Filsafat Pendidikan Islam - Ruang Lingkup Pemikiran Filsafat

Ruang Lingkup Pemikiran Filsafat

Dalam rangka menggali, menyusun, dan mengembangkan pemikiran kefilsafatan tentang pendidikan, terutama pendidikan Islam, kiranya perlu diikuti pola dan sistem pemikiran dan kefilsafatan pada umumnya.

Adapun pola dan sistem pemikiran kefilsafatan sebagai suatu ilmu adalah sebagai berikut.



    Sistem Pemikiran Kefilsafatan

    1. Pemikiran kefilsafatan harus bersifat sistematis, dalam arti bahwa cara berpikirnya bersifat logis dan rasional tentang hakikat permasa- lahan yang dihadapi. Hasil pemikirannya tersusun secara sister natis, artinya satu bagian dengan bagian lainnya saling berhubungan secara bulat dan terpadu.
    2. Tinjauan terhadap permasalahan yang dipikirkan bersifat radikal, artinya menyangkut persoalan-persoalan mendasar sampai ke akar-akarnya.
    3. Ruang lingkup pemikirannya bersifat universal, artinya persoalan- persoalan yang dipikirkan mencakup hal-hal yang menyeluruh dan mengandung generalisasi bagi semua jenis dan tingkat kenyataan yang ada di alam ini, termasuk kehidupan umat manusia, baik di masa sekarang maupun di masa mendatang.
    4. Meskipun pemikiran yang dilakukan lebih bersifat spekulatif, artinya pemikiran yang tidak didasari pembuktian-pembuktian empiris atau eksperimental (seperti dalam ilmu alam), tetapi mengandung nilai- nilai objektif, oleh karena permasalahannya adalah suatu realitas (kenyataan) yang ada pada objek yang dipikirkannya.

    Ruang Lingkup Bidang

    Pola dan sistem berpikir filosofis demikian dilaksanakan dalam ruang lingkup yang menyangkut bidang-bidang sebagai berikut.
    • Cosmologi, yaitu suatu pemikiran dalam permasalahan yang berhubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu, kenyataan hidup manusia sebagai ciptaan Tuhan, serta proses kejadian dan perkembangan hidup manusia di alam nyata, dan sebagainya.
    • Ontologi, yaitu suatu pemikiran tentang asal usul kejadian alam semesta, dari mana dan ke arah mana proses kejadiannya. Pemikiran ontologis akhimya akan menentukan suatu kekuatan yang menciptakan alam semesta ini, apakah Pencipta itu Satu Zat (Monoisme) ataukah Dua Zat (Dualisme) atau banyak Zat (Pluralisme). Dan apakah kekuatan penciptaan alam semesta ini bersifat kebendaan ataukah roh. Bilamana kekuatan itu bersifat kebendaan, paham ini disebut materialisme dan bila bersifat roh, paham ini disebut spiritualisme (serba roh).
    • Philosophy of mind, yaitu pemikiran filosofis tentang jiwa dan bagaimana hubungannya dengan jasmani serta bagaimana tentang kebebasan berkehendak manusia (free will), dan sebagainya.
    • Epistemologi, yaitu pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh; apakah dari akal pikiran (aliran Rasionalisme) atau dari pengalaman pancaindra (aliran Empirisme) atau dari ide-ide (aliran Idealisme) atau dari Tuhan (aliran Teologisme). Juga pemikiran tentang validitas pengetahuan manusia, artinya sampai di mana kebenaran pengetahuan kita. Hal ini menimbulkan berbagai paham seperti idealisme yang beranggapan bahwa kebenaran itu terletak dalam ide, sedang realisme beranggapan bahwa kebenaran terletak pada kenyataan yang ada (realitas). Juga paham pragmatisme bahwa kebenaran itu terletak pada kemanfaatan atau kegunaannya, bukan pada ide atau realitas.
    • Aksiologi, yaitu suatu pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan. Misalnya, nilai moral, nilai agama, nilai keindahan (estetika). Aksiologi ini mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau higher values of life (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf lebih tinggi).

    Pola dan sistem berpikir filosofis dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan, manusia, dan alam sekitar di atas, menjadi objek pemikiran Filsafat Pendidikan Islam. Oleh karena Filsafat Pendidikan Islam mempunyai sasaran pembahasan tentang hakikat permasalahan pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam maka pola dan sistem berpikir serta ruang lingkup permasalahan yang dibahas pun harus bertitik tolak dari pandangan Islam. Pandangan Islam adalah prinsip- prinsip yang telah diletakkan olah Allah dan Rasul-Nya dalam kitab suci Alquran dan Al Hadis yang dikembangkan oleh para mujtahid dari waktu ke waktu.

    Adapun pola dan sistem pemikiran filosofis kependidikan yang berdimensi mikro adalah yang menyangkut proses pendidikan yang meliputi tiga faktor, yaitu
    1. pendidik,
    2. anak didik, dan
    3. alat-alat pendidikan, baik yang bersifat materiil maupun nonmateriil.

    Pola Pikir dari pemikir yang berkepribadian muslim

    Dengan demikian, akan tampak jelas bahwa hasil pemikiran filsafat tentang pendidikan Islam itu merupakan pattern of mind (pola pikir) dari pemikir-pemikir yang bernapaskan Islam atau berkepribadian muslim.

    Filsafat pendidikan yang membahas permasalahan pendidikan Islam tidak berarti membatasi diri pada permasalahan yang ada di dalam ruang lingkup kehidupan beragama umat Islam semata-mata, melainkan juga menjangkau permasalahan yang luas yang berkaitan dengan pendidikan bagi umat Islam.

    Dengan demikian, seluruh permasalahan yang menyangkut kehidupan umat manusia yang berpengaruh terhadap kehidupan umat manusia juga termasuk pemikiran Filsafat Pendidikan Islam. Misalnya masalah pendidikan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, masalah perubahan sosial, masalah kependudukan, masalah demoralisasi, dan sebagainya.

    Akan tetapi, semua permasalahan yang bukan agamis (nonreligius) yang menyangkut masalah sosial dan ilmu pengetahuan serta teknologi itu dianalisis secara mendalam, sehingga diperoleh hakikatnya, dari segi pandangan Islam karena filsafat bertugas pokok mencari hakikat dari segala sesuatu. Dan dari hakikat itulah timbul pemikiran teoretis yang pada gilirannya menimbulkan pemikiran tentang strategi dan taktik atau operasionalisasi kependidikan Islam. Dari sinilah timbul pemikiran tentang cara yang tepat untuk melaksanakan ide-ide kependidikan Islam yang dituangkan ke dalam apa yang disebut "Sistem Pendidikan Islam" (hal ini akan dibahas dalam Ilmu Pendidikan Islam secara terpisah).

    Sebagai contoh, dapat kiranya dilihat dari hasil pemikiran para filosof Islam zaman keemasan perkembangan Islam di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Spanyol Islam dari abad ke-7 sampai abad ke-12 Masehi. Pada masa itu lahirlah hasil pemikiran filsafat yang bercorak keislaman dari ahli-ahli pikir besar muslim seperti Al Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyid, Ibnu Khaldun, dan lain-lain. Meskipun pada umumnya mereka memiliki spesialisasi ilmu pengetahuan yang tidak semata-mata "agamis", misalnya ilmu kedokteran, sosiologi, dan sebagainya. Akan tetapi, jiwa dan corak keislamannyalah yang menonjol, karena agama menjadi sumber inspirasi serta motivasi mereka untuk berpikir, menyelidiki, menilai, menyimpulkan, serta menemukan suatu hakikat dari alam raya ini yang bermanfaat bagi umat manusia, yaitu ilmu pengetahuan yang luas dan dalam, meskipun ilmu yang telah mereka ungkapkan itu belum seberapa dibanding dengan ilmu Allah sendiri.

    Di masa itu, Islam telah mampu mendorong para pemikirnya untuk menyelidiki, menganalisis, menemukan, mengembangkan, serta memperluas ilmu pengetahuan, baik yang berasal dari sumbernya yang asli, ajaran agama, maupun dari kebudayaan lain yang diolah sejalan dengan nilai-nilai islami. Kemudian hasil-hasil penemuan yang baru atas analisis keilmuan mereka dapat mempengaruhi dunia Barat, sehingga dunia Barat bangkit untuk mendalaminya."

    Iman dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam

    Iman dan ilmu pengetahuan dalam Islam merupakan dua asas hidup manusia muslim yang saling mempengaruhi dalam pribadinya, sehingga ia terangkat dari keterbelakangan dan kebodohan menjadi pribadi yang bermartabat tinggi di mata Tuhan dan sesama manusia.

    Ajaran yang penuh motivasi untuk maju dalam ilmu pengetahuan seperti terkandung di dalam sabda Nabi di bawah ini benar-benar menjadi daya penggerak para ahli pikir muslim pada zamannya.

    a) Ambillah hikmah dari mana pun datangnya.

    عد الحكْمَةَ مِنْ أَيِّ وعَاء خَرَجَتْ


    b) Hikmah itu merupakan barang yang hilang bagi orang mukmin. Barangsiapa menemuinya, ambillah segera.

    فَالْحَكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤمن أنّى وَجَدَهَا الْتَقَطَهَا


    c) Agama itu adalah akal, barangsiapa tidak berakal, maka ia tidak bisa beragama.

    اَلدِّيْنُ هُوَ الْعَقْلُ لادينَ لَمَنْ لاَعَقْلَ لَهُ


    d) Carilah ilmu pengetahuan walaupun ke negeri Cina.

    أطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصَّيْنَ


    Kata hikmah dari seorang sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. di atas bersum- berkan dari firman Allah yang menyatakan:
    Allah memberi hikmah kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa diberi hikmah oleh Allah, maka sungguh dia akan mendapatkan kebaikan yang banyak.


    Sumber:

    Buku FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM (Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed.)
    Diterbitkan oleh PT Bumi Aksara
    Edisi Revisi
    Cetakan pertama, Oktober 2003
    Cetakan kedua, September 2005
    Cetakan ketiga, April 2008
    Baca Lengkap....

    Mempelajari Filsafat Pendidikan Islam

    Mempelajari Filsafat Pendidikan Islam

    Filsafat Pendidikan pada umumnya dan Filsafat Pendidikan Islam pada khususnya, adalah bagian dari Ilmu Filsafat. Maka, dalam mempelajari filsafat ini perlu memahami lebih dahulu tentang pengertian filsafat terutama dalam hubungannya dengan masalah pendidikan, khususnya pendidikan Islam.

    Secara harfiah, filsafat berarti "cinta kepada ilmu". Filsafat berasal dari kata Philo yang artinya cinta dan Sophos artinya ilmu/hikmah. Secara historis, filsafat menjadi induk segala ilmu pengetahuan yang berkembang sejak zaman Yunani kuno sampai zaman modern sekarang.

      Pengertian Filsafat Pendidikan

      Berikut ini dikemukakan pengertian filsafat dalam kaitannya dengan pendidikan pada umumnya dari beberapa ahli pikir sebagai berikut.

      1. John Dewey


      Ia memandang pendidikan sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju ke arah tabiat manusia dan manusia biasa. Dari itu maka filsafat pendidikan dapat juga diartikan sebagai teori umum pendidikan. John Dewey juga memandang bahwa ada hubungan yang erat antara filsafat dengan pendidikan. Oleh karena itu, tugas filsafat dan pendidikan adalah seiring, yaitu sama-sama memajukan hidup manusia. Ahli filsafat lebih memperhatikan tugas yang berkaitan dengan strategi pembentukan manusia, sedang ahli pendidikan bertugas untuk lebih memperhatikan taktik (cara) agar strategi itu menjadi terwujud dalam kehidupan sehari-hari melalui proses kependidikan.

      2. Menurut Thomson


      Filsafat berarti "melihat seluruh masalah tanpa ada batas atau implikasinya. Ia melihat tujuan-tujuannya, tidak hanya melihat metodenya atau alat-alatnya serta meneliti dengan saksama hal-hal yang disebut kemudian dalam kaitan arti dengan yang terdahulu. Hal itu mengandung arti bahwa perlu bersikap ragu terhadap sesuatu yang diterima oleh kebanyakan orang sebagai hal yang tak perlu dipermasalahkan dan perlu menangguhkan dalam pemberian penilaian sampai seluruh persoalan telah dipikirkan masak- masak. Hal itu memerlukan usaha untuk berpikir secara konsisten dalam pribadinya (self consistency) serta tentang hal-hal yang dipikirkannya itu tidak mengenal kompromi.

      Jadi, di sini filsafat dipandang sebagai suatu bentuk pemikiran yang konsekuen, tanpa kenal kompromi tentang hal-hal yang harus diungkap secara menyeluruh dan bulat. Keseluruhan dan kebulatan masalah yang dipikirkan oleh filsafat itu tidak lain adalah untuk menemukan hakikat dari masalah itu. Sedang suatu hakikat tidak dapat ditetapkan melalui kompromi.

      3. Van Cleve Morris


      Van Cleve Morris menyatakan, "Secara ringkas kita mengatakan bahwa pendidikan adalah studi filosofis, karena ia pada dasarnya bukan alat sosial semata untuk mengalihkan cara hidup secara menyeluruh kepada setiap generasi, tetapi ia juga menjadi agen (lembaga) yang melayani hati nurani masyarakat dalam perjuangan mencapai hari depan yang lebih baik.”

      Jadi, dilihat dari tugas dan fungsinya, pendidikan harus dapat menyerap, mengolah, dan menganalisis serta menjabarkan aspirasi dan idealitas masyarakat. Pendidikan harus mampu mengalihkan dan menanamkan aspirasi dan idealitas masyarakat itu ke dalam jiwa generasi penerusnya. Untuk itu, pendidikan harus menggali dan memahaminya melalui pemikiran filosofis secara menyeluruh, terutama tentang problemanya.

      4. Brubacher, ahli filsafat pendidikan Amerika


      Ia berpendapat bahwa, "Ada pendapat yang menyatakan tidak ada filsafat pendidikan sama sekali. Menganggap filsafat yang berpredikat pendidikan, sebenarnya seperti menaruh sebuah kereta di depan seekor kuda. Filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggang pendidikan. Pendapat lainnya menyatakan bahwa filsafat pendidikan itu dapat berdiri sendiri secara bebas. Ia memperoleh keuntungan karena punya kaitan dengan filsafat umum, meskipun kaitan demikian tidak penting. Oleh karenanya ada pendapat yang menyatakan bahwa telah terjadi perpaduan antara pandangan filosofis dengan filsafat pendidikan. Oleh karenanya, filsafat diartikan sebagai teori pendidikan dalam segala tahap."

      Dengan demikian, jelaslah filsafat pendidikan itu adalah filsafat yang memikirkan tentang masalah kependidikan. Oleh karena ada kaitan dengan pendidikan, filsafat diartikan sebagai teori pendidikan dengan segala tingkat. Sebenarnya, masalah ada atau tidaknya filsafat pendidikan tidak perlu dipersoalkan lagi, karena masa sekarang ia telah berkembang menjadi suatu disiplin keilmuan yang ada di dalam kubu ilmu pendidikan. Bahkan, ilmu- ilmu pengetahuan selain pendidikan pun hampir semuanya memiliki filsafatnya sendiri. Karena dengan memahami filsafatnya, orang akan dapat mengembangkan secara konsisten ilmu-ilmu pengetahuan yang dipelajari. Filsafat mengkaji dan memikirkan tentang hakikat segala sesuatu secara menyeluruh, sistematis, terpadu, universal, dan radikal, yang hasilnya menjadi pedoman dan arah dari perkembangan ilmu-ilmu yang bersangkutan.

      Untuk menyelesaikan permasalahan kependidikan, ada tiga disiplin ilmu yang membantu filsafat pendidikan, yaitu:
      1. etika atau teori tentang nilai,
      2. teori ilmu pengetahuan atau epistimologi, dan
      3. teori tentang realitas atau kenyataan dan yang ada di balik kenyataan, yang disebut metafisika.
      Permasalahan yang diidentifikasikan dalam ketiga disiplin ilmu ini menjadi materi yang dibahas dalam filsafat pendidikan. Oleh karena filsafat pendidikan mempunyai ruang lingkup pemikiran yang mendasar tentang permasalahan fundamental manusia dihubungkan dengan ketiga disiplin ilmu di atas, maka menurut W.H. Kilpatrick, filsafat pendidikan mempunyai tiga tugas pokok, yaitu sebagai berikut.
      a) Memberikan kritik-kritik terhadap asumsi yang dipegang oleh para pendidik.
      b) Membantu memperjelas tujuan-tujuan pendidikan.
      c) Melakukan evaluasi secara kritis tentang berbagai metode pendidikan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan kependidikan yang telah dipilih.

      Dalam kaitannya dengan filsafat pendidikan Islam, pemikiran para ahli filsafat pendidikan pada umumnya, seperti telah disebutkan di atas, perlu kita jadikan bahan acuan yang memberikan ruang lingkup pemikiran filsafat pendidikan Islam. Kita berpendirian bahwa semua ilmu pengetahuan yang ada relevansinya dengan filsafat pendidikan Islam harus kita ambil untuk bahan memperdalam dan memperluas studi kita. Dari mana pun datangnya hikmah itu, kita ambil dan kita manfaatkan. Demikian perintah Nabi Besar Muhammad saw. Untuk itulah kita harus bersikap lapang dada.

      Sumber:
      Buku FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM (Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed.)
      Diterbitkan oleh PT Bumi Aksara
      Edisi Revisi
      Cetakan pertama, Oktober 2003
      Cetakan kedua, September 2005
      Cetakan ketiga, April 2008
      Baca Lengkap....

      Apa, Mengapa, Bagaimana, dan Ciri-Ciri Profesi Menurut Ahli

      Apa, Mengapa, Bagaimana, dan Ciri-Ciri Profesi Menurut Ahli

      Dalam percakapan sehari-hari sering terdengar istilah profesi atau profesional. Seseorang mengatakan bahwa profesinya sebagai seorang dokter, yang lain mengatakan bahwa profesinya sebagai arsitek, atau ada pula sebagai pengacara, guru, ada juga yang mengatakan profesinya pedagang, penyanyi, petinju, penari, tukang koran, dan sebagainya. Para staf dan karyawan instansi militer dan pemerintahan juga tidak henti-hentinya menyatakan akan meningkatkan keprofesionalannya. Ini berarti bahwa jabatan mereka adalah suatu profesi juga.

        Jika diamati dengan cermat bermacam-macam profesi yang disebutkan di atas, belum dapat dilihat dengan jelas apa yang merupakan kriteria bagi suatu pekerjaan sehingga dapat disebut suatu profesi itu. Kelihatannya, kriterianya dapat bergerak dari segi pendidikan formal yang diperlukan bagi seseorang untuk mendapatkan suatu profesi, sampai kepada kemampuan yang dituntut seseorang dalam melakukan tugasnya.

        Dokter dan arsitek harus melalui pendidikan tinggi yang cukup lama, dan menjalankan pelatihan berupa pemagangan yang juga memakan waktu yang tidak sedikit sebelum mereka diizinkan memangku jabatannya. Setelah memangku jabatannya, mereka juga dituntut untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dengan tujuan meningkatkan kualitas layanannya kepada khalayak.

        Sementara itu untuk menjadi pedagang atau petinju mungkin tidak diperlukan pendidikan tinggi, malah pendidikan khusus sebelum memangku jabatan itu pun tidak perlu, meskipun latihan, baik sebelum ataupun setelah menggauli jabatan itu, tentu saja sangat diperlukan. Oleh sebab itu, agar tidak menimbulkan kerancuan dalam pembicaraan selanjutnya kita harus memperluas pengertian profesi itu.

        A. Pengertian dan Konsep Profesi, Profesional, Profesionalisme, Profesionalitas, dan Profesionalisasi

        Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian (expertise) dari para anggotanya. Artinya, tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan itu. Misalnya untuk mengoperasi seseorang yang mempunyai penyakit kanker, dibutuhkan seorang dokter spesialis bedah yang memiliki kemampuan yang diperoleh dari pendidikan khusus untuk itu, Keahlian diperoleh melalui apa yang disebut profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum seseorang menjalani profesi itu (pendidikan/latihan prajabatan) maupun setelah menjalani suatu profesi (inservice training).

        Profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, orang yang menyandang suatu profesi, misalnya, “Dia seorang profesional”. Kėdua, penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya. Dalam pengertian kedua ini, istilah profesional dikontraskan dengan “nonprofesional” atau “amatiran”. Dalam kegiatan sehari-hari seorang profesional melakukan pekerjaan sesuai dengan ilmu yang telah dimilikinya, jadi tidak asal tahu saja.

        Profesionalisme menunjuk kepada komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya.

        Profesionalitas, di pihak lain, mengacu kepada sikap para anggota profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki dalam rangka melakukan pekerjaannya. Jadi seorang profesional tidak akan mau mengerjakan sesuatu yang memang bukan bidangnya. Misalnya seorang guru akan selalu memberikan pelayanan yang baik kepada murid-muridnya.

        Profesionalisasi, menunjuk pada proses peningkatan kualifikasi maupun kemampuan para anggota profesi dalam mencapai kriteria yang standar dalam penampilannya sebagai suatu profesi. Profesionalisasi pada dasarnya merupakan serangkaian proses pengembangan profesional (profesional development), baik dilakukan melalui pendidikan/latihan “prajabatan" maupun latihan dalam jabatan (inservice training). Oleh karena itu, profesionalisasi merupakan proses yang sepanjang hayat (lifelong) dan tidak pernah berakhir (never ending), selama seseorang telah menyatakan dirinya sebagai warga suatu profesi.

        Jika dalam masa pendidikan/latihan prajabatan itu profesionalisasi lebih banyak ditentukan oleh lembaga (community of scholars, faculty members) dengan berpegang pada kaidah-kaidah akademik dan latihan praktek yang standar, maka setelah bekerja, profesionalisasi lebih banyak tergantung kepada setiap individu profesional tersebut, apakah ia/mereka mau meningkatkan profesionalitasnya (skills yang ditampilkan) dan profesionalismenya (komitmen pada profesi), apakah ia mau terus belajar, bergaul secara akrab dengan rekan sejawatnya untuk saling memberi dan menerima dalam suatu iklim kesejawatan dan kebersamaan.

        Berikut beberapa pendapat pakar tentang profesi: Didi Atmadilaga, secara bebas menafsirkan makna “profesi” yang dikemukakan dalam Encyclopedia of SocialSciences sebagai berikut; ….Wewenang praktek suatu kejuruan yang bersifat pelayanan pada kemanusiaan secara intelektual spesifik yang sangat tinggi, yang didukung oleh penguasaan pengetahuan keahlian serta seperangkat sikap dan keterampilan teknik, yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan khusus, yang penyelenggaraannya dilimpahkan kepada lembaga pendidikan tinggi... yang bersama memberikan izin praktek atau penolakan praktek dan kelayakan praktek dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang diawasi langsung oleh pemerintah maupun asosiasi profesi yang bersangkutan.

        Selanjutnya, Walter Johnson (1959) mengartikan petugas profesional (profesionals) sebagai “...seseorang yang menampilkan suatu tugas khusus yang mempunyai tingkat kesulitan lebih dari biasa dan mempersyaratkan waktu persiapan dan pendidikan cukup lama untuk menghasilkan pencapaian kemampuan, keterampilan dan pengetahuan yang berkadar tinggi”.

        B. Ciri-Ciri Profesi

        Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diangkat beberapa kriteria untuk menentukan ciri-ciri suatu profesi, yaitu sebagai berikut.
        1. Ada standar untuk kerja yang baku dan jelas.

        2. Ada lembaga pendidikan khusus yang menghasilkan pelakunya dengan program dan jenjang pendidikan yang baku serta memiliki standar akademik yang memadai dan yang bertanggung jawab tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang melandasi profesi itu.

        3. Ada organisasi profesi yang mewadahi para pelakunya untuk mempertahankan dan memperjuangkan eksistensi dan kesejahteraannya.

        4. Ada etika dan kode etik yang mengatur perilaku etik para pelakunya dalam memperlakukan kliennya.

        5. Ada sistem imbalan terhadap jasa layanannya yang adil dan baku.

        6. Ada pengakuan masyarakat (profesional, penguasa, dan awam) terhadap pekerjaan itu sebagai suatu profesi (Rochman Natawidjaja, 1989).

        Dari uraian di atas tentang ciri-ciri suatu profesi, maka profesi mempunyai ciri-ciri utama sebagai berikut.
        1. Fungsi dan signifikansi sosial: suatu profesi merupakan suatu pekerjaan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial dan krusial.

        2. Keterampilan/keahlian: untuk mewujudkan fungsi ini, dituntut derajat keterampilan/keahlian tertentu.

        3. Pemerolehan keterampilan tersebut bukan hanya dilakukan secara rutin, melainkan bersifat pemecahan masalah atau penanganan situasi kritis yang menuntut pemecahan dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.

        4. Batang tubuh ilmu: suatu profesi didasarkan kepada suatu disiplin ilmu yang jelas, sistematis, dan eksplisit (a systematic body of knowledge) dan bukan hanya common sense.

        5. Masa pendidikan: upaya mempelajari dan menguasai batang tubuh ilmu dan keterampilan keahlian tersebut membutuhkan masa latihan yang lama, bertahun-tahun dan tidak cukup hanya beberapa bulan. Hal ini dilakukan pada tingkat perguruan tinggi.

        6. Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional: proses pendidikan tersebut juga merupakan wahana untuk sosialisasi nilai-nilai profesional di kalangan para siswa/mahasiswa.

        7. Kode etik dalam memberikan pelayanan kepada klien, seorang profesional berpegang teguh kepada kode etik yang pelaksanaannya dikontrol oleh organisasi profesi. Setiap pelanggaran terhadap kode etik dapat dikenakan sanksi.

        8. Kebebasan untuk memberikan judgment: anggota suatu proses mempunyai kebebasan untuk menetapkan judgment-nya sendiri dalam menghadapi atau memecahkan sesuatu dalam lingkup kerjanya.

        9. Tanggung jawab profesional dan otonomi: komitmen pada suatu profesi adalah melayani klien dan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Tanggung jawab profesional harus diabdikan kepada mereka. Oleh karena itu, praktek profesional itu otonom dari campur tangan pihak luar.

        10. Pengakuan dan imbalan: sebagai imbalan dari Pendidikan dan Latihan yang lama, komitmennya dan seluruh jasa yang diberikan kepada klien, maka seorang profesional mempunyai prestise yang tinggi di mata masyarakat dan karenanya juga imbalan yang layak.

        C. Ciri-Ciri Profesi Menurut Para Ahli

        Ciri-ciri profesi menurut Omstein dan Levine adalah sebagai berikut.
        1. Melayani masyarakat, merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat (tidak berganti-ganti pekerjaan).

        2. Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkauan gokhalayak ramai (tidak setiap orang dapat melakukannya).

        3. Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek (teori yang baru dikembangkan dari hasil penelitian).

        4. Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.

        5. Terkendali berdasarkan lisensi baku dan atau mempunyai persyaratan masuk (untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau sada persyaratan khusus yang ditentukan untuk dapat mendudukinya).

        6. Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu (tidak diatur orang luar).

        7. Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan unjuk kerja yang ditampilkan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan (langsung bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskannya, tidak dipindahkan ke atasan atau instansi yang lebih tinggi). Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.

        8. Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien: dengan penekanan terhadap layanan yang akan diberikan.

        9. Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya; relative bebas dari supervisi dalam jabatan (misalnya dokter memakai tenaga administrasi untuk mendata klien, sementara tidak ada supervisi dari luar terhadap pekerjaan dokter sendiri).

        10. Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.

        11. Mempunyai asosiasi profesi dan atau kelompok elite untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan anggotanya (keberhasilan tugas dokter dievaluasi dan dihargai oleh organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bukan oleh Departemen Kesehatan).

        12. Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan atau menyangsikan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan.

        13. Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggi dari publik dan kepercaya dari setiap anggotanya (anggota masyarakat selalu meyakini dokter lebih tahu tentang penyakit pasien yang dilayaninya).

        14. Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi (bila dibandino dengan jabatan lainnya).

        Ciri-ciri profesi menurut Sanusi et. al. (1991):
        1. Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang menentukan (krusial).

        2. Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu.

        3. Keterampilan/keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.

        4. Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematik dan eksplisit, yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.

        5. Jabatan itu memerlukan pendidikan perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.

        6. Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri.

        7. Dalam memberikan layanan kepada masyarakat anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.

        8. Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgment terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya.

        9. Dalam prakteknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas dari campur tangan orang luar.

        10. Jabatan ini mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat, dan karenanya memperoleh imbalan yang tinggi pula.

        Ciri-ciri profesi menurut Robert W. Richey (1974) sebagai berikut:
        1. Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal daripada kepentingan pribadi.

        2. Seorang pekerja profesional, secara relatif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya.

        3. Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan.

        4. Memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap serta cara kerja.

        5. Membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi.

        6. Adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam profesi, serta kesejahteraan anggotanya.

        7. Memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi dan kemandirian.

        8. Memandang profesi sebagai suatu karier hidup (a live career) dan menjadi seorang anggota yang permanen.

        Ciri-ciri profesi menurut D. Westby Gibson (1965) sebagai berikut:
        1. Pengakuan oleh masyarakat terhadap layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh kelompok pekerja yang dikategorikan sebagai suatu profesi.

        2. Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik dan prosedur yang unik.

        3. Diperlukannya persiapan yang sengaja dan sistematis sebelum orang mampu melaksanakan suatu pekerjaan profesional.

        4. Dimilikinya suatu mekanisme untuk menyaring sehingga hanya mereka yang dianggap kompeten yang diperbolehkan bekerja untuk lapangan pekerjaan tertentu.

        5. Dimilikinya organisasi profesional yang di samping melindungi kepentingan anggotanya dari saingan kelompok luar, juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat, termasuk tindak etis profesional pada anggotanya.

        Sumber:
        Profesi Keguruan
        (Buku Materi Pokok MKDK4005/2SKS/Modul 1-6)
        Edisi 1
        Oleh Djam'an Satori, dkk.
        Penerbit: Universitas Terbuka, Tangerang Selatan
        Tahun: 2012
        Halaman 1.3 - 1.10
        Baca Lengkap....

        Sifat Guru Sukses, Sikap Kontradiksi dan Sifat Guru Prustasi



        Sukses tidaknya pendidikan sangat dipengaruhi oleh peran seorang guru. Pada pendidikan formal di sekolah, guru memegang kendali penuh terhadap peserta didik di dalam kelas. Baik atau tidaknya pembelajaran dalam kelas bergantung pada guru sebagai ujung tombaknya.

          Sekarang ini, beberapa guru sering menyalahartikan perannya sebagai pendidik. Mereka mengganggap tugas guru hanya mentransfer ilmu. Padahal guru memegang peran strategis, terutama dalam upaya membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan. Maka dari itu, guru seharusnya memiliki sikap dan sifat yang baik agar anak didiknya dapat meniru dan mencontoh perilaku-perilaku baik tersebut. Dengan kata lain guru harus memiliki kualitas yang baik untuk menjadikan pendidikan lebih bermutu.

          Dengan kepribadian yang baik tersebut nantinya akan memberikan dampak positif terhadap sikap dan perilaku siswa disekolah. Guru juga harus mampu memilih metode atau pembelajaran seperti apa yang pas untuk anak didik mereka. Tidak memaksa namun perlahan membuat anak didik menyukai cara belajar yang diterapkan.

          Seorang guru yang ideal menurut Uzer Usman (1992) mempunyai tugas pokok yaitu mendidik, mengajar dan melatih. Oleh karena itu seorang guru harus memiliki kompetensi. Dalam profesi keguruan kita mengenal istilah kompetensi. Kompetensi itulah yang digunakan untuk menilai apakah seorang guru berkualitas atau tidak.

          Ada tiga kompetensi yang harus dimiliki guru, yaitu kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional (Baca di sini "Ciri-Ciri dan 10 Kualitas Guru yang Baik"). Karena itu, berikut penjelasan tentang sifat guru yang sukses dan sifat guru prustasi.

          A. Sifat Guru Sukses


          Beth Lewis mengemukakan pertanyaan “Apa yang kita bisa pelajari dari guru yang sukses?" Guru-guru yang paling dikagumi adalah mereka yang tetap ingin tahu pentingnya intelektual dan profesional, baik di dalam maupun di luar kelas selama beberapa dekade. Mereka menghindari stagnasi di semua lini dan memelihara gairah yang patut ditiru oleh anak-anak dalam proses pembelajaran. Mereka tetap hidup dalam kenangan siswa selamanya karena kreativitas, rasa menyenangkan, dan belas kasihan mereka.

          Berikut adalah kualitas guru yang diduga kuat berkontribusi paling sukses bagi karir mengajar guru.

          1. Guru yang sukses memiliki harapan tinggi secara terus-menerus

          Guru-guru yang paling efektif mengharapkan prestasi besar dari murid-murid mereka, dan tidak menerima begitu saja atas kekurangan prestasi siswanya. Dalam pendidikan, harapan itu membangun ramalan. Ketika guru percaya masing-masing dan setiap siswa bisa berprestasi membubung melampaui batas-batas yang dibayangkan, anak-anak akan merasakan keyakinan itu dan bekerja dengan guru untuk mewujudkannya.

          2. Mereka berpikir kreatif

          Guru-guru terbaik berpikir di luar kotak, di luar kelas, dan di luar kondisi yang "normal". Mereka melompat di luar dinding kelas dan membawa murid mereka bersamanya! Guru-guru berprestasi mencoba sebanyak mungkin membuat pengalaman kelas menarik dan mengesankan bagi siswa. Mereka mencari cara untuk mendorong siswa mereka masuk ke dalam sebuah aplikasi dunia nyata dan mengemas pengalaman tingkat berikutnya. Berpikirlah taktis, tak terduga, gerakan yang bertujuan, dan sedikit "gila", maka Anda akan berada di jalur yang benar.

          3. Fleksibel dan sensitif tingkat tinggi

          Guru-guru terbaik bergerak melebihi kebutuhan mereka sendiri dan tetap peka terhadap kebutuhan orang lain, termasuk siswa, orang tua, kolega, dan masyarakat. Ini menantang karena setiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda, namun guru yang paling sukses adalah mereka yang memainkan banyak peran yang berbeda dalam satu hari ketika menerima fluiditas dan rahmat, sambil tetap jujur terhadap diri sendiri.

          4. Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan berkembang atau kuriositas

          Banyak orang yang akrab dengan kondisi stagnan, sinis, rendah energi yang tampaknya akan menunggu waktu mereka sampai pensiun, dan menunggu jam mengajar berakhir, bahkan lebih tidak intensif dibandingkan dengan siswa. Itulah yang tidak boleh dilakukan oleh guru.

          Sebaliknya, guru yang paling dikagumi memperbarui energi mereka dengan belajar ide-ide baru dari guru muda, dan mereka tidak terancam oleh cara-cara baru dalam melakukan sesuatu di kampus sekolah. Mereka memiliki prinsip-prinsip inti yang kuat, tapi tetap memiliki semangat untuk berkembang sesuai dengan perubahan waktu. Mereka merangkul teknologi baru dan percaya diri dalam bergerak maju ke masa depan.

          5. Mereka adalah manusia sempurna

          Guru-guru yang paling efektif membawa seluruh dirinya untuk pekerjaa Mereka merayakan keberhasilan siswa, muncul belas kasih berjuang untuk orang tua, menceritakan kisah-kisah dari kehidupan mereka sendiri, menertawakan kesalahan mereka, berbagi kebiasaan unik mereka, dan tidak takut untuk menjadi manusia sempurna di depan murid-murid mereka. Mereka mengerti bahwa guru tidak hanya memberikan kurikulum, tetapi bagi mereka yang terbaik adalah menjadi pemimpin inspiratif, menunjukkan siswa bagaimana harus bersikap di semua bidang kehidupan dan dalam semua jenis situasi.

          Guru yang hebat mengakui secara jujur ketika mereka tidak tahu jawabannya. Mereka minta maaf ketika siswa memerlukan dan memperlakukan siswanya dengan hormat.

          6. Guru yang sukses senang belajar dan menjalani kehidupan

          Guru guru di kagumi memandang banyak hal secara ringan dan menyenangkan, serta menjadi pembelajar yang serius. Mereka tidak takut untuk menjadi bodoh karena karena memang selalu menjadi pembelajar dan menikmati kehidupan dengan segala perkembangannya.

          B. Sikap Kontradiksi


          Sesungguhnya pendidikan harus dimulai dengan solusi dari kontradiksi guru-murid. Pendidikan harus mendamaikan kutub kontradiksi sehingga mampu memanusiawikan keduanya, yaitu guru dan siswa. Solusi ini tidak juga tidak bisa diterima dalam konsep perbankan pendidikan.

          Sebaliknya, perbankan pendidikan mempertahankan dan bahkan merangsang kontradiksi melalui sikap berikut dan praktik yang menindas sebagai cermin masyarakat secara keseluruhan:

          - guru mengajar dan siswa diajar;
          - guru tahu segalanya dan siswa tahu apa-apa;
          - guru berpikir, siswa menyadap pikiran guru;
          - guru berbicara dan siswa patuh mendengarkan;
          - disiplin ditetapkan guru dan siswa mematuhi disiplin yang ditetapkan;
          - guru memilih dan melaksanakan pilihannya dan siswa mematuhinya;
          - guru bertindak dan siswa memiliki ilusi untuk bertindak melalui tindakan guru:
          - guru memilih isi program dan siswa secara tanpa dialog beradaptasi dengan isi program itu;
          - guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalnya sendiri yang dikemasnya secara bertentangan dengan kebebasan siswa;
          - guru adalah subjek proses belajar, sedangkan siswa adalah obyek belaka.

          Tidak mengherankan bahwa konsep perbankan pendidikan menganggap siswa sebagai beradaptasi, makhluk dikelola. Pekerjaan siswa tidak lebih dari menyimpan deposito yang dipercayakan kepada mereka. Siswa kurang mengembangkan kesadaran kritis akan hasil dari intervensi mereka di dunia sebagai transformator dari dunia itu. Semakin benar-benar mereka menerima peran pasif yang dikenakan pada mereka, semakin mereka cenderung hanya untuk beradaptasi dengan dunia seperti apa adanya dan keterampilan mereka terfragmentasi pada realitas yang disimpan di dalamnya.

          C. Sifat Guru Frustrasi


          Di banyak negara profesi guru sangat dihormati. Namun demikian, dari sisi pandang guru sendiri, penyandang profesi ini tidak luput dari belenggu permasalahan, karena mereka menghadapi aneka tantangan. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Harris Interactive (2006), beberapa permasalahan yang dihadapi oleh guru disajikan berikut ini.

          Pertama, guru yang memandang tidak cukup waktu merencanakan pembelajaran sebanyak 65 persen.

          Kedua, 2 dari 3 guru menyatakan bahwa gaji tidak sesuai dengan beban pekerjaan sebanyak 64 persen.

          Ketiga, guru yang memandang bahwa membantu siswa secara indivi dual sebagai salah satutan tangan berat sebanyak 60 persen.

          Keempat, guru yang mempersepsi bahwa prestise profesional masih jauh dari harapan sebanyak 37 persen.

          Kelima, guru yang memandang bahwa pelaksanaan pembelajaran di kelas merupakan tanangan berat sebanyak 34 persen.

          Ini berarti bahwa masih ada guru yang belum secara sungguh-sungguh menjalankan tugas-tugas profesionalnya dalam suasana yang menyenangkan. Hal ini dapat mengundang frustrasi di kalangan siswa. Sebagaimana termuat dalam situs www.gladlywoulditeach.com, pada sebuah forum diskusi online untuk kelas bahasa Inggris terungkap ciri-ciri guru yang menyebab kan frustrasi bagi siswanya.


          Berikut ini disajikan ciri-ciri guru yang menyebabkan siswanya frustasi akibat kinerja buruk guru ketika melaksanakan proses pembelajaran.

          1. Pandangan negatif terhadap kegiatan mengajar atau pekerjaan mereka. Siswa berulang kali menyampaikan gagasan bahwa guru-guru yang membenci pekerjaan mereka harus mencari pekerjaan lain.

          2. Sibuk bekerja dan kurangnya varietas dalam kegiatan kelas. Siswa meraa terganggu oleh tugas-tugas yang tidak membangun keterampilan atau pengetahuan baru bagi mereka.

          3. Kecongkakan. Siswa jengkel terhadap guru-guru yang meremehkan, menghina atau merendahkan mereka. Alih-alih mendukung mereka, siswa merasa bahwa beberapa guru memperlakukan mereka dengan cara merendahkan.

          4. Kurangnya pengetahuan. Guru yang mengajar langsung dari buku memunculkan frustrasi siswa karena mereka sering tidak mampu menjawab pertanyaan secara lebih rinci dari apa yang diberikan dalam buku teks, juga tidak mengaitkan materi pelajaran dengan dunia nyata atau contoh-contoh di luar buku teks.

          5. Tidak ada mengenal banyak tentang siswanya. Menurut siswa, beberapa guru hanya membuat sedikit usaha untuk mengenal murid-murid mereka, tahu sedikit tentang apa yang siswa lakukan di luar kelas, dan hanya sebagian kecil guru yang melakukan usaha untuk mempelajari dan mengenali nama-nama siswanya. siswa tahuan

          6. Keengganan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan siswa. Dalam beberapa kelas siswa menyela untuk mengajukan pertanyaan. Menurut siswa, beberapa guru meremehkan mereka. Sebagian guru menyatakan bahwa sesungguhnya pertanyaan itu sudah bisa dijawab oleh siswa. sendiri. Sebagian siswa lainnya menyatakan bahwa guru tidak bisa menjawab pertanyaan dengan jelas. Hal ini tampaknya menjadi da penyebab sampingan dari dua frustrasi lainnya: arogansi guru dan/atau kekurangan pengetahuan guru.

          7. Apati. Siswa melaporkan bahwa beberapa guru tidak peduli dengan siswa-siswa mereka, kelas mereka, atau kegiatan dalam kelas. Siswa sangat cepat menentukan bahwa jika guru tidak peduli tentang proses pembelajaran di kelas kelas, mereka seharusnya juga tidak peduli terhadap guru.

          Di samping itu, sebagian siswa menyatakan bahwa guru-guru mereka kurang mengenali etika pekerjaan yang baik. Sebagian dari guru hanya membuat beberapa tanda di atas kertas kerja, sehingga siswa tidak tahu perbaikan apa yang harus dilakukan. Sikap sebagian guru-guru yang menunjukkan sikap pilih kasih juga memunculkan frustrasi pada diri siswa.

          Meskipun siswa tidak kesulitan menjelaskan ciri-ciri guru mereka yang frustrasi, ternyata hampir semua siswa mengawali laporan mereka dengan mengekspresikan rasa hormat kepada guru dan menggarisbawahi bahwa sebagian besar dari guru mereka telah dipersiapkan dengan baik, peduli, berpengetahuan, dan seringkali inspirasional.

          Sumber: Buku Psikologi Pendidikan (Dalam Perspektif Baru). Penulis: Prof. Dr. Sudarwan Danim & Dr. H. Khairil. Diterbitkan Tahun 2010 (cetakan pertama) dan 2011 (cetakan kedua) oleh ALFABETA Bandung.
          Baca Lengkap....

          Teori Perkembangan yang Sering Menjadi Acuan dalam Bidang Pendidikan

          Teori Perkembangan yang Sering Menjadi Acuan dalam Bidang Pendidikan
          Ada berbagai teori perkembangan. Pada tulisan ini akan dibahas beberapa teori yang sering menjadi acuan dalam bidang pendidikan, yaitu teori yang termasuk teori menyeluruh/global (Rousseau, Stanley Hall, Havigurst), dan teori yang termasuk khusus/spesifik (Piaget, Kohlbergf, Erikson).

            Nana Saodih Sukmadinata (2009) menguraikannya sebagai berikut:

            A. Jean Jacques Rousseau

            Jean Jacques Rousseau merupakan ahli pendidikan beraliran liberal yang menjadi pendorong pembelajaran discovery. Rousseau mulai mendakan kajian pada 1800an. Menurutn Rousseau, perkembangan anak terbagi menjadi empat tahap, yaitu:

            1) Masa bayi infancy (0-2 tahun), usia antara 0-2 tahun adalah masa perkembangan fisik. Kecepatan pertumbuhan fisik lebih dominan dibandingkan perkembangan aspek lain, sehingga anak disebut sebagai binatang yang sehat;

            2) Masa anak/childhood (2-12 tahun), disebut juga masa perkembangan sebagai manusia primitif. Kecuali masih terjadi pertumbuhan fisik secara pesat, aspek lain sebagai manusia juga mulai berkembang, misalnya kemampuan berbicara, berfikir, intelektual, moral, dll;

            3) Masa remaja awal/pubescence (12-15 tahun), disebut masa remaja awal/pubescence, ditandai dengan perkembangan pesat intelektual dan kemampuan bernalar juga disebut masa bertualang;

            4) Masa remaja/adolescence (15-25 tahun). Pada masa ini tejadi perkembangan pesat aspek seksual, social, moral, dan nurani, juga disebut masa hidup sebagai manusia beradab.

            B. Stanley Hall

            Stanley Hall, seorang psikolog dari Amerika Serikat, merupakan salah satu perintis kajian ilmiah tentang siklus hidup (life span) yang berteori bahwa perubahan menuju dewasa terjadi dalam sekuens (urutan) yang universal bagian dari proses evolusi, parallel dengan perkembangan psikologis, namun demikian, faktor lingkungan dapat mempengaruhi cepat lambatnya perubahan tersebut. Misalnya, usia enam tahun adalah usia masuk sekolah di lingkungan tertentu, tetapi ada yang memulai sekolah pada usia lebih lambat di lingkungan yang lain. Konsekuensinya, irama perkembangan anak di kedua lingkungan tersebut dapat berbeda.

            Stanley Hall membagi masa perkembangan menjadi empat tahap, yaitu:

            1) Masa kanak-kanak/infancy (0-4 tahun). Pada usia-usia ini, perkembangan anak disamakan dengan binatang, yaitu melata atau berjalan;

            2) Masa anak/childhood (4-8 tahun). Masa ini disebut masa pemburu, anak haus akan pemahaman lingkungannya, sehingga akan berburu kemanapun, mempelajari lingkungan sekitarnya;

            3) Masa puber/youth 8-12 tahun). Pada masa ini anak tumbuh dan berkembang tetapi sebhagai makhluk yang belum beradab. Banyak hal yang masih harus dipelajari untuk menjadi makhluk yang beradab di lingkungannya, seperti yangt berkaitan dengan sosial, emosi, moral, intelektual;

            4) Masa remaja/adolescence (12 – dewasa). Pada masa ini, anak mestinya sudah menjadi manusia beradab yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dunia yang selalu berubah.

            Perspektif life span seperti yang dipelopori oleh Stanley Hall dkk., dapat dibuktikan pada tahap masa remaja sampai dewasa. Misalnya, pada masyarakat tertentu yang masih terbelakang, anak justru cepat menjadi dewasa. Karena pendidikan hanya tersedia sampai sekolah dasar, masayrakat cenderung mulai bekerja dan berkeluarga dalam usia muda. Sebaliknya, pada masyarakat yang semua warganegaranya mencapai pendidikan tinggi, anak-anak menjadi dewasa pada usia yang lebih lanjut.

            C. Robert J. Havigurst

            Robert J. Havigurst dari Universitas Chicago mulai mengembangkan konsep developmental task (tugas perkembangan) pada tahun 1940an, yang menggabungkan antara dorongan tumbuh/berkembang sesuai dengan kecepatan pertumbuhannya denga tantangan dan kesempatan yang diberikan oleh lingkungannya. Havigurst menyusun tahap-tahap perkembangan menjadi lima tahap berdasarkan problema yang harus dipecahkan dalam setiap fase, yaitu: 1) Masa bayi/infancy (0 – ½ tahun); 2) Masa anak awal/early childhood (2/3 – 5/7 tahun); 3) Masa anak/late childhood (5/7 tahun – pubesen); 4) Masa adolesense awal/early adolescence (pubesen – pubertas); 5) Masa adolescence/late adolescence (pubertas – dewasa).

            Menurut teori ini, dalam perkembangan, anak melewati delapan tahap perkembangan (developmental stages). Ada sepuluh tugas perkembangan yang harus dikuasai anak pada setiap fase, yaitu: 1) Ketergantungan – kemandirian; 2) Memberi – menerima kasih sayang; 3) Hubungan social; 4) Perkembangan kata hati; 5) Peran biososio dan psikologis; 6) Penyesuaian dengan perubahan badan; 7) Penguasaan perubahan badan dan motoric; 8) Memahai dan mengendalikan lingkungan fisik; 9) Pengembangan kemampuan konseptual dan sistem simbol; 10) Kemampuan melihat hubungan dengan alam semesta.

            Dikuasai atau tidaknya tugas perkembangan pada setiap fase akan mempengaruhi penguasaan tugas-tugas pada fase berikutnya.

            D. Jean Piaget

            Jean Piaget latar belakangnya adalah pakar biologi dari Swiss yang hidup pada tahun 1897 sampai tahun 1980 (Harre dan Lamb), 1988). Teori-teorinya dikembangkan dari hasil pengamatan terhadap tiga orang anak kandungnya sendiri, kebanyakan berdasarkan hasil pengamatan pembicaraanya dengan anak atau antar anak-anak sendiri. Piaget lebih memfokuskan kajiannya dalam aspek perkembangan kognitif anak dan mengelompokkannya dalam empat tahap, yaitu:

            1)Tahap sensorimotorik (0-2 tahun). Tahap ini juga disebut masa discriminating dan labeling. Pada masa ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks, bahasa awal, dan ruang waktu sekarang saja.

            2)Tahap praoperasional (2-4 ahun). Pada tahap praoperasional, atau prakonseptual, atau disebut juga dengan masa intuitif, anak mulai mengembangkan kemampuan menerima stimulus secara terbatas. Kemampuan bahasa mulai berkembang, pemikiran masih statis, belum dapat berfikir abstrak, dan kemampuan persepsi waktu dan ruang masih terbatas.

            3)Tahap operasional konkrit (7-11 tahun). Tahap ini juga disebut masa performing operation. Pada masa ini, anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas menggabungkan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat, dan membagi.

            4)Tahap operasonal formal (11-15 tahun). Tahap ini juga disebut masa proportional thinking. Pada masa ini, anak sudah mampu berfikir tingkat tinggi, seperti berfikir secara deduktif, induktif, menganalisis, mensintesis, mampu berfikir secara abstrak dan secara reflektif, serta mampu memecahkan berbagai masalah.

            E. Lawrence Kohlberg

            Mengacu kepada teori perkembangan Piaget yang berfokus pada perkembangan kognitif, Kohlberg lebih berfokus pada kognitif moral atau moral reasoning. Kemampuan kognitif moral seseorang dapat diukur dengan menghadapkannya dengan dilemna moral hipotesis yang terkait dengan kebenaran, keadilan, konflik terkait aturan dan kewajiban moral.

            Menurut Kohlberg, perkembangan moral kognitif anak terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu:

            1. Preconventional moral reasoning, yaitu:

            a) Obidience and paunisment orientation. Pada tahap ini, orientasi anak masih pada konsekuensi fisik dari perbuatan benar – salahnya, yaitu hukuman dan kepatuhan. Mereka hormat kepada penguasa, penguasalah yang menetapkan aturan/undang-undang, mereka berbuat benar untuk menghindari hukuman;

            b) Naively egoistic orientation. Pada tahap ini, anak beorientasi pada instrument relative. Perbuatan benar adalah perbuatan yang secara instrument memuaskan keinginannya sendiri dan (kadang-kadang) juga orang lain. Kepeduliannya pada keadilan/ketidakadilan bersifat pragmatic, yaitu apakah mendatangkan keuntungan atau tidak.

            2. Conventional moral reasoning, yaitu:

            a) Good boy orientation. Pada tahap ini, orientasi perbuatan yang baik adalah yang menyenangkan, membantu, atau diepakati oleh orang lain. Orientasi ini juga disebut good/nice boy orientation. Anak patuh pada karakter tertentu yang dianggap alami, cenderung mengembangkan niat baik, menjadi anak baik, saling berhubungan baik, peduli terhadap orang lain;

            b) Authority and social order maintenance orientation. Pada tahap ini, orientasi anak adalah pada aturan dan hukum. Anak menganggap perlunya menjaga ketertiban, memenuhi kewajiban dan tugas umum, mencegah terjadinya kekacauan sistem. Hukum dan perintah penguasa adalah mutlak dan final, penekanan pada kewajiban dan tugas terkait dengan perannya yang diterima di masyarakat dan publik.

            3. Post conventional moral reasoning, yaitu:

            a) Contranctual legalistic orientation. Pada tahap ini, orientasi anak pada legalitas kontrak social. Anak mulai peduli pada hak azasi individu, dan yang baik adalah yang disepakati oleh mayoritas masyarakat. Anak menyadari bahwa nilai (benar/salah, baik/buruk, suka/tidak suka, dll) adalah relatif, menyadari bahwa hukum adalah intrumen yang disetujui untuk mengatur kehidupan masyarakat, dan itu dapat diubha melalui diskusi apabila hukum gagal mengetur masyarakat;

            b) Conscience or principle orientation. Pada tahap ini, orientasi adalah pada prinsip-prinsip etika yang bersifat universal. Benar-salah harus disesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip etika yang bersifat ini sari dari etika universal. Aturan hukum legal harus dipisahkan dari aturan moral. Masing-masing (hukum legal dan moral) harus diakui terpisah, masing-masing mempunyai penerapannya sendiri, tetapi tetap mengacu pada nilai-nilai etika/moral.

            F. Erick Homburger Erickson

            Erickson merupakan salah seorang tokoh psikoanalisis pengikut Sigmund Freud. Dia memusatkan kajiannya pada perkembangan psikososial anak. Menurut Erickson (dalam Harre dan Lamb, 1988), dalam perkembangan, anak melewati delapan tahap perkembangan (developmental stages), disebut siklus kehidupan (life cycle) yang ditandai dengan adanya krisis psikososial tertentu. Teori Erickson ini secara luas banyak diterima, karena menggambarkan perkembangan manuasia mencakup seluruh siklus kehidupan dan mengakui adanya interaksi antara individu dengan konteks sosial. Kedelapan tahap tersebut digambarkan pada table di bawah ini.

            Tabel  perkembangan psikososial anak

            Pada tahap basic trust vs mistrust (infancy – bayi), anak baru mulai mengenal dunia, perhatian anak adalah mencari rasa aman dan nyaman. Lingkungan dan sosok yang mampu menyediakan rasa nyaman/aman itulah yang dipercaya oleh anak, sebalinya, yang menjadikan sebaliknya, cenderung tidak dipercaya. Rasa aman dan nyaman ini terkait dengan kebutuhan primer seperti makan, minum, pakaian, kasih sayang. Sosok ibu atau pengasuh biasanya sangat dipercaya karena setiap mendatangkan kenyamanan. Sedangkan orang yang dianggap asing akan ditolaknya.

            Pada tahap autonomy vs shame and doubt (toddler – masa bermain), anak tidak ingin sepenuhnya tergantung pada orang lain. Anak mulai mempunyai keinginan dan kemauan sendiri. Dalam masa ini, orangtua perlu memberikan kebebasan yang terkendali, karena apabila anak terlalu dikendalikan/didikte, pada diri anak dapat tumbuh rasa selalu was-was, ragu-ragu, kecewa.

            Pada tahap Initiative vs guilt (preschool – prasekolah), pada diri anak mulai tumbuh inisiatif yang perlu difasilitasi, didorong, dan dibimbing oleh orang dewasa disekitarnya. Anak mulai bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Berbagai aktifitas fisik seperti bermain, berlari, lompat, banyak dilakukan. Kurangnya dukungan dari lingkungan, misalnya terlalu dikendalikan, kurangnya fasilitas, sehingga inisiatifnya menjadi terkendala, pada diri anak akan timbul rasa kecewa dan bersalah.

            Pada tahap ini, industry vs inferiority (schoolage – masa sekolah), anak cenderung luar biasa sibuk melakukan berbagai aktifitas yang diharapkan mempunyai hasil dalam waktu dekat. Keberhasilan dalam aktifitas ini akan menjadikan anak merasa puas dan bangga. Sebaliknya, jika gagal, anak akan merasa rendah diri. Oleh karena itu, anak memerlukan bimbngan dan fasilitasi agar tidak gagal dan setiap aktifitasnya.

            Pada tahap identity vs role confusion (asolescence – remaja), anak dihadapkan pada kondisi pencarian identittas diri. Jatidiri ini akan akan berpengaruh besar pada masa depannya. Pengaruh lingkungan sangat penting. Lingkungan yang baik akan menjadikan anak memiliki jati diri sebagai orang baik, sebaliknya lingkunganh yang tidak baik anak membawanya menjadi pribadi yang kurang baik. Orang tua harus menjamin bahwa anak berada dalam lingkungan yang baik, sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi, misalnya menjadi anggota geng anak nakal, anak jalanan, pemabuk, narkoba, dll., adalah disebabkan karena anak keliru dalam membangun identitas diri.

            Pada tahap intimacy vs isolation (young adulthood – dewasa awal), anak mulai menyadari bahwa meskipun dalam banyak hal memerlukan komunikasi dengan masyarakat dan teman sebaya, dalam hal-hal tertentu, ada yang memang harus bersifat privat. Ada hal-hal yang hanya dibicarakan dengan orang tertentu, ada orang tertentu tempat mencurahkan isi hati, memerlukan orang yang lebih dekat secara pribadi, termasuk pasangan lawan jenis. Kegagalan pada tahap ini dapat mengakibatkan anak merasa terisolasi di kehidupan masyarakat.

            Tahap generativity vs stagnation (middle adulthood – dewasa tengah-tengan) menandai munculnya rasa tanggungjawab atas generasi yang akan datang. Bentuk kepedulian ini tidak hanya dalam bentuk peran sebagai orangtua, tetapi juga perhatian dan kepeduliannya pada anak-anak yang merupakan generasi penerus. Ada rasa was-was akan generasi penerusnya (keturunannya), seperti apakah mereka nanti, bahagiakah, terpenuhi kebutuhannyakah? Atau akan stagnan, bertenti sama sekali.

            Tahap ini, ego integrity vs despair (later adulthood – dewasa akhir), adalah tahap akhir dari siklus kehidupan. Individu akan melakukan introspeksi, mereview kembali perjalanan kehidupan yang telah dilalui dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, dari karier satu ke karier lainnya. Yang paling diharapkan adalah jika tidak ada penyesalan.

            Daftar Pustaka

            Clark, b. (1984). Growing Up Gifted. Boston, MA: Prentice Hall.

            Harre, R. and Lamb, R. (eds). (1988). The encyclopedic Dictionary of Psychology. Cambridge, MA: MIT Press.12.

            Sugiman, Sumardiyono, Marfuah (2016). Guru Pembelajar: Modul Matematika SMP – Karakteristik Siswa. Jakarta: Dtjen Guru Dan Tenaga Kependidikan.

            Sukmadinata, N. S. (2009). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.

            Sunardi dan Imam Sujadi (2016). Sumber Belajar Penunjang PLPG 2016 (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan 2016).
            Baca Lengkap....

            Pedagogik: Karakteristik Siswa (Sumber Belajar Penunjang)

            Pedagogik: Karakteristik Siswa (Sumber Belajar Penunjang)
            Siswa sebagai subyek pembelajaran merupakan individu aktif dengan berbagai karakteristiknya, sehingga dalam proses pembelajaran terjadi interaksi timbal balik, baik antara guru dengan siswa maupun antara siswa dengan siswa.

              Oleh karena itu, salah satu dari kompetensi pedagogik yang harus dikuasai guru adalah memahami karakteristik anak didiknya, sehingga tujuan pembelajaran, materi yang disiapkan, dan metode yang dirancang untuk menyampaikannya benar-benar sesuai dengan karakteristik siswanya.

              Perbedaan karakteristik anak salah satunya dapat dipengaruhi oleh perkembangannya. Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu masa pertemkuan spermatozoid dengan sel telur sampai dengan dewasa.

              1. Metode dalam psikologi perkembangan

              Ada dua metode yang sering dipakai dalam meneliti perkembangan manusia, yaitu longitudinal dan cross sectional. Dengan metode longitudinal, peneliti mengamati dan mengkaji perkembangan satu atau banyak orang yang sama usia dalam waktu yang lama. Misalnya penelitan Luis Terman (dalam Clark, 1984) yang mengikuti perkembangan sekelompok anak jenius dari masa pra-sekolah sampai masa dewasa waktu mereka sudah mencapai karier dan kehidupan yang mapan. Perbedaan karakteristik setiap saat itulah yangt diasumsikan sebagai tahap perkembangan.

              Penelitian dengan metode longitudinal mempunyai kelebihan, yaitu kesimpulan yang diambil lebih meyakinkan, karena membandingkan karakteristik anak yangbvsama pada usia yang berbeda-beda, sehingga setiap perbedaan dapat diasumsiukan sebagai hasil perkembangan dan pertumbuhan. Tetapi, metode ini memerlukan waktu sangat lama untuk mendapat hasil yang sempurna.

              Dengan metode cross sectional, peneliti mengamati dan mengkaji banyak anak dengan berbagai usia dalam waktu yang sama. Misalnya, penelitian yang pernah dilakukan oleh Arnold Gessel (dalam Nana Saodih Sukmadinata, 2009) yang mempelajari ribuan anak dari berbagai tingkatan usia, mencatat ciri-ciri fisik dan mentalnya, pola-pola perkembangan dan memampuannya, serta perilaku mereka. Perbedaan karakteristik setiap kelompok itulah yang diasumsikan sebagai tahapan perkembangan. Dengan pendekatan cross-sectional, proses penelitian tidak memerlukan waktu lama, hasil segera dapat diketahui.

              Kelemahannya, peneliti menganalisis perbedaan karakteristik anak-anak yang berbeda, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam menarik kesimpulan, bahwa perbedaan itu semata-mata karena perkembangan.

              2. Pendekatan dalam psikologi perkembangan

              Manusia merupakan kesatuan antara jasmani dan rohani yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Manusia merupakan individu yang kompleks, terdiri dari banyak aspek, termasuk jasmani, intelektual, emosi, moral, sosial, yang membentuk keunikan pada setiap orang. Kajian perkembangan manuasi dapat menggunakan pendekatan menyeluruh atau pendekatan khusus (Nana Sodih Sukmadinata, 2009). Menganalisis seluruh segi perkembangan disebut pendekatan menyeluruh/global. Segala segi perkembangan dideskripsikan dalam pendekatan ini, seperti perkembangan fisik, motorik, social, intelektual, moral, intelektual, emosi, religi, dsb.

              Walaupun demikian, untuk mempermudah penelitian, pembahasan dapat dilakukan per aspek perkembangan. Misalnya, ada peneliti yang memfokuskan kajiannya pada perkambangan aspek fisik saja, aspek intelektual saja, aspek moral saja, aspek emosi saja, dsb. Inilah yang dikenal dengan pendekatan khusus (spesifik).

              3. Teori perkembangan

              Ada berbagai teori perkembangan. Berikut ini akan dibahas beberapa teori yang sering menjadi acuan dalam bidang pendidikan, yaitu teori yang termasuk teori menyeluruh/global (Rousseau, Stanley Hall, Havigurst), dan teori yang termasuk khusus/spesifik (Piaget, Kohlbergf, Erikson), seperti yang diuraikan dalam Nana Saodih Sukmadinata (2009).

              Pembahasan lengkap tentang teori perkembangan yang dimaksud di atas bisa dibaca pada artikel Teori Perkembangan yang Sering Menjadi Acuan dalam Bidang Pendidikan
              Baca Lengkap....

              Skripsi Pengaruh Standardisasi Biaya Produksi Terhadap Total Quality Control pada Pabrik Gula Takalar

              I. PENDAHULUAN

              A. Latar Belakang

              Upaya untuk menjaga kontinuitas perusahaan, baik multi nasional maupun perusahaan asing dapat berkembang dengan baik maka pemerintah mengambil langkah-langkah dalam hal pengembangan dan pengawasan terhadap kegiatan perusahaan. Pengaruh standardisasi yang mempunyai peranan adalah kemampuan manajemen yang dimiliki perusahaan seperti faktor lingkungan usaha yang sering sulit dikendalikan oleh perusahaan, struktur distribusi segi budaya sosial dan etika serta persaingan dalam memasarkan hasil produk.
                Salah satu yang perlu diperhatikan perusahaan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan yaitu pengendalian kualitas produksi. Maju mundurnya suatu perusahaan, baik ditinjau dari penekanan biaya produksi dan daya saing serta penyesuaian dengan konsumen tergantung dan kualitas barang yang dihasilkan.

                Biaya produksi perusahaan diperlukan satu tolak ukur sebagai bahan untuk mengevaluasi dan mengukur tingkat efesiensi dan efektifitas biaya produksi untuk membandingkan hasil yang dicapai dengan yang di harapkan (Carter,2009). Biaya standar akan memudahkan manajemen dalam mengambil keputusan, mengontrol kegiatan produksi dan melakukan tindakan perbaikan yang berkaitan dengan pengeluaran biaya produksi.

                Biaya standar adalah biaya yang ditentukan di muka, yang merupakan jumlah biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk membuat satu kesatuan produk atau untuk membiayai kegiatan tertentu,dibawah asumsi bahwa kondisi ekonomi, efisiensi dan faktor-faktor lain tertentu (Mulyadi, 2012:387). Biaya standar akan menghasilkan selisih biaya yang ditetapkan sebelumnya dengan biaya sesungguhnya. Cara yang paling tepat untuk mengetahui dan menghitung besarnya penyimpangan yang terjadi dalam biaya produksi adalah dengan menggunakan analisis varians ( Mulyadi,2009).

                Pengendalian kualitas penting untuk dilakukan oleh perusahaan agar produk yang dihasilkan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan perusahaan maupun standar yg telah ditetapkan oleh badan lokal dan internasional yang mengolah tentang standardisasi mutu/kualitas, dan tentunya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh konsumen. Pengendalian kualitas yang dilaksanakan dengan baik akan memberikan dampak terhadap kualitas produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Standar quality yang di maksud adalah bahan baku, proses produksi, dan produk jadi ( M.N Nasution,2005). Oleh karenanya kegiatan pengendalian kualitas tersebut dapat dilakukan mulai daribahan baku, selama proses produksi berlangsung sampai pada produk akhir dan disesuaikan dengan standar yang di tetapkan.

                Mempertahankan hasil produksi yang berkualitas dan bermutu, dengan mempunyai standardisasi biaya yang telah ditetapkan untuk mempertahankan total quality control. Hal ini untuk memperoleh pengakuan dari konsumen (langganan) telah ditentukan produk untuk mengkompensasikan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi barang dan jasa sesuai dengan bidang perusahaan.

                PTP. XIV Pabrik Gula Takalar Kabupaten Takalar penting untuk mempertahankan kualitas produksi (quality control) dengan menggunakan biaya standardisasi yang efisien dan efektif. Keadaan ini merupakan suatu hal yang wajar, karena perusahaan adalah organisasi yang usahanya untuk mencapai kemakmuran. Perusahaan harus berusaha agar tetap memenuhi fungsinya dalam menunjang perkembangan dan kesuksesan menghadapi persaingan dengan perusahaan yang sejenis. Mencapai hal tersebut perlu adanya pengendalian kualitas, sehigga tetap diterima oleh konsumen.

                Sehubungan usaha tersebut, maka perhatian utama perusahaan pada umumnya dititik beratkan pada standardisasi biaya dalam proses produksi dalam hubungan dengan quality control hasil produksi yang dihasilkan, karena biaya-biaya yang dikeluarkan relevan dengan hasil produksinya.

                Biaya total ataupun biaya per unit harus diketahui untuk menentukan harga jual. Besarnya keuntungan atau kerugian, dapat juga diketahui, sebab tiap-tiap transaksi perusahaan selalu membandingkan biaya (cost) yang disertai dengan pengawasan pada saat berproduksi.

                Seorang pengusaha adalah lebih mudah untuk menghitung harga pokok barang dari proses produksi, sebab perhitungan biaya bagi produsen menurut proses produksi sampai barang itu dipasarkan. Bagi produsen, harga pokok merupakan salah satu masalah yang penting dan cukup ruwet untuk dipecahkan.

                Berdasarkan uraian tersebut penulis memilih perusahaan PTP. XIV Pabrik Gula Takalar Kabupaten Takalar sebagai obyek penelitian dengan mengangkat judul "Pengaruh Standardisasi Biaya Produksi Terhadap Total Quality Control Pada PTP. XIV Pabrik Gula Takalar Kabupaten Takalar”.

                B. Rumusan Masalah

                Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah Apakah Standardisasi Biaya Produksi berpengaruh terhadap Total Quality Control pada PT. Perkebunan Nusantara (persero) kabupaten Takalar.

                C. Tujuan Penelitian

                Untuk mengetahui pengaruh standardisasi biaya produksi terhadap Total Quality Control pada PT. Perkebunan Nusantara (persero) kabupaten Takalar.

                D. Manfaat penelitian

                a. Manfaat Teoritis
                Sebagai konstribusi pengembangan ilmu akuntansi biaya, khususnya yang terkait dengan pengarus standarisasi biaya produksi terhadap total quality control.

                b. Manfaat Praktis
                Hasil penelitian ini di harapkan dapat berguna sebagai referensi dasar untuk penelitian berikutnya dalam bidang yang sama.

                c. Kebijakan
                Sebagai bahan masukan perusahaan untuk mengevaluasi kembali sistem akuntansi biaya yang ada terutama mengenai standardisasi biaya produksi terhadap total quality control.

                DOWNLOAD SKRIPSI



                Untuk download versi lengkapnya bisa lewat link di bawah!


                Download via Google Drive


                DOWNLOAD GD

                Download via Mediafire


                DOWNLOAD MF
                Baca Lengkap....

                Skripsi Perlindungan Korban Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Secara Berlanjut (Abstrak)

                Skripsi Perlindungan Korban Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Secara Berlanjut (Abstrak)

                ABSTRAK

                Nama : NURFADILLAH
                NIM : 104 001 142 03
                Fakultas/Jurusan: Syari’ah dan Hukum/Ilmu Hukum
                Judul : Perlindungan Korban Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Secara Berlanjut (Studi kasus putusan Nomor: 61/Pid.sus/2015/PN.Sgm)


                Skiripsi ini berjudul perlindungan korban tindak pidana pencabulan terhadap anak secara berlanjut (studi putusan nomor: 61/Pid.sus/2015/2015/PN.Sgm), pokok masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana yang dilakukan secara berlanjut atau lebih dari satu kali terhadap anak, karena tindak pidana pencabulan merupakan salah satu bentuk tindak pidana terhadap anak yang merupakan contoh kerentangan posisi anak, terutama terhadap kepentingan seksual laki-laki.

                Ketidakmampuan anak untuk melawan dan rasa takut yang dimiliki membuat anak rentang menerima perbuatan cabul dari laki-laki. Perlindungan yang diberikan untuk melindungi hak-hak anak merupakan salah satu hal yang menarik untuk diperhatikan, seperti pada perkara dengan nomor putusan 61/Pid.sus/2015/PN.Sgm.

                Tujuan penelitian untuk mengetahui bentuk perlindungan Hukum terhadap korban tindak pidana pencabulan terhadap anak secara berlanjut pada perkara putusan nomor 61/Pid.sus/2015/PN.Sgm; mengetahui faktor yang mendorong dan menghambat pemberian perlindungan hukum kepada korban tindak pidana pencabulan terhadap anak secara berlanjut pada perkara putusan nomor 61/pid.sus/2015/PN.Sgm.

                Penelitian ini menggunakan metode penelitian pendekatan Yuridis sosiologis dengan spesifikasi penelitian deskriftif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Penelitian ini mengungkapkan bentuk perlindungan yang diberikan terhadap korban tindak pidana pencabulan terhadap anak secara berlanjut pada perkara putusan nomor 61/Pid.sus/2015/PN.Sgm adalah bentuk perlindungan secara langsung yang meliputi upaya rehabilitasi, mencakup pelayanan medis dan bantuan hukum serta adanya konseling, dan perlindungan tidak langsung yang diberikan kepada korban adalah hakim melaksanakan sidang secara tertutup dan mengisolir terdakwa ke dalam penjara selama Sembilan tahun melalui putusannya, faktor penghambat pemberian perlindungan antara lain peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia, kesadaran korban kurangnya fasilitas dan faktor pendorong pemberian perlindungan antara lain peraturan perundang-undangan yang mendukung dan dukungan pemerintah daerah.


                Skripsi Perlindungan Korban Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Secara Berlanjut dengan klik tombol download di bawah!

                Download via Google Drive


                DOWNLOAD GD

                Download via Mediafire


                DOWNLOAD MF
                Baca Lengkap....