Kecerdasan Spiritual dan Kecerdasan Arbitrasi (SQ: Antara Agama dan Makna)

SQ: Antara Agama dan Makna

Di tangan para pemikir pos-strukturalis psikoanalisa kemudian mengalami sofistikasi teori. Adalah Lacan yang menyatakan bahwa ketaksadaran terstruktur sebagai bahasa, karena ketaksadaran dibentuk oleh piranti-piranti bahasa yang berasal dari luar. Ketaksadaran ada hanya setelah manusia mempelajari bahasa, di mana nantinya ketaksadaran tersebut akan mengolah tanda, metafor, dan simbol. Dan dalam pandangan feminisnya pula, Kristeva mengagungkan wanita sebagai ruang dan kemungkinan dari representasi dan makna, dan menempatkan semiotika pada tahap ketaksadaran Oedipal sebagai sesuatu yang menolak dan mengizinkan makna. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Lacan dan Kristeva atau para psikoanalis pos-strukturalis lainnya adalah memasukkan unsur-unsur semiotika ke dalam metodologi psikoanalisa Freud.

Semiotika, singkatnya, adalah sebuah teori mengenai tanda dan penggunaannya. Sebuah tanda, sebagaimana yang diuraikan oleh Saussure, salah seorang bapak semiotika, adalah terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda (pn) adalah aspek material dari sebuah tanda, baik itu tulisan, suara (yang lahir dari aspek material juga) maupun bendanya, adapun petanda (pt) adalah aspek imaterial dari tanda, yaitu konsep atau pemahaman yang ada di benak manusia dari aspek material tanda tersebut. Adapun hubungan antara penanda dan petanda adalah arbitrer, tak ada suatu kaitan logis yang dapat menjadi pengikat antara penanda dan petanda, tak ada suatu hubungan yang logis antara kata "komputer" dengan bendanya, antara kata "sakit" dan apa yang sedang dirasakan. Kesemuanya itu adalah arbitrer. 

Dalam skala yang lebih besar lagi Rolland Barthes, salah seorang strukturalis yang kemudian berubah menjadi pos-strukturalis, membuat sebuah bagan proses penandaan mulai dari tingkat makna denotatif hingga ke tingkat makna konotatif pada tingkatan budaya yang disebutnya juga sebagai mitos atau ideologi sebagai berikut:

Namun proses penandaan tersebut tidak senantiasa berjalan dengan stabil, senantiasa terbuka peluang untuk noise, sebuah gangguan penandaan, sebuah keacuhan terhadap makna, yang dinyatakan dengan tandas oleh Barthes "…jangan berdalih, jangan membela diri. Ia tak pernah menolak apa pun. Aku akan membuang muka, itulah satu-satunya penolakanku" atau Derrida yang menolak petanda atau Baudrillard yang asyik bermain dengan penanda tanpa perlu hirau dengan petanda, dan banyak lagi hal lain yang senada yang disuarakan oleh para pemikir pos-strukturalis lainnya. Dalam proses penandaan yang terjadi saat ini, bisa dikatakan bahwa hanya ada satu hal yang pasti yaitu penanda atau aspek material dari tanda saja, sedangkan petanda atau, lebih jauh lagi, makna lebih bersifat tafsiran belaka atau malah hanyalah merupakan sebuah arbitrasi makna yang subversif.
Sebuah ironi, sebuah arbitrasi makna adalah sesuatu yang sangat lazim terjadi. Sebuah karakteristik yang khas pada masyarakat yang sering juga dilabeli sebagai masyarakat posmodern sebagaimana yang dapat dilihat pada kejadian berikut. 

Dalam setiap shownya di gereja, salib, figur Bapa tidak pernah lepas, bahkan setiap pertunjukannya diawali dengan doa. Pada pertunjukannya yang ke-1000 tanggal 22 Juli 1991 dia berdoa "saya spiritual", "saya religius". Ketika ditanya tentang acara doa sebelum pertunjukan tersebut, Madonna berkata "Ya, saya religius. Mereka ikhlas, paling tidak sejauh menyangkut diri saya… Saya tidak mencoba membangun jembatan antara seks dan agama. Hanya gereja Katolik yang bersikeras memisahkan keduanya, dan keduanya selalu dipisahkan, dan itu nonsens."

Hal serupa sering pula terjadi pada acara-acara gosip (infotainment) di mana para artis sering memaknai kehidupannya menjadi suatu bangunan besar "Kebaikan Tuhan kepadaku," memaknai glamoritas profesinya sebagai "menghibur dan membahagiakan banyak orang."

Seperti telah diungkapkan sebelumnya SQ adalah sebuah kecerdasan akan "proses pemaknaan" yang tidak memiliki suatu hubungan yang penting dengan agama, kecerdasan yang tidak hanya mengenali nilai-nilai dan tentunya pula makna yang telah ada, namun juga suatu kretivitas dalam menemukan kebaruannya. Namun dalam masyarakat posmodern, pembalikan dan penemuan hal-hal baru adalah sesuatu yang lumrah terjadi dan seringkali subversif, karena meminjam istilah Deleuze dan Guattari—terjadi pembiakan dari mesin-mesin hasrat (desire machine) yang saling berhubungan dan menciptakan pelipatgandaan permainan hasrat, dan dalam hal ini adalah hasrat akan kenikmatan penandaan.

Sebuah tanda menjadi bermakna ketika penerima tanda memahami apa makna atau aspek petanda dari tanda tersebut, namun ketika maknanya tidak terpahami maka sesuatu tersebut tidak menjadi tanda. Demikian pula dalam memahami sebuah tanda, maka penerima tanda akan mencoba memahaminya dengan segenap pengalaman psikis maupun budaya yang membentuk pemahamannya mengenai tanda tersebut. Dalam hal ini Zohar dan Marshall pun mencoba mengutip perkataan Rumi dan Ibnu 'Arabi, misalnya, untuk menunjukkan sesuatu yang melampaui agama dan bentuk-bentuk, sekaligus keberadaan SQ pada kedua mistikus tersebut. Namun tentu saja apa yang Zohar dan Marshall pahami dari perkataan kedua orang tersebut akan dilandaskan pada segenap pemahaman yang terbentuk dalam suatu kondisi psikis dan budaya tertentu serta pencocokan terhadap kerangka kerja SQ yang sedang dibangunnya dan bukan berdasarkan kepada suatu pengalaman mistik.

Sebenarnya inti agama yang menjadi benang merah pada setiap agama adalah proses pengenalan diri (soul) yang akan mengantarkan kepada pengenalan tentang Yang Satu. Dan pada hakikatnya apa yang disebut agama adalah sebuah state yang tetap terjaga (conserve) dalam perjalanan waktu, bukan semata sebuah lembaga yang terorganisir dengan seperangkat aturan dan kepercayaan. Bahwa spiritualitas (ruhaniah) adalah religiusitas dalam artiannya yang terdalam dan yang sebenarnya sebagaimana yang dimaksudkan oleh para mistikus seperti Rumi dan Ibnu 'Arabi.


Penutup

Adalah keliru berharap menemukan spiritualitas-mistik dalam buku SQ: Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence. Tampaknya apa yang diajukan oleh Zohar dan Marshall, tidaklah lebih dari sebuah "proses pemaknaan" yang memang tidak selalu memiliki hubungan yang penting dengan agama, baik eksoteris atau formal maupun yang esoteris, karenanya bagi kami tidaklah tepat menyandingkan kata "spiritual" bagi "Q" yang ketiga ini. Sementara mereka pun mengatakan bahwa seorang yang ateis bisa memiliki SQ tinggi dan seseorang yang beragama bisa memiliki SQ rendah, kenyataannya Zohar dan Marshall tidak memberikan suatu definisinya yang jelas mengenai agama itu sendiri.

Dalam wilayah psikologi sebagaimana telah didefinisikan, SQ bukanlah sebuah kecerdasan par excellence, tetapi lebih kepada sebuah usaha terapi diri dalam memaknai setiap tindakan dan hidup melalui suatu proses penandaan, dengan tubuh dan otak sebagai wilayah aktivitasnya. Proses pemaknaan tersebut dilakukan untuk dapat menentramkan dan memberi jawaban atas masalah-masalah eksistensial yang sebenarnya berasal dari alam bawah sadar berupa kompleks, yang merupakan tumpukan masalah yang terpendam pada segenap kehidupannya. Adapun tingkat kedalaman makna dalam SQ sebenarnya sesuatu yang kabur dan subyektif, bahkan bisa terbentuk dalam suatu cara yang ironis dan arbitrer, sebuah kenikmatan atas proses penandaan, karena Zohar dan Marshall pun tidak memberikan deskripsi yang lebih jelas mengenai kedalaman makna tersebut.

Kemunculan SQ bukanlah sebuah tanda telah munculnya jembatan penghubung antara sains dan agama; SQ lebih merupakan sebuah upaya diskursus Barat untuk mengintegralkan pandangannya mengenai manusia dengan apa-apa yang selama ini sering kali luput dari perhatian sains dengan tetap mencoba mencari basis materialnya. Di sisi lain, para ulama maupun pemikir yang memang memiliki keterbukaan terhadap keilmuan apapun dan ini memang suatu sikap yang positif, sebaiknya tidak perlu senantiasa menanti sabda pamungkas dari seberang sana untuk segera mengadopsi suatu pemahaman bahwa dalam konteks spiritualitas Islam SQ tidaklah memiliki suatu arti yang besar. Kerendahdirian (inferiority) serta kekaguman berlebihan terhadap hal-hal yang datang dari diskursus Barat pada akhirnya seringkali mematikan usaha berpikir kritis dan tidak akan memupuk suatu sikap saintis. Sikap seperti itu hanya akan membuat orang menjadi konsumen pengetahuan semata.

Acuan:
Zohar, Danah & Ian Marshall, (2000): "SQ: Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence," Bloomsburry: London, cet. 1, hal. 3.

Wilson, John Rowan dan para Editor LIFE, (1985): Pikiran, Tira Pustaka: Jakarta, cet. 3, hal. 11.

Bertens, K., (1987): Panorama Filsafat Modern, Gramedia: Jakarta, cet. 1, hal. 53.

Barthes, Rolland, (1976): The Pleasure of the Text, sebagaimana dikutip oleh Yasraf Amir Piliang, (1998): Sebuah dunia yang dilipat: Realitas kebudayaan menjelang milenium ketiga dan matinya posmodernisme, Mizan: Bandung, cet. 1, hal. 261.

Malcolm, Derek, (1991): In bed with the woman who dares, sebagaimana dikutip oleh Akbar S. Ahmed, (1993): Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, Mizan: Bandung, cet. 2, hal. 224.