          Mereka tahu bahwa beberapa hal yang memerlukan perhatian atau bantuan ekstra. Mereka tidak bertindak dengan prinsip: itu bukan tugas saya atau tugas saya sudah selesai.

          Guru melaksanakan pekerjaan secara serius dan tahu bahwa siswa tidak hanya bermaksud mendapatkan nilai matematika yang lebih tinggi, melainkan juga bagaimana manfaatnya dalam kehidupan. Mereka menyadari bahwa prestasi siswa bukan hanya nilai bagus pada ujian, tapi rasa berprestasi dengan menguasai materi pelajaran, dan mereka bersedia bekerja dengan siswa untuk mencapai rasa berprestasi itu.

          9. Pride in student's accomplishments atau bangga atas prestasi siswa

          Guru-guru terbaik sangat bangga dengan siswanya yang mendapatkan nilai yang baik atau memperoleh kehormatan dari masyarakat. Mereka tersenyum dan memberitahu siswanya dan masyarakat, bahwa dia melakukan pekerjaan yang baik demi anak didiknya. Mereka memberitahu guru lainnya tentang bagaimana mereka juga melakukannya. Di luar mungkin dia masih “merasa malu", tetapi di dalam dia bercahaya.

          Guru-guru terbaik merayakan keberhasilan untuk siswa terbaik. Mereka pun merayakan keberhasilan semua siswa, mengetahui bahwa semua siswa mampu melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuannya.

          Mereka optimis dan positif, berfokus pada bagaimana siswa melakukan tugasnya dengan baik, tidak hanya memperhatikan seberapa baik mereka mengajar. Mereka mungkin tahu bahwa prestasi itu adalah hasil kekuatan membantu siswa untuk meneapal prestal, tetapi mereka yakin baliwae siswanya sudah benar-benar bertanggungjawab.

          10. Passion for life atau berairah untuk hidup

          Guru-guru terbaik tidak hanya tertarik pada bidang tugasnya, melainkan juga mereka bersemangat tentang hal itu. Guru-guru terbaik bersemangat tentang hal-hal lainnya. Mereka memuji iklim belajar yang baik dan tersenyum ketika mampu mengambil beberapa menit untuk membahas episode dari sebuah acara yang populer di sebuah jaringan televisi.

          Mereka memiliki energi yang bercahaya dan memberi pewarnaan positif sebanyak mungkin. Mereka menghadapi tugas-tugas sebagai tantangan, bukan rutin semata. Mereka mengambil bola “kurva alam semesta” dan mengubahnya menjadi menyenangkan sebisa mungkin.

          Mereka adalah manusia biasa, tetapi selalu membuat siswa terus maju.


          Sumber:
          Psikologi Pendidikan (Dalam Perspektif Baru)
          Hal 248-253
          Penulis:
          Prof. Dr. Sudarwan Danim
          Dr. H. Khairil
          Baca Lengkap....

          Manusia, Bahasa, dan Komunikasi

          Manusia, Bahasa, dan Komunikasi

          Memahami bahasa tampaknya sebagian besar manusia di dunia kini menghabiskan waktunya dengan bahasa. Para hakim, jaksa, pengacara, dosen, wartawan, penulis, penyiar radio televisi, dan perancangan iklan memperoleh nafkahnya dari kemahiran berbahasa. Bahasa meluber di tempat kita bekerja, di kantor, di bengkel, di toko, atau di mall-mall. Berdebat di ruang pengadilan, belajar di bangku kuliah, mengisi teka-teki silang di kamar penjara, membeli tahu tempe di pasar, semuanya berjalan dengan perantaraan bahasa.

          Itu sebabnya Ariel Heryanto mengibaratkan, kecuali tidur dan mengunyah makanan, hidup ini hampir-hampir tak terbebas dari bahasa buka kurung Heriyanto, 2000: 143). Bahkan, kata Heriyanto lagi, dalam tidur pun ada orang yang berbicara, kalau bukan bermimpi berbincang dengan orang lain titik bahasa kemudian benar-benar menjadi alat penggerak.

          Memang menakjubkan bagaimana bahasa itu bisa menjadi semacam alat penggerak dari jauh dalam satu mekanisme remote control bagi individu yang ratusan ribu jumlahnya. "Dengan bahasa...," kata Jalaludin Rakhmat, "Anda dapat mengatur perilaku orang lain. Ibu anda dari Amerika dapat anda gerakan untuk datang ke rumah kontrakan anda di Bandung dengan mengirimkan kata-kata lewat telepon atau surat. Dengan teriakan 'Bapak!' seorang anak kecil dapat menggerakkan lelaki besar di seberang jalan dengan mendekatinya. Dengan aba-aba maju - jalan, sersang dapat menggerakkan puluhan tentara menghentakkan kakinya dan berjalan dengan langkah langkah tegap" (Rakhmat, 1994:268).

          Inilah kekuatan bahasa, kekuatan kata-kata, the power of words. "Mungkin inilah yang membedakan kita dengan binatang," ujar Rakhmat. "Melalui kata dan logat yang tepat, seseorang dapat menggerakkan dunia," kata Joseph Conrad (Brussel, 1987: 114), bukan suatu perlengkapan yang melengkapi manusia di dunia ini. Di dalam dan pada bahasa letaknya kenyataan bahwa manusia mempunyai dunia. Keberadaan dunia diletakkan secara bahasa titik di dalam bahasa, aspek-aspek dunia terungkap. Mempunyai dunia adalah serentak juga mempunyai bahasa.

          Sepanjang sejarah, kekuatan kata-kata telah memulai dan mengakhiri perang. Kata-kata menggerakkan para pemilih untuk memilih presiden Amerika Serikat dan menyingkirkan politikus lain yang ikut pemilihan presiden. "Pepatah yang mengatakan ‘tongkat dan batu dapat memecahkan tulang-tulang saya’ tetapi kata-kata tidak pernah dapat melukai saya tidak jauh dari kenyataan," kata Curtis, Floyd, dan Winsor (1996: 333).

          Maka, bahasa pun kemudian ikut berfungsi sebagai pengontrol tingkah laku individu. Seseorang ditimbang martabat dan latar belakangnya, apakah ia bangsawan atau bukan, dari cara ia menempatkan kata-kata dari cara ia mengucapkan kalimat. Hal ini bisa terlihat dengan jelas dalam bahasa Jawa, misalnya. Seorang Jawa yang berlaga priayi, tapi tak tahu dimana ia harus menempatkan kata sare dan dimana ia harus menggunakan kata tilem (kedua-duanya berarti tidur,) akan tak diakui sebagai anggota lapisan yang luhur. Setidaknya ia akan dianggap kurang tahu adat.

          Bahasa memang memiliki kemampuan untuk menyatakan lebih dari apa yang disampaikan. "Bahasa lebih dari sekadar alat mengkomunikasikan realitas; bahasa merupakan alat untuk menyusun realitas" (Spradley, 1997: 23). Efek wilayah tak sadar manusia pun bahkan dapat dilihat dalam bahasa dan seringkali tampil dalam bentuk salah ucap (misalnya, keseleo lidah, kelupaan akan nama, dan sebagainya). Wacana komunikasi umumnya terganggu karena wilayah tak-sadar mengalami gangguan tetapi menurut keteraturan struktural tertentu. Dengan cara ini Lacan menghubungkan yang tak-sadar dengan bahasa.

          Sejak dahulu, para ahli pikir menyebut manusia sebagai makhluk yang dilengkapi dengan tutur bahasa (istilah animal rationale berpangkal pada istilah Yunani logon ekhoon: dilengkapi dengan tutur kata dan akal budi). Istilah Yunani logos menunjukkan arti sesuatu perbuatan ataupun isyarat, inti sesuatu hal, cerita, kata ataupun susunan. Logos menunjukkan ke arah manusia yang mengatakan sesuatu mengenai dunia yang mengitari riya.

          Maka itu, para filsuf Yunani berbicara sekaligus mengenai logos di dalam manusia sendiri kata, akal budi) dan logos di dalam dunia (arti, susunan alam raya). Logos berarti mengatakan sesuatu yang komponennya berkaitan yang satu dengan yang lain, karenanya menyesuaikan diri, mendengarkan; kenyataan yang kita tuturkan lewat kata-kata sekaligus terangkum dalam istilah "logos" itu (van Peursen, 1991: 4).

          Hakikat bahasa adalah bahasa tutur (Poepoprodjo, 1987: 110). Begitulah mulanya. Bahasa membahasa dalam bahasa tutur, tidak dalam bahasa tulis: didengar, tidak dilihat. Bahasa terlepas dari proses pelaksanaannya begitu dibahasatuliskan. Bahasa tulis kehilangan daya ekspresif ketimbang bahasa yang diucapkan. Dengan ditulis, bahasa memang dilestarikan, tetapi bahasa pun menjadi lemah.

          Dalam hal ini Gadamer mengutip Plato, yang dalam berbagai karyanya menandaskan kelemahan dan tidak berdayanya bahasa tulis (to asthenes toon logoon). Bahasa, dengan menjadi bahasa tulis, mengalami alienasi. Bahasa tutur, kata Poespoprodjo, memiliki daya pesona yang begitu kuat, namun menjadi kehilangan begitu banyak daya pesonanya manakala diwujudkan ke dalam gambar-gambar visual.

          Karya sastra memakai kata-kata sedemikian rupa guna memaksimumkan daya gunanya, namun banyak daya tenaga nya terserap manakala mendengar sekadar berupa proses visual pembacaan. Munculnya tulisan perlu disyukuri, namun hendaknya jangan dilupakan bahwa bahasa dalam bentuk asalnya mulanya didengar, bukan ditulis (Poespoprodjo, 1987: 110).

          Apa yang dikatakan Poespoprodjo boleh jadi benar. Sebab nyatanya, apa yang disebut bahasa tutur itu memang dapat lebih mudah dipahami ketimbang bahasa tulis. Itu sebabnya Goenawan Mohamad jauh-jauh hari sudah mengingatkan, "Ketika para ahli bahasa kita sibuk memikirkan bahasa tulisan (ejaan adalah sendi pertamanya), kita pun seperti bahwa sekitar 30% bangsa kita tak mengenal bahasa yang disusun dalam huruf Latin itu. Kita lupa pentingnya bahasa lisan, yang mungkin merupakan bahasa komunikasi 75% atau lebih dalam hidup kita: radio, TV, khotbah, pidato di balai desa. Kita lalai barangkali bahwa dengan mem prioritaskan bahasa tulisan, kita memprioritaskan satu segi dari bahasa kita yang terbatas" (Mohamad, 1982: 321).

          Lalu, apakah bahasa itu?

          Dalam pengertian yang populer, bahasa adalah percakapan (Hidayat, 1996:27); sementara dalam wacana linguistik bahasa diartikan sebagai sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran (Wibowo, 2001: 3).

          Pengertian bahasa sebagai percakapan atau pembicaraan, tampaknya tidak sepenuhnya benar, sebab dalam aktivitas berpikir, berbahasa, dan berbicara, masih ada faktor lain yang terlibat. Emosi, misalnya, juga tindakan. Apabila pengertian bahasa hanya ditekankan pada berbicara, maka elemen pokok dalam bahasa pun menjadi sirna. Sebab, bahasa, pikiran, dan emosi tak lagi bisa dipisahkan.

          Menurut Ensiklopedia Indonesia (Bandung/Den Haag, t.t.) kata bahasa berarti “alat untuk melukiskan sesuatu pikiran, perasaan atau pengalaman; alat ini terdiri dari kata-kata. Dalam hubungan antara manusia dan manusia dipakai orang bahasa (kata-kata) itu sebagai simbol (lambang) yang objektif untuk memaparkan sesuatu pikiran atau perasaan yang subjektif”. Kutipan ini dapat diuraikan dan digunakan untuk penelitian yang terinci.

          Dilihat dari sudut ilmu-ilmu sosial, bahasa adalah dasar komunikasi antarmanusia. Tanpa bahasa, perhubungan antarmanusia seperti ini tidaklah mungkin. Dalam pandangan teori linguistik yang dipengaruhi Chomsky, bahasa adalah sejumlah kalimat yang tak terbatas dan setiap kalimat bersifat tunggal-salah setiap kalimat hanya satu kali terbentuk dalam suatu bentuk yang tertentu (Kratz, 1974: 72).

          Lantas, apakah dasar ketunggalan itu?

          Kalimat itu terdiri atas sejumlah tanda bahasa (kata-kata yang terbatas dan yang disebut kode (code). Hanya dengan penyusunan menurut aturan tertentu (kodifikasi), tanda-tanda bahasa ini menjadi ungkapan. Penyusunan ini tidak terjadi menurut sebuah pola yang tunggal-misalnya menurut tata bahasa saja-tetapi dipengaruhi juga oleh hal-hal lain.

          Pengaruh lain misalnya keadaan diri sendiri si pembicara dan keadaan di mana kalimat-kalimat tertentu itu diungkapkan. Keadaan ini disebut persyaratan situasi (situative conditions) dan yang memang tidak pernah sama, seperti ketunggalan setiap pembicara menghasilkan ketunggalan setiap kalimat dalam bahasanya.

          Jumlah tanda-tanda bahasa dalam suatu bahasa tertentu selalu lebih besar daripada jumlah tanda-tanda bahasa yang diketahui oleh seseorang. Pengetahuan yang kuantitatif saja serta kemampuan orang memilih tanda-tanda tertentu untuk mengungkapkan kalimat-kalimat, disebut kemampuan bahasa (language compe tence).

          Semua anggota sesuatu kelompok bahasa disebut pembicara mampu (competent speaker), karena mereka sanggup memilih tanda tanda bahasa dari kodenya yang tersedia, dari bahasa yang mereka kuasai untuk berkomunikasi dengan manusia lain. Jalannya perhubungan itu, ialah penyerahan kemungkinan-kemungkinan bahasa ke dalam ungkapan dan tulisan, disebut performance (penampilan). Kalau seorang pembicara menguasai banyak tanda tanda bahasa maka ia memiliki performans yang baik, kalau pengetahuan tanda-tanda bahasa seorang pembicara sedikit, performansnya disebut kurang baik.

          Jadi, performans itu tergantung kepada kemampuan si pembicara. Dalam arti luas, bahasa dapat ditafsirkan sebagai suatu penukaran (komunikasi) tanda-tanda (dan ini berlaku baik bagi bahasa menurut arti sempit: bahasa kata-kata, maupun mengenai semua tanda Janinnya). Ilmu yang mempelajari komunikasi tanda-tanda itulah yang disebut semiotika.

          Tanah yang luas itu meliputi bidang-bidang yang lebih terbatas, yaitu bahasa-bahasa alamiah dan bahasa-bahasa buatan (logika, aljabar, bahasa komputer, dan sebagainya). Dalam ilmu semiotika, itu dibedakan tiga tahap kaidah-kaidah (dan hal ini juga berlaku, biarpun lebih terinci, bagi bahasa pada umumnya dan bahasa-bahasa yang dibuat secara logis).

          Pertama-tama, terdapat kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antara tanda-tanda atau lambang-lambang itu sendiri: sintaksis. Kemudian, kaidah-kaidah mengenai cara-cara tanda tanda tadi menunjukkan kepada objek-objek tertentu (orang-orang, barang-barang, peristiwa-peristiwa): semantik. Ketiga, kaidah kaidah yang menentukan hubungan semantis tadi dalam konteks yang lebih luas lagi, yakni dalam hubungan dengan si pemakai tanda-tanda: pragmatik.

          Dalam kaitan dengan pengertian bahasa ini, Rakhmat (1994: 268-269) menyebut dua cara untuk mendefinisikan bahasa: fungsional dan formal. Definisi fungsional melihat bahasa dari segi fungsinya, sehingga bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan (socially shares means for expressing ideas).

          Definisi formal menyatakan bahasa sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tata bahasa (all the conceivable sentences that could be generated ac cording to the rules of its grammar). “Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberikan arti,” jelas Rakhmat.

          Berkaitan dengan hakikat bahasa ini, Anderson (1972) mengemukakan delapan (8) prinsip dasar, yaitu:

          1. bahasa adalah suatu sistem
          2. bahasa adalah vokal (bunyi ujaran)
          3. bahasa tersusun dari lambang-lambang mana suka
          4. setiap bahasa bersifat unik, bersifat khas
          5. bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan
          6. bahasa adalah alat komunikasi
          7. bahasa berhubungan erat dengan budaya tempat bahasa itu berada
          8. bahasa itu berubah-ubah.

          Sementara itu, setelah menelaah batasan bahasa dari berbagai sumber, Brown (1980: 5) membuat rangkuman sebagai berikut:

          1. Bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barangkali juga untuk sistem generatif.
          2. Bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer.
          3. Lambang-lambang tersebut terutama sekali bersifat vokal, tetapi mungkin juga bersifat visual.
          4. Lambang-lambang itu mengandung makna konvensional.
          5. Bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi.
          6. Bahasa beroperasi dalam suatu masyarakat bahasa atau budaya.
          7. Bahasa pada hakikatnya bersifat kemanusiaan, walaupun mungkin tidak terbatas pada manusia saja.
          8. Bahasa diperoleh semua orang atau bangsa dengan cara yang hampir/banyak bersamaan; bahasa dan belajar mempunyai ciri-ciri keuniversalan.

          Begitulah pendapat dua orang pakar tentang hakikat bahasa. Meski dengan kata-kata yang agak berbeda di sana-sini, dari kedua pendapat di atas bisa kita lihat banyaknya persamaan pandangan dan gagasan mengenai bahasa itu.

          Bahasa muncul manakala bunyi dan ide tampil bersama dalam obrolan ataupun wacana (discourse). Berbeda dari obrolan yang acapkali tidak memiliki arah, wacana adalah suatu aktivitas pembicaraan yang bersifat dialogis yang memiliki kualitas serta komitmen intelektual untuk memperoleh kebenaran bersama Ormiston & Schrift, 1990: 86-87. Hidayat, 1996:27-28).

          Dalam kaitan ini, berbahasa sebetulnya tidak selalu muncul dalam bentuk dialog, melainkan juga monolog. Hanya saja, ketika seseorang berbicara sendirian, sesungguhnya pembicaraan itu ditujukan kepada orang lain sebagai “pendengar,” yaitu “diri sendiri,” atau bisa jadi kepada figur yang tidak hadir secara nyata, misalnya Tuhan, atau orang yang hadir dalam imajinasinya.

          Pengertian bahwa bahasa adalah percakapan, tidaklah salah, meskipun tidak juga sepenuhnya benar, karena percakapan hanyalah sebagian saja dari elemen bahasa. Dalam tindakan berbahasa, terdapat berbagai variabel yang melekat, antara lain variabel psikis, ide, gerak fisik, jaringan saraf, bahkan juga sistem nilai tempat sebuah bahasa tumbuh dan berkembang. Dalam kasus orang bisu, umpamanya, medium bahasa yang digunakan bukan suara, melainkan gerak anggota tubuh.

          Kesatuan bahasa yang lengkap sebenarnya bukanlah kata atau kalimat, sebagaimana dianggap beberapa kalangan dewasa ini, melainkan wacana (Lubis, 1993: 20). Dikarenakan bahasa merupakan wacana, tempat semua praktik sosial berlangsung, maka bahasa juga dapat dianggap sebagai tempat membentuk individu-individu dalam sistem sosial (Piliang, 1999: 294). Berdasarkan pengertian inilah, dalam suatu wacana, manusia disebut sebagai subjek, yakni individu sebagai pengguna bahasa, yang terlibat di dalam satu sistem pertukaran tanda dengan individu lain dalam satu komunitas.

          Menurut semiotika Saussurean, apa pun bentuk pertukaran tanda, ia harus mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil dan pasti. Coward dan Ellis (dalam Piliang, 1999: 294) melihat ada tiga bentuk utama pertukaran yang digunakan masyarakat dalam mereproduksi sistemnya sendiri (bahasa, seksualitas, dan ekonomi), yang menurut pandangan strukturalisme, masing-masing memerlukan penempatan posisinya yang pasti secara oposisi biner (addresserladdresse, maskulin/ feminin, pembeli/penjual).


          Sumber:
          Buku Semiotika KomunikasiPenulis:
          Drs. Alex Sobur, M. Si.
          Baca Lengkap....

          SKRIPSI: Pengaruh Standardisasi Biaya Produksi Terhadap Total Quality Control

          SKRIPSI: Pengaruh Standardisasi Biaya Produksi Terhadap Total Quality Control

          I. PENDAHULUAN

          A. Latar Belakang

          Upaya untuk menjaga kontinuitas perusahaan, baik multi nasional maupun perusahaan asing dapat berkembang dengan baik maka pemerintah mengambil langkah-langkah dalam hal pengembangan dan pengawasan terhadap kegiatan perusahaan.

          Pengaruh standardisasi yang mempunyai peranan adalah kemampuan manajemen yang dimiliki perusahaan seperti faktor lingkungan usaha yang sering sulit dikendalikan oleh perusahaan, struktur distribusi segi budaya sosial dan etika serta persaingan dalam memasarkan hasil produk.

          Salah satu yang perlu diperhatikan perusahaan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan yaitu pengendalian kualitas produksi. Maju mundurnya suatu perusahaan, baik ditinjau dari penekanan biaya produksi dan daya saing serta penyesuaian dengan konsumen tergantung dan kualitas barang yang dihasilkan.

          Biaya produksi perusahaan diperlukan satu tolak ukur sebagai bahan untuk mengevaluasi dan mengukur tingkat efesiensi dan efektifitas biaya produksi untuk membandingkan hasil yang dicapai dengan yang di harapkan (Carter,2009).

          Biaya standar akan menghasilkan selisih biaya yang ditetapkan sebelumnya dengan biaya sesungguhnya. Cara yang paling tepat untuk mengetahui dan menghitung besarnya penyimpangan yang terjadi dalam biaya produksi adalah dengan menggunakan analisis varians ( Mulyadi,2009).

          Pengendalian kualitas penting untuk dilakukan oleh perusahaan agar produk yang dihasilkan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan perusahaan maupun standar yg telah ditetapkan oleh badan lokal dan internasional yang mengolah tentang standardisasi mutu/kualitas, dan tentunya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh konsumen.

          Mempertahankan hasil produksi yang berkualitas dan bermutu, dengan mempunyai standardisasi biaya yang telah ditetapkan untuk mempertahankan total quality control. Hal ini untuk memperoleh pengakuan dari konsumen (langganan) telah ditentukan produk untuk mengkompensasikan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi barang dan jasa sesuai dengan bidang perusahaan.

          PTP. XIV Pabrik Gula Takalar Kabupaten Takalar penting untuk mempertahankan kualitas produksi (quality control) dengan menggunakan biaya standardisasi yang efisien dan efektif. Keadaan ini merupakan suatu hal yang wajar, karena perusahaan adalah organisasi yang usahanya untuk mencapai kemakmuran.

          Biaya total ataupun biaya per unit harus diketahui untuk menentukan harga jual. Besarnya keuntungan atau kerugian, dapat juga diketahui, sebab tiap-tiap transaksi perusahaan selalu membandingkan biaya (cost) yang disertai dengan pengawasan pada saat berproduksi.

          Berdasarkan uraian tersebut penulis memilih perusahaan PTP. XIV Pabrik Gula Takalar Kabupaten Takalar sebagai obyek penelitian dengan mengangkat judul "Pengaruh Standardisasi Biaya Produksi Terhadap Total Quality Control Pada PTP. XIV Pabrik Takalar Kabupaten Takalar”.

          B. Rumusan Masalah

          Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah Apakah Standardisasi Biaya Produksi berpengaruh terhadap Total Quality Control pada PT. Perkebunan Nusantara (persero) kabupaten Takalar.

          C. Tujuan Penelitian

          Untuk mengetahui pengaruh standardisasi biaya produksi terhadap Total Quality Control pada PT. Perkebunan Nusantara (persero) kabupaten Takalar.

          D. Manfaat penelitian

          a. Manfaat Teoritis
          Sebagai konstribusi pengembangan ilmu akuntansi biaya, khususnya yang terkait dengan pengarus standarisasi biaya produksi terhadap total quality control.

          b. Manfaat Praktis
          Hasil penelitian ini di harapkan dapat berguna sebagai referensi dasar untuk penelitian berikutnya dalam bidang yang sama.

          c. Kebijakan
          Sebagai bahan masukan perusahaan untuk mengevaluasi kembali sistem akuntansi biaya yang ada terutama mengenai standardisasi biaya produksi terhadap total quality control.


          Untuk selengkapnya bisa download melalui TOMBOL DOWNLOAD di bawah!


          Baca Lengkap....

          Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa

          Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa

          Linguis berkata bahwa "speaking is language". Berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh ketrampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar dipelajari.

          Berbicara sudah barang tentu berhubungan erat dengan perkembangan kosakata yang diperoleh oleh sang anak; melalui kegiatan menyimak dan membaca. Kebelum-matangan dalam perkembangan bahasa juga merupakan suatu keterlambatan dalam kegiatan-kegiatan berbahasa.

          Perlu kita sadari juga bahwa keterampilan keterampilan yang diperlukan bagi kegiatan berbicara yang efektif banyak persamaannya dengan yang dibutuhkan bagi komunikasi efektif dalam keterampilan-keterampilan berbahasa yang lainnya im (Greene & Petty, 1971: 39-40).

          Untuk memeroleh gambaran yang lebih jelas, berikut ini akar kita tinjau secara lebih terperinci hubungan antara:

          a) berbicara dan menyimak,
          b) berbicara dan membaca,
          c) ekspresi lisan dan ekspresi tulis.

          1. Hubungan antara berbicara dan menyimak


          Berbicara dan menyimak merupakan kegiatan komunikasi dua arah yang langsung serta merupakan komunikasi tatap-muka atau face- to-face communication (Brooks, 1964: 134).

          Hal-hal yang dapat memperlihatkan eratnya hubungan antara berbicara dan menyimak, adalah sebagai berikut.


          • Ujaran (speech) biasanya dipelajari melalui menyimak dan meniru (imitasi). Oleh karena itu, contoh atau model yang disimak atau direkam oleh sang anak sangat penting dalam penguasaan kecakapan berbicara.
          • Kata-kata yang akan dipakai serta dipelajari oleh sang anak biasanya ditentukan oleh perangsang (stimulus) yang mereka temui (misalnya kehidupan desa/kota) dan kata-kata yang paling banyak memberi bantuan atau pelayanan dalam menyampaikan ide-ide atau gagasan mereka.
          • Ujaran sang anak mencerminkan pemakaian bahasa di rumah dan dalam masyarakat tempatnya hidup. Misalnya, ucapan, intonasi, kosakata, penggunaan kata-kata, dan pola-pola kalimat.
          • Anak yang lebih muda lebih dapat memahami kalimat-kalimat yang jauh lebih panjang dan rumit ketimbang kalimat-kalimat yang dapat diucapkannya.
          • Meningkatkan keterampilan menyimak berarti membantu meningkatkan kualitas berbicara seseorang.
          • Bunyi atau suara merupakan faktor penting dalam meningkatkan cara pemakaian kata-kata sang anak. Oleh karena itu sang anak akan tertolong kalau mereka menyimak ujaran-ujaran yang baik dari para guru, rekaman-rekaman yang bermutu, cerita-cerita yang bernilai tinggi, dan lain-lain.
          • Berbicara dengan bantuan alat-alat peraga (visual aids) akan menghasilkan penangkapan informasi yang lebih baik pada pihak penyimak. Umumnya, sang anak mempergunakan/meniru bahasa yang didengarnya. (Tarigan, 1980: 1 – 2; Dawson [et al], 1963: 29).

          2. Hubungan antara berbicara dan membaca

          Beberapa proyek penelitian telah memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara perkembangan kecakapan berbahasa lisan dan kesiapan baca. Telaah-telaah tersebut memperlihatkan bahwa kemampuan-kemampuan umum berbahasa lisan turut melengkapi suatu latar belakang pengalaman-pengalaman yang menguntungkan.

          Keterampilan-keterampilan tersebut mencakup ujaran yang jelas dan lancar, kosa kata yang luas dan beraneka ragam, penggunaan kalimat-kalimat lengkap serta sempurna bila diperlukan, pembedaan pendengaran yang tepat, dan kemampuan mengikuti serta menelusuri perkembangan urutan suatu cerita, atau menghubungkan kejadian kejadian dalam urutan yang wajar serta logis.

          Hubungan-hubungan antara bidang kegiatan lisan dan membaca telah dapat diketahui dari beberapa telaah penelitian, antara lain:


          • performansi atau penampilan membaca berbeda sekali dengan kecakapan berbahasa lisan.
          • pola-pola ujaran yang tuna-aksara mungkin mengganggu pelajaran membaca bagi anak-anak.
          • kalau pada tahun-tahun awal sekolah, ujaran membentuk suatu dasar bagi pelajaran membaca, maka membaca bagi anak-anak kelas yang lebih tinggi turut membantu meningkatkan bahasa lisan mereka; misalnya: kesadaran linguistik mereka terhadap istilah-istilah baru, struktur kalimat yang baik dan efektif, serta penggunaan kata-akta yang tepat.
          • kosa kata khusus mengenai bahan bacaan haruslah diajarkan secara langsung. Seandainya muncul kata-kata baru dalam buku bacaan siswa, maka sang guru hendaknya mendiskusikannya dengan siswa agar mereka memahami maknanya sebelum mereka mulai membacanya. (Tarigan, 1980: 4; Tarigan, 1980: 6-7, Dawson [et al], 1963:30).

          3. Hubungan antara ekspresi lisan dan ekspresi tulis

          Adalah wajar bila komunikasi lisan dan komunikasi tulis erat sekali berhubungan karena keduanya mempunyai banyak persamaan antara lain:

          (a) Sang anak belajar berbicara jauh sebelum dia dapat menulis dan kosa kata, pola-pola kalimat, serta organisasi ide-ide yang memberi ciri kepada ujarannya merupakan dasar bagi ekspresi tulis berikutnya.

          (b) Sang anak yang telah dapat menulis dengan lancar biasanya dapat pula menuliskan pengalaman pengalaman pertamanya secara tepat tanpa diskusi lisan pendahuluan tetapi dia masih perlu membicarakan ide ide yang rumit yang diperolehnya dari tangan kedua.

          Bila seorang anak harus menulis suatu uraian, menjelaskan suatu proses ataupun melaporkan suatu kejadian sejarah yang secara pribadi belum pernah dialaminya), maka dia memetik pelajaran dari suatu diskusi kelompok pendahuluan.

          Dengan demikian maka dia dapat mempercerah pikirannya, mengisi kekosongan-kekosongan, memperbaiki impresi atau kesan-kesan yang salah, serta mengatur ide-idenya sebelum dia mulai menulis sesuatu.

          (c) Perbedaan-perbedaan terdapat pula antara komunikasi lisan dan komunikasi tulis. Ekspresi lisan cenderung ke arah kurang berstruktur, lebih sering berubah-ubah, tidak tetap, dan biasanya lebih kacau serta membingungkan ketimbang komunikasi tulis.

          Kebanyakan pidato atau pembicaraan bersifat informal, dan seringkali kalimat-kalimat orang yang berpidato atau berbicara itu tidak ada hubungannya satu dan lainnya.

          Si pembicara memikirkan ide-idenya sambil berbicara, dan kerap kali dia lupa bagaimana terjadinya suatu kalimat lama sebelum dia menyelesaikannya. Karena adanya masalah-masalah seperti ini pada ekspresi lisan, pengajaran mengenai keterampilan berbicara dan menyimak perlu mendapat perhatian.

          Pengalaman telah menunjukkan bahwa meningkatkan ekspresi lisan pada individu berarti turut pula meningkatkan daya pikir mereka.

          Membasmi kebiasaan-kebiasaan yang ceroboh ketidakteraturan dalam ujaran, kalimat-kalimat yang tidak menentu ujung pangkalnya serta berulang-ulang, pikiran-pikiran yang tidak sempurna dan tidak konsekuen dalam ekspresi lisan memang sangat perlu dan selalu harus dilakukan agar kita dapat membimbing para individu ke arah kebiasaan berpikir yang tepat dan logis.

          Sebaliknya, komunikasi tulis cenderung lebih unggul dalam isi pikiran maupun struktur kalimat, lebih formal dalam gaya bahasa dan jauh lebih teratur dalam pengertian ide-ide.

          Sang penulis biasanya telah memikirkan dalam-dalam setiap kalimat sebelum dia menulis naskahnya; dia sering memeriksa serta memperbaiki kalimat-kalimatnya beberapa kali sebelum dia menyelesaikan tulisannya.

          (d) Pembuat catatan serta pembuat bagan atau rangka ide-ide yang akan disampaikan pada suatu pembicaraan, akan menolong siswa untuk mengutarakan ide-ide tersebut kepada para pendengar.

          Para siswa harus belajar berbicara dari catatan-catatan. Mereka membutuhkan banyak latihan berbicara dari catatan agar penyajiannya jangan terputus-putus dan tertegun-tegun.

          Biasanya bagan atau rangka yang dipakai sebagai pedoman dalam berbicara sudah cukup memadai, kecuali dalam kasus laporan formal dan terperinci yang memerlukan penulisan naskah yang lengkap sebelumnya.

          ***

          Begitulah, guru bahasa haruslah melihat instruksi atau pengajarannya dalam konteks yang tepat lagi wajar. Sang guru harus melihat bahwa pengajaran menyimak, berbicara, dan menulis itu haruslah sering berhubungan serta berkaitan erat dengan keterampilan berbahasa yang keempat, yaitu membaca.

          Segala usaha yang dilakukan untuk meningkatkan salah satu segi tersebut jelas akan berpengaruh kepada ketiga segi lainnya; dan melalaikan salah satu di antaranya, jelas pula memberi pengaruh jelek pada yang lainnya. Yah, kita harus selalu mengingat bahwa "learning is an ie grated thing" (Dawson [et al], 1063: 30 32; Tarigan, 1980: 571).

          Demikianlah dalam pendahuluan ini telah kita bicarakan sepintas kilas mengenai ketrampilan berbahasa yang dalam bahasa Inggris disebut language (arts and) skills. Istilah art "seni dipergunakan untuk melukiskan sesuatu yang bersifat personal, kreatif, dan.original; sedangkan kata skill "keterampilan" dipakai untuk menyatakan sesuatu yang bersifat mekanis, eksak, impersonal.

          Menyimak dan membaca erat berhubungan dalam hal bahwa keduanya merupakan alat untuk menerima komunikasi. Berbicara dan menulis erat berhubungan dalam hal bahwa keduanya merupakan cara untuk mengekspresikan makna atau arti. Dalam penggunaannya, keempat ketrampilan tersebut sering sekali berhubungan satu sama lain.

          Seorang mahasiswa menulis catatan waktu dia menyimak atau membaca. Seorang pembicara menafsirkan respons pendengaran terhadap suaranya sendiri. Dalam percakapan jelas terlihat bahwa berbicara dan menyimak hampir-hampir merupakan proses yang sama. (Anderson, 1972: 3).


          Sumber:

          Buku Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa (Hal 3 – 8)
          Penulis: Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan
          Penerbit: Angkasa Bandung
          Tahun 1979 (Cetakan Pertama) & Tahun 2008 (Edisi Revisi)
          Baca Lengkap....