Tokoh: Biografi Muhammad Yamin


Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903. Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal, yaitu Rahadijan Yamin. Di zaman penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda.

Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS) “Sekolah Menengah Umum” di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer.

Muhammad Yamin

Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’ pada tahun 1932. Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Yong Sumatramen Bond ‘Organisasi Pemuda Sumatera’ (1926–1928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain adalah Partindo (1932–1938).

Pada tahun 1938-1942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai anggotaVolksraad ‘Dewan Perwakilan Rakyat’. Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain, adalah Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953–1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962).

Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun perjuangan kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan luas. Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya. Barangkali halini merupakan pengaruh lingkungan keluarganya karena ayah ibu Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau. Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914. Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.


Pada tahun 1928 Yamin menerbitkan kumpulan sajaknya yang berjudul Indonesia, Tumpah Darahku. Penerbitan itu bertepatan dengan Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda yang terkenal itu. Dalam kumpulan sajak ini, Yamin tidak lagi menyanyikan Pulau Perca atau Sumatera saja, melainkan telah menyanyikan kebesaran dan keagungan Nusantara. Kebesaran sejarah berbagai kerajaan dan suku bangsa di Nusantara seperti kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Pasai terlukis dalam sajak-sajaknya. Dalam salah satu sajaknya, ia mengatakan demikian: ‘….. kita sedarah sebangsa/Bertanah air di Indonesia’.


Patriotisme Yamin yang juga mengilhami untuk menumbuhkan kecintaan pada bangsa dan sastra. Yamin melihat adanya hubungan langsung antara patriotisme yang diwujudkan lewat kecintaan pada bahasa dan pengembangan sastra Indonesia. Sebagai penyair yang kecintaannya pada bahasa nasionalnya berkobar-kobar, ia cenderung mengekspresikan rasa estetisnya dalam bahasa nasionalnya dengan harapan kesusastraan baru akan tumbuh lebih pesat.


Di Jakarta, dalam usia 59 tahun, yaitu pada tanggal 17 Oktober 1962, Muhammad Yamin tutup usia. Walaupun pada masa dewasanya ia praktis meninggalkan lapangan sastra dan lebih banyak berkecimpung dalam lapangan politik dan kenegaraan ia telah meninggalkan karya-karya yang berarti dalam perkembangan sastra Indonesia. Di samping menulis sajak, misalnya Ken Arok dan Ken Dedes (1943) dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932?). Yamin memang banyak menaruh minat pada sejarah, terutama sejarah nasional. Baginyta sejarah adalah salah satu cara dalam rangka mewujudkan cita-cita Indonesia Raya. Dengan fantasi seorang pengarang roman dan dengan bahasa yang liris, ia pun menulis Gadjah Mada (1946) dan Pangeran Diponegoro (1950). Ia banyak pula menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia, antara lain karya sastrawan Inggris William Shakespeare (1564–1616) berjudul Julius Caesar (1952) dan dari pengarang India Rabindranath Tagore (1861–1941) berjudul Menantikan Surat dari Raja dan Di Dalam dan Di Luar Lingkungan Rumah Tangga.



~~Semoga Bermanfaat~~
Baca Lengkap....

Tokoh: Biografi Jenderal Besar Soedirman


Jendral Besar Soedirman (Ejaan Soewandi: Sudirman), lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari 1916. Beliau merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia berlatarbelakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan.

Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.


Sudirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa. Sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang. 


Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya. 


Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara. 


Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara. 



Sementara pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.

Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.

Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.

Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.

Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.

Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Ke-residenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun.  Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.

Berikut biodata lengkap beliau:

Nama: Jenderal Sudirman
Lahir: Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916
Meninggal: Magelang, 29 Januari 1950
Agama: Islam
Pendidikan Fomal:
  • Sekolah Taman Siswa
  • HIK Muhammadiyah, Solo (tidak tamat)
Pendidikan Tentara: Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor
Pengalaman Pekerjaan: Guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap
Pengalaman Organisasi: Kepanduan Hizbul Wathan
Jabatan di Militer:
  • Panglima Besar TKR/TNI, dengan pangkat Jenderal
  • Panglima Divisi V/Banyumas, dengan pangkat Kolonel
  • Komandan Batalyon di Kroya
Tanda Penghormatan: Pahlawan Pembela Kemerdekaan
Meninggal: Magelang, 29 Januari 1950
Dimakamkan: Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.



~~Semoga Bermanfaat~~
Baca Lengkap....

Kurangnya Minat Belajar di Kalangan Mahasiswa


Narasumber: Iswati Mahmudah
Profesi: Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia

Perkembangan mahasiswa dilihat dari segi kognitifnya setiap tahun semakin menurun, motivasi belajarnya otomoatis juga akan ikut menurun dan secara tidak langsung perkembangan kognitifnya juga ikut menurun.

Penyebab sehingga penurunan itu terjadi adalah yang pertama tentu tujuan mereka belejar itu tidak 100% dari minatnya, yang kedua motivasinya sangat rendah yang ingin dicapai mengambang, hal itu merupakan pengaruh pergaulan arus global (eksternal) sehingga mereka jauh dari buku coba lihat mahasiswa, mereka lebih asyik facebook, twiter, dan chatting berjam-jam daripada membaca. Jika minat membacanya kurang maka prestasinya juga akan menurun.

Tindakan khusus dari fakultas/prodi mengenai hal ini berbentuk pelatihan-pelatihan, kegiatan ilmiah, kemudian gaya mengajar dosen harusnya memberikan tugas itu harus ada respon paling tidak untuk penguatan, baik atau tidaknya tugas tersebut. Dengan kegiatan ilmiah yang diadakan maka mahasiswa harus menyadari bahwa ilmu yang didapatkan dari dosen belum seberapa dibanding perkembangan teknlogi yang semakin bertambah sehingga mahasiswa dapat menambah ilmunya dengan memanfaatkan IPTEK tersebut karena di internet itu setiap hari ada artikel-artikel yang berbeda, misalnya hari ini tentang disiplin, besoknya lagi tentang informasi lainnya. Sekarang bukan lagi hitungan hari melainkan setiap detik artikel di internet bisa saja berubah. Mahasiswa yang malas beli buku, jurusan Bahasa Indonesia tidak punya kamus Bahasa Indonesia, tidak punya EYD, dan tata bahasa baku. Jurusan Bahasa Inggris yang tidak punya kamus Bahasa Inggris, tidak bisa berbahasa Inggris. Hal itu adalah sesuatu yang yang tidak seharusnya terjadi. Penyebab terjadinya semua itu adalah mahasiswa kurang berlatih keterampilan-keterampilan berbahasa kita akhirnya lebih meningkat dan itu dikaitkan dengan mata kuliah.

Dampak dari kurangnya minat belajar adalah karya tulisnya itu semakin hari semakin tidak bermutu apalagi dosen yang membimbingnya tidak jeli apakah ini tulisan mahasiswa sendiri atau hasil dari tiruan dari hasil-hasil penelitian yang telah ada. Kalau dosennya tidak jeli seperti itu maka mahasiswa akan menyalin saja, bahkan banyak yang membeli skripsi. Mahasiswa juga banyak yang menyontek ketika ujian hal ini dilakukan karena mereka kurang percaya diri yang disebabkan oleh kurang membaca sehingga pengetahuannya sangat minim, kalau sudah ujian seperti itu tidak ada rasa malunya.

Solusi yang tepat untuk mengatasi kurangnya minat belajar di kalangan mahasiswa adalah dengan mengembangkan diri mahasiswa yang ditunjang dari sarana dan prasarana  yang ada di kampus. Sarana yang ada di perpustakaan lengkap atau tidak. Kalau buku-buku di perpustakaan lengkap mahasiswa bisa lebih giat lagi membaca, apalagi bagi mahasiswa yang tidak mampu tidak harus membeli buku untuk dibaca dan dipelajari tapi cukup pinjam saja di perpustakaan. Oleh karena itu, sarana kampus harus dilengkapi juga karena buku di perpustakaan itu-itu saja, dari dulu sampai sekarang tidak ada perubahan. Setidaknya perpustakaan kampus sama dengan perpustakaan wilayah dan multimedia. Ruangan kelasnya juga tidak mendukung akhirnya proses belajar mengajar tidak berjalan dengan kondusif. Bagaimana bisa belajar dengan tenang kalau ruangannya tidak kondusif, panas, pengap dan ribut. Mau menggunakan LCD juga tida bisa karena persediaan yang tidak memadai, tidak mungki juga setiap dosen membawa LCD ke kampus untuk mengajar karena itu memang seharusnya disediakan oleh kampus. Jadi solusi yang tepat untuk mengatasi hasil tersebut adalah dengan melengkapi sarana dan prasarana yang ada di kampus untuk menunjang perkembangan belajar mahasiswa.

Pengaruh kurangnya minat belajar mahasiswa terkait dosen yang bersangkutan. Seharusnya sering dilakukan penyegaran terhadap dosen-dosen dengan melakukan diklat, atau memberi kesempatan kepada mereka untuk belajar di perguruan tinggi yang lain, tidak usah pada perguruan tinggi negeri tapi di Universitas Muhammadiyah Malang sudah cukup karena Universitas Muhammadiyah Malang adalah salah satu perguruan tinggi yang terkenal di Indonesia dan dosen-dosennya juga berkualitas. Selain itu, mereka juga diberi kesempatan untuk belajar lagi, seharusnya kita bercermin pada sistem yang diterapkan di sana.

Dosen yang ideal adalah dosen yang  bisa menyadarkan mahasiswanya bahwa meraka itu perlu ilmu, perlu berkembang, dan mereka harus memiliki dorongan ingin tahu yang tinggi. Dosen juga harus bisa membagi waktunya antara jadwal mengajarnya dan kegiatan pengembangan dirinya apatahlagi kepentingan pribadinya. Jika dosen tidak sempat mengajar karena mengikuti kegiatan yang untuk pengembagan profesinya seperti mengikuti pelatihan-pelatihan keguruan maka tidak apa-apa jika tidak masuk mengajar pada satu pertemuan karena pengaruhnya juga akan dirasakan oleh peserta didiknya, tapi Dia harus mangganti jam mengajarnya itu pada waktunya yang lain dan penampilannya dalam mengajar harus lebih baik dari sebelumnya. Mengenai dosen yang tidak berkompoten dalam bidangnya seharusnya mereka tidak mengajar kecuali jika mereka bersedia untuk belajar dengan giat untuk menguasai pelajaran yang telah diamanahkan padanya, tetapi jika mereka tidak berkompoten dalam hal itu dan mereka tidak mau belajar maka apa yang akan diajarkan pada peserta didiknya. Dari pihak fakultas dan prodi juga harus ada kontrak atau semacam peraturan yang disepakati bersama, jadi tidak asal mengeskakan dosen saja tanpa ada kesepakata dari dosa yang bersangkutan sehingga tidak ada lagi kata tidak siap atau sibuk. Pihalk prodi juga harus melihat aktivitas dosen, jika dosen itu sibuk maka tidak boleh diberi mata kuliah yang banyak karena perkuliahan itu tidak akan berjalan lancar.

Harapan saya untuk mahasiswa ke depannya, yang pastinya harus lebih baik dari sekarang dan dari universitas yang lain. Sebenarnya kita sudah punya nilai lebih dibandingkan dengan universitas yang lain. Nilai lebihnya adalah kita belajar AIK (al-Islam Kemuhammadiyahan). Dengan demikian, diharapkan mahasiswa bisa punya kesadaran yang lebih dalam tentang agama. Tapi ada juga mahasiswa yang tingkat kesadarannya masih kurang, mereka tidak menyadari apa sebenarnya yang menjadi tujuan yang ingin dicapainya. Mahasiswa yang seperti ini harus diberi pengertian agar mereka sadar bahwa pendidikan itu penting sehingga mereka bisa bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. *** 

Sumber: Majalah Mitra Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Angk. 09
Baca Lengkap....

Konsep Perubahan Sosial


Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Berbicara tentang perubahan, kita membayangkan sesuatu yang terjadi setelah jangka waktu tertentu; kita berurusan dengan perbedaan keadaan yang diamati antara sebelum dan sesudah jangka waktu tertentu.
Untuk dapat menyatakan perbedaannya, ciri-ciri awal unit analisis harus diketahui dengan cermat-meski terus berubah (Strasser dan Randall dalam Sztompka, 2004; 5). Jadi konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga gagasan: (1) Perbedaan; (2) pada waktu berbeda; dan (3) di antara keadaan sistem sosial yang sama.
Perubahan sosial adalah setiap perubahan yang tak terulang dari sistem sosial sebagai satu kesatuan (Hawley dalam Sztompka, 2004). Perubahan sosial dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, tergantung pada sudu pengamatan: apakah dari sudut aspek, fragmen atau dimensi sistem sosialnya. Ini disebabkan keadaan sistem sosial itu tidak sederhana, tidak hanya berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil keadaan berbagai komponen seperti berikut:
Unsur-unsur pokok (misalnya: jumlah dan jenis individu, serta tindakan mereka).

  1. Hubungan antarunsur (misalnya: ikatan sosial, loyalitas, ketergantungan, hubungan antarindividu, integrasi).Berfungsinya unsur-unsur di dalam sistem (misalnya: peran pekerjaan yang dimainkan oleh individu atau diperlukannya tindakan tertentu untuk melestarikan ketertiban sosial).
  1. Pemeliharaan batas (misalnya: kriteria untuk menentukan sipa saja yang termasuk anggota sistem, syarat penerimaan individu dalam kelompok, prinsip rekrutmen dalam organisasi, dan sebagainya).
  1. Subsistem (misalnya: jumlah dan jenis seksi, segmen, atau divisi khusus yang dapat dibedakan).
  1. Lingkungan (misalnya: keadaan alam atau lokasi geopolitik).
  1. Proses Perubahan Sosial
  1. Strategi Perubahan Sosial

 Terciptanya keseimbangan atau kegoncangan, konsensus atau pertikaian, harmoni atau perselisihan, kerja sama atau konflik, damai atau perang, kemakmuran atau krisis dan sebagainya, berasal dari sifat saling memengaruhi dari keseluruhan ciri-ciri sistem sosial yang kompleks itu. Bila dipisah-pisah menjadi komponen dan dimensi utamanya, teori sistem secara tak langsung menyatakan kemungkinan perubahan berikut:
1.      Perubahan komposisi (mislnya, migrasi dari satu kelompok ke kelompok lain, menjadi anggota satu kelompok tertentu, pengurangan jumlah penduduk karena kelaparan, demobilisasi gerakan sosial, bubarnya suatu kelompok).
2.      Perubahan struktur (misalnya, terciptanya ketimpangan, kristalisasi kekuasaan, munculnya ikatan persahabatan, terbentuknya kerja sama atau hubungan kompetitif).
3.      Perubahan fungsi (misalnya, spesialisasi dan diferensiasi pekerjaan, hancurnya peran ekonomi keluarga, diterimanya peran yang diindoktrinasikan oleh sekolah atau unuversitas).
4.      Perubahan batas (misalnya, penggabungan beberapa kelompok, atau satu kelompok oleh kelompok lain, mengendurnya kriteria keanggotaan, dan penaklukan).
5.      Perubahan hubungan antar subsistem (misalnya, penguasaan rezim politik atas organisasi ekonomi, pengendalian keluarga dan keseluruhan kehidupan privat oleh pemerintah totaliter).
6.      perubahan lingkungan (misalnya, kerusakan ekologi, gempa bumi, munculya wabah atau virus HIV, lenyapnya sistem bipolar internasional).

Adakalanya perubahan hanya terjadi sebagian, terbatas ruang lingkupnya, tanpa menimbulkan akibat besar terhadap unsur lain dari sistem. Sistem sebagai keseluruhan tetap utuh, tak terjadi perubahan menyeluruh atas unsur-unsurnya meski di dalamnya terjadi perubahan sedikit demi sedikit. Contoh, kekuatan sistem politik demokratis terletak dalam kemampuannya menghadapi tantangan, mengurangi protes dan menyelesaikan konflik dengan mengadakan perombakan sebagian tanpa membahayakan stabilitas dan kontinuitas negara sebagai satu kesatuan. Perubahan seperti ini merupakan sebuah contoh perubahan di dalam sistem. Namun, pada kesempatan lain, perubahan mungkin mencakup keseluruhan (atau sekurangnya mencakup inti) aspek sistem, menghasilkan perubahan menyeluruh, dan menciptakan sistem baru yang secara mendasar berbeda dari sistem yang lama. Perubahan seperti ini dicontohkan oleh semua revolusi sosial besar. Bila dilihat contoh definisi perubahan sosial, terlihat bahwa berbagai pakar meletakkan tekanan pada jenis perubahan yang berbeda. Namun sebagian besar mereka memandang penting perubahan struktural dalam hubungan, organisasi, dan ikatan antara unsur-unsur masyarakat.
Dari sekian pendapat tentang perubahan sosial, penulis beranggapan bahwa Perubahan Sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu.


Ada tiga hal yang berkenaan dengan proses perubahan sosial. Pertama, bagaimana ideas mempengaruhi perubahan-perubahan sosial. Kedua, bagaimana tokoh-tokoh besar dalam sejarah menimbulkan perubahan besar di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, sejauh mana gerakan-gerakan sosial dalam revolusi menimbulkan perubahan stuktur sosial dan norma-norma sosial (Rahmat, 1999).
 1.  Ideas Menentukan Sejarah
Dalam Marxisme, yang kita kenal sebagai materealisme (historical materialisme), ada anggapan bahwa yang mengubah sejarah, masyarakat dan bangsa bukanlah ide atau gagasan tetapi teknologi, stuktur ekonomi atau penggunaan alat-alat produksi. Marx membagi stuktur masyarakat dalam dua bagian: suprastruktur dan infrastuktur. Suprastruktur adalah bagian yang soft dari sebuah kebudayaan, sedangkan infrastruktur adalah bagian yang hard. Perbandingan antara kebudayaan bisa disamakan dengan software dan hardware pada komputer. Software adalah peralatan komputer itu sendiri. Begitu juga dalam kebudayaan. Yang dibedakan antara program kebudayaan (software) dan kebudayaan itu sendiri (hardware).
Yang termasuk infrastruktur suatu kebudayaan, misalnya, struktur ekonomi atau teknologi kebudayaan iti sendiri; sedangkan suprastrukturnya adalah ideologi, kepercayaan, agama, ideas, dan lain-lain. Menurut Marx, suprastruktur ditentukan oleh infrastruktur. Ideologi akan sangat ditentukan oleh ekonomi. Keadaan ekonomi, misalnya, akan menentukan keadaan kelas; bukan sebaliknya. Agama kita sangat ditentukan oleh posisi ekonomi kita di tengah masyarakat. Versi-versi keberagamaan kita sangat ditentukan oleh letak dalam status sosial ekonomi. Apa yang dirumuskan oleh Marx sebetulnya merupakan antitesis dari apa yang kita bicarakan: bahwa ideas akan menentukan perubahan.
Kekuatan sejarah akan sangat ditentukan oleh ideas (gagasan-gagasan). Ideologilah yang akan menentukan perubahan ekonomi, sistem sosial, dan stuktur politik. Jika ideologi suatu masyarakat berubah, berubah pulalah infrastuktur masyarakat itu. Berbeda dengan pandangan Marx, teori ini menganggap bahwa ideaslah yang paling menentukan perubahan sosial. Teori yang sekaligus menjadi kritik terhadap Marx dikemukakan oleh Marx Weber (Sztompka, 2004).
Suatu masyarakat dikatakan mengalami perubahan sosial jika sistem sosialnya juga berubah. Jadi, dalam perkembangan masyarakat itu, individu tidak berperang apa-apa. Mereka hanyalah poin-poin kecil yang digerakkan oleh sistem sosial, politik, ekonomi. Dulu, para sosiolog melacak perubahan-perubahan pada masyarakat pada perubahan-perubahan institusi; individu sama sekali tidak memegang peranan. Sebagai contoh utamanya dalam tesis Marx. Namun, Weber membalikkan pandangan ini dengan mengatakan bahwa semua perubahan sosial dimulai dari perubahan tingkah laku manusia. Perubaan dari human action, perubahan dari tindakan-tindakan manusia yang ada dimasyarakat. Karena itu, banyak ahli menganggapWeber sebagai pendiri dari apa yang disebut sociologi humanis, sosiologi yang (kembali) menempatkan peranan manusia dalam perubahan-perubahan sosial. Berbeda dengan Marx, Weber berpendapat bahwa superstucture, soft belief system, ideology adalah faktor yang sangat aktif dan efektif dalam mengubah sejarah. Tesis Weber ini terbukti dengan munculnya kapitalisme (Rahmat, 1999).
Kapitalisme adalah sebuah sistem sosial yang di tegakkan di atas dasar pencarian keuntungan dan  tindakan-tindakan rasional. Kata Marx Weber, kapitalisme adalah pengantar menuju masyarakat modern. Bersamaan dengan lahirnya kapitalisme, lahir pula institusi-intitusi dan penguasaan-penguasaan baru yang independen. Pandangan baru tentang pasar (market) juga mulai muncul dipermukaan. Menurut Weber, sebagai sebuah sistem sosial, kelahian kapitalisme. Ada sekelompok orang yang perilakunya berbeda dengna kebanyakan orang pada zaman itu. Kapitalisme muncul karena sekelompok orang yang di sebut Weber sangat newentrepreneur (pengusaha-pengusaha baru) melakukan serangkaian tindakan (human action). Tindakan itu didasarkan pada semangat yang disebut semangat kapitalisme. Semangat kapitalisme terdiri dari tiga rukun berikut; Motif memperoleh laba (profit motive), hidup zuhud atau sederhana (ascetic orentation), dan semangat misi (ideas of calling).
2. Manusia-manusia Besar
Teori tentang great individuals (manusia-manusia besar yang mengubah sejarah) dikemukakan oleh beberapa orang. Thomas Carlyle, misalnya, adalah penulis buku Heroes and Hero Worshipers (para pahlawan dan pemujaan pahlawan). Menurut Carlyle, sejarah adalah biografi manusia besar “history of the world is the biography of the great man”. Pada salah satu bagian, dia menulis tentang Rasulullah, The Hero as The Prophet, pahlawan sebagai Nabi. Thomas Carlyle memandang sejarah sebagai biografi dari manusia-manusia besar. Dia mengatakan, “sejarah universal merupakan sejarah apa yang telah dicapai oleh umat manusia di dunia dan pada dasarnya adalah sejarah manusia besar yang sudah bekerja di dunia”. Lebih lanjut, Carlyle mengatakan bahwa manusia besar adalah jiwa dari seluruh sejarah umat manusia.
Ada tiga macam tipe individu di tengah-tengah masyarakat (Rahmat, 1999). Pertama, ada ordinary people (manusia-manusia biasa) seperti kita yang membentuk jaringanjaringan sosial. Masyarakat sebenarnya terdiri dari sekian banyak ordinary people. Kita tidak bisa memasukkan mereka sebagai individu besar untuk mengubah sejarah. Kedua, exceptional actors, yaitu tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Mereka bisa berbuat apa saja dan mempunyai kearifan yang dalam. Mereka bisa memahami apa yang dibutuhkan masayarakat di sekitarnya. Exceptional actors ini termasuk para nabi, pembaharu, dan tokoh sejarah besar. Mereka mempunyai sesuatu yang istimewa yang membedakannya dengan manusia yang lain. Tipe terakhir adalah orang-orang yang berada di antara kedua tipe tadi. Orang seperti ini tidak mempunyai kebijakan dan pengetahuan seperti yang dimiliki oleh exceptional actors, tetapi mereka menduduki posisi penting di masyarakat. Karena itu mereka biasanya disebut holders of exceptional positions. Seseorang, misalnya, yang memiliki kearifan yang rendah, tiba-tiba menjadi presiden. Maka dia pun akan ikut menentukan jalannya sejarah dan dapat mempengaruhi proses perubahan perubahan sosial. Bahkan, sekiranya dia buta huruf seperti seorang kaisar di Afrika, dia dapat menentukan jalannya sejarah, paling tidak di negerinya sendiri.
Lalu apa yang dilakukan oleh great individuals itu untuk mengubah sejarah? Ada beberapa type of actions yang dilakukan oleh manusia. Sebagai anggota masyarakat kita berada dalam sebuah spektrum, dari private actions, tindakan orang yang mempengaruhi secara pribadi tetapi tidak begitu banyak yang menimbulkan perubahan sosial, sampai tindakan bersama (collective actions) yang tidak terorganisasi, biasanya dilakukan dengan cara yang buruk. Demonstrasi-demonstrasi yang belakangan marak, biasanya hanya bersifat temporer. Kerusuhan-kerusuhan juga menimbulkan perubahan sosial, tetapi tidak berdampak besar kepada masyarakat sebagai bangsa. Collective actions ini biasanya dilakukan oleh social movement (gerakan-gerakan sosial). Tindakan yang lebih bisa mengubah lagi adalah tindakan-tindakan yang terorganisasi, terencana, dan sudah disiapkan sebelumnya, seperti organizing dan mobilizing. Dalam istilah Bung Karno, ada yang dikenal dengan pembentukan kekuatan dan pemanfaatan kekuatan. Ada sebuah organisasi sosial yang mengorganisasi rencana-rencana mereka membentuk kekuatan dan memanfaatkan kekuatan itu. Tindakan yang paling akhir adalah tindakan-tindakan politik (political action). Seorang great individuals diukur pengaruhnya dari seluruh tindakan ini (Sztompka, 2004).
3. Revolusi
Ketika seluruh bangsa dilanda krisis, semua orang menuntut perubahan. Makin menderita bangsa itu, makin ingin perubahan itu segera terjadi. Revolusi muncul sebagai strategi terbaik. Reformasi dianggap terlalu lamban, sementara perut tidak bisa menunggu. Bila penyakit sosial seperti korupsi sudah berurat berakar dalam seluruh tubuh bangsa, kita memerlukan pembedahan total; yakni, revolusi. Ada kerinduan untuk menyongsong revolusi. Ada kebanggaan dalam gerakan revolusioner. Ada banyak contoh bangsa-bangsa besar lahir dari puing-puing revolusi. Tetapi, pada saat yang sama, ada ketakutan akan kedahsyatan revolusi. Bayangan kita tentang revolusi itu ambigu. Pada satu sisi, revolusi dipandang sebagai pelita harapan, yang membimbing kita dari kegelapan status quo pada cahaya masa depan. Pada sisi lain, revolusi dilihat sebagai momok yang mengerikan, bersimbah darah, dan penuh adegan kekerasan (Sztompka, 2004).
Revolusi adalah manifestasi perubahan sosial yang paling spektakuler. Revolusi menengarai guncangan fundamental dalam proses sejarah, membentuk kembali masyarakat dari dalam dan merancang lagi bangsa. Revolusi tidak membiarkan apapun seperti sebelumnya; revolusi menutup satu zaman dan membuka zaman baru. Pada saat revolusi, masyarakat mengalami puncak perannya, ledakan potensi transformasi diri. Pada bangkitnya revolusi, masyarakat dan para anggotanya seakan-akan dihidupkan kembali, hampir dilahirkan kembali. Dalam pengertin ini, revolusi adalah tanda kesehatan sosial. Karena muatan makna yang sarat ideologis, revolusi sering dirancukan dengan berbagai cara perubahan sosial lainnya. Revolusi memang perubahan yang cepat; tetapi tidak semua perubahan yang cepat disebut revolusi. Menurut Sztompka, paling tidak ada lima ciri yang membedakan revolusi dari jenis-jenis perubahan sosial lainnya:
1.      Revolusi menimbulkan perubahan pada skala yang paling luas; menyentuh semua tahap dan dimensi masyarakat: ekonomi, politik, budaya, organisasi sosial, kehidupan sehari-hari, kepribadian manusia.
2.      Pada semua bidang kehidupan ini, perubahannya bersifat radikal, fundamental, mencapai akar atau inti dari konstitusi dan fungsi masyarakat.
3.      Perubahan berlangsung dengan sangat cepat, seperti sebuah ledakan dinamika yang terbersit dari arus lamban proses sejarah.
4.        Revolusi juga menunjukkan perubahan yang paling kentara; karena itu paling dikenang.
5.      Revolusi menimbulkan reaksi emosional dan intelektual yang sangat istimewa pada para peserta atau saksi revolusi: semangat yang membara, ledakan mobilisasi massa, optimisme, perasaan perkasa, kegembiraan dalam keikutsertaan pada ‘pesta’ revolusi; aspirasi yang melangit dan utopia masa depan.  


Perubahan sosial bisa dilakukan dengan revolusi atau people’s power. Revolusi atau people’s power merupakan bagian dari power strategy (strategi perubahan sosial dengan kekuasaan). Dan revolusi merupakan puncak dari semua bentuk perubahan sosial. Karena, ia menyentuh segenap sudut dan dimensi sosial secara radikal, massal, cepat, mencolok, dan mengundang gejolak intelektual dan emosional dari semua orang yang terlibat di dalamnya.
Strategi perubahan yang lainnya adalah persuasive strategy (strategi persuasif). Dalam strategi ini, media massa bisa sangat berperan. Karena, pada umumnya, strategi persuasif dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat yang tidak lain melalui media massa. J.A.C. Brown memasukkan propaganda dalam strategi persuasif untuk melakukan perubahan sosial (Ritzer, 2003).
Dan yang terakhir adalah strategi normative reeducative (normatif-reedukatif). Normatif adalah kata sifat dari norm (norma) yang berarti aturan yang berlaku di masyarakat. Posisi kunci norma-norma sosial dalam kehidupan bermasyarakat telah diakui secara luas oleh hampir semua ilmuwan sosial.
Norma termasyarakatkan lewat education (pendidikan). Oleh sebab itu, strategi normatif ini umumnya digandengkan dengan upaya reeducation (pendididkan-ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat yang lama dengan yang baru. Jadi, strategi ini juga lebih banyak bersifat persuasif dan bertahap. Lain halnya dengan revolusi yang disebut sebagai perubahan sosial secara cepat.
Perubahan sosial berbeda dengan perubahan individual. Walaupun, mungkin saja perubahan individual mempengaruhi perubahan sosisal dikemudian hari. Sebaliknya pun begitu. Perbedaannya terletak pada hubungannya dengan rekayasa sosial dan rekayasa individual. Rekayasa sosial dilakukan karena munculnya problem-problem sosial. Sebelum ada problem sosial, tidak akan ada orang berpikir untuk melakukan rekayasa sosial. Jadi, munculnya problem sosial yang mesti segera diatasi merupakan faktor utama dalam melakukan rekayasa sosial.
Untuk mengatasi problem sosial, kita perlu mengubah institusi-institusi sosial, sistem sosial, dan norma-norma sosial yang sebelumnya berlaku dalam suatu masyarakat. Pendeknya, harus ada suatu perubahan sosial, bukan individual. Dan, seperti yang telah disebut di atas, perubahan sosial yang terencana (planed social change) pasti melalui rekayasa sosial. Belakangan, rekayasa sosial ini diganti dengan social marketing (pemasaran sosial). Karena, ketika kita merencanakan suatu perubahan sosial, kita sebenarnya sedang memasarkan rencana baru atau solusi. Biar berjalan lancar, solusi itu perlu dipasarkan dan ditawarkan kepada masyarakat. Bila kebanyakan anggota masyarakat menerima tawaran kita, maka perubahan sosial itu akan berjalan dengan lancar. Jika yang terjadi sebaliknya maka perubahan sosial itu bisa terhambat atau bahkan tidak bisa jalan sama sekali.
Ada  beberapa problem sosial yang disebutkan oleh para ilmuwan sosial sebagai sumber-sumber perubahan: (1) Poverty (kemiskinan). Kemiskinan adalah problem sosial yang melibatkan orang banyak. (2) Crimes (kejahatan). Kejahatan bisa berjenjang-jenjang dari blue collar crimes hingga white collar crimes (kejahatan orang yang berkerah putih). White color crimes, misalnya, adalah kejahatan yang dilakukan oleh para ustad, eksekutif, birokrat, politisi, dan yang setingkat dengan mereka (Rahmat, 1999).
Sekarang ini, masyarakat kita dilanda oleh white color crimes yang sangat menggugah dan mengungkit rasa keadilan kita. Seringkali kita menemukan ada anak jalanan  atau rakyat jelata yang dipukuli oleh satpam sampai mati hanya karena mencuri kayu di hutan sejumlah beberapa kubik saja. Sementara, yang mencuri kekayaan hutan seharga ratuan juta dibiarkan. Masalah white color crimes ini adalah problem sosial yang amat menganiaya rakyat kecil di Indonesia pada zaman Orde Baru ataupun saat ini. (3) Pertikaian atau konflik. Konflik sosial bisa bersifat rasial, etnis, sektarian, ideologis, dan sebagainya. Bahkan, dalam kerangka pikir Marxian, perubahan (transformation) sistem sosial yang bersifat menyeluruh hanya akan terjadi melalui konflik. Tanpa terjadi konflik, tidak akan ada transformasi yang bersifat menyeluruh.

Baca Lengkap....

Karya Sastra dan Masyarakat


          Karya sastra adalah suatu wadah untuk mengungkapkan gagasan, ide dan pikiran dengan gambaran-gambaran pengalaman. Sastra menyuguhkan pengalaman batin yang dialami pengarang kepada penikmat karya sastra (masyarakat). Sastra bukan hanya refleksi sosial melainkan merespresentase sebuah gagasan tentang dunia yang atau gagasan atas realitas sosiologis yang melampaui waktunya.  Karya sastra yang baik adalah sebuah karya yang dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat. Hubungan sastra dengan masyarakat pendukung nilai-nilai kebudayaan tidak dapat dipisahkan, karena sastra menyajikan kehidupan dan sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial (masyarakat), walaupun karya sastra meniru  alam dan dunia subjektif manusia (Wellek dan Warren, 1990:109). Di samping itu sastra berfungsi sebagai  kontrol sosial yang berisi ungkapan sosial beserta problematika kehidupan masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Jobrahim, ed, (1994: 221) bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.
            Secara historis, dalam kaitannya dengan masyarakat yang menghasilkannya, karya sastra dibedakan menjadi dua macam, yaitu sastra lama (klasik) dan sastra baru (modern). Sastra lama juga disebut sastra  daerah (regional), menggunakan bahasa (bahasa) daerah, terbesar diseluruh Nusantara. Sebaliknya, sastra modern juga disebut sastra Indonesia (nasional), menggunakan bahasa Indonesia, penyebarannya pada umumnya terbesar pada kota-kota (besar). Sebagai objek kajian, kedudukan sastra lama dan sastra modern sama, relevansinya tergantung dari sudut pandang dan kepentingan suatu penelitian.
            Secara teknis sastra lama ada dua macam, yaitu sastra lisan (oral) dan sastra tulis. Melihat kondisi-kondisi geografis ekologis, dan keragaman bentuknya, sastra lisan merupakan khazanah kebudayaan yang paling kaya. Melihat penyebaranya yang sangat luas, khazana kultural ini tidak pernah terdeteksi secara pasti. Yang pasti adalah bahwa tradisi tersebut makin lama makin berkurang dengan berkurangnya masyarakat pendukung sebagai akibat mobilitas dan globalisasi. Tradisi tulis tidak berpengaruh terhadap keberadaan sastra lisan. Artinya, meskupun suatu tradisi lisan telah ditranskripsikan ke dalam tulisan, tradisi tersebut tetap hidup dengan mekanismenya masing-masing. Oleh karena itu, masyarakat pendukungnyalah yang memilki pengaruh terbesar terhadap perkembangan tradis lisan. Tradisi lisan adalah tradisi komunikasi langsung dan dimungkinkan terjadinya interaksi antara pengirim dengan penerima. Esensi tradisi oral adalah proses komunikasi tersebut, bukan proses tekno;ogisasinya. Transkipsi, transliterasi, dan sebagainnya  hanyalah gejala kedua, sama dengan sinopsis sebuah novel, relevansinya tersebut untuk membantu memahami objek yang sesungguhnya (Ratna, 2005).
            Tradis tulis berkembang dengan pesat sejak ditemukannya mesin cetak abad ke-15 oleh Guttenberg. Satu abad kemudian, yaitu abad ke-16, hampir semua khazanah kebudayaan Eropa Klasik sudah tersedia dalam bentuk cetakan teknologi ini sampai di Indonesia pertengahan ke-18, diawali dengan penerbitan surat kabar yang pertama oleh pemerintah kolonial Belanda. Industri percetakan bertambah subur akhir abad ke-19 melalui para pedagang Tioghoa. Menurut Ratna (2005: 62-63) perkembangan ini didukung oleh pemilikan modal untuk membeli alat-alat percetakan di satu pihak tradisi untuk memajukan pendidikan sebagai konservasi nilai-nilai borjuis di pihak yang lain. Kemudian, awal abad ke-20 dunia percetakan diambil alih oleh penerbitan Balai Pustaka. Sementara itu, sastar derah tetap melanjudkan tradisinya masing-masing, seperti Sastra Bali dengan tulisan Bali, sastra Jawa dengan tulisan Jawa, dan sebagainnya. Penemuan teknologi kemputer menpersatukan kedua mekanisme, secara teknologis komputer dapat mentranskipskan kelisana dalam bentuk apa pun, termasuk lambang-lambang menjadi tradisi keberaksaraan.
            Tugas sosiologis sastra, baik sebagai institusi formal maupun literer justru menjadi lebih penting dalam kaitannya dengan nilai-nilainya sebagai aset kebudayaan. Sastra klasik adalah warisan nenek moyang, pancaran masyarakat lama, sekaligus merupakan gudang inforamasi bagi generasi berikutnya. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 45, pasal 32, maka seluruh khazanah kultural yang masih dipelihara oleh masyarakat yang bersangkutan wajib dilindungi oleh negara, termasuk aparatur yang menyertai sesuai dengan fungsinya, maka cara-cara yang dapat dilakukan oleh sosiologis sastra adalah melestarikan dengan cara merekam, mengabadiakan , menganalisis, memahami dan menyebarluaskannya. Tugas ini memang sangat berat sebab kekayaan terbatas. Masalah lain yang juga belum teratasi  adalah keterbatasan dana penelitian. Kendalah yang jauh lebih serius adalah tradisi memposisikan karya sastra sebagai gelajah sekunder, dengan konsekuensi bahwa berbagai masalah yang berkaitan dengan aspek-aspek rohani hanya berfungsi sebagai pelengkap. Oleh karena itulah, banyak tradisi lisan yang belum tersentuh, seperti wilayah pedalaman di Sumatra, Kalimantan dan, Irian  Barat dan sebagainya, sehinnga sangat rawan untuk menjadi punah.
            Perbedaan pendapat mengenai awal terjadinya sastra Indonesia modern timbul sebagai akibat beberapa indikator yang terlibat, di antaranya, sebagai berikut:
1.      Bahasa sebagai kualitas linguistik dan sastra sebagai kulaitas estetis lahir pada periode yang sama. Bahasa dan sastra Indonesia adalah pernyataan sikap bukan hakikat.
2.      Hubungan bentuk sastra lama dan modern belum jelas, sementara pengaruh sastra lama masih sangat kuat.
3.      Pada saat lahirnya sastra Indonesia modern, yaitu awal abad ke-20, terjadi pergeseran sosial yang sangat kompleks termasuk intervensi pemerintah kolonial  dengan cara memanfaatkan sastra sebagai kekuatan politik.
4.      sebagian pendapat berasal dari sarjana Barat yang dengan sendirinya menggunakan tolok ukur sastra Barat.
5.      Usia sastra Indonesia yang masih relatif singkat sehingga sangat sulit untuk mengadakan pembabakan waktu.
Dalam kaitannya dengan peranan masyarakat, masalah aktual paling banyak dibicarakan mengenai sastra awal abad ke-20, terutama sepanjang tahun 1930-an adalah nasionalisme. Menurut Kartodirdjo (1990; 120-130) terdapat beberapa indikator yang menopang perkembangan ideologi tersebut, sebagai berikut :
1.      Meratanya perkembangan pendidikan, yang dengan sendirinya membangkitkan kesadaran nasional.
2.      Timbulnya sikap radikal sebagai akibat penyimpangan pelaksanaan politik etis.
3.      Pengaruh situasi internasional seperti pecahnya Perang Dunia I (1914-1918).

Pesatnya perkembangan sastra Indonesia modern, merupakan akibat langsung pemanfaatan teknologi modern, yaitu percetakan, yang juga disebarluaskan melalui sistem komunikasi modern. Hasil-hasil karya dapat digandakan secara massal dan dapat dinikmati di seluruh pelosok tanah air dalam waktu yang relatif singkat. Sastra modern menyajikan peristiwa aktual yang terjadi sehari-hari, cerita-cerita yang sangat akrab dengan masyarakat kontemporer. Sesuai dengan situasi dan kondisi, tingkat pengalaman dan pengetahuan masyarakat, maka cerita-cerita yang menarik adalah cerita yang mengandung masalah-masalah yang berkaitan dengan kemerdekaan, kemakmuran, percintaan, keberhasilan suatu perjuangan, dan kemajuan-kemajuan perdaban manusia pada umumnya. Lokasi cerita adalah kota-kota besar, tokoh-tokoh berasal dari kelas menengah ke atas.
Karya sastra tetap menarik karena menyerupai kehidupan, tetapi jelas bukan kehidupan itu sendiri. Dimensi-dimensi emosionalitas yang teralienasikan dapat disalurkan melalui pembaca karya sastra. Penjajahan yang sangat lama, taraf kehidupan yang sama sekali tidak memadai, seolah-olah telah melumpuhkan sebagian semangat perjuangan. Membaca karya sastra berarti menumbuhkan harapan-harapan baru, dengan cara mengidentifikasikan diri dengan kejadian-kejadian dalam karya sastra. Karya sastra pada gilirannya menggali energi yang stagnasi, karya sastra merupakan katharsis, revitalisasi bagi kekuatan yang tersembunyi. Pada dasarnya sastra awal abad ke-20 bernilai dari segi ekstraliterer, tetapi semangat itulah yang dapat disumbangkan bagi kemajuan bangsa. Sutan Takdir Alisyahbana merupakan tokoh yang telah banyak memberikan pertimbangan dalam hubungan ini. Pada tingkatan yang lebih luas, polemik kebudayaan memberikan arah terhadap perkembangan budaya kontemporer, meskipun sesungguhnya sampai sekarang belum terwujud secara nyata.
Berbeda dengan karya sastra yang dapat diolongkan menjadi lama dan modern, masyarakat selalu dibayangkan melalui masyarakat sekarang. Dalam analisis sastra lama, misalnya, benar yang dibicarakan adalah masyarakat lama, masyarakat sebagai katar belakang produksi karya, tetapi jelas dinilai dalam kaitannya dengan masyarakat sekarang. Apabila masyarakat sastra lama semata-mata dinilai sebagai masyarakat lama, maka penelitian  menjadi bersifar sejarah, filologi, antropologi, atau sosiologi itu sendiri. Kemungkinan lain analisis menjadi semata-mata refleksi, karya sastra sebagai cermin yang pasif. Sebaliknya, analisis sosiologi adalah analisis karya melalui kompetensi masyarakat, dengan tujuan untuk menemukan estetika karya, bukan estetika masyarakat.
Masyarakat sebagai masalah pokok sosiologi sastra dapat digolongkan ke dalam tiga macam, sebagi berikut:
1.      Masyarakat yang merupakan latar belakang produksi karya.
2.      Masyarakat yang terkandung dalam karya.
3.      Masyarakat yang merupakan latar belakang pembaca.
Masyarakat pertama dihuni oleh pengarang, keberadaannya tetap, tidak berubah sebab merupakan proses sejarah. Masyarakat kedua dihuni oleh tokoh-tokoh rekaan, sebagai manifestasi subjek pengarang. Oleh karena itu, keberadaannya memiliki dua dimensi yang berbeda. Di satu pihak, sebagai bentuk fiisk, sebagai naskah bersifat tetap, sedangkan di pihak lain sebagai kualitas psike, sebagai teks berubah secara terus-menerus. Masyarakat yang terakhir dihuni oleh (para) pembaca. Sebagai proses sejarah keberadaannya sama dengan masyarakat yang pertama. Perbedaannya, masyarakat pembaca berubah sebagai akibat perubahan pembaca itu sendiri, yang berganti-ganti sepanjang zaman (Ratna, 2005; 215-216).
Sebagai masyarakat pengarang, masyarakat pertama terdiri atas fakta-fakta, dihuni oleh individu sekaligus transindividu, peristiwa dan kejadian-kejadiannya dapat diamati secara langsung. Pada umumnya, masyarakat yang terkandung dalam karya sastralah yang paling banyak menarik perhatian. Secara teoritis masyarakat ini merupakan masyarakat imajiner yang sesuai dengan hakikat karya sebagai rekaan. Relevansinya adalah fungsi-fungsinya dalam menampilkan unsur-unsur karya sastra, seperti tokoh-tokoh, tema, sudut pandang, dan sebagainya. Keseluruhan model analisis, ekstrinsik dan intrinsik, otonomi dan sosiologi, strukturalisme dan postrukturalisme, mesti melibatkan masyarakat imajiner sebagaiamana yang terkandung dalam karya sastra (Junus, 1986).
Sesuai dengan perkembangan teori sastra, masyarakat pembaca dianggap sebagai dimensi karya yang mengandung makna paling kaya. Masyarakat pembacalah yang memungkinkan para pembaca berhasil untuk memberikan pemahaman yang berbeda-beda terhadap karya yang sama. Perbedaan yang dimaksudkan terdiri atas perbedaan ruang dan waktu. Sebagai akibat perbedaan ruang, sebuah karya dapat ditafsirkan secara bermacam-macam sesuai dengan latar belakang masing-masing pembaca. Sebuah karya sastra pada gilirannya dapat mengevokasi keberagaman budaya dalam ruang yang tak terbatas. Karya sastra adalah pelita, yang melaluinya dapat ditunjuk berbagai-bagai bentuk kebudayaan lokal, sebagaiamana terkandung dalam diri pembaca. Perbedaan waktu juga menampilkan perbedaan penafsiran. Baik dalam teori maupun sejarah sastra, perbedaan waktu inilah yang dianggap lebih bermakna sebab karya sastra akan tetap hidup sepanjang masa. Karya sastra yang telah lahir ribuan tahun yang lalu, masih menampilkan makna yang berbeda-beda sehingga tetap bermanfaat bagi masyarakat (Wahid, 2006).
Sebagai dua diskresi, sastra dan masyarakat berkembang dengan irama yang juga relatif sama, sastra melalui unsur tokoh-tokoh dan kejadian yang diintegrasikan oleh makanisme pemplotan, masyarakat melalui unsur aksi dan interaksi, status dan peranan yang diintegrasikan oleh mekanisme institusionalisasi. Plot jelas hanya ada dalam karya sastra sebab kejadian dan tokoh-tokoh merupakan bahan kasar, unsur-unsur yang siap pakai, dapat dibekukan dan dimanipulasi, dirangkai sebagai seni waktu. Sebaliknya, dalam kehidupan sehari-hari kejadian mengalir terus tanpa berhenti, karena itulah, tidak ada sorot balik, tidak ada teknik cerita. Keduanya memanfaatkan medium bahasa, baik lisan maupun tulisan, sebagai bahasa sastra dan bahasa sehari-hari.
Berbeda dengan masyarakat pada umumnya, masyarakat sastra ditandai oleh adanya berbagai kepentingan yang berkaitan dengan: 1) citra estetis, 2) ilmu pengetahuan, 3) manfaat pragmatis, 4) nilai ekonomis, dan 5) nilai dokumentasi. Kepentingan mengenai citra estetis meruapakan masalah utama sebab keindahan meruapakan hakikat karya sastra, karya seni pada umumnya, yang pada gilirannya akan merupakan umpan balik bagi perilaku sosial itu sendiri, dalam rangka menanamkan nilai-nilai moral. Kepentingan dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, dalam hal ini secara khusus dikaitkan dengan kritik, esai, dan penelitian mengenai karya sastra itu sendiri, pada gilirannya akan memicu kulaitas aktivitas kreatif berikutnya, manfaat pragmatis dilakukan oleh pembaca biasa, pada umumnya untuk mengisi waktu luang. Manfaat pragmatis juga dilakukan oleh para penguasa untuk mempertahankan kedudukannya, kelompok tertentu, seperti Marxis untuk menyampaikan ideologinya. Nilai ekonomi dilakukan oleh penerbit dan toko buku yang secara keseluruhan berorientasi finansial. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, kepentingan sebagai dokumentasi meliputi pemakaian karya sastra semata-mata sebagai gejala kedua, sebagai obyek penelitian disiplin yang lain. Sesuai dengan hakikatnya, sastra harus mempertahankan kualitas otonomi, ciri-ciri estetis yang diperoleh melalui regulasi diri, kemampuan dalam mengakumulasikan dan mengeksploitasi seluruh unsurnya. Di pihak lain, sastra juga memiliki misi dan tujuan-tujuan tertentu, sesuai dengan kecenderungan masyarakat yang melatarbelakanginya. Terjadi tarik-menarik di atara keduanya, silang sengketa antara hakikat dan manfaat, visi dan misi, kualitas emosional dan intelektual, sastra sebagai proyeksi individu sekaligus transindividu.

       Sastrawan menulis karya sastra, antara lain, untuk menyampaikan model kehidupan yang diidealkan dan ditampilkan dalam cerita lewat para tokoh. Dengan karya sastranya, sastrawan menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat itu pada hakikatnya universal, artinya diyakini oleh semua manusia. Pembaca diharapkan dalam menghayati sifat-sifat ini dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan nyata (Teeuw, 2003: 321).
        Untuk itu, seorang pengarang berusaha untuk memperlihatkan kemungkinan tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia yang subtil (halus) dan bervariasi dalam karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah kemampuan pengarang untuk membayangkan, mengkhayalkan, dan menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang pengarang yang memiliki daya imajinatif yang tinggi  bila dia mampu memperlihatkan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan kehidupan, masalah-masalah, dan pilihan-pilihan dari alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan berhasil tidaknya suatu karya sastra. Dalam kaitan dengan proses penciptaan karya sastra, seorang pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat (realitas objektif). Realitas obyektif bisa berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup. Karya sastra menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan diri sendiri, lingkungan, dan juga Tuhan. Karya sastra berisi penghayatan sastrawan terhadap lingkungannya. Karya sastra bukan hasil kerja lamunan belaka, melainkan juga penghayatan sastrawan terhadap kehidupan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab sebagai sebuah karya seni (Hadi W.M, 2008: 3).

       Karya sastra memiliki peran yang penting dalam masyarakat karena karya sastra merupakan ekspresi sastrawan berdasarkan pengamatannya terhadap kondisi masyarakat sehingga karya sastra itu menggugah perasaan orang untuk berpikir tentang kehidupan. Membaca karya sastra merupakan masukan bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Para penguasa sering melarang peredaran karya-karya sastra yang dianggap membahayakan pemerintahannya. Buku-buku dimusnahkan dan sastrawan-sastrawan diasingkan. Pramoedya Ananta Toer pernah diasingkan ke Pulau Buru. Karya Mochtar Lubis berjudul Senja di Jakarta juga pernah dilarang beredar oleh Sukarno. Kekerasan ini terjadi karena sastrawan lewat karyanya berusaha melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan penguasa 
       Pemecahan persoalan sosial lewat karya sastra terkait dengan konvensi-konvensi kesusastraan. Konvensi-konvensi itu selalu ada dalam aktivitas kesusastraan karena konvensi-konvensi itu menentukan sejauh mana suatu obyek dapat dianggap sebagai karya sastra pada umumnya atau sebagai karya yang baik atau yang buruk pada khususnya. Sastrawan tidak dilarang untuk melakukan “pendobrakan” terhadap konvensi-konvensi sastra karena masyarakat sastralah yang nanti akan menilai apakah “pendobrakan” itu masih dalam batasan keindahan karya sastra atau tidak. Sastrawan juga perlu memperhatikan konvensi-konvensi sastra yang berlaku sebelumnya karena “pendobrakan” terhadap konvensi sastra akan terlihat maknanya jika dipertentangkan dengan konvensi sebelumnya (Teeuw, 1988: 29).
       Ada hubungan yang menarik ketika konvensi sastra itu dikaitkan dengan struktur sosial. Menurut Faruk (1994: 44-47) kemungkinan hubungan tersebut ada empat, yaitu hubungan kelembagaan, hubungan permodelan, hubungan interpretatif, dan hubungan pembatasan. Hubungan yang pertama adalah hubungan kelembagaan yang menganggap konvensi-konvensi tersebut sebagai sebuah lembaga sosial yang diterima dan dipertahankan oleh masyarakat. Perubahan pada konvensi-konvensi tersebut akan berakibat perubahan pada struktur sosial dan perubahan pada struktur sosial akan berakibat perubahan pada konvensi-konvensi kesusastraan.
Pada dasarnya masyarakatlah yang menghasilkan kebudayaan sebab yang pertama kali memanfaatkan kompetensi manusia adalah masyarakat itu sendiri. Meskipun dernikian, dengan adanya hasil-ha aktivitas manusia, maka kebudayaan itu pun menghasilkan bentuk-bentuk masyarakat tertentu. Teknologi media massa menghasilkan mesyarakat pemirsa yang berbeda-beda. Atas dasar penjelasan di atas, maka baik karya sastra sebagai hasil aktivitas kebudayaan di satu pihak, maupun sebagai hasil interaksi manusia dalam masyarakat di pihak yang lain, memiliki nilai yang sama. Dengan kalimat lain, karya sastra, seperti juga karya seni yang lain, dan dengan sendirinya keseluruhan basil ciptaan manusia, sekaligus dihasilkan oleh masyarakat dan kebudayaan.
Baca Lengkap....

Sejarah Perpustakaan di Indonesia

Sejarah perpustakaan di Indonesia tergolong masih muda jika dibandingkan dengan negara Eropa dan Arab. Jika kita mengambil pendapat bahwa sejarah perpustakaan ditandai dengan dikenalnya tulisan, maka sejarah perpustakaan di Indonesia dapat dimulai pada tahun 400-an yaitu saat lingga batu dengan tulisan Pallawa ditemukan dari periode Kerajaan Kutai. Musafir Fa-Hsien dari tahun 414M menyatakan bahwa di kerajaan Ye-po-ti, yang sebenarnya kerajaan Tarumanegara banyak dijumpai kaum Brahmana yang tentunya memerlukan buku atau manuskrip keagamaan yang mungkin disimpan di kediaman pendeta.

Pada sekitar tahun 695 M,, di Ibukota Kerajaan Sriwijaya hidup lebih dari 1000 orang biksu dengan tugas keagamaan dan mempelajari agama Budha melalui berbagai buku yang tentu saja disimpan di berbagai biasa.Di pulau Jawa, sejarah perpustakaan tersebut dimulai pada masa Kerajaan Mataram. Hal ini karena di kerajaan ini mulai dikenal pujangga keraton yang menulis berbagai karya sastra. Karya-karya tersebut seperti Sang Hyang Kamahayanikan yang memuat uraian tentang agama Budha Mahayana. Menyusul kemudian sembilan parwasari cerita Mahabharata dan satu kanda dari epos Ramayana. Juga muncul dua kitab keagamaan yaitu Brahmandapurana dan Agastyaparwa. Kitab lain yang terkenal adalah Arjuna Wiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa. Dari uraian tersebut nyatabahwa sudah ada naskah yang ditulis tangan dalam media daun lontar yang diperuntukkan bagi pembaca kalangan sangat khusus yaitu kerajaan. Jaman Kerajaan Kediri dikenal beberapa pujangga dengan karya sastranya. Mereka itu adalah Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang bersama-sama menggubah kitab Bharatayudha. Selain itu Mpu panuluh juga menggubah kitab Hariwangsa dan kitab Gatotkacasrayya. Selain itu ada Mpu Monaguna dengan kitab Sumanasantaka dan Mpu Triguna dengan kitam resnayana. Semua kitab itu ditulis diatas daun lontar dengan jumlah yang sangat terbatas dan tetap berada dalam lingkungan keraton.

Periode berikutnya adalah Kerajaan Singosari. Pada periode ini tidak dihasilkan naskah terkenal. Kitab Pararaton yang terkenal itu diduga ditulis setelah keruntuhan kerajaan Singosari. Pada jaman Majapahit dihasilkan dihasilkan buku Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Sedangkan Mpu Tantular menulis buku Sutasoma.

Pada Kegiatan penulisan dan penyimpanan naskah masih terus dilanjutkan oleh para raja dan sultan yang tersebar di Nusantara. Misalnya, jaman kerajaan Demak, Banten, Mataram, Surakarta Pakualaman, Mangkunegoro, Cirebon, Demak, Banten, Melayu, Jambi, Mempawah, Makassar, Maluku, dan Sumbawa. Dari Cerebon diketahui dihasilkan puluhan buku yang ditulis sekitar abad ke-16 dan ke-17. . Perpustakaan mulai didirikan mula-mula ntuk tujuan menunjang program penyebaran agama mereka. Berdasarkan sumber sekunder perpustakaan paling awal berdiri pada masa ini adalah pada masa VOC (Vereenigde OostJurnal Pustakawan Indonesia volume 6 nomor 160 Indische Compaqnie) yaitu perpustakaan gereja di Batavia (kini Jakarta) yang dibangun sejak 1624. pada abad ke-17 Indonesia sudah mengenal perluasan jasa perpustakaan (kini layanan seperti ini disebut dengan pinjam antar perpustakaan atau interlibrary loan).

Lebih dari seratus tahun kemudian berdiri perpustakaan khusus di Batavia. Pada tanggal 25 April 1778 berdiri Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) di Batavia. Bersamaan dengan berdirinya lembaga tersebut berdiri pula perpustakaan lembaga BGKW. Pendirian perpustakaan lembaga BGKW tersebut diprakarsai oleh Mr. J.C.M. Rademaker, ketua Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda). Ia memprakarsai pengumpulan buku dan manuskrip untuk koleksi perpustakaannya. Perpustakaan ini kemudian mengeluarkan katalog buku yang pertama di Indonesia.

Pada tahun 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan namanyapun diubah menjadi Museum Pusat. Koleksi perpustakaannya menjadi bagian dari Museum Pusat dan dikenal dengan Perpustakaan Museum Pusat. Nama Museum Pusat ini kemudian berubah lagi menjadi Museum Nasional, sedangkan perpustakaannya dikenal dengan Perpustakaan Museum Nasional. Pada tahun 1980 Perpustakaan Museum Nasional dilebur ke Pusat Pembinaan Perpustakaan. Perubahan terjadi lagi pada tahun 1989 ketika Pusat Pembinaan Perpustakaan dilebur sebagai bagian dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Perkembangan Perpustakaan Perguruan Tinggi di Indonesia dimulai pada awal tahun 1920an. Mengikuti berdirinya sekolah tinggi, misalnya seperti Geneeskunde Hoogeschool di Batavia (1927) dan kemudian juga di Surabaya dengan STOVIA; Technische Hoogescholl di Bandung (1920), Fakultait van Landbouwwentenschap (er Wijsgebeerte Bitenzorg, 1941), Rechtshoogeschool di Batavia (1924), dan Fakulteit van Letterkunde di Batavia (1940). Setiap sekolah tinggi atau fakultas itu mempunyai perpustakaan yang terpisah satu sama lain.

Di samping perpustakaan yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, sebenarnya tercatat juga perpustakaan yang didirikan oleh orang Indonesia. Pihak Keraton Mangkunegoro mendirikan perpustakaan keraton sedangkan keraton Yogyakarta mendirikan Radyo Pustoko. Sebagian besar koleksinya adalah naskah kuno. Koleksi perpustakaan ini tidak dipinjamkan, namun boleh dibaca di tempat. Pada masa penjajahan Jepang hampir tidak ada perkembangan perpustakaan yang berarti. Jepang hanya mengamankan beberapa gedung penting, di antaranya Bataviaasch Genootschap van Kunten Weetenschappen. Selama pendudukan Jepang openbareleeszalen ditutup. Volkbibliotheek dijarah oleh rakyat dan lenyap dari permukaan bumi. Karena pengamanan yang kuat pada gedung Bataviaasch Genootschap van Kunten Jurnal Pustakawan Indonesia volume 6 nomor 162 Weetenschappen, maka koleksi perpustakaan ini dapat dipertahankan, dan merupakan cikal bakal dari Perpustakaan Nasional.

Perkembangan pasca kemerdekaan mungkin dapat dimulai dari tahun 1950an yang ditandai dengan berdirinya perpustakaan baru. Pada tanggal 25 Agustus 1950 berdiriperpustakaan Yayasan Bung Hatta dengan koleksi yang menitikberatkan kepada pengelolaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Indonesia. Tanggal 7 Juni 1952 perpustakaan Stichting voor culturele Samenwerking, suatu badan kerjasama kebudayaan antara pemerintah RI dengan pemerintah Negeri Belanda, diserahkan kepada pemerintah RI. Kemudian oleh Pemerintah RI diubah menjadi Perpustakaan Sejarah Politik dan Sosial Departemen P & K.

Dalam rangka usaha melakukan pemberantasan buta huruf di seluruh pelosok tanah air, telah didirikan Perpustakaan Rakyat yang bertugas membantu usaha Jawatan Pendidikan Masyarakat melakukan usaha pemberantasan buta huruf tersebut. Pada periode ini juga lahir Perpustakaan Negara yang berfungsi sebagaiperpustakaan umum dan didirikan di ibukota provinsi. Perpustakaan Negara yang pertama didirikan di Yogyakarta pada tahun 1949, kemudian disusul Ambon (1952); Bandung (1953); Ujung Pandang (Makassar) (1954); Padang (1956); Palembang (1957); Jakarta (1958); Palangkaraya, Singaraja, Mataram, Medan, Pekanbaru dan Surabaya (1959). Setelah itu menyusul kemudian Perpustakaan Nagara di Banjarmasin (1960); Manado (1961); Kupang dan Samarinda (1964). Perpustakaan Negara ini dikembangkan secara lintas instansional oleh tiga instansi, yaitu Biro Perpustakaan Departemen P & K yang membina secara teknis, Perwakilan Departemen P & K yang membina secara administratif, dan pemerintah daerah tingkat provinsi yang memberikan fasilitas.
Baca Lengkap....