Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903. Ia
menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang
dikenal, yaitu Rahadijan Yamin. Di zaman penjajahan, Yamin termasuk segelintir
orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan menengah dan tinggi.
Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya
kesusastraan Belanda.
Pendidikan
yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di
Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan
dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS) “Sekolah
Menengah Umum” di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan di AMS
setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun.
Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari
kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa
Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja ia
berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang
dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak
mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa
Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer.
Muhammad Yamin |
Setamat AMS
Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat
berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal
dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang
peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal,
belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin
melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil
mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’ pada tahun 1932. Sebelum
tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan
kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia
merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Yong Sumatramen Bond
‘Organisasi Pemuda Sumatera’ (1926–1928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober
1928) secara bersama disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain
adalah Partindo (1932–1938).
Pada tahun
1938-1942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai
anggotaVolksraad ‘Dewan Perwakilan Rakyat’. Setelah kemerdekaan Indonesia
terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara
lain, adalah Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan
Kebudayaan (1953–1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan
Pengawas IKBN Antara (1961–1962).
Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun perjuangan kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan luas. Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya. Barangkali halini merupakan pengaruh lingkungan keluarganya karena ayah ibu Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau. Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914. Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.
Pada tahun 1928 Yamin menerbitkan kumpulan sajaknya yang berjudul Indonesia, Tumpah Darahku. Penerbitan itu bertepatan dengan Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda yang terkenal itu. Dalam kumpulan sajak ini, Yamin tidak lagi menyanyikan Pulau Perca atau Sumatera saja, melainkan telah menyanyikan kebesaran dan keagungan Nusantara. Kebesaran sejarah berbagai kerajaan dan suku bangsa di Nusantara seperti kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Pasai terlukis dalam sajak-sajaknya. Dalam salah satu sajaknya, ia mengatakan demikian: ‘….. kita sedarah sebangsa/Bertanah air di Indonesia’.
Patriotisme Yamin yang juga mengilhami untuk menumbuhkan kecintaan pada bangsa dan sastra. Yamin melihat adanya hubungan langsung antara patriotisme yang diwujudkan lewat kecintaan pada bahasa dan pengembangan sastra Indonesia. Sebagai penyair yang kecintaannya pada bahasa nasionalnya berkobar-kobar, ia cenderung mengekspresikan rasa estetisnya dalam bahasa nasionalnya dengan harapan kesusastraan baru akan tumbuh lebih pesat.
Di Jakarta, dalam usia 59 tahun, yaitu pada tanggal 17 Oktober 1962, Muhammad Yamin tutup usia. Walaupun pada masa dewasanya ia praktis meninggalkan lapangan sastra dan lebih banyak berkecimpung dalam lapangan politik dan kenegaraan ia telah meninggalkan karya-karya yang berarti dalam perkembangan sastra Indonesia. Di samping menulis sajak, misalnya Ken Arok dan Ken Dedes (1943) dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932?). Yamin memang banyak menaruh minat pada sejarah, terutama sejarah nasional. Baginyta sejarah adalah salah satu cara dalam rangka mewujudkan cita-cita Indonesia Raya. Dengan fantasi seorang pengarang roman dan dengan bahasa yang liris, ia pun menulis Gadjah Mada (1946) dan Pangeran Diponegoro (1950). Ia banyak pula menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia, antara lain karya sastrawan Inggris William Shakespeare (1564–1616) berjudul Julius Caesar (1952) dan dari pengarang India Rabindranath Tagore (1861–1941) berjudul Menantikan Surat dari Raja dan Di Dalam dan Di Luar Lingkungan Rumah Tangga.
~~Semoga Bermanfaat~~