Manusia, Bahasa, dan Komunikasi

Manusia, Bahasa, dan Komunikasi

Memahami bahasa tampaknya sebagian besar manusia di dunia kini menghabiskan waktunya dengan bahasa. Para hakim, jaksa, pengacara, dosen, wartawan, penulis, penyiar radio televisi, dan perancangan iklan memperoleh nafkahnya dari kemahiran berbahasa. Bahasa meluber di tempat kita bekerja, di kantor, di bengkel, di toko, atau di mall-mall. Berdebat di ruang pengadilan, belajar di bangku kuliah, mengisi teka-teki silang di kamar penjara, membeli tahu tempe di pasar, semuanya berjalan dengan perantaraan bahasa.

Itu sebabnya Ariel Heryanto mengibaratkan, kecuali tidur dan mengunyah makanan, hidup ini hampir-hampir tak terbebas dari bahasa buka kurung Heriyanto, 2000: 143). Bahkan, kata Heriyanto lagi, dalam tidur pun ada orang yang berbicara, kalau bukan bermimpi berbincang dengan orang lain titik bahasa kemudian benar-benar menjadi alat penggerak.

Memang menakjubkan bagaimana bahasa itu bisa menjadi semacam alat penggerak dari jauh dalam satu mekanisme remote control bagi individu yang ratusan ribu jumlahnya. "Dengan bahasa...," kata Jalaludin Rakhmat, "Anda dapat mengatur perilaku orang lain. Ibu anda dari Amerika dapat anda gerakan untuk datang ke rumah kontrakan anda di Bandung dengan mengirimkan kata-kata lewat telepon atau surat. Dengan teriakan 'Bapak!' seorang anak kecil dapat menggerakkan lelaki besar di seberang jalan dengan mendekatinya. Dengan aba-aba maju - jalan, sersang dapat menggerakkan puluhan tentara menghentakkan kakinya dan berjalan dengan langkah langkah tegap" (Rakhmat, 1994:268).

Inilah kekuatan bahasa, kekuatan kata-kata, the power of words. "Mungkin inilah yang membedakan kita dengan binatang," ujar Rakhmat. "Melalui kata dan logat yang tepat, seseorang dapat menggerakkan dunia," kata Joseph Conrad (Brussel, 1987: 114), bukan suatu perlengkapan yang melengkapi manusia di dunia ini. Di dalam dan pada bahasa letaknya kenyataan bahwa manusia mempunyai dunia. Keberadaan dunia diletakkan secara bahasa titik di dalam bahasa, aspek-aspek dunia terungkap. Mempunyai dunia adalah serentak juga mempunyai bahasa.

Sepanjang sejarah, kekuatan kata-kata telah memulai dan mengakhiri perang. Kata-kata menggerakkan para pemilih untuk memilih presiden Amerika Serikat dan menyingkirkan politikus lain yang ikut pemilihan presiden. "Pepatah yang mengatakan ‘tongkat dan batu dapat memecahkan tulang-tulang saya’ tetapi kata-kata tidak pernah dapat melukai saya tidak jauh dari kenyataan," kata Curtis, Floyd, dan Winsor (1996: 333).

Maka, bahasa pun kemudian ikut berfungsi sebagai pengontrol tingkah laku individu. Seseorang ditimbang martabat dan latar belakangnya, apakah ia bangsawan atau bukan, dari cara ia menempatkan kata-kata dari cara ia mengucapkan kalimat. Hal ini bisa terlihat dengan jelas dalam bahasa Jawa, misalnya. Seorang Jawa yang berlaga priayi, tapi tak tahu dimana ia harus menempatkan kata sare dan dimana ia harus menggunakan kata tilem (kedua-duanya berarti tidur,) akan tak diakui sebagai anggota lapisan yang luhur. Setidaknya ia akan dianggap kurang tahu adat.

Bahasa memang memiliki kemampuan untuk menyatakan lebih dari apa yang disampaikan. "Bahasa lebih dari sekadar alat mengkomunikasikan realitas; bahasa merupakan alat untuk menyusun realitas" (Spradley, 1997: 23). Efek wilayah tak sadar manusia pun bahkan dapat dilihat dalam bahasa dan seringkali tampil dalam bentuk salah ucap (misalnya, keseleo lidah, kelupaan akan nama, dan sebagainya). Wacana komunikasi umumnya terganggu karena wilayah tak-sadar mengalami gangguan tetapi menurut keteraturan struktural tertentu. Dengan cara ini Lacan menghubungkan yang tak-sadar dengan bahasa.

Sejak dahulu, para ahli pikir menyebut manusia sebagai makhluk yang dilengkapi dengan tutur bahasa (istilah animal rationale berpangkal pada istilah Yunani logon ekhoon: dilengkapi dengan tutur kata dan akal budi). Istilah Yunani logos menunjukkan arti sesuatu perbuatan ataupun isyarat, inti sesuatu hal, cerita, kata ataupun susunan. Logos menunjukkan ke arah manusia yang mengatakan sesuatu mengenai dunia yang mengitari riya.

Maka itu, para filsuf Yunani berbicara sekaligus mengenai logos di dalam manusia sendiri kata, akal budi) dan logos di dalam dunia (arti, susunan alam raya). Logos berarti mengatakan sesuatu yang komponennya berkaitan yang satu dengan yang lain, karenanya menyesuaikan diri, mendengarkan; kenyataan yang kita tuturkan lewat kata-kata sekaligus terangkum dalam istilah "logos" itu (van Peursen, 1991: 4).

Hakikat bahasa adalah bahasa tutur (Poepoprodjo, 1987: 110). Begitulah mulanya. Bahasa membahasa dalam bahasa tutur, tidak dalam bahasa tulis: didengar, tidak dilihat. Bahasa terlepas dari proses pelaksanaannya begitu dibahasatuliskan. Bahasa tulis kehilangan daya ekspresif ketimbang bahasa yang diucapkan. Dengan ditulis, bahasa memang dilestarikan, tetapi bahasa pun menjadi lemah.

Dalam hal ini Gadamer mengutip Plato, yang dalam berbagai karyanya menandaskan kelemahan dan tidak berdayanya bahasa tulis (to asthenes toon logoon). Bahasa, dengan menjadi bahasa tulis, mengalami alienasi. Bahasa tutur, kata Poespoprodjo, memiliki daya pesona yang begitu kuat, namun menjadi kehilangan begitu banyak daya pesonanya manakala diwujudkan ke dalam gambar-gambar visual.

Karya sastra memakai kata-kata sedemikian rupa guna memaksimumkan daya gunanya, namun banyak daya tenaga nya terserap manakala mendengar sekadar berupa proses visual pembacaan. Munculnya tulisan perlu disyukuri, namun hendaknya jangan dilupakan bahwa bahasa dalam bentuk asalnya mulanya didengar, bukan ditulis (Poespoprodjo, 1987: 110).

Apa yang dikatakan Poespoprodjo boleh jadi benar. Sebab nyatanya, apa yang disebut bahasa tutur itu memang dapat lebih mudah dipahami ketimbang bahasa tulis. Itu sebabnya Goenawan Mohamad jauh-jauh hari sudah mengingatkan, "Ketika para ahli bahasa kita sibuk memikirkan bahasa tulisan (ejaan adalah sendi pertamanya), kita pun seperti bahwa sekitar 30% bangsa kita tak mengenal bahasa yang disusun dalam huruf Latin itu. Kita lupa pentingnya bahasa lisan, yang mungkin merupakan bahasa komunikasi 75% atau lebih dalam hidup kita: radio, TV, khotbah, pidato di balai desa. Kita lalai barangkali bahwa dengan mem prioritaskan bahasa tulisan, kita memprioritaskan satu segi dari bahasa kita yang terbatas" (Mohamad, 1982: 321).

Lalu, apakah bahasa itu?

Dalam pengertian yang populer, bahasa adalah percakapan (Hidayat, 1996:27); sementara dalam wacana linguistik bahasa diartikan sebagai sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran (Wibowo, 2001: 3).

Pengertian bahasa sebagai percakapan atau pembicaraan, tampaknya tidak sepenuhnya benar, sebab dalam aktivitas berpikir, berbahasa, dan berbicara, masih ada faktor lain yang terlibat. Emosi, misalnya, juga tindakan. Apabila pengertian bahasa hanya ditekankan pada berbicara, maka elemen pokok dalam bahasa pun menjadi sirna. Sebab, bahasa, pikiran, dan emosi tak lagi bisa dipisahkan.

Menurut Ensiklopedia Indonesia (Bandung/Den Haag, t.t.) kata bahasa berarti “alat untuk melukiskan sesuatu pikiran, perasaan atau pengalaman; alat ini terdiri dari kata-kata. Dalam hubungan antara manusia dan manusia dipakai orang bahasa (kata-kata) itu sebagai simbol (lambang) yang objektif untuk memaparkan sesuatu pikiran atau perasaan yang subjektif”. Kutipan ini dapat diuraikan dan digunakan untuk penelitian yang terinci.

Dilihat dari sudut ilmu-ilmu sosial, bahasa adalah dasar komunikasi antarmanusia. Tanpa bahasa, perhubungan antarmanusia seperti ini tidaklah mungkin. Dalam pandangan teori linguistik yang dipengaruhi Chomsky, bahasa adalah sejumlah kalimat yang tak terbatas dan setiap kalimat bersifat tunggal-salah setiap kalimat hanya satu kali terbentuk dalam suatu bentuk yang tertentu (Kratz, 1974: 72).

Lantas, apakah dasar ketunggalan itu?

Kalimat itu terdiri atas sejumlah tanda bahasa (kata-kata yang terbatas dan yang disebut kode (code). Hanya dengan penyusunan menurut aturan tertentu (kodifikasi), tanda-tanda bahasa ini menjadi ungkapan. Penyusunan ini tidak terjadi menurut sebuah pola yang tunggal-misalnya menurut tata bahasa saja-tetapi dipengaruhi juga oleh hal-hal lain.

Pengaruh lain misalnya keadaan diri sendiri si pembicara dan keadaan di mana kalimat-kalimat tertentu itu diungkapkan. Keadaan ini disebut persyaratan situasi (situative conditions) dan yang memang tidak pernah sama, seperti ketunggalan setiap pembicara menghasilkan ketunggalan setiap kalimat dalam bahasanya.

Jumlah tanda-tanda bahasa dalam suatu bahasa tertentu selalu lebih besar daripada jumlah tanda-tanda bahasa yang diketahui oleh seseorang. Pengetahuan yang kuantitatif saja serta kemampuan orang memilih tanda-tanda tertentu untuk mengungkapkan kalimat-kalimat, disebut kemampuan bahasa (language compe tence).

Semua anggota sesuatu kelompok bahasa disebut pembicara mampu (competent speaker), karena mereka sanggup memilih tanda tanda bahasa dari kodenya yang tersedia, dari bahasa yang mereka kuasai untuk berkomunikasi dengan manusia lain. Jalannya perhubungan itu, ialah penyerahan kemungkinan-kemungkinan bahasa ke dalam ungkapan dan tulisan, disebut performance (penampilan). Kalau seorang pembicara menguasai banyak tanda tanda bahasa maka ia memiliki performans yang baik, kalau pengetahuan tanda-tanda bahasa seorang pembicara sedikit, performansnya disebut kurang baik.

Jadi, performans itu tergantung kepada kemampuan si pembicara. Dalam arti luas, bahasa dapat ditafsirkan sebagai suatu penukaran (komunikasi) tanda-tanda (dan ini berlaku baik bagi bahasa menurut arti sempit: bahasa kata-kata, maupun mengenai semua tanda Janinnya). Ilmu yang mempelajari komunikasi tanda-tanda itulah yang disebut semiotika.

Tanah yang luas itu meliputi bidang-bidang yang lebih terbatas, yaitu bahasa-bahasa alamiah dan bahasa-bahasa buatan (logika, aljabar, bahasa komputer, dan sebagainya). Dalam ilmu semiotika, itu dibedakan tiga tahap kaidah-kaidah (dan hal ini juga berlaku, biarpun lebih terinci, bagi bahasa pada umumnya dan bahasa-bahasa yang dibuat secara logis).

Pertama-tama, terdapat kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antara tanda-tanda atau lambang-lambang itu sendiri: sintaksis. Kemudian, kaidah-kaidah mengenai cara-cara tanda tanda tadi menunjukkan kepada objek-objek tertentu (orang-orang, barang-barang, peristiwa-peristiwa): semantik. Ketiga, kaidah kaidah yang menentukan hubungan semantis tadi dalam konteks yang lebih luas lagi, yakni dalam hubungan dengan si pemakai tanda-tanda: pragmatik.

Dalam kaitan dengan pengertian bahasa ini, Rakhmat (1994: 268-269) menyebut dua cara untuk mendefinisikan bahasa: fungsional dan formal. Definisi fungsional melihat bahasa dari segi fungsinya, sehingga bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan (socially shares means for expressing ideas).

Definisi formal menyatakan bahasa sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tata bahasa (all the conceivable sentences that could be generated ac cording to the rules of its grammar). “Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberikan arti,” jelas Rakhmat.

Berkaitan dengan hakikat bahasa ini, Anderson (1972) mengemukakan delapan (8) prinsip dasar, yaitu:

  1. bahasa adalah suatu sistem
  2. bahasa adalah vokal (bunyi ujaran)
  3. bahasa tersusun dari lambang-lambang mana suka
  4. setiap bahasa bersifat unik, bersifat khas
  5. bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan
  6. bahasa adalah alat komunikasi
  7. bahasa berhubungan erat dengan budaya tempat bahasa itu berada
  8. bahasa itu berubah-ubah.

Sementara itu, setelah menelaah batasan bahasa dari berbagai sumber, Brown (1980: 5) membuat rangkuman sebagai berikut:

  1. Bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barangkali juga untuk sistem generatif.
  2. Bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer.
  3. Lambang-lambang tersebut terutama sekali bersifat vokal, tetapi mungkin juga bersifat visual.
  4. Lambang-lambang itu mengandung makna konvensional.
  5. Bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi.
  6. Bahasa beroperasi dalam suatu masyarakat bahasa atau budaya.
  7. Bahasa pada hakikatnya bersifat kemanusiaan, walaupun mungkin tidak terbatas pada manusia saja.
  8. Bahasa diperoleh semua orang atau bangsa dengan cara yang hampir/banyak bersamaan; bahasa dan belajar mempunyai ciri-ciri keuniversalan.

Begitulah pendapat dua orang pakar tentang hakikat bahasa. Meski dengan kata-kata yang agak berbeda di sana-sini, dari kedua pendapat di atas bisa kita lihat banyaknya persamaan pandangan dan gagasan mengenai bahasa itu.

Bahasa muncul manakala bunyi dan ide tampil bersama dalam obrolan ataupun wacana (discourse). Berbeda dari obrolan yang acapkali tidak memiliki arah, wacana adalah suatu aktivitas pembicaraan yang bersifat dialogis yang memiliki kualitas serta komitmen intelektual untuk memperoleh kebenaran bersama Ormiston & Schrift, 1990: 86-87. Hidayat, 1996:27-28).

Dalam kaitan ini, berbahasa sebetulnya tidak selalu muncul dalam bentuk dialog, melainkan juga monolog. Hanya saja, ketika seseorang berbicara sendirian, sesungguhnya pembicaraan itu ditujukan kepada orang lain sebagai “pendengar,” yaitu “diri sendiri,” atau bisa jadi kepada figur yang tidak hadir secara nyata, misalnya Tuhan, atau orang yang hadir dalam imajinasinya.

Pengertian bahwa bahasa adalah percakapan, tidaklah salah, meskipun tidak juga sepenuhnya benar, karena percakapan hanyalah sebagian saja dari elemen bahasa. Dalam tindakan berbahasa, terdapat berbagai variabel yang melekat, antara lain variabel psikis, ide, gerak fisik, jaringan saraf, bahkan juga sistem nilai tempat sebuah bahasa tumbuh dan berkembang. Dalam kasus orang bisu, umpamanya, medium bahasa yang digunakan bukan suara, melainkan gerak anggota tubuh.

Kesatuan bahasa yang lengkap sebenarnya bukanlah kata atau kalimat, sebagaimana dianggap beberapa kalangan dewasa ini, melainkan wacana (Lubis, 1993: 20). Dikarenakan bahasa merupakan wacana, tempat semua praktik sosial berlangsung, maka bahasa juga dapat dianggap sebagai tempat membentuk individu-individu dalam sistem sosial (Piliang, 1999: 294). Berdasarkan pengertian inilah, dalam suatu wacana, manusia disebut sebagai subjek, yakni individu sebagai pengguna bahasa, yang terlibat di dalam satu sistem pertukaran tanda dengan individu lain dalam satu komunitas.

Menurut semiotika Saussurean, apa pun bentuk pertukaran tanda, ia harus mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil dan pasti. Coward dan Ellis (dalam Piliang, 1999: 294) melihat ada tiga bentuk utama pertukaran yang digunakan masyarakat dalam mereproduksi sistemnya sendiri (bahasa, seksualitas, dan ekonomi), yang menurut pandangan strukturalisme, masing-masing memerlukan penempatan posisinya yang pasti secara oposisi biner (addresserladdresse, maskulin/ feminin, pembeli/penjual).


Sumber:
Buku Semiotika KomunikasiPenulis:
Drs. Alex Sobur, M. Si.