Tools Parse Script

Silahkan pergunakan tools berikut untuk mem-parse kode HTML yang ingin ditampilkan dalam postingan Anda! Semoga bermanfaat.




Baca Lengkap....

Kebijaksanaan

Makin bijak seseorang berari makin banyak cobaan telah di hadapinya. Semua orang pernah mengalami tentangan batin. Semua orang pasti pernah mengalami kesulitan.

Cobaan di berikan untuk kebahagiaan. Tuhan maha adil, Dia-Sang Esa tidak pernah melepas hambanya sendiri dan tersesat di lembah kesulitan. Hanya bagaimana hamba tersebut memilih jalannya.

Saat kau tersesat, merasa hilang, dan kosong, Jangan kau menyerah. Jangan kau bersedih. Ingatlah selalu setelah gelap terbitlah terang. Semua kesukaran ada jalan keluarnya.

Tetapi kadang cobaan itu sangat berat, jalan buntu seperti nampak di hadapan. Jangan kau ragu dan bimbang, Tawakkallah serahkan semua kepada Tuhan-mu. Sang Esa akan membantumu tetapi kau jualah yang harus memutuskan.

Jangan kau buat hidupmu susah dengan berpikir yang tidak semestinya kau pikirkan. Hadapi nasibmu Jalani dengan tegar, karena segala penyakit pasti ada obatnya, hanya kapan obat itu di temukan kau harus sabar.

Sabarlah dalam menjalani nasibmu itu, karena jawaban segala pertanyaanmu akan datang. Tidak cepat memang karena ini bukan hal instant. Ini merupakan pembetukan dirimu, Tidak ini tidak akan secepat engkau membalik telapak tanganmu. Jalani dengan sabar niscaya kaupun akan sampai pada ujung cobaan ini.

Menangislah kamu,karena menangis itu tidak mengapa, kala kau sedih,kala kau marah menangislah ungkapkanlah dan keluarkanlah semua isi hati dan keluh kesahmu, maka kau pun bisa merasa lega. Kadang kala seseorang akan menemukan jawaban atas pertanyaannya dan bisa menguasai keadaan setelah mereka mengungkapkan kesulitannya, Karena sebenarnya ini hanya permainan perasaanmu, apakah kamu siap mengahadapinya. saat kau siap,mudah kau keluarkan dan ungkapkan, maka legalah perasaanmu nantinya.

Berbahagialah kamu karena Tuhan masih mencintaimu. Sang Esa mengujimu karena engkau terpilih untuk naik ke tingkat kebijaksanaan yang lebih tinggi.

Nikmati hidupmu, Hargai sesamamu, Sayangi saudara dan sekitarmu, Sayangi dan Hargai dirimu. Berbahagialah kamu, karena kamupun berhak untuk berbahagia. Hidup adalah perjuangan namun penuh dengan kebahagiaan. Tidak ada kemudahan tanpa kesukaran.

Hanya tergantung kepada individu tersebut dalam menjalani hidup dan nasibnya, Jangan pernah menyalahkan nasibmu karena kau harus menerima apa adanya, Berjuanglah dan berusaha dan jangan lupa untuk berdo'a. Semoga Tuhan memberkati langkahmu dan kebahagiaan bersamamu.
Baca Lengkap....

10 Cara Menjadi Orang yang Kreatif

Apakah kreativitas itu jatuh dari langit? Adilkah bila kita menganggap seseorang lebih kreatif ketimbang orang lainnya? Menurut beberapa ahli, itu semua nonsense! Memang benar kreativitas itu bakat dan anugerah, tapi tak berarti tak bisa diasah dan dibentuk. Kita sendiri juga bisa menciptakan kreativitas. Begitu pula Anda. Oleh karena itu, setiap orang bisa mengembangkan bakat dalam dirinya.

Di bawah ini ada 10 tips menjadi orang yang kreatif yang perlu Anda tanamkan dalam diri Anda.
  1. Setiap orang bisa menjadi kreatif. Anda tak perlu menjadi orang yang sangat spesifik atau unik, apa lagi jenius untuk menjadi kreatif.
  2. Kreativitas dapat diekspresikan dalam berbagai pekerjaan dan aspek kehidupan. Artinya, Anda bisa menciptakan suatu hukum baru, atau cara baru dalam mengisi hidup. Atau menciptakan hal-hal baru, atau alternatif baru dalam memecahkan masalah-masalah klasik.
  3. Bagaimana memanfaatkan energi Anda untuk menjadi kreatif. Cobalah langkah ini.
  4. Keluarkan jiwa kanak-kanak Anda Ketika kita belia, kita dibimbing oleh intuisi dan perkiraan. Tapi, setelah dewasa, sudah lebih banyak "dos" and "dont's". Beri pendekatakan kekanakan pada setiap proyek, beri kebebasan dan buka pikiran. Berpikirlah secara naif dan karanglah pertanyaan-pertanyaan tolol. Dulu, ketika pesawat terbang pertama diciptakan, pasti ada pertanyaan-pertanyaan 'tolol' yang tidak mungkin yang dilontarkan penciptanya pada diri sendiri.
  5. Katakan 'jangan banyak omong' pada orang dewasa dalam diri Anda Kalau akan berkarya, bagian otak yang logis dan dewasa sering menghalangi karena adanya faktor ketidakmungkinan. Jangan dengarkan, teruslah berkarya. Soalnya, itu akan menekan ide-ide kreatif Anda. Entah itu dalam menulis, melakukan pekerjaan tangan, dan semacamnya.
  6. Izinkan diri Anda melakukan kesalahan Ada satu langkah dalam kehidupan yang 'menyuruh' orang berbuat salah. Misalnya, mencoba sesuatu yang tidak lazim, dengan tujuan menciptakan sesuatu yang baru. Itu bagus, karena Anda akan belajar dari kesalahan itu, supaya langkah selanjutkan akan lebih baik. Bayangkan seorang pelukis yang memiliki buku sketsa yang tebal. Pasti dia telah melakukan banyak kesalahan sebelum mencapai gambar yang terbaik.
  7. Isi "baterai" Anda. Pikiran kreatif membutuhkan ide segar, seperti otot membutuhkan makanan. Jadi, lihatlah sekitar Anda. Tontonlah film, datangi toko, museum, atau apa pun yang Anda sukai. Pikiran Anda akan menyerap banyak hal yang mungkin bisa menjadi sumber ide.
  8. Cobalah memiliki kegiatan rutin. Kalau pikiran Anda sedang buntu, beritirahatlah sejenak dan kerjakan sesuatu yang sifatnya rutin. Misalnya, mencuci piring, mandi, bercukur, atau cuma berjalan sekeliling tempat Anda. Pekerjaan ini akan membuat pikiran pragmatis Anda sibuk, sehingga pikiran yang kekanak-kanakan itu akan muncul tiba-tiba.
  9. Menulislah. Ide bagus bisa muncul pada saat-saat tak terduga. Kalau Anda selalu punya alat tulis, Anda bisa menuliskannya segera supaya Anda tidak lupa. Konon, Paul McCartney menciptakan lagu Yesterday yang legendaris itu ketika bangun tidur. Kalau tak kontan menuliskannya, pasti ide itu keburu lenyap. Bagi orang-orang Barat yang terbiasa menulis jurnal harian berkata bahwa menulis bukan perkara yang sulit-sulit amat. Ada ahli yang menyarankan agar Anda menulis 3 halaman apa pun setiap pagi. Katanya, di antara semua yang Anda tulis, pasti akan ketemu ide bagus. Soalnya, menulis itu bisa merangsang ide.
  10. Percaya bahwa Anda bisa melakukannya. Jangan ragu-ragu ketika memulai sesuatu. Yang penting Anda percayai, kita semua punya kekuatan untuk menjadi kreatif, siapa pun dia adanya. Begitu pula Anda! (hannie k. wardhanie)

Itulah 10 tips yang bisa Anda jadikan usaha menjadi orang yang kreatif. Percayalah bahwa Allah menciptakan manusia yang di dalam dirinya terdapat bakat dan kreativitas. Tergantung dari kita, mau mengembangkannya atau tidak. Selamat mencoba, semoga menjadi orang-orang yang kreatif.
Baca Lengkap....

Kecerdasan Spiritual dan Kecerdasan Arbitrasi (SQ: Antara Agama dan Makna)

SQ: Antara Agama dan Makna

Di tangan para pemikir pos-strukturalis psikoanalisa kemudian mengalami sofistikasi teori. Adalah Lacan yang menyatakan bahwa ketaksadaran terstruktur sebagai bahasa, karena ketaksadaran dibentuk oleh piranti-piranti bahasa yang berasal dari luar. Ketaksadaran ada hanya setelah manusia mempelajari bahasa, di mana nantinya ketaksadaran tersebut akan mengolah tanda, metafor, dan simbol. Dan dalam pandangan feminisnya pula, Kristeva mengagungkan wanita sebagai ruang dan kemungkinan dari representasi dan makna, dan menempatkan semiotika pada tahap ketaksadaran Oedipal sebagai sesuatu yang menolak dan mengizinkan makna. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Lacan dan Kristeva atau para psikoanalis pos-strukturalis lainnya adalah memasukkan unsur-unsur semiotika ke dalam metodologi psikoanalisa Freud.

Semiotika, singkatnya, adalah sebuah teori mengenai tanda dan penggunaannya. Sebuah tanda, sebagaimana yang diuraikan oleh Saussure, salah seorang bapak semiotika, adalah terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda (pn) adalah aspek material dari sebuah tanda, baik itu tulisan, suara (yang lahir dari aspek material juga) maupun bendanya, adapun petanda (pt) adalah aspek imaterial dari tanda, yaitu konsep atau pemahaman yang ada di benak manusia dari aspek material tanda tersebut. Adapun hubungan antara penanda dan petanda adalah arbitrer, tak ada suatu kaitan logis yang dapat menjadi pengikat antara penanda dan petanda, tak ada suatu hubungan yang logis antara kata "komputer" dengan bendanya, antara kata "sakit" dan apa yang sedang dirasakan. Kesemuanya itu adalah arbitrer. 

Dalam skala yang lebih besar lagi Rolland Barthes, salah seorang strukturalis yang kemudian berubah menjadi pos-strukturalis, membuat sebuah bagan proses penandaan mulai dari tingkat makna denotatif hingga ke tingkat makna konotatif pada tingkatan budaya yang disebutnya juga sebagai mitos atau ideologi sebagai berikut:

Namun proses penandaan tersebut tidak senantiasa berjalan dengan stabil, senantiasa terbuka peluang untuk noise, sebuah gangguan penandaan, sebuah keacuhan terhadap makna, yang dinyatakan dengan tandas oleh Barthes "…jangan berdalih, jangan membela diri. Ia tak pernah menolak apa pun. Aku akan membuang muka, itulah satu-satunya penolakanku" atau Derrida yang menolak petanda atau Baudrillard yang asyik bermain dengan penanda tanpa perlu hirau dengan petanda, dan banyak lagi hal lain yang senada yang disuarakan oleh para pemikir pos-strukturalis lainnya. Dalam proses penandaan yang terjadi saat ini, bisa dikatakan bahwa hanya ada satu hal yang pasti yaitu penanda atau aspek material dari tanda saja, sedangkan petanda atau, lebih jauh lagi, makna lebih bersifat tafsiran belaka atau malah hanyalah merupakan sebuah arbitrasi makna yang subversif.
Sebuah ironi, sebuah arbitrasi makna adalah sesuatu yang sangat lazim terjadi. Sebuah karakteristik yang khas pada masyarakat yang sering juga dilabeli sebagai masyarakat posmodern sebagaimana yang dapat dilihat pada kejadian berikut. 

Dalam setiap shownya di gereja, salib, figur Bapa tidak pernah lepas, bahkan setiap pertunjukannya diawali dengan doa. Pada pertunjukannya yang ke-1000 tanggal 22 Juli 1991 dia berdoa "saya spiritual", "saya religius". Ketika ditanya tentang acara doa sebelum pertunjukan tersebut, Madonna berkata "Ya, saya religius. Mereka ikhlas, paling tidak sejauh menyangkut diri saya… Saya tidak mencoba membangun jembatan antara seks dan agama. Hanya gereja Katolik yang bersikeras memisahkan keduanya, dan keduanya selalu dipisahkan, dan itu nonsens."

Hal serupa sering pula terjadi pada acara-acara gosip (infotainment) di mana para artis sering memaknai kehidupannya menjadi suatu bangunan besar "Kebaikan Tuhan kepadaku," memaknai glamoritas profesinya sebagai "menghibur dan membahagiakan banyak orang."

Seperti telah diungkapkan sebelumnya SQ adalah sebuah kecerdasan akan "proses pemaknaan" yang tidak memiliki suatu hubungan yang penting dengan agama, kecerdasan yang tidak hanya mengenali nilai-nilai dan tentunya pula makna yang telah ada, namun juga suatu kretivitas dalam menemukan kebaruannya. Namun dalam masyarakat posmodern, pembalikan dan penemuan hal-hal baru adalah sesuatu yang lumrah terjadi dan seringkali subversif, karena meminjam istilah Deleuze dan Guattari—terjadi pembiakan dari mesin-mesin hasrat (desire machine) yang saling berhubungan dan menciptakan pelipatgandaan permainan hasrat, dan dalam hal ini adalah hasrat akan kenikmatan penandaan.

Sebuah tanda menjadi bermakna ketika penerima tanda memahami apa makna atau aspek petanda dari tanda tersebut, namun ketika maknanya tidak terpahami maka sesuatu tersebut tidak menjadi tanda. Demikian pula dalam memahami sebuah tanda, maka penerima tanda akan mencoba memahaminya dengan segenap pengalaman psikis maupun budaya yang membentuk pemahamannya mengenai tanda tersebut. Dalam hal ini Zohar dan Marshall pun mencoba mengutip perkataan Rumi dan Ibnu 'Arabi, misalnya, untuk menunjukkan sesuatu yang melampaui agama dan bentuk-bentuk, sekaligus keberadaan SQ pada kedua mistikus tersebut. Namun tentu saja apa yang Zohar dan Marshall pahami dari perkataan kedua orang tersebut akan dilandaskan pada segenap pemahaman yang terbentuk dalam suatu kondisi psikis dan budaya tertentu serta pencocokan terhadap kerangka kerja SQ yang sedang dibangunnya dan bukan berdasarkan kepada suatu pengalaman mistik.

Sebenarnya inti agama yang menjadi benang merah pada setiap agama adalah proses pengenalan diri (soul) yang akan mengantarkan kepada pengenalan tentang Yang Satu. Dan pada hakikatnya apa yang disebut agama adalah sebuah state yang tetap terjaga (conserve) dalam perjalanan waktu, bukan semata sebuah lembaga yang terorganisir dengan seperangkat aturan dan kepercayaan. Bahwa spiritualitas (ruhaniah) adalah religiusitas dalam artiannya yang terdalam dan yang sebenarnya sebagaimana yang dimaksudkan oleh para mistikus seperti Rumi dan Ibnu 'Arabi.


Penutup

Adalah keliru berharap menemukan spiritualitas-mistik dalam buku SQ: Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence. Tampaknya apa yang diajukan oleh Zohar dan Marshall, tidaklah lebih dari sebuah "proses pemaknaan" yang memang tidak selalu memiliki hubungan yang penting dengan agama, baik eksoteris atau formal maupun yang esoteris, karenanya bagi kami tidaklah tepat menyandingkan kata "spiritual" bagi "Q" yang ketiga ini. Sementara mereka pun mengatakan bahwa seorang yang ateis bisa memiliki SQ tinggi dan seseorang yang beragama bisa memiliki SQ rendah, kenyataannya Zohar dan Marshall tidak memberikan suatu definisinya yang jelas mengenai agama itu sendiri.

Dalam wilayah psikologi sebagaimana telah didefinisikan, SQ bukanlah sebuah kecerdasan par excellence, tetapi lebih kepada sebuah usaha terapi diri dalam memaknai setiap tindakan dan hidup melalui suatu proses penandaan, dengan tubuh dan otak sebagai wilayah aktivitasnya. Proses pemaknaan tersebut dilakukan untuk dapat menentramkan dan memberi jawaban atas masalah-masalah eksistensial yang sebenarnya berasal dari alam bawah sadar berupa kompleks, yang merupakan tumpukan masalah yang terpendam pada segenap kehidupannya. Adapun tingkat kedalaman makna dalam SQ sebenarnya sesuatu yang kabur dan subyektif, bahkan bisa terbentuk dalam suatu cara yang ironis dan arbitrer, sebuah kenikmatan atas proses penandaan, karena Zohar dan Marshall pun tidak memberikan deskripsi yang lebih jelas mengenai kedalaman makna tersebut.

Kemunculan SQ bukanlah sebuah tanda telah munculnya jembatan penghubung antara sains dan agama; SQ lebih merupakan sebuah upaya diskursus Barat untuk mengintegralkan pandangannya mengenai manusia dengan apa-apa yang selama ini sering kali luput dari perhatian sains dengan tetap mencoba mencari basis materialnya. Di sisi lain, para ulama maupun pemikir yang memang memiliki keterbukaan terhadap keilmuan apapun dan ini memang suatu sikap yang positif, sebaiknya tidak perlu senantiasa menanti sabda pamungkas dari seberang sana untuk segera mengadopsi suatu pemahaman bahwa dalam konteks spiritualitas Islam SQ tidaklah memiliki suatu arti yang besar. Kerendahdirian (inferiority) serta kekaguman berlebihan terhadap hal-hal yang datang dari diskursus Barat pada akhirnya seringkali mematikan usaha berpikir kritis dan tidak akan memupuk suatu sikap saintis. Sikap seperti itu hanya akan membuat orang menjadi konsumen pengetahuan semata.

Acuan:
Zohar, Danah & Ian Marshall, (2000): "SQ: Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence," Bloomsburry: London, cet. 1, hal. 3.

Wilson, John Rowan dan para Editor LIFE, (1985): Pikiran, Tira Pustaka: Jakarta, cet. 3, hal. 11.

Bertens, K., (1987): Panorama Filsafat Modern, Gramedia: Jakarta, cet. 1, hal. 53.

Barthes, Rolland, (1976): The Pleasure of the Text, sebagaimana dikutip oleh Yasraf Amir Piliang, (1998): Sebuah dunia yang dilipat: Realitas kebudayaan menjelang milenium ketiga dan matinya posmodernisme, Mizan: Bandung, cet. 1, hal. 261.

Malcolm, Derek, (1991): In bed with the woman who dares, sebagaimana dikutip oleh Akbar S. Ahmed, (1993): Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, Mizan: Bandung, cet. 2, hal. 224.   
Baca Lengkap....

Kecerdasan Spiritual dan Kecerdasan Arbitrasi (SQ: Antara Psikologi dan Psikoanalisa)


SQ: Antara Psikologi dan Psikoanalisa

Psikologi, walau fondasinya telah diletakkan sejak era Socrates dan Plato, bisa dikatakan baru lahir pada pagi hari tanggal 22 Oktober 1850 karena kegelisahan Profesor Gustav Theodor Fechner atas kecenderungan zamannya yang terlalu materialistis. Pada mulanya dia merasa bahwa pikiran dan hubungannya dengan materi berada di luar jangkauan pengukuran ilmiah, namun pada akhirnya ia menuangkan gagasan penyatuan kedua hal tersebut dalam bukunya Elemente der Psychophysik, sebuah buku mengenai "ilmu eksakta hubungan fungsional antara tubuh dan pikiran." 

Dengan melihat perkembangan keilmuan pada hari ini, tampaklah bahwa psikologi pun telah menjadi salah satu jantung ilmu-ilmu sosial, banyak teori-teori psikologi beserta tokoh-tokohnya menjadi referensi, dikaji dan ditafsir ulang terus menerus. Melihat pada definisi psikologi yang diberikan oleh Fechner tampak bahwa yang dimaksudnya sebagai psyche (jiwa) adalah sesuatu yang terjadi dari interaksi antara tubuh dan pikiran. Pada generasi berikutnya, bermunculanlah definisi-definisi dari para teoritikus psikologi mengenai disiplin keilmuan tersebut yang secara singkat kesemuanya tetap menitikberatkan pada permasalahan psikologi sebagai ilmu mengenai psyche (jiwa) manusia.

Sebenarnya, dari seluruh pendapat para teoritikus mengenai psyche tersebut hanya ada satu hal yang pasti: tubuh (beserta tingkah lakunya). Adapun teori mereka atas yang apa yang terdapat di balik tubuh merupakan tafsir atas tubuh tersebut. Walau psikologi lahir dari keprihatian Fechner akan materialitas zamannya, namun hingga hari ini psikologi tetap berangkat dari basis material tubuh untuk teorinya. Sebatang tubuh dengan otak di dalamnya yang seringkali dianggap sebagai ruang kendali merupakan objek pengamatan dimana gerak-geriknya menjadi sumber penafsiran atas kesadaran, ketaksadaran, kompleks dan kepribadian yang akan membentuk sebuah bangunan besar bernama psyche.

Jauh sebelum itu, Plato telah membicarakan mengenai dualitas manusia sebagai jiwa (psyché) dan tubuh. Analogi yang diberikan: jiwa adalah seorang "sais" yang mengendarai dua "kuda" yang bersayap. Gagasan ini pada masa Renaissance ditolak oleh Rene Descartes dengan mengajukan tubuh dan pikiran (menggantikan aspek jiwa yang terlalu abstrak dalam pandangan mereka). Pada dualitas manusia Descartes inilah psikologi mengambil pijakannya. Adapun psyche dari sejak era Renaissance maknanya jatuh sekadar kualitas dari suatu entitas (hidup). Dalam pengertian inilah para psikolog merumuskan (baca: menafsirkan) teori-teori psikologi, di mana dalam basis yang serupa para psikolog Islam melakukan kesalahan yang sama dengan mencoba mengadaptasinya (baca: mengislamisasi psikologi modern). 

Sebenarnya melihat karakteristik keilmuan psikologi hari ini adalah lebih tepat membatasi wilayah kajiannya pada kandungan emosi atau rasa tubuh yang berkaitan dengan kompleks dalam diri serta cara menanggulangi kompleks tersebut sehingga dengan meminjam istilah Jung, manusia tersebut dapat menjalani proses individuasi. Adapun mulai dari proses individuasi hingga mencapai aspek yang lebih dalam dari diri manusia (soul yang dalam hal ini kami bedakan dari pengertian psyche pada hari ini) dan spiritualitasnya adalah wilayah agama, khususnya mistisisme.

Dilihat dari sisi sejarah, psikologi telah melahirkan empat mazhab besar yaitu behaviuorisme, psikoanalisa, humanisme dan terakhir yang masih memperjuangkan pengakuan adalah transpersonal. Adapun dalam sejarah perkembangan psikologi modern titik berat pandangannya mengenai manusia secara global dapat dibagi dua, yaitu : fase kesadaran atau consciousness (Descartes), dan fase ketaksadaran atau unconsciousness yang merupakan sumbangan Freud terbesar terhadap psikologi. 

Namun sebagaimana umumnya teori-teori psikologi pascarenaissance, hal yang pasti dari teori psikoanalisa Freud (meskipun Freud mengatakan bahwa teori psikoanalisanya lahir dari pengalaman empirik di klinik bersama para pasiennya) kekuatannya adalah pada tafsirannya. Ini seperti ketika Jung memiliki ketertarikan terhadap mitologi, maka Freud menafsirkannya sebagai tanda (ramalan) kematiannya, atau pun tafsiran Freud terhadap surat dari kekasihnya yang suatu hari nanti akan menjadi istrinya. Hal serupa dapat dilihat pula pada para penerusnya seperti Jacques Lacan, Julia Kristeva, Luce Irigaray. Tampaknya sudah menjadi sesuatu yang inheren dalam psikoanalisa, di mana penafsirannya seringkali melompat sehingga membuat terpisah antara praktek-terapi dan teoritisasinya. Atau lebih tepatnya, dapat dikatakan bahwa psikoanalisa adalah "ars interpretandi" (seni penafsiran) sebagaimana Freud sendiri pernah berkata bahwa "Saya mempunyai bakat untuk menginterpretasi."

Melihat perubahan paradigma psikologi tersebut dengan meminjam pemikiran Foucault, dapat dikatakan bahwa psyche sebagai sebuah wacana memiliki episteme suatu pengetahuan yang berlaku pada suatu masa tertentu yang membentuk lapisan-lapisan arkeologi pengetahuan sebagaimana lapisan arkeologis bumi yang terpisah antara satu dengan lainnya; suatu lapisan pengetahuan yang memiliki kuasa untuk menerima atau menolak apa-apa yang dapat dikategorikan sebagai objek kajian wacananya.

Dengan melihat uraian di atas, maka letak SQ memang di seputar tubuh, atau lebih khusus lagi adalah : pikiran sebagai bagian dari aktivitas otak. Walaupun Zohar dan Marshall mengatakan bahwa "SQ is the intelligence that rests in that deep part of the self that is connected to wisdom form beyond the ego, or conscious mind, it is the intellignece with which we not only recognize existing values, but with which we creatively discover new values.", namun dalam hal ini SQ sebenarnya tidak berkaitan dengan sesuatu yang lebih dalam dari diri manusia (soul) apalagi spiritualitas dalam artian yang sebenarnya, karena wilayah SQ lebih mengarah kepada "proses pemaknaan" dan usaha terapi diri.
Baca Lengkap....

Kecerdasan Spiritual dan Kecerdasan Arbitrasi (SQ: Kecerdasan Memaknai Hidup)


Alfathri Adlin
Paramartha International Center for Tashawwuf Studies (PICTS)

Abstrak
Spiritual Quotient (SQ) merupakan tawaran pemikiran mengenai kecerdasan yang berkaitan dengan proses pemaknaan manusia terhadap setiap tindakan dan jalan hidupnya. "Spiritualitas" yang digunakan dalam SQ tidaklah menunjuk kepada sumber atau proses hidup (spirit, ruh). Karena itu, SQ dapat dipandang sebatas upaya terapi terhadap segenap kompleks dan permasalahan eksistensialnya, tanpa harus memiliki hubungan dengan agama. Karena dalam pemaknaan seringkali yang pasti hanyalah aspek materialnya saja, sedangkan maknanya dapat menunjuk ke segala arah, tetapi SQ dalam hal ini mencoba untuk berperan mengintegralkannya sebagai satu kesatuan utuh. Namun pada dasarnya, pemaknaan, apalagi pemaknaan hidup, senantiasa berkaitan erat dengan segenap pengalaman psikis dan budaya yang dialami manusia. Inilah salah satu upaya paling mutakhir dari dunia (diskursus) Barat dalam mencoba mengintegralkan pemahaman mereka atas diri mereka sendiri, khususnya yang berkaitan dengan sisi-sisi psikis yang masih misterius dan sejauh ini kurang memperoleh perhatian ilmu pengetahuan.
 
Now, at the end of century, an array of recent but so far undigested scientific data shows us that there is a third 'Q'. The full picture of human intelligence can be completed with a discussion of our spiritual intelligence—SQ for short", begitu klaim Danah Zohar dan Ian Marshall dalam buku terbaru mereka, SQ: Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence. Kemunculan "kecerdasan ketiga" ini ternyata cukup mendapatkan sambutan dan antusiasme dari khalayak Indonesia yang tampaknya sedang dan selalu menanti pengakuan terhadap "spiritualitas" dari dunia (diskursus) Barat. Tulisan mengenai buku ini pun marak di media-media cetak, selain rangkaian seminar atau kursus tentang hal ini.

Sebenarnya apakah SQ tersebut? Apakah maksud dari klaim Danah Zohar dan Ian Marshall bahwa SQ merupakan "the ultimate intelligence"? Gambaran yang utuh dari manusia? Benarkah ia merupakan fondasi yang penting untuk memfungsikan secara efektif baik IQ maupun EQ, dua kecerdasan yang telah dikenal terlebih dahulu?

SQ: Kecerdasan Memaknai Hidup

"SQ has no necessary connection to religion," karena SQ menurut Zohar dan Marshall adalah "intelligence with which we address and solve problems of meaning and value, the intelligence with which we can place our actions and our lives in a wider, richer, meaning-giving context, the intelligence with which we can assess that one course of action or one life-path is more meaningful than another."
Mereka kemudian mencoba membuat analogi : menggambarkan IQ sebagai komputer yang senantiasa tahu mengenai aturan dan dapat mengikutinya tanpa kesalahan; EQ mereka lihat sebagai insting, sebuah dorongan dasar (basic drive) yang sudah tertanam secara natural pada binatang, misalnya. Sedangkan manusia walaupun masih menjadi pertanyaan apakah memang memiliki insting, bisa dikatakan "mampu melepaskan diri dari insting." Adapun SQ, menurut mereka, adalah sesuatu yang bisa membuat manusia keluar dari batasan-batasan tersebut, karena "SQ allows human being to be creative, to change the rules and to alter situations."

Jantung dari SQ adalah "makna", karena manusia menurut mereka adalah: "driven, indeed we are defined, by a longing to find meaning and value in what we do and experience." Memang, di bagian awal buku, mereka mengutip definisi spiritual dari kamus Webster sebagai "the animating or vital principle; that which gives life to the physical organism in contrast to its material elements; the breath of life," namun dalam penjelasan selanjutnya konteks spiritual pada SQ menyimpang menjadi "proses pemaknaan" dan bukan pada konteks aslinya sebagai spirit atau ruh.
Karena penekanannya pada "proses pemaknaan" itu pulalah, maka spiritualitas dalam SQ tidak terkait dengan agama, terlebih mereka pun memandang agama konvensional sebagai "an externally imposed set of rules and beliefs…inherited from priests and prophets and holy books, or absorbed through the family and tradition." Mereka pun menyatakan bahwa "many humanists and atheist have very high SQ; many actively and vociferously religious people have very low SQ." Bahkan mereka pun menandaskan lebih jauh lagi bahwa "A person high in SQ might practise any religion, but without narrowness, exclusiveness, bigotry or prejudice. Equally, a person high in SQ could have very spiritual qualities without being religious at all."

Lebih jauh lagi, SQ menurut mereka adalah "soul's intelligence…with which we heal ourselves and with which we make ourselves whole." Karena SQ tidak bergantung pada budaya dan nilai-nilai yang telah ada di luar diri manusia, maka SQ pun "prior to all specific values and to any given culture. It is, therefore, prior to any form of religious expression that it maight take. SQ makes religion possible (perhaps even necessary), but SQ does not depend upon religion."

Dalam mengaitkan SQ dengan bukti-bukti ilmiah karena kata mereka "existing science is not equipped to study things that can't objectively be measured", maka Zohar dan Marshall pun menunjukkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para neurolog tentang beberapa aktivitas otak yang mereka klaim sebagai suatu bukti ilmiah akan SQ. Satu hal yang bisa dianggap merupakan jantung keberadaan SQ adalah ditemukannya bagian otak yang disebut God spot, yang merupakan "built-in spiritual centre…located among neural connections in the temporal lobes of brain." Namun ada satu hal yang mereka tandaskan pula bahwa "'God spot's does not prove the existence of God, but it does show that the brain has evolved to ask 'ultimate questions', to have and to use a sensitivity to wider meaning and value.

Mengenai adanya kaitan antara aktivitas otak dengan kecerdasan memang sudah menjadi sesuatu yang taken for granted, karena kecerdasan apa pun namanya seringkali akan mengambil aktivitas pada jaringan syaraf. Pembuktian ilmiah terhadap sesuatu yang spiritual, ritual keagamaan misalnya, sering pula terjadi pada umat Islam seperti mengaitkan shalat tahajjud dengan pencegahan penyakit kanker, dan sehatnya tubuh karena gerakan-gerakan shalat lainnya.
Baca Lengkap....

Filsafat Ilmu (2)


Para filusuf Islam menyebutkan beberapa sumber dan sekaligus alat pengetahuan, yaitu :  Alam tabi'at atau alam fisik  Alam Akal  Analogi ( Tamtsil)  Hati dan Ilham. 

1. Alam tabi'at atau alam fisik
Manusia sebagai wujud yang materi, maka selama di alam materi ini ia tidak akan lepas dari hubungannya dengan materi secara interaktif, dan hubungannya dengan materi menuntutnya untuk menggunakan alat yang sifatnya materi pula, yakni indra (al hiss), karena sesuatu yang materi tidak bisa dirubah menjadi yang tidak materi (inmateri). Contoh yang paling konkrit dari hubungan dengan materi dengan cara yang sifatnya materi pula adalah aktivitas keseharian manusia di dunia ini, sepert makan, minum, hubungan suami istri dan lain sebagianya.
Dengan demikian, alam tabi'at yang materi merupakan sumber pengetahuan yang "barangkali" paling awal dan indra merupakan alat untuk berpengetahuan yang sumbernya tabi'at. Tanpa indra manusia tidak dapat mengetahui alam tabi'at. Disebutkan bahwa, barang siapa tidak mempunyai satu indra maka ia tidak akan mengetahui sejumlah pengetahuan. Dalam filsafat Aristoteles klasik pengetahuan lewat indra termasuk dari enam pengetahuan yang aksioamatis (badihiyyat).
Meski indra berperan sangat signifikan dalam berpengetahuan, namun indra hanya sebagai syarat yang lazim bukan syarat yang cukup. Peranan indra hanya memotret realita materi yang sifatnya parsial saja, dan untuk meng-generalisasi-kannya dibutuhkan akal. Malah dalam kajian filsafat Islam yang paling akhir, pengetahuan yang diperoleh melalui indra sebenarnya bukanlah lewat indra. Mereka mengatakan bahwa obyek pengetahuan (al ma'lum) ada dua macam, yaitu, (1) obyek pengetahuan yang substansial dan (2) obyek pengetahuan yang aksidental. Yang diketahui secara substansial oleh manusia adalah obyek yang ada dalam benak, sedang realita di luar diketahui olehnya hanya bersifat aksidental. Menurut pandangan ini, indra hanya merespon saja dari realita luar ke relita dalam.
Pandangan Sensualisme (al-hissiyyin). Kaum sensualisme, khususnya John Locke, menganggap bahwa pengetahuan yang sah dan benar hanya lewat indra saja. Mereka mengatakan bahwa otak manusia ketika lahir dalam keadaan kosong dari segala bentuk pengetahuan, kemudian melalui indra realita-realita di luar tertanam dalam benak. Peranan akal hanya dua saja yaitu, menyusun dan memilah, dan meng-generalisasi. Jadi yang paling berperan adalah indra. Pengetahuan yang murni lewat akal tanpa indra tidak ada. Konskuensi dari pandangan ini adalah bahwa realita yang bukan materi atau yang tidak dapat bersentuhan dengan indra, maka tidak dapat diketahui, sehingga pada gilirannya mereka mengingkari hal-hal yang metafisik seperti Tuhan.  

2. Alam Akal
Kaum Rasionalis, selain alam tabi'at atau alam fisika, meyakini bahwa akal merupakan sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka menganggap akal-lah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya pembantu saja. Indra hanya merekam atau memotret realita yanng berkaitan dengannya, namun yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indra saja tanpa akal tidak ada artinya. Tetapi tanpa indra pangetahuan akal hanya tidak sempurna, bukan tidak ada.
Aktivitas-aktiviras Akal Menarik kesimpulan. Yang dimaksud dengan menarik kesimpulan adalah mengambil sebuah hukum atas sebuah kasus tertentu dari hukum yang general. Aktivitas ini dalam istilah logika disebut silogisme kategoris demonstratif.  Mengetahui konsep-konsep yang general. Ada dua teori yang menjelaskan aktivitas akal ini, pertama, teori yang mengatakan bahwa akal terlebih dahulu menghilangkan ciri-ciri yang khas dari beberapa person dan membiarkan titik-titik kesamaan mereka. Teori ini disebut dengan teori tajrid dan intiza'. Kedua, teori yang mangatakan bahwa pengetahuan akal tentang konsep yang general melalui tiga tahapan, yaitu persentuhan indra dengan materi, perekaman benak, dan generalisasi.  Pengelompokan Wujud. Akal mempunyai kemampuan mengelompokkan segala yang ada di alam realita ke beberapa kelompok, misalnya realita-realita yang dikelompokkan ke dalam substansi, dan ke dalam aksdensi (yang sembilan macam).  Pemilahan dan Penguraian.  Penggabungan dan Penyusunan.  Kreativitas.

3. Analogi (Tamtsil)
Termasuk alat pengetahuan manusia adalah analogi yang dalam terminologi fiqih disebut qiyas. Analogi ialah menetapkan hukum (baca; predikat) atas sesuatu dengan hukum yang telah ada pada sesuatu yang lain karena adanya kesamaan antara dua sesuatu itu. Analogi tersusun dari beberapa unsur; (1) asal, yaitu kasus parsial yang telah diketahui hukumnya. (2) cabang, yaitu kasus parsial yang hendak diketahui hukumnya, (3) titik kesamaan antara asal dan cabang dan (4) hukum yang sudah ditetapkan atas asal. Analogi dibagi dua; Analogi interpretatif : Ketika sebuah kasus yang sudah jelas hukumnya, namun tidak diketahui illatnya atau sebab penetapannya.  Analogi Yang Dijelaskan illatnya : Kasus yang sudah jelas hukum dan illatnya. 
 
4. Hati dan Ilham
Kaum empiris yang memandang bahwa ada sama dengan materi sehingga sesuatu yang inmateri adalah tidak ada, maka pengetahuan tentang in materi tidak mungkin ada. Sebaliknya kaum Ilahi ( theosopi) yang meyakini bahwa ada lebih luas dari sekedar materi, mereka mayakini keberadaan hal-hal yang inmateri. Pengetahuan tentangnya tidak mungkin lewat indra tetapi lewat akal atau hati. Tentu yang dimaksud dengan pengetahuan lewat hati disini adalah penngetahuan tentang realita inmateri eksternal, kalau yang internal seperti rasa sakit, sedih, senang, lapar, haus dan hal-hal yang iintuitif lainnya diyakini keberadaannya oleh semua orang tanpa kecuali.
Bagaimana mengetahui lewat hati ? Filusuf Ilahi Mulla Shadra ra. berkata, "Sesungguhnya ruh manusia jika lepas dari badan dan berhijrah menuju Tuhannya untuk menyaksikan tanda-tanda-Nya yang sangat besar, dan juga ruh itu bersih dari kamaksiatan-kemaksiatan, syahwat dan ketarkaitan, maka akan tampak padanya cahaya makrifat dan keimanan kepada Allah dan malakut-Nya yang sangat tinggi. Cahaya itu jika menguat dan mensubstansi, maka ia menjadi substansi yang qudsi, yang dalam istilah hikmah teoritis oleh para ahli hikmat disebut dengan akal efektif dan dalam istilah syariat kenabian disebut ruh yang suci. Dengan cahaya akal yang kuat, maka terpancar di dalamnya yakni ruh manusia yang suci. Rahasia-rahasia yang ada di bumi dan di langit dan akan tampak darinya hakikat-hakikat segala sesuatu sebagimana tampak dengan cahaya sensual mata (alhissi) gambaran-gambaran konsepsi dalam kekuatan mata jika tidak terhalang tabir. Tabir di sini dalam pembahasan ini adalah pengaruh-pengaruh alam tabiat dan kesibukan-kesibukan dunia, karena hati dan ruh sesuai dengan bentuk ciptaannya- mempunyai kelayakan untuk menerima cahaya hikmah dan iman jika tidak dihinggapi kegelapan yang merusaknya seperti kekufuran, atau tabir yang menghalanginya seperti kemaksiatan dan yang berkaitan dengannya" Kemudian beliau melanjutkan, "jika jiwa berpaling dari ajakan-ajakan tabiat dan kegelapan-kegelapan hawa nafsu, dan menghadapkan dirinya kepada Alhaq dan alam malakut, maka jiwa itu akan berhubungan dengan kebahagiaan yang sangat tinggi dan akan tampak padanya rahasia alam malakut dan terpantul padanya kesucian (qudsi) Lahut ." (al-Asfar al-Arba'ah jilid 7 halaman 24-25).
Tentang kebenaran realita alam ruh dan hati ini, Ibnu Sina berkata, "Sesungguhnya para 'arifin mempunyai makam-makam dan derajat-derajat yang khusus untuk mereka. Mereka dalam kehidupan dunia di bawah yang lain. Seakan-akan mereka itu, padahal mereka berada dengan badan mereka, telah melepaskan dan meninggalkannya untuk alam qudsi. Mereka dapat menyaksikan hal-hal yang halus yang tidak dapat dibayangkan dan diterangkan dengan lisan. Kesenangan mereka dengan sesuatu yang tidak dapat dilihat mata dan didengar telinga. Orang yang tidak menyukainya akan mengingkarinya dan orang yang memahaminya akan membesarkannya." (al-Isyarat jilid 3 bagian kesembilan tentang makam-makam para 'arif halaman 363-364) Kemudia beliau melanjutkan, "Jika sampai kepadamu berita bahwa seorang 'arif berbicara lebih dulu tentang hal yang gaib (atau yang akan terjadi), dengan berita yang menyenangkan atau peringatan, maka percayailah. Dan sekali-sekali anda keberatan untuk mempercayainya, karena apa yang dia beritakan mempunyai sebab-sebab yang jelas dalam pandangan-pandangan (aliran-aliran) tabi'at." Pengetahuan tentang alam gaib yang dicapai manusia lewat hati jika berkenaan dengan pribadi seseorang saja disebut ilham atau isyraq, dan jika berkaitan dengan bimbingan umat manusia dan penyempurnaan jiwa mereka dengan syariat disebut wahyu. 
Islam dan Sumber-sumber Pengetahuan Dalam teks-teks Islam -Qur'an dan Sunnah- dijelaskan tentang sumber dan alat pengetahuan:
Indra dan akal.  Allah swt. berfirman, "Dan Allah yang telah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, sementara kalian tidak mengetahui sesuatu pun, dan (lalu) Ia meciptakan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati ( atau akal) agar kalian bersyukur ". (QS. al-Nahl: 78).  Islam tidak hanya menyebutkan pemberian Allah kepada manusia berupa indra, tetapi juga menganjurkan kita agar menggunakannya, misalnya dalam al-Qur'an Allah swt. berfirman, "Katakanlah, lihatlah segala yang ada di langit-langit dan di bumi." (QS. Yunus: 101 ).
Ayat-ayat yang lainnya yang banyak sekali tentang anjuran untuk bertafakkur. Qur'an juga dalam membuktikan keberadaan Allah dengan pendekatan alam materi dan pendakatan akal yang murni seperti, "Seandainya di langit dan di bumi ada banyak tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan hancur." (QS. al-Anbiya': 22). Ayat ini menggunakan pendekatan rasional yang biasa disebut dalam logika Aristotelian dengan silogisme hipotesis. Atau ayat lain yang berbunyi, "Allah memberi perumpamaan, seorang yang yang diperebutkan oleh banyak tuan dengan seorang yang menyerahkan dirinya kepada seorang saja, apakah keduanya sama ?" (QS. al-Zumar: 29).
Hati.  Allah swt berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, niscaya Ia akan memberikan kepada kalian furqon." (QS. al-Anfal: 29) Maksud ayat ini adalah bahwa Allah swt. akan memberikan cahaya yang dengannya mereka dapat membedakan antara yang haq dengan yang batil. Atau ayat yang berbunyi, "Dan bertakwalah kepada Allah maka Ia akan mengajari kalian. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. al-Baqarah: 282). Dan ayat-ayat yang lainnya.
Syarat dan Penghalang Pengetahuan. Meskipun berpengetahuan tidak bisa dipisahkan dari manusia, namun seringkali ada hal-hal yang mestinya diketahui oleh manusia, ternyata tidak diketahui olehnya.  Oleh karena itu ada beberapa pra-syarat untuk memiliki pengetahuan, yaitu : Konsentrasi  Orang yang tidak mengkonsentasikan (memfokuskan) indra dan akal pikirannya pada benda-benda di luar, maka dia tidak akan mengetahui apa yang ada di sekitarnya. Akal yang sehat  Orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat berpikir dengan baik. Akal yang tidak sehat ini mungkin karena penyakit, cacat bawaan atau pendidikan yang tidak benar. Indra yang sehat  Orang yang salah satu atau semua indranya cacat maka tidak mengetahui alam materi yang ada di sekitarnya. Jika syarat-syarat ini terpenuhi maka seseorang akan mendapatkan pengetahuan lewat indra dan akal. Kemudian pengetahuan daat dimiliki lewat hati. Pengetahuan ini akan diraih dengan syarat-syarat seperti, membersihkan hati dari kemaksiatan, memfokuskan hati kepada alam yang lebih tinggi, mengosongkan hati dari fanatisme dan mengikuti aturan-aturan sayr dan suluk. Seorang yang hatinya seperti itu akan terpantul di dalamnya cahaya Ilahi dan kesempurnaanNya. Ketika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pengetahuan akan terhalang dari manusia. Secara spesifik ada beberapa sifat yang menjadi penghalang pengetahuan, seperti sombong, fanatisme, taqlid buta (tanpa dasar yang kuat), kepongahan karena ilmu, jiwa yang lemah (jiwa yang mudah dipengaruhi pribadi-pribadi besar) dan mencintai materi secara berlebihan.
Baca Lengkap....

Filsafat Ilmu (I)


Teori Pengetahuan Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali " keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia? Bagaimana manusia berpengetahuan? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran? Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita.
Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi. Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek. 
Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah). Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur.
Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.  Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang. Filsafat Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata "philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. (dan masih konon juga) Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.  Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis.
Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai. Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.  
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi. Mungkinkah Manusia itu Mempunyai Pengetahuan? Masalah epistemologis yang sejak dahulu dan juga sekarang menjadi bahan kajian adalah, apakah berpengetahuan itu mungkin? Apakah dunia (baca: realita) bisa diketahui? Sekilas masalah ini konyol dan menggelikan. Tetapi terdapat beberapa orang yang mengingkari pengetahuan atau meragukan pengetahuan. Misalnya, bapak kaum sophis, Georgias, pernah dikutip darinya sebuah ungkapan berikut, "Segala sesuatu tidak ada. Jika adapun, maka tidak dapat diketahui, atau jika dapat diketahui, maka tidak bisa diinformasikan."
Mereka mempunyai beberapa alasan yang cukup kuat ketika berpendapat bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dipercaya. Pyrrho salah seorang dari mereka menyebutkan bahwa manusia ketika ingin mengetahui sesuatu menggunakan dua alat yakni, indra dan akal. Indra yang merupakan alat pengetahuan yang paling dasar mempunyai banyak kesalahan, baik indra penglihat, pendengar, peraba, pencium dan perasa. Mereka mengatakan satu indra saja mempunyai kesalahan ratusan. Jika demikian adanya, maka bagaimana pengetahuan lewat indra dapat dipercaya?
Demikian pula halnya dengan akal. Manusia seringkali salah dalam berpikir. Bukti yang paling jelas bahwa di antara para filusuf sendiri terdapat perbedaan yang jelas tidak mungkin semua benar pasti ada yang salah. Maka akalpun tidak dapat dipercaya. Oleh karena alat pengetahuan hanya dua saja dan keduanya mungkin bersalah, maka pengetahuan tidak dapat dipercaya. Pyrrho ketika berdalil bahwa pengetahuan tidak mungkin karena kasalahan-kesalahan yang indra dan akal, sebenarnya, ia telah mengetahui (baca: meyakini) bahwa pengetahuan tidak mungkin. Dan itu merupakan pengetahuan. Itu pertama. Kedua, ketika ia mengatakan bahwa indra dan akal seringkali bersalah, atau katakan, selalu bersalah, berarti ia mengetahui bahwa indra dan akal itu salah. Dan itu adalah pengetahuan juga. Alasan yang dikemukakan oleh Pyrrho tidak sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak mungkin. Alasan itu hanya dapat membuktikan bahwa ada kesalahan dalam akal dan indra tetapi tidak semua pengetahuan lewat keduanya salah. Oleh karen itu mesti ada cara agar akal dan indra tidak bersalah.
Menurut Ibnu Sina, ada cara lain yang lebih efektif untuk menghadapi mereka, yaitu pukullah mereka. Kalau dia merasakan kesakitan berarti mereka mengetahui adanya sakit (akhir dawa' kay). " Cogito, ergosum "-nya Descartes. Rene Descartes termasuk pemikir yang beraliran rasionalis. Ia cukup berjasa dalam membangkitkan kembali rasionalisme di barat. Muhammad Baqir Shadr memasukkannya ke dalam kaum rasionalis. Ia termasuk pemikir yang pernah mengalami skeptisme akan pengetahuan dan realita, namun ia selamat dan bangkit menjadi seorang yang meyakini realita. Bangunan rasionalnya beranjak dari keraguan atas realita dan pengetahuan. Ia mencari dasar keyakinannya terhadap Tuhan, alam, jiwa dan kota Paris. Dia mendapatkan bahwa yang menjadi dasar atau alat keyakinan dan pengetahuannya adalah indra dan akal. Ternyata keduanya masih perlu didiskusikan, artinya keduanya tidak memberika hal yang pasti dan meyakinkan. Lantas dia berpikir bahwa segala sesuatu bisa diragukan, tetapi ia tidak bisa meragukan akan pikirannya. Dengan kata lain ia meyakini dan mengetahui bahwa dirinya ragu-ragu dan berpikir.
Ungkapannya yang populer dan sekaligus fondasi keyakinan dan pengetahuannya adalah " Saya berpikir (baca: ragu-ragu), maka saya ada ". Argumentasinya akan realita menggunakan silogisme kategoris bentuk pertama, namun tanpa menyebutkan premis mayor. Saya berpikir, setiap yang berpikir ada, maka saya ada. Keraguan al Ghazzali. Dari dunia Islam adalah Imam al Ghazzali yang pernah skeptis terhadap realita, namun iapun selamat dan menjadi pemikir besar dalam filsafat dan tashawwuf. Perkataannya yang populer adalah "Keraguan adalah kendaraan yang mengantarkan seseorang ke keyakinan". Sumber Dana Alat Pengetahuan. Setelah pengetahuan itu sesuatu yang mungkin dan realistis, masalah yang dibahas dalam lliteratur-literatur epistimologi Islam adalah masalah yang berkaitan dengan sumber dan alat pengetahuan.
Sesuai dengan hukum kausaliltas bahwa setiap akibat pasti ada sebabnya, maka pengetahuan adalah sesuatu yang sifatnya aksidental, baik menurut teori recolection-nya Plato, teori Aristoteles yang rasionalis-paripatetik, teori iluminasi-nya Suhrawardi, dan filsafat-materialisnya kaum empiris- dan pasti mempunyai sebab atau sumber. Tentu yang dianggap sebagai sumber pengetahuan itu beragam dan berbeda sebagaimana beragam dan berbedanya aliran pemikiran manusia. Selain pengetahuan itu mempunyai sumber, juga seseorang ketika hendak mengadakan kontak dengan sumber-sumber itu, maka dia menggunakan alat. Para filusuf Islam menyebutkan beberapa sumber dan sekaligus alat pengetahuan, yaitu Alam tabi'at atau alam fisik  Alam Akal  Analogi ( Tamtsil)  Hati dan Ilham.

Baca Lengkap....