Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan

Indahnya Islam Kita

Pernahkah kalian memikirkan bagaimana manusia bisa ada di dunia ini? Kamu mungkin akan berkata, ”Semua orang punya ibu dan ayah.” Namun, jawaban ini tidak tepat. Sebenarnya jawaban itu tidak bisa menjelaskan bagaimana ibu dan ayah pertama, yaitu manusia pertama, tercipta.

Kamu mungkin pernah mendengar cerita-cerita tentang hal ini di sekolah dan dari orang-orang di sekitarmu. Tetapi, satu-satunya jawaban yang benar adalah bahwa Allah-lah Yang menciptakan kalian. Kita akan mempelajari hal ini dengan mendalam dalam bab-bab berikutnya.

Sekarang, ada satu hal yang harus kalian semua ketahui. Manusia pertama yang muncul di dunia ini adalah Nabi Adam Alaihissalam (AS). Seluruh manusia adalah keturunannya.

Adam AS, seperti kita, adalah manusia yang berjalan, bercakap-cakap, berdoa, dan menyembah Allah. Mula-mula Allah menciptakan dia, kemudian Allah menciptakan istrinya. Lalu anak-anak mereka tersebar di seluruh dunia.

Jangan pernah lupa bahwa Allah hanya perlu memerintahkan sesuatu untuk menciptakannya. Ketika Dia berkehendak agar sesuatu terjadi, Dia akan memerintahkan, “Jadilah!” dan sesuatu itu pun terjadi. Dia punya kekuasaan yang menyebabkan-Nya bisa melakukan segalanya. Misalnya, Dia menciptakan Adam dari tanah. Ini mudah bagi Allah.

Akan tetapi, jangan lupa bahwa juga ada orang yang mengingkari adanya Allah. Orang-orang ini memberikan jawaban lain pada pertanyaan tentang bagaimana manusia terjadi. Mereka tidak mencari kebenaran.

Misalkan ada tokoh film kartun bernama Badu.

Badu berkata, “Aku terjadi karena tinta tumpah pada kertas dengan tak sengaja, cat ini juga tak sengaja tertumpah, lalu membentuk warna-warna. Jadi, aku tidak perlu siapa pun untuk menggambar diriku dan membentuk rupaku. Aku bisa terjadi sendiri, dengan kebetulan,” tentu kalian akan menganggap itu main-main saja.

Kalian tahu bahwa garis-garis yang bagus, warna-warna dan gerakan dalam film kartun itu tidak bisa terbentuk hanya dengan menumpahkan cat sembarangan di sana-sini, karena menumpahkan tinta dari botolnya hanya akan menyebabkan kotoran. Kotoran tentu tidak bisa menciptakan gambar yang bagus yang terbuat dari garis-garis yang bagus pula.

Agar gambar kartun ini bisa dikenali, dan bisa tercipta, yang membuatnya telah memikirkannya, merencanakannya, lalu menggambarnya.

Ini adalah sebagian isi buku berjudul INDAHNYA ISLAM KITA karya HARUN YAHYA.
Baca Lengkap....

Kebijaksanaan

Makin bijak seseorang berari makin banyak cobaan telah di hadapinya. Semua orang pernah mengalami tentangan batin. Semua orang pasti pernah mengalami kesulitan.

Cobaan di berikan untuk kebahagiaan. Tuhan maha adil, Dia-Sang Esa tidak pernah melepas hambanya sendiri dan tersesat di lembah kesulitan. Hanya bagaimana hamba tersebut memilih jalannya.

Saat kau tersesat, merasa hilang, dan kosong, Jangan kau menyerah. Jangan kau bersedih. Ingatlah selalu setelah gelap terbitlah terang. Semua kesukaran ada jalan keluarnya.

Tetapi kadang cobaan itu sangat berat, jalan buntu seperti nampak di hadapan. Jangan kau ragu dan bimbang, Tawakkallah serahkan semua kepada Tuhan-mu. Sang Esa akan membantumu tetapi kau jualah yang harus memutuskan.

Jangan kau buat hidupmu susah dengan berpikir yang tidak semestinya kau pikirkan. Hadapi nasibmu Jalani dengan tegar, karena segala penyakit pasti ada obatnya, hanya kapan obat itu di temukan kau harus sabar.

Sabarlah dalam menjalani nasibmu itu, karena jawaban segala pertanyaanmu akan datang. Tidak cepat memang karena ini bukan hal instant. Ini merupakan pembetukan dirimu, Tidak ini tidak akan secepat engkau membalik telapak tanganmu. Jalani dengan sabar niscaya kaupun akan sampai pada ujung cobaan ini.

Menangislah kamu,karena menangis itu tidak mengapa, kala kau sedih,kala kau marah menangislah ungkapkanlah dan keluarkanlah semua isi hati dan keluh kesahmu, maka kau pun bisa merasa lega. Kadang kala seseorang akan menemukan jawaban atas pertanyaannya dan bisa menguasai keadaan setelah mereka mengungkapkan kesulitannya, Karena sebenarnya ini hanya permainan perasaanmu, apakah kamu siap mengahadapinya. saat kau siap,mudah kau keluarkan dan ungkapkan, maka legalah perasaanmu nantinya.

Berbahagialah kamu karena Tuhan masih mencintaimu. Sang Esa mengujimu karena engkau terpilih untuk naik ke tingkat kebijaksanaan yang lebih tinggi.

Nikmati hidupmu, Hargai sesamamu, Sayangi saudara dan sekitarmu, Sayangi dan Hargai dirimu. Berbahagialah kamu, karena kamupun berhak untuk berbahagia. Hidup adalah perjuangan namun penuh dengan kebahagiaan. Tidak ada kemudahan tanpa kesukaran.

Hanya tergantung kepada individu tersebut dalam menjalani hidup dan nasibnya, Jangan pernah menyalahkan nasibmu karena kau harus menerima apa adanya, Berjuanglah dan berusaha dan jangan lupa untuk berdo'a. Semoga Tuhan memberkati langkahmu dan kebahagiaan bersamamu.
Baca Lengkap....

10 Cara Menjadi Orang yang Kreatif

Apakah kreativitas itu jatuh dari langit? Adilkah bila kita menganggap seseorang lebih kreatif ketimbang orang lainnya? Menurut beberapa ahli, itu semua nonsense! Memang benar kreativitas itu bakat dan anugerah, tapi tak berarti tak bisa diasah dan dibentuk. Kita sendiri juga bisa menciptakan kreativitas. Begitu pula Anda. Oleh karena itu, setiap orang bisa mengembangkan bakat dalam dirinya.

Di bawah ini ada 10 tips menjadi orang yang kreatif yang perlu Anda tanamkan dalam diri Anda.
  1. Setiap orang bisa menjadi kreatif. Anda tak perlu menjadi orang yang sangat spesifik atau unik, apa lagi jenius untuk menjadi kreatif.
  2. Kreativitas dapat diekspresikan dalam berbagai pekerjaan dan aspek kehidupan. Artinya, Anda bisa menciptakan suatu hukum baru, atau cara baru dalam mengisi hidup. Atau menciptakan hal-hal baru, atau alternatif baru dalam memecahkan masalah-masalah klasik.
  3. Bagaimana memanfaatkan energi Anda untuk menjadi kreatif. Cobalah langkah ini.
  4. Keluarkan jiwa kanak-kanak Anda Ketika kita belia, kita dibimbing oleh intuisi dan perkiraan. Tapi, setelah dewasa, sudah lebih banyak "dos" and "dont's". Beri pendekatakan kekanakan pada setiap proyek, beri kebebasan dan buka pikiran. Berpikirlah secara naif dan karanglah pertanyaan-pertanyaan tolol. Dulu, ketika pesawat terbang pertama diciptakan, pasti ada pertanyaan-pertanyaan 'tolol' yang tidak mungkin yang dilontarkan penciptanya pada diri sendiri.
  5. Katakan 'jangan banyak omong' pada orang dewasa dalam diri Anda Kalau akan berkarya, bagian otak yang logis dan dewasa sering menghalangi karena adanya faktor ketidakmungkinan. Jangan dengarkan, teruslah berkarya. Soalnya, itu akan menekan ide-ide kreatif Anda. Entah itu dalam menulis, melakukan pekerjaan tangan, dan semacamnya.
  6. Izinkan diri Anda melakukan kesalahan Ada satu langkah dalam kehidupan yang 'menyuruh' orang berbuat salah. Misalnya, mencoba sesuatu yang tidak lazim, dengan tujuan menciptakan sesuatu yang baru. Itu bagus, karena Anda akan belajar dari kesalahan itu, supaya langkah selanjutkan akan lebih baik. Bayangkan seorang pelukis yang memiliki buku sketsa yang tebal. Pasti dia telah melakukan banyak kesalahan sebelum mencapai gambar yang terbaik.
  7. Isi "baterai" Anda. Pikiran kreatif membutuhkan ide segar, seperti otot membutuhkan makanan. Jadi, lihatlah sekitar Anda. Tontonlah film, datangi toko, museum, atau apa pun yang Anda sukai. Pikiran Anda akan menyerap banyak hal yang mungkin bisa menjadi sumber ide.
  8. Cobalah memiliki kegiatan rutin. Kalau pikiran Anda sedang buntu, beritirahatlah sejenak dan kerjakan sesuatu yang sifatnya rutin. Misalnya, mencuci piring, mandi, bercukur, atau cuma berjalan sekeliling tempat Anda. Pekerjaan ini akan membuat pikiran pragmatis Anda sibuk, sehingga pikiran yang kekanak-kanakan itu akan muncul tiba-tiba.
  9. Menulislah. Ide bagus bisa muncul pada saat-saat tak terduga. Kalau Anda selalu punya alat tulis, Anda bisa menuliskannya segera supaya Anda tidak lupa. Konon, Paul McCartney menciptakan lagu Yesterday yang legendaris itu ketika bangun tidur. Kalau tak kontan menuliskannya, pasti ide itu keburu lenyap. Bagi orang-orang Barat yang terbiasa menulis jurnal harian berkata bahwa menulis bukan perkara yang sulit-sulit amat. Ada ahli yang menyarankan agar Anda menulis 3 halaman apa pun setiap pagi. Katanya, di antara semua yang Anda tulis, pasti akan ketemu ide bagus. Soalnya, menulis itu bisa merangsang ide.
  10. Percaya bahwa Anda bisa melakukannya. Jangan ragu-ragu ketika memulai sesuatu. Yang penting Anda percayai, kita semua punya kekuatan untuk menjadi kreatif, siapa pun dia adanya. Begitu pula Anda! (hannie k. wardhanie)

Itulah 10 tips yang bisa Anda jadikan usaha menjadi orang yang kreatif. Percayalah bahwa Allah menciptakan manusia yang di dalam dirinya terdapat bakat dan kreativitas. Tergantung dari kita, mau mengembangkannya atau tidak. Selamat mencoba, semoga menjadi orang-orang yang kreatif.
Baca Lengkap....

Kecerdasan Spiritual dan Kecerdasan Arbitrasi (SQ: Antara Agama dan Makna)

SQ: Antara Agama dan Makna

Di tangan para pemikir pos-strukturalis psikoanalisa kemudian mengalami sofistikasi teori. Adalah Lacan yang menyatakan bahwa ketaksadaran terstruktur sebagai bahasa, karena ketaksadaran dibentuk oleh piranti-piranti bahasa yang berasal dari luar. Ketaksadaran ada hanya setelah manusia mempelajari bahasa, di mana nantinya ketaksadaran tersebut akan mengolah tanda, metafor, dan simbol. Dan dalam pandangan feminisnya pula, Kristeva mengagungkan wanita sebagai ruang dan kemungkinan dari representasi dan makna, dan menempatkan semiotika pada tahap ketaksadaran Oedipal sebagai sesuatu yang menolak dan mengizinkan makna. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Lacan dan Kristeva atau para psikoanalis pos-strukturalis lainnya adalah memasukkan unsur-unsur semiotika ke dalam metodologi psikoanalisa Freud.

Semiotika, singkatnya, adalah sebuah teori mengenai tanda dan penggunaannya. Sebuah tanda, sebagaimana yang diuraikan oleh Saussure, salah seorang bapak semiotika, adalah terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda (pn) adalah aspek material dari sebuah tanda, baik itu tulisan, suara (yang lahir dari aspek material juga) maupun bendanya, adapun petanda (pt) adalah aspek imaterial dari tanda, yaitu konsep atau pemahaman yang ada di benak manusia dari aspek material tanda tersebut. Adapun hubungan antara penanda dan petanda adalah arbitrer, tak ada suatu kaitan logis yang dapat menjadi pengikat antara penanda dan petanda, tak ada suatu hubungan yang logis antara kata "komputer" dengan bendanya, antara kata "sakit" dan apa yang sedang dirasakan. Kesemuanya itu adalah arbitrer. 

Dalam skala yang lebih besar lagi Rolland Barthes, salah seorang strukturalis yang kemudian berubah menjadi pos-strukturalis, membuat sebuah bagan proses penandaan mulai dari tingkat makna denotatif hingga ke tingkat makna konotatif pada tingkatan budaya yang disebutnya juga sebagai mitos atau ideologi sebagai berikut:

Namun proses penandaan tersebut tidak senantiasa berjalan dengan stabil, senantiasa terbuka peluang untuk noise, sebuah gangguan penandaan, sebuah keacuhan terhadap makna, yang dinyatakan dengan tandas oleh Barthes "…jangan berdalih, jangan membela diri. Ia tak pernah menolak apa pun. Aku akan membuang muka, itulah satu-satunya penolakanku" atau Derrida yang menolak petanda atau Baudrillard yang asyik bermain dengan penanda tanpa perlu hirau dengan petanda, dan banyak lagi hal lain yang senada yang disuarakan oleh para pemikir pos-strukturalis lainnya. Dalam proses penandaan yang terjadi saat ini, bisa dikatakan bahwa hanya ada satu hal yang pasti yaitu penanda atau aspek material dari tanda saja, sedangkan petanda atau, lebih jauh lagi, makna lebih bersifat tafsiran belaka atau malah hanyalah merupakan sebuah arbitrasi makna yang subversif.
Sebuah ironi, sebuah arbitrasi makna adalah sesuatu yang sangat lazim terjadi. Sebuah karakteristik yang khas pada masyarakat yang sering juga dilabeli sebagai masyarakat posmodern sebagaimana yang dapat dilihat pada kejadian berikut. 

Dalam setiap shownya di gereja, salib, figur Bapa tidak pernah lepas, bahkan setiap pertunjukannya diawali dengan doa. Pada pertunjukannya yang ke-1000 tanggal 22 Juli 1991 dia berdoa "saya spiritual", "saya religius". Ketika ditanya tentang acara doa sebelum pertunjukan tersebut, Madonna berkata "Ya, saya religius. Mereka ikhlas, paling tidak sejauh menyangkut diri saya… Saya tidak mencoba membangun jembatan antara seks dan agama. Hanya gereja Katolik yang bersikeras memisahkan keduanya, dan keduanya selalu dipisahkan, dan itu nonsens."

Hal serupa sering pula terjadi pada acara-acara gosip (infotainment) di mana para artis sering memaknai kehidupannya menjadi suatu bangunan besar "Kebaikan Tuhan kepadaku," memaknai glamoritas profesinya sebagai "menghibur dan membahagiakan banyak orang."

Seperti telah diungkapkan sebelumnya SQ adalah sebuah kecerdasan akan "proses pemaknaan" yang tidak memiliki suatu hubungan yang penting dengan agama, kecerdasan yang tidak hanya mengenali nilai-nilai dan tentunya pula makna yang telah ada, namun juga suatu kretivitas dalam menemukan kebaruannya. Namun dalam masyarakat posmodern, pembalikan dan penemuan hal-hal baru adalah sesuatu yang lumrah terjadi dan seringkali subversif, karena meminjam istilah Deleuze dan Guattari—terjadi pembiakan dari mesin-mesin hasrat (desire machine) yang saling berhubungan dan menciptakan pelipatgandaan permainan hasrat, dan dalam hal ini adalah hasrat akan kenikmatan penandaan.

Sebuah tanda menjadi bermakna ketika penerima tanda memahami apa makna atau aspek petanda dari tanda tersebut, namun ketika maknanya tidak terpahami maka sesuatu tersebut tidak menjadi tanda. Demikian pula dalam memahami sebuah tanda, maka penerima tanda akan mencoba memahaminya dengan segenap pengalaman psikis maupun budaya yang membentuk pemahamannya mengenai tanda tersebut. Dalam hal ini Zohar dan Marshall pun mencoba mengutip perkataan Rumi dan Ibnu 'Arabi, misalnya, untuk menunjukkan sesuatu yang melampaui agama dan bentuk-bentuk, sekaligus keberadaan SQ pada kedua mistikus tersebut. Namun tentu saja apa yang Zohar dan Marshall pahami dari perkataan kedua orang tersebut akan dilandaskan pada segenap pemahaman yang terbentuk dalam suatu kondisi psikis dan budaya tertentu serta pencocokan terhadap kerangka kerja SQ yang sedang dibangunnya dan bukan berdasarkan kepada suatu pengalaman mistik.

Sebenarnya inti agama yang menjadi benang merah pada setiap agama adalah proses pengenalan diri (soul) yang akan mengantarkan kepada pengenalan tentang Yang Satu. Dan pada hakikatnya apa yang disebut agama adalah sebuah state yang tetap terjaga (conserve) dalam perjalanan waktu, bukan semata sebuah lembaga yang terorganisir dengan seperangkat aturan dan kepercayaan. Bahwa spiritualitas (ruhaniah) adalah religiusitas dalam artiannya yang terdalam dan yang sebenarnya sebagaimana yang dimaksudkan oleh para mistikus seperti Rumi dan Ibnu 'Arabi.


Penutup

Adalah keliru berharap menemukan spiritualitas-mistik dalam buku SQ: Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence. Tampaknya apa yang diajukan oleh Zohar dan Marshall, tidaklah lebih dari sebuah "proses pemaknaan" yang memang tidak selalu memiliki hubungan yang penting dengan agama, baik eksoteris atau formal maupun yang esoteris, karenanya bagi kami tidaklah tepat menyandingkan kata "spiritual" bagi "Q" yang ketiga ini. Sementara mereka pun mengatakan bahwa seorang yang ateis bisa memiliki SQ tinggi dan seseorang yang beragama bisa memiliki SQ rendah, kenyataannya Zohar dan Marshall tidak memberikan suatu definisinya yang jelas mengenai agama itu sendiri.

Dalam wilayah psikologi sebagaimana telah didefinisikan, SQ bukanlah sebuah kecerdasan par excellence, tetapi lebih kepada sebuah usaha terapi diri dalam memaknai setiap tindakan dan hidup melalui suatu proses penandaan, dengan tubuh dan otak sebagai wilayah aktivitasnya. Proses pemaknaan tersebut dilakukan untuk dapat menentramkan dan memberi jawaban atas masalah-masalah eksistensial yang sebenarnya berasal dari alam bawah sadar berupa kompleks, yang merupakan tumpukan masalah yang terpendam pada segenap kehidupannya. Adapun tingkat kedalaman makna dalam SQ sebenarnya sesuatu yang kabur dan subyektif, bahkan bisa terbentuk dalam suatu cara yang ironis dan arbitrer, sebuah kenikmatan atas proses penandaan, karena Zohar dan Marshall pun tidak memberikan deskripsi yang lebih jelas mengenai kedalaman makna tersebut.

Kemunculan SQ bukanlah sebuah tanda telah munculnya jembatan penghubung antara sains dan agama; SQ lebih merupakan sebuah upaya diskursus Barat untuk mengintegralkan pandangannya mengenai manusia dengan apa-apa yang selama ini sering kali luput dari perhatian sains dengan tetap mencoba mencari basis materialnya. Di sisi lain, para ulama maupun pemikir yang memang memiliki keterbukaan terhadap keilmuan apapun dan ini memang suatu sikap yang positif, sebaiknya tidak perlu senantiasa menanti sabda pamungkas dari seberang sana untuk segera mengadopsi suatu pemahaman bahwa dalam konteks spiritualitas Islam SQ tidaklah memiliki suatu arti yang besar. Kerendahdirian (inferiority) serta kekaguman berlebihan terhadap hal-hal yang datang dari diskursus Barat pada akhirnya seringkali mematikan usaha berpikir kritis dan tidak akan memupuk suatu sikap saintis. Sikap seperti itu hanya akan membuat orang menjadi konsumen pengetahuan semata.

Acuan:
Zohar, Danah & Ian Marshall, (2000): "SQ: Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence," Bloomsburry: London, cet. 1, hal. 3.

Wilson, John Rowan dan para Editor LIFE, (1985): Pikiran, Tira Pustaka: Jakarta, cet. 3, hal. 11.

Bertens, K., (1987): Panorama Filsafat Modern, Gramedia: Jakarta, cet. 1, hal. 53.

Barthes, Rolland, (1976): The Pleasure of the Text, sebagaimana dikutip oleh Yasraf Amir Piliang, (1998): Sebuah dunia yang dilipat: Realitas kebudayaan menjelang milenium ketiga dan matinya posmodernisme, Mizan: Bandung, cet. 1, hal. 261.

Malcolm, Derek, (1991): In bed with the woman who dares, sebagaimana dikutip oleh Akbar S. Ahmed, (1993): Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, Mizan: Bandung, cet. 2, hal. 224.   
Baca Lengkap....

Kecerdasan Spiritual dan Kecerdasan Arbitrasi (SQ: Antara Psikologi dan Psikoanalisa)


SQ: Antara Psikologi dan Psikoanalisa

Psikologi, walau fondasinya telah diletakkan sejak era Socrates dan Plato, bisa dikatakan baru lahir pada pagi hari tanggal 22 Oktober 1850 karena kegelisahan Profesor Gustav Theodor Fechner atas kecenderungan zamannya yang terlalu materialistis. Pada mulanya dia merasa bahwa pikiran dan hubungannya dengan materi berada di luar jangkauan pengukuran ilmiah, namun pada akhirnya ia menuangkan gagasan penyatuan kedua hal tersebut dalam bukunya Elemente der Psychophysik, sebuah buku mengenai "ilmu eksakta hubungan fungsional antara tubuh dan pikiran." 

Dengan melihat perkembangan keilmuan pada hari ini, tampaklah bahwa psikologi pun telah menjadi salah satu jantung ilmu-ilmu sosial, banyak teori-teori psikologi beserta tokoh-tokohnya menjadi referensi, dikaji dan ditafsir ulang terus menerus. Melihat pada definisi psikologi yang diberikan oleh Fechner tampak bahwa yang dimaksudnya sebagai psyche (jiwa) adalah sesuatu yang terjadi dari interaksi antara tubuh dan pikiran. Pada generasi berikutnya, bermunculanlah definisi-definisi dari para teoritikus psikologi mengenai disiplin keilmuan tersebut yang secara singkat kesemuanya tetap menitikberatkan pada permasalahan psikologi sebagai ilmu mengenai psyche (jiwa) manusia.

Sebenarnya, dari seluruh pendapat para teoritikus mengenai psyche tersebut hanya ada satu hal yang pasti: tubuh (beserta tingkah lakunya). Adapun teori mereka atas yang apa yang terdapat di balik tubuh merupakan tafsir atas tubuh tersebut. Walau psikologi lahir dari keprihatian Fechner akan materialitas zamannya, namun hingga hari ini psikologi tetap berangkat dari basis material tubuh untuk teorinya. Sebatang tubuh dengan otak di dalamnya yang seringkali dianggap sebagai ruang kendali merupakan objek pengamatan dimana gerak-geriknya menjadi sumber penafsiran atas kesadaran, ketaksadaran, kompleks dan kepribadian yang akan membentuk sebuah bangunan besar bernama psyche.

Jauh sebelum itu, Plato telah membicarakan mengenai dualitas manusia sebagai jiwa (psyché) dan tubuh. Analogi yang diberikan: jiwa adalah seorang "sais" yang mengendarai dua "kuda" yang bersayap. Gagasan ini pada masa Renaissance ditolak oleh Rene Descartes dengan mengajukan tubuh dan pikiran (menggantikan aspek jiwa yang terlalu abstrak dalam pandangan mereka). Pada dualitas manusia Descartes inilah psikologi mengambil pijakannya. Adapun psyche dari sejak era Renaissance maknanya jatuh sekadar kualitas dari suatu entitas (hidup). Dalam pengertian inilah para psikolog merumuskan (baca: menafsirkan) teori-teori psikologi, di mana dalam basis yang serupa para psikolog Islam melakukan kesalahan yang sama dengan mencoba mengadaptasinya (baca: mengislamisasi psikologi modern). 

Sebenarnya melihat karakteristik keilmuan psikologi hari ini adalah lebih tepat membatasi wilayah kajiannya pada kandungan emosi atau rasa tubuh yang berkaitan dengan kompleks dalam diri serta cara menanggulangi kompleks tersebut sehingga dengan meminjam istilah Jung, manusia tersebut dapat menjalani proses individuasi. Adapun mulai dari proses individuasi hingga mencapai aspek yang lebih dalam dari diri manusia (soul yang dalam hal ini kami bedakan dari pengertian psyche pada hari ini) dan spiritualitasnya adalah wilayah agama, khususnya mistisisme.

Dilihat dari sisi sejarah, psikologi telah melahirkan empat mazhab besar yaitu behaviuorisme, psikoanalisa, humanisme dan terakhir yang masih memperjuangkan pengakuan adalah transpersonal. Adapun dalam sejarah perkembangan psikologi modern titik berat pandangannya mengenai manusia secara global dapat dibagi dua, yaitu : fase kesadaran atau consciousness (Descartes), dan fase ketaksadaran atau unconsciousness yang merupakan sumbangan Freud terbesar terhadap psikologi. 

Namun sebagaimana umumnya teori-teori psikologi pascarenaissance, hal yang pasti dari teori psikoanalisa Freud (meskipun Freud mengatakan bahwa teori psikoanalisanya lahir dari pengalaman empirik di klinik bersama para pasiennya) kekuatannya adalah pada tafsirannya. Ini seperti ketika Jung memiliki ketertarikan terhadap mitologi, maka Freud menafsirkannya sebagai tanda (ramalan) kematiannya, atau pun tafsiran Freud terhadap surat dari kekasihnya yang suatu hari nanti akan menjadi istrinya. Hal serupa dapat dilihat pula pada para penerusnya seperti Jacques Lacan, Julia Kristeva, Luce Irigaray. Tampaknya sudah menjadi sesuatu yang inheren dalam psikoanalisa, di mana penafsirannya seringkali melompat sehingga membuat terpisah antara praktek-terapi dan teoritisasinya. Atau lebih tepatnya, dapat dikatakan bahwa psikoanalisa adalah "ars interpretandi" (seni penafsiran) sebagaimana Freud sendiri pernah berkata bahwa "Saya mempunyai bakat untuk menginterpretasi."

Melihat perubahan paradigma psikologi tersebut dengan meminjam pemikiran Foucault, dapat dikatakan bahwa psyche sebagai sebuah wacana memiliki episteme suatu pengetahuan yang berlaku pada suatu masa tertentu yang membentuk lapisan-lapisan arkeologi pengetahuan sebagaimana lapisan arkeologis bumi yang terpisah antara satu dengan lainnya; suatu lapisan pengetahuan yang memiliki kuasa untuk menerima atau menolak apa-apa yang dapat dikategorikan sebagai objek kajian wacananya.

Dengan melihat uraian di atas, maka letak SQ memang di seputar tubuh, atau lebih khusus lagi adalah : pikiran sebagai bagian dari aktivitas otak. Walaupun Zohar dan Marshall mengatakan bahwa "SQ is the intelligence that rests in that deep part of the self that is connected to wisdom form beyond the ego, or conscious mind, it is the intellignece with which we not only recognize existing values, but with which we creatively discover new values.", namun dalam hal ini SQ sebenarnya tidak berkaitan dengan sesuatu yang lebih dalam dari diri manusia (soul) apalagi spiritualitas dalam artian yang sebenarnya, karena wilayah SQ lebih mengarah kepada "proses pemaknaan" dan usaha terapi diri.
Baca Lengkap....

Kecerdasan Spiritual dan Kecerdasan Arbitrasi (SQ: Kecerdasan Memaknai Hidup)


Alfathri Adlin
Paramartha International Center for Tashawwuf Studies (PICTS)

Abstrak
Spiritual Quotient (SQ) merupakan tawaran pemikiran mengenai kecerdasan yang berkaitan dengan proses pemaknaan manusia terhadap setiap tindakan dan jalan hidupnya. "Spiritualitas" yang digunakan dalam SQ tidaklah menunjuk kepada sumber atau proses hidup (spirit, ruh). Karena itu, SQ dapat dipandang sebatas upaya terapi terhadap segenap kompleks dan permasalahan eksistensialnya, tanpa harus memiliki hubungan dengan agama. Karena dalam pemaknaan seringkali yang pasti hanyalah aspek materialnya saja, sedangkan maknanya dapat menunjuk ke segala arah, tetapi SQ dalam hal ini mencoba untuk berperan mengintegralkannya sebagai satu kesatuan utuh. Namun pada dasarnya, pemaknaan, apalagi pemaknaan hidup, senantiasa berkaitan erat dengan segenap pengalaman psikis dan budaya yang dialami manusia. Inilah salah satu upaya paling mutakhir dari dunia (diskursus) Barat dalam mencoba mengintegralkan pemahaman mereka atas diri mereka sendiri, khususnya yang berkaitan dengan sisi-sisi psikis yang masih misterius dan sejauh ini kurang memperoleh perhatian ilmu pengetahuan.
 
Now, at the end of century, an array of recent but so far undigested scientific data shows us that there is a third 'Q'. The full picture of human intelligence can be completed with a discussion of our spiritual intelligence—SQ for short", begitu klaim Danah Zohar dan Ian Marshall dalam buku terbaru mereka, SQ: Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence. Kemunculan "kecerdasan ketiga" ini ternyata cukup mendapatkan sambutan dan antusiasme dari khalayak Indonesia yang tampaknya sedang dan selalu menanti pengakuan terhadap "spiritualitas" dari dunia (diskursus) Barat. Tulisan mengenai buku ini pun marak di media-media cetak, selain rangkaian seminar atau kursus tentang hal ini.

Sebenarnya apakah SQ tersebut? Apakah maksud dari klaim Danah Zohar dan Ian Marshall bahwa SQ merupakan "the ultimate intelligence"? Gambaran yang utuh dari manusia? Benarkah ia merupakan fondasi yang penting untuk memfungsikan secara efektif baik IQ maupun EQ, dua kecerdasan yang telah dikenal terlebih dahulu?

SQ: Kecerdasan Memaknai Hidup

"SQ has no necessary connection to religion," karena SQ menurut Zohar dan Marshall adalah "intelligence with which we address and solve problems of meaning and value, the intelligence with which we can place our actions and our lives in a wider, richer, meaning-giving context, the intelligence with which we can assess that one course of action or one life-path is more meaningful than another."
Mereka kemudian mencoba membuat analogi : menggambarkan IQ sebagai komputer yang senantiasa tahu mengenai aturan dan dapat mengikutinya tanpa kesalahan; EQ mereka lihat sebagai insting, sebuah dorongan dasar (basic drive) yang sudah tertanam secara natural pada binatang, misalnya. Sedangkan manusia walaupun masih menjadi pertanyaan apakah memang memiliki insting, bisa dikatakan "mampu melepaskan diri dari insting." Adapun SQ, menurut mereka, adalah sesuatu yang bisa membuat manusia keluar dari batasan-batasan tersebut, karena "SQ allows human being to be creative, to change the rules and to alter situations."

Jantung dari SQ adalah "makna", karena manusia menurut mereka adalah: "driven, indeed we are defined, by a longing to find meaning and value in what we do and experience." Memang, di bagian awal buku, mereka mengutip definisi spiritual dari kamus Webster sebagai "the animating or vital principle; that which gives life to the physical organism in contrast to its material elements; the breath of life," namun dalam penjelasan selanjutnya konteks spiritual pada SQ menyimpang menjadi "proses pemaknaan" dan bukan pada konteks aslinya sebagai spirit atau ruh.
Karena penekanannya pada "proses pemaknaan" itu pulalah, maka spiritualitas dalam SQ tidak terkait dengan agama, terlebih mereka pun memandang agama konvensional sebagai "an externally imposed set of rules and beliefs…inherited from priests and prophets and holy books, or absorbed through the family and tradition." Mereka pun menyatakan bahwa "many humanists and atheist have very high SQ; many actively and vociferously religious people have very low SQ." Bahkan mereka pun menandaskan lebih jauh lagi bahwa "A person high in SQ might practise any religion, but without narrowness, exclusiveness, bigotry or prejudice. Equally, a person high in SQ could have very spiritual qualities without being religious at all."

Lebih jauh lagi, SQ menurut mereka adalah "soul's intelligence…with which we heal ourselves and with which we make ourselves whole." Karena SQ tidak bergantung pada budaya dan nilai-nilai yang telah ada di luar diri manusia, maka SQ pun "prior to all specific values and to any given culture. It is, therefore, prior to any form of religious expression that it maight take. SQ makes religion possible (perhaps even necessary), but SQ does not depend upon religion."

Dalam mengaitkan SQ dengan bukti-bukti ilmiah karena kata mereka "existing science is not equipped to study things that can't objectively be measured", maka Zohar dan Marshall pun menunjukkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para neurolog tentang beberapa aktivitas otak yang mereka klaim sebagai suatu bukti ilmiah akan SQ. Satu hal yang bisa dianggap merupakan jantung keberadaan SQ adalah ditemukannya bagian otak yang disebut God spot, yang merupakan "built-in spiritual centre…located among neural connections in the temporal lobes of brain." Namun ada satu hal yang mereka tandaskan pula bahwa "'God spot's does not prove the existence of God, but it does show that the brain has evolved to ask 'ultimate questions', to have and to use a sensitivity to wider meaning and value.

Mengenai adanya kaitan antara aktivitas otak dengan kecerdasan memang sudah menjadi sesuatu yang taken for granted, karena kecerdasan apa pun namanya seringkali akan mengambil aktivitas pada jaringan syaraf. Pembuktian ilmiah terhadap sesuatu yang spiritual, ritual keagamaan misalnya, sering pula terjadi pada umat Islam seperti mengaitkan shalat tahajjud dengan pencegahan penyakit kanker, dan sehatnya tubuh karena gerakan-gerakan shalat lainnya.
Baca Lengkap....