Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Ciri-Ciri dan 10 Kualitas Guru yang Baik

Ciri-Ciri dan 10 Kualitas Guru yang Baik

Marie F. Hassett mengemukakan bahwa ketika berbicara tentang kualitas mengajar seorang guru, fokusnya berkaitan dengan masalah-masalah teknik, konten, dan presentasi. Tapi pada kenyataannya, banyak orang yang tahu bahwa guru yang memiliki pengetahuan yang luar biasa terkadang gagal berkomunikasi secara baik dengan siswanya.

Guru semacam ini, di atas kertas sangat hebat penguasaannya di bidang mata pelajaran, tapi sayangnya siswa bosan atau frustrasi ketika menerima pelajaran darinya.

Banyak orang, termasuk siswa mengakui bahwa mengajar yang baik sering kali tidak terlalu terkait dengan pengetahuan dan keterampilan dibandingkan dengan sikap terhadap siswa, materi yang diajarkan, dan pekerjaan itu sendiri.

Lalu, bagaimana karakteristik yang menunjukkan guru yang baik itu? Hal ini tidak dimaksudkan untuk menjadikan semua ciri-ciri itu harus dipenuhi seluruhnya. Karena banyak guru yang oleh siswa dinilai sangat baik ternyata hanya memiliki beberapa sifat dominan.

Karakteristik rinci yang disajikan di sini hanya sebagai pilihan alat yang memungkinkan guru-guru menciptakan dan mempertahankan konektivitas di kelas mereka.

Guru yang baik memiliki ciri-ciri seperti berikut ini:

  • Memiliki kesadaran akan tujuan;
  • Harapan akan keberhasilan bagi semua siswa;
  • Ambiguitas;
  • Menunjukkan kemauan beradaptasi dan berubah untuk memenuhi kebutuhan siswa;
  • Merasa tidak nyaman jika kurang mengetahui;
  • Mencerminkan komitmen pada pekerjaan mereka, belajar dari berbagai model;
  • Menikmati pekerjaan dan siswa mereka

10 Kualitas Guru yang Baik

Semua guru harus menjadi guru yang baik. Kalau ada yang menyatakan bahwa "salah satu tujuan terbesar saya adalah menjadi seorang guru", orang itu sangat potensial akan menjadi guru yang baik. Orang seperti ini biasanya memiliki misi untuk memperoleh pengalaman hidup melalui mengajar orang lain. Orang semacam ini akan menghindari perilaku sebagai guru yang membosankan.

Kita semua tahu guru itu dikategorikan baik atau buruk ketika melihatnya tampil di kelas dan di luar kelas. Dari situs Ripplesofimprovement.com terungkap top 10 kualitas guru yang baik, yang bukan tidak mungkin sangat sedikit yang memilikinya.

1. Confidence atau keyakinan diri sendiri

Guru yang baik tetap memiliki kepercayaan diri, meski sesekali merasakan kemunduran. Guru yang baik menghadapi semua situasi dan waktu yang bisa saja olchnya dianggap sebagai kemunduran. Anak-anak bisa saja kejam. baik sesama rekannya maupun kepada guru. Mereka adakalanya bersikap kurang menyenangkan, terutama anak-anak remaja.

Ada juga guru yang gugup ketika mengajar. Guru yang lainnya malu malu dan hanya setengah berkomitmen untuk mata pelajaran mereka.

Tetapi guru yang terbaik menertawakan kesalahan mereka melempar kapur tulis atau menjatuhkan buku. Beberapa guru bingung dan meng banu, meski tetap melanjutkan pelajaran, bahkan kadang-kadang Bercanda yang mengacaukan, Guru-guru tahu mereka manusia biasa akan kesalahannya. Mereka tidak mengambil proporsi pribadi yang terlalu besar dan membiarkan masalah yang membuat mereka marah.

2. Patience atau kesabaran

Guru-guru terbaik bisa membantu siswa yang mengalami gangguan mental. Bukan berarti mereka harus tetapi mereka begitu sabar, meski mungkin bukan lagi menjadi tugas utamanya. Guru yang terbaik adalah mereka yang bersedia terus menjelaskan mengetahui, dan akhirnya menerima bahwa hal itu masuk akal. Mereka bersedia menunggu sampai siswa yang mengganggu menjadi tenang dan tidak meninggalkan pelajaran sepenuhnya, apakah materi itu telah jelas atau perlu ditinjau kembali.

Guru-guru terbaik tidak terjebak dengan hal itu. Mereka bersedia melakukan apa yang diperlukan, tidak peduli berapa lama waktu yang diperlukan.

3.True compassion for their students atau memiliki rasa kasih sayang sejati pada siswanya

Barangkali siswa pernah berhadapan dengan seorang guru yang jahat, yang tidak peduli apa alasan siswanya berperilaku ter tentu. Tentu saja ini ada alasannya, meski tidak valid.

Guru-guru terbaik peduli dengan siswa mereka sebagai individu dan ingin membantunya. Mereka memiliki indera keenam ketika siswa membutuhkan perhatian ekstra dan memberikannya dengan senang hati. Mereka tidak mengharapkan siswa meninggalkan pikiran tentang dunia luar di depan pintu kelas.

Mereka mengambil waktu untuk mendiskusikan mata pela jaran di luar tugas mengajarnya, dengan mengetahui bahwa kadang kadang pelajaran masih dapat diajarkan tanpa mengikuti buku teks.

Guru yang baik bersedia berbicara kepada semua siswa dan guru-guru lain, jika perlu. Mereka peduli tentang siswanya meski berada di luar tembok kelas.

4.Understanding atau pemahaman

Guru yang baik memiliki pemahaman yang benar prima tentang bagaimana mengajar. Mereka tidak memiliki teknik yang kaku dan bersikeras menggunakannya, sehingga hal itu membantu kelancaran dan kemudahan siswa belajar. Guru yang baik fleksibel dalam gaya mengajar dan menyesuaikannya setiap hari, jika perlu.

Mereka mengerti hal-hal kecil yang dapat memberi dampak bagi kemampuan siswa untuk belajar, seperti iklim dan suasana di dalam kelas. Dia memiliki pemahaman tentang sifat siswa dan perkembangannya sebagai remaja. Guru yang baik tahu bahwa siswanya tidak suka disebut “masih anak-anak” dengan konotasi "kekanak-kanakan" secara “dihakimi”. Siswa menghendaki agar gurunya memperlakukan mereka sebagai manusia nyata, bukan hanya sebagai "siswa" semata.

5.The ability to look at life in a different way and to explain a topic in a different way atau kemampuan melihat kehidupan dengan cara yang berbeda dan menjelaskan topik dengan cara yang berbeda.

Ada banyak gaya belajar yang berbeda di kalangan siswa. Tidak semua siswa dapat menyerap materi pelajaran seperti yang diajarkan oleh setiap guru secara sama cepat. Guru harus memberi perlakuan yang berbeda untuk siswa yang berbeda.

Guru yang baik tidak menggunakan satu cara untuk semua pokok bahasan yang disajikan. Guru yang baik melakukan perbuatan mengajar berdasarkan bagaimana cara siswanya belajar, meski ini bukan pekerjaan yang mudah.

Namun, setidaknya bergerak ke arah itu. Cara guru bekerja sangat mungkin bernilai tinggi bagi sebagian siswa, tapi gagal untuk siswa lainnya. Guru-guru yang baik adalah yang mampu mengajar untuk gaya belajar yang berbeda. Jika siswa tidak memahami mata pelajaran, mereka mengajar dengan cara yang berbeda.

Daripada melihat rumus abstrak, ada baiknya guru menjelaskan rumus dengan gambar yang mewakili.

6. Dedication to excellence atau dedikasi untuk keunggulan

Guru yang baik memiliki dedikasi dan menginginkan capaian yang terbaik dari siswa-siswanya dan diri mereka sendiri. Mereka tidak puas dengan nilai siswanya yang kecil, melainkan mengabdikan diri untuk secara penuh menuju kemampuan siswa untuk unggul.

Guru-guru terbaik mendorong berbagi ide dan menawarkan insentif, tidak harus melakukan pekerjaan rumah setiap sehari, untuk mendapatkan siswa bisa berpikir di luar kotak sekolah.

Mereka tidak mentolerir guru lain menjelek-jelekan guru lainnya di depan siswa. Mereka akan melakukan yang terbaik untuk menunjukkan bahwa guru-guru lain juga manusia. Mereka mendorong siswa untuk menjadi orang baik, tidak hanya baik dalam mengingat teks, melainkan memahami dan dapat mengaplikasikannya.

Mereka ingin siswa belajar dan dapat menerapkan apa yang mereka pelajari, tidak hanya sebatas bisa lulus tes.

7. Unwavering support atau teguh dalam memberikan dukungan

Guru guru terbaik tahu bahwa setiap siswa dapat melakukan kegiatan belajar dengan baik jika mereka memiliki guru yang tepat. Mereka tidak menerima bahwa sSiswa adalah penyebab kegagalan kegiatan pembelajaran. Mereka mendorong siswa yang frustasi untuk berprestasi dan memberikan keyakinan besar kepada siswanya, bahwa dia bisa memahami materi pelajaran dengan baik.

Mereka berdiri secara adil di mata siswa, serta tidak memuji satu pihak dan mengejek pihak lain. Kadang-kadang, mereka bahkan memperpanjang waktu mengajar di luar sesi kelas, walaupun ada ejekan siswa lain di lorong sekolah dan itu memang sangat sulit bagi guru untuk menghindarinya.

Guru-guru terbaik selalu ada di samping siswa jika dia memerlukan bantuan dan dorongan ekstra.

8. Willingness to help student achieve atau kesediaan untuk membantu siswa mencapai prestasi

Guru-guru terbaik adalah mereka yang tidak secara otomatis "berhenti mengajar” ketika bel berbunyi. Mereka mengadakan sesi tambahan untuk persiapan tes prestasi siswa (TPS/SAT), dan karenanya mereka memberi pelajaran tambahan bagi siswa setelah sesi kelas.

Mereka tahu bahwa beberapa hal yang memerlukan perhatian atau bantuan ekstra. Mereka tidak bertindak dengan prinsip: itu bukan tugas saya atau tugas saya sudah selesai.

Guru melaksanakan pekerjaan secara serius dan tahu bahwa siswa tidak hanya bermaksud mendapatkan nilai matematika yang lebih tinggi, melainkan juga bagaimana manfaatnya dalam kehidupan. Mereka menyadari bahwa prestasi siswa bukan hanya nilai bagus pada ujian, tapi rasa berprestasi dengan menguasai materi pelajaran, dan mereka bersedia bekerja dengan siswa untuk mencapai rasa berprestasi itu.

9. Pride in student's accomplishments atau bangga atas prestasi siswa

Guru-guru terbaik sangat bangga dengan siswanya yang mendapatkan nilai yang baik atau memperoleh kehormatan dari masyarakat. Mereka tersenyum dan memberitahu siswanya dan masyarakat, bahwa dia melakukan pekerjaan yang baik demi anak didiknya. Mereka memberitahu guru lainnya tentang bagaimana mereka juga melakukannya. Di luar mungkin dia masih “merasa malu", tetapi di dalam dia bercahaya.

Guru-guru terbaik merayakan keberhasilan untuk siswa terbaik. Mereka pun merayakan keberhasilan semua siswa, mengetahui bahwa semua siswa mampu melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuannya.

Mereka optimis dan positif, berfokus pada bagaimana siswa melakukan tugasnya dengan baik, tidak hanya memperhatikan seberapa baik mereka mengajar. Mereka mungkin tahu bahwa prestasi itu adalah hasil kekuatan membantu siswa untuk meneapal prestal, tetapi mereka yakin baliwae siswanya sudah benar-benar bertanggungjawab.

10. Passion for life atau berairah untuk hidup

Guru-guru terbaik tidak hanya tertarik pada bidang tugasnya, melainkan juga mereka bersemangat tentang hal itu. Guru-guru terbaik bersemangat tentang hal-hal lainnya. Mereka memuji iklim belajar yang baik dan tersenyum ketika mampu mengambil beberapa menit untuk membahas episode dari sebuah acara yang populer di sebuah jaringan televisi.

Mereka memiliki energi yang bercahaya dan memberi pewarnaan positif sebanyak mungkin. Mereka menghadapi tugas-tugas sebagai tantangan, bukan rutin semata. Mereka mengambil bola “kurva alam semesta” dan mengubahnya menjadi menyenangkan sebisa mungkin.

Mereka adalah manusia biasa, tetapi selalu membuat siswa terus maju.


Sumber:
Psikologi Pendidikan (Dalam Perspektif Baru)
Hal 248-253
Penulis:
Prof. Dr. Sudarwan Danim
Dr. H. Khairil
Baca Lengkap....

Manusia, Bahasa, dan Komunikasi

Manusia, Bahasa, dan Komunikasi

Memahami bahasa tampaknya sebagian besar manusia di dunia kini menghabiskan waktunya dengan bahasa. Para hakim, jaksa, pengacara, dosen, wartawan, penulis, penyiar radio televisi, dan perancangan iklan memperoleh nafkahnya dari kemahiran berbahasa. Bahasa meluber di tempat kita bekerja, di kantor, di bengkel, di toko, atau di mall-mall. Berdebat di ruang pengadilan, belajar di bangku kuliah, mengisi teka-teki silang di kamar penjara, membeli tahu tempe di pasar, semuanya berjalan dengan perantaraan bahasa.

Itu sebabnya Ariel Heryanto mengibaratkan, kecuali tidur dan mengunyah makanan, hidup ini hampir-hampir tak terbebas dari bahasa buka kurung Heriyanto, 2000: 143). Bahkan, kata Heriyanto lagi, dalam tidur pun ada orang yang berbicara, kalau bukan bermimpi berbincang dengan orang lain titik bahasa kemudian benar-benar menjadi alat penggerak.

Memang menakjubkan bagaimana bahasa itu bisa menjadi semacam alat penggerak dari jauh dalam satu mekanisme remote control bagi individu yang ratusan ribu jumlahnya. "Dengan bahasa...," kata Jalaludin Rakhmat, "Anda dapat mengatur perilaku orang lain. Ibu anda dari Amerika dapat anda gerakan untuk datang ke rumah kontrakan anda di Bandung dengan mengirimkan kata-kata lewat telepon atau surat. Dengan teriakan 'Bapak!' seorang anak kecil dapat menggerakkan lelaki besar di seberang jalan dengan mendekatinya. Dengan aba-aba maju - jalan, sersang dapat menggerakkan puluhan tentara menghentakkan kakinya dan berjalan dengan langkah langkah tegap" (Rakhmat, 1994:268).

Inilah kekuatan bahasa, kekuatan kata-kata, the power of words. "Mungkin inilah yang membedakan kita dengan binatang," ujar Rakhmat. "Melalui kata dan logat yang tepat, seseorang dapat menggerakkan dunia," kata Joseph Conrad (Brussel, 1987: 114), bukan suatu perlengkapan yang melengkapi manusia di dunia ini. Di dalam dan pada bahasa letaknya kenyataan bahwa manusia mempunyai dunia. Keberadaan dunia diletakkan secara bahasa titik di dalam bahasa, aspek-aspek dunia terungkap. Mempunyai dunia adalah serentak juga mempunyai bahasa.

Sepanjang sejarah, kekuatan kata-kata telah memulai dan mengakhiri perang. Kata-kata menggerakkan para pemilih untuk memilih presiden Amerika Serikat dan menyingkirkan politikus lain yang ikut pemilihan presiden. "Pepatah yang mengatakan ‘tongkat dan batu dapat memecahkan tulang-tulang saya’ tetapi kata-kata tidak pernah dapat melukai saya tidak jauh dari kenyataan," kata Curtis, Floyd, dan Winsor (1996: 333).

Maka, bahasa pun kemudian ikut berfungsi sebagai pengontrol tingkah laku individu. Seseorang ditimbang martabat dan latar belakangnya, apakah ia bangsawan atau bukan, dari cara ia menempatkan kata-kata dari cara ia mengucapkan kalimat. Hal ini bisa terlihat dengan jelas dalam bahasa Jawa, misalnya. Seorang Jawa yang berlaga priayi, tapi tak tahu dimana ia harus menempatkan kata sare dan dimana ia harus menggunakan kata tilem (kedua-duanya berarti tidur,) akan tak diakui sebagai anggota lapisan yang luhur. Setidaknya ia akan dianggap kurang tahu adat.

Bahasa memang memiliki kemampuan untuk menyatakan lebih dari apa yang disampaikan. "Bahasa lebih dari sekadar alat mengkomunikasikan realitas; bahasa merupakan alat untuk menyusun realitas" (Spradley, 1997: 23). Efek wilayah tak sadar manusia pun bahkan dapat dilihat dalam bahasa dan seringkali tampil dalam bentuk salah ucap (misalnya, keseleo lidah, kelupaan akan nama, dan sebagainya). Wacana komunikasi umumnya terganggu karena wilayah tak-sadar mengalami gangguan tetapi menurut keteraturan struktural tertentu. Dengan cara ini Lacan menghubungkan yang tak-sadar dengan bahasa.

Sejak dahulu, para ahli pikir menyebut manusia sebagai makhluk yang dilengkapi dengan tutur bahasa (istilah animal rationale berpangkal pada istilah Yunani logon ekhoon: dilengkapi dengan tutur kata dan akal budi). Istilah Yunani logos menunjukkan arti sesuatu perbuatan ataupun isyarat, inti sesuatu hal, cerita, kata ataupun susunan. Logos menunjukkan ke arah manusia yang mengatakan sesuatu mengenai dunia yang mengitari riya.

Maka itu, para filsuf Yunani berbicara sekaligus mengenai logos di dalam manusia sendiri kata, akal budi) dan logos di dalam dunia (arti, susunan alam raya). Logos berarti mengatakan sesuatu yang komponennya berkaitan yang satu dengan yang lain, karenanya menyesuaikan diri, mendengarkan; kenyataan yang kita tuturkan lewat kata-kata sekaligus terangkum dalam istilah "logos" itu (van Peursen, 1991: 4).

Hakikat bahasa adalah bahasa tutur (Poepoprodjo, 1987: 110). Begitulah mulanya. Bahasa membahasa dalam bahasa tutur, tidak dalam bahasa tulis: didengar, tidak dilihat. Bahasa terlepas dari proses pelaksanaannya begitu dibahasatuliskan. Bahasa tulis kehilangan daya ekspresif ketimbang bahasa yang diucapkan. Dengan ditulis, bahasa memang dilestarikan, tetapi bahasa pun menjadi lemah.

Dalam hal ini Gadamer mengutip Plato, yang dalam berbagai karyanya menandaskan kelemahan dan tidak berdayanya bahasa tulis (to asthenes toon logoon). Bahasa, dengan menjadi bahasa tulis, mengalami alienasi. Bahasa tutur, kata Poespoprodjo, memiliki daya pesona yang begitu kuat, namun menjadi kehilangan begitu banyak daya pesonanya manakala diwujudkan ke dalam gambar-gambar visual.

Karya sastra memakai kata-kata sedemikian rupa guna memaksimumkan daya gunanya, namun banyak daya tenaga nya terserap manakala mendengar sekadar berupa proses visual pembacaan. Munculnya tulisan perlu disyukuri, namun hendaknya jangan dilupakan bahwa bahasa dalam bentuk asalnya mulanya didengar, bukan ditulis (Poespoprodjo, 1987: 110).

Apa yang dikatakan Poespoprodjo boleh jadi benar. Sebab nyatanya, apa yang disebut bahasa tutur itu memang dapat lebih mudah dipahami ketimbang bahasa tulis. Itu sebabnya Goenawan Mohamad jauh-jauh hari sudah mengingatkan, "Ketika para ahli bahasa kita sibuk memikirkan bahasa tulisan (ejaan adalah sendi pertamanya), kita pun seperti bahwa sekitar 30% bangsa kita tak mengenal bahasa yang disusun dalam huruf Latin itu. Kita lupa pentingnya bahasa lisan, yang mungkin merupakan bahasa komunikasi 75% atau lebih dalam hidup kita: radio, TV, khotbah, pidato di balai desa. Kita lalai barangkali bahwa dengan mem prioritaskan bahasa tulisan, kita memprioritaskan satu segi dari bahasa kita yang terbatas" (Mohamad, 1982: 321).

Lalu, apakah bahasa itu?

Dalam pengertian yang populer, bahasa adalah percakapan (Hidayat, 1996:27); sementara dalam wacana linguistik bahasa diartikan sebagai sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran (Wibowo, 2001: 3).

Pengertian bahasa sebagai percakapan atau pembicaraan, tampaknya tidak sepenuhnya benar, sebab dalam aktivitas berpikir, berbahasa, dan berbicara, masih ada faktor lain yang terlibat. Emosi, misalnya, juga tindakan. Apabila pengertian bahasa hanya ditekankan pada berbicara, maka elemen pokok dalam bahasa pun menjadi sirna. Sebab, bahasa, pikiran, dan emosi tak lagi bisa dipisahkan.

Menurut Ensiklopedia Indonesia (Bandung/Den Haag, t.t.) kata bahasa berarti “alat untuk melukiskan sesuatu pikiran, perasaan atau pengalaman; alat ini terdiri dari kata-kata. Dalam hubungan antara manusia dan manusia dipakai orang bahasa (kata-kata) itu sebagai simbol (lambang) yang objektif untuk memaparkan sesuatu pikiran atau perasaan yang subjektif”. Kutipan ini dapat diuraikan dan digunakan untuk penelitian yang terinci.

Dilihat dari sudut ilmu-ilmu sosial, bahasa adalah dasar komunikasi antarmanusia. Tanpa bahasa, perhubungan antarmanusia seperti ini tidaklah mungkin. Dalam pandangan teori linguistik yang dipengaruhi Chomsky, bahasa adalah sejumlah kalimat yang tak terbatas dan setiap kalimat bersifat tunggal-salah setiap kalimat hanya satu kali terbentuk dalam suatu bentuk yang tertentu (Kratz, 1974: 72).

Lantas, apakah dasar ketunggalan itu?

Kalimat itu terdiri atas sejumlah tanda bahasa (kata-kata yang terbatas dan yang disebut kode (code). Hanya dengan penyusunan menurut aturan tertentu (kodifikasi), tanda-tanda bahasa ini menjadi ungkapan. Penyusunan ini tidak terjadi menurut sebuah pola yang tunggal-misalnya menurut tata bahasa saja-tetapi dipengaruhi juga oleh hal-hal lain.

Pengaruh lain misalnya keadaan diri sendiri si pembicara dan keadaan di mana kalimat-kalimat tertentu itu diungkapkan. Keadaan ini disebut persyaratan situasi (situative conditions) dan yang memang tidak pernah sama, seperti ketunggalan setiap pembicara menghasilkan ketunggalan setiap kalimat dalam bahasanya.

Jumlah tanda-tanda bahasa dalam suatu bahasa tertentu selalu lebih besar daripada jumlah tanda-tanda bahasa yang diketahui oleh seseorang. Pengetahuan yang kuantitatif saja serta kemampuan orang memilih tanda-tanda tertentu untuk mengungkapkan kalimat-kalimat, disebut kemampuan bahasa (language compe tence).

Semua anggota sesuatu kelompok bahasa disebut pembicara mampu (competent speaker), karena mereka sanggup memilih tanda tanda bahasa dari kodenya yang tersedia, dari bahasa yang mereka kuasai untuk berkomunikasi dengan manusia lain. Jalannya perhubungan itu, ialah penyerahan kemungkinan-kemungkinan bahasa ke dalam ungkapan dan tulisan, disebut performance (penampilan). Kalau seorang pembicara menguasai banyak tanda tanda bahasa maka ia memiliki performans yang baik, kalau pengetahuan tanda-tanda bahasa seorang pembicara sedikit, performansnya disebut kurang baik.

Jadi, performans itu tergantung kepada kemampuan si pembicara. Dalam arti luas, bahasa dapat ditafsirkan sebagai suatu penukaran (komunikasi) tanda-tanda (dan ini berlaku baik bagi bahasa menurut arti sempit: bahasa kata-kata, maupun mengenai semua tanda Janinnya). Ilmu yang mempelajari komunikasi tanda-tanda itulah yang disebut semiotika.

Tanah yang luas itu meliputi bidang-bidang yang lebih terbatas, yaitu bahasa-bahasa alamiah dan bahasa-bahasa buatan (logika, aljabar, bahasa komputer, dan sebagainya). Dalam ilmu semiotika, itu dibedakan tiga tahap kaidah-kaidah (dan hal ini juga berlaku, biarpun lebih terinci, bagi bahasa pada umumnya dan bahasa-bahasa yang dibuat secara logis).

Pertama-tama, terdapat kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antara tanda-tanda atau lambang-lambang itu sendiri: sintaksis. Kemudian, kaidah-kaidah mengenai cara-cara tanda tanda tadi menunjukkan kepada objek-objek tertentu (orang-orang, barang-barang, peristiwa-peristiwa): semantik. Ketiga, kaidah kaidah yang menentukan hubungan semantis tadi dalam konteks yang lebih luas lagi, yakni dalam hubungan dengan si pemakai tanda-tanda: pragmatik.

Dalam kaitan dengan pengertian bahasa ini, Rakhmat (1994: 268-269) menyebut dua cara untuk mendefinisikan bahasa: fungsional dan formal. Definisi fungsional melihat bahasa dari segi fungsinya, sehingga bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan (socially shares means for expressing ideas).

Definisi formal menyatakan bahasa sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tata bahasa (all the conceivable sentences that could be generated ac cording to the rules of its grammar). “Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberikan arti,” jelas Rakhmat.

Berkaitan dengan hakikat bahasa ini, Anderson (1972) mengemukakan delapan (8) prinsip dasar, yaitu:

  1. bahasa adalah suatu sistem
  2. bahasa adalah vokal (bunyi ujaran)
  3. bahasa tersusun dari lambang-lambang mana suka
  4. setiap bahasa bersifat unik, bersifat khas
  5. bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan
  6. bahasa adalah alat komunikasi
  7. bahasa berhubungan erat dengan budaya tempat bahasa itu berada
  8. bahasa itu berubah-ubah.

Sementara itu, setelah menelaah batasan bahasa dari berbagai sumber, Brown (1980: 5) membuat rangkuman sebagai berikut:

  1. Bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barangkali juga untuk sistem generatif.
  2. Bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer.
  3. Lambang-lambang tersebut terutama sekali bersifat vokal, tetapi mungkin juga bersifat visual.
  4. Lambang-lambang itu mengandung makna konvensional.
  5. Bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi.
  6. Bahasa beroperasi dalam suatu masyarakat bahasa atau budaya.
  7. Bahasa pada hakikatnya bersifat kemanusiaan, walaupun mungkin tidak terbatas pada manusia saja.
  8. Bahasa diperoleh semua orang atau bangsa dengan cara yang hampir/banyak bersamaan; bahasa dan belajar mempunyai ciri-ciri keuniversalan.

Begitulah pendapat dua orang pakar tentang hakikat bahasa. Meski dengan kata-kata yang agak berbeda di sana-sini, dari kedua pendapat di atas bisa kita lihat banyaknya persamaan pandangan dan gagasan mengenai bahasa itu.

Bahasa muncul manakala bunyi dan ide tampil bersama dalam obrolan ataupun wacana (discourse). Berbeda dari obrolan yang acapkali tidak memiliki arah, wacana adalah suatu aktivitas pembicaraan yang bersifat dialogis yang memiliki kualitas serta komitmen intelektual untuk memperoleh kebenaran bersama Ormiston & Schrift, 1990: 86-87. Hidayat, 1996:27-28).

Dalam kaitan ini, berbahasa sebetulnya tidak selalu muncul dalam bentuk dialog, melainkan juga monolog. Hanya saja, ketika seseorang berbicara sendirian, sesungguhnya pembicaraan itu ditujukan kepada orang lain sebagai “pendengar,” yaitu “diri sendiri,” atau bisa jadi kepada figur yang tidak hadir secara nyata, misalnya Tuhan, atau orang yang hadir dalam imajinasinya.

Pengertian bahwa bahasa adalah percakapan, tidaklah salah, meskipun tidak juga sepenuhnya benar, karena percakapan hanyalah sebagian saja dari elemen bahasa. Dalam tindakan berbahasa, terdapat berbagai variabel yang melekat, antara lain variabel psikis, ide, gerak fisik, jaringan saraf, bahkan juga sistem nilai tempat sebuah bahasa tumbuh dan berkembang. Dalam kasus orang bisu, umpamanya, medium bahasa yang digunakan bukan suara, melainkan gerak anggota tubuh.

Kesatuan bahasa yang lengkap sebenarnya bukanlah kata atau kalimat, sebagaimana dianggap beberapa kalangan dewasa ini, melainkan wacana (Lubis, 1993: 20). Dikarenakan bahasa merupakan wacana, tempat semua praktik sosial berlangsung, maka bahasa juga dapat dianggap sebagai tempat membentuk individu-individu dalam sistem sosial (Piliang, 1999: 294). Berdasarkan pengertian inilah, dalam suatu wacana, manusia disebut sebagai subjek, yakni individu sebagai pengguna bahasa, yang terlibat di dalam satu sistem pertukaran tanda dengan individu lain dalam satu komunitas.

Menurut semiotika Saussurean, apa pun bentuk pertukaran tanda, ia harus mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil dan pasti. Coward dan Ellis (dalam Piliang, 1999: 294) melihat ada tiga bentuk utama pertukaran yang digunakan masyarakat dalam mereproduksi sistemnya sendiri (bahasa, seksualitas, dan ekonomi), yang menurut pandangan strukturalisme, masing-masing memerlukan penempatan posisinya yang pasti secara oposisi biner (addresserladdresse, maskulin/ feminin, pembeli/penjual).


Sumber:
Buku Semiotika KomunikasiPenulis:
Drs. Alex Sobur, M. Si.
Baca Lengkap....

SKRIPSI: Pengaruh Standardisasi Biaya Produksi Terhadap Total Quality Control

SKRIPSI: Pengaruh Standardisasi Biaya Produksi Terhadap Total Quality Control

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Upaya untuk menjaga kontinuitas perusahaan, baik multi nasional maupun perusahaan asing dapat berkembang dengan baik maka pemerintah mengambil langkah-langkah dalam hal pengembangan dan pengawasan terhadap kegiatan perusahaan.

Pengaruh standardisasi yang mempunyai peranan adalah kemampuan manajemen yang dimiliki perusahaan seperti faktor lingkungan usaha yang sering sulit dikendalikan oleh perusahaan, struktur distribusi segi budaya sosial dan etika serta persaingan dalam memasarkan hasil produk.

Salah satu yang perlu diperhatikan perusahaan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan yaitu pengendalian kualitas produksi. Maju mundurnya suatu perusahaan, baik ditinjau dari penekanan biaya produksi dan daya saing serta penyesuaian dengan konsumen tergantung dan kualitas barang yang dihasilkan.

Biaya produksi perusahaan diperlukan satu tolak ukur sebagai bahan untuk mengevaluasi dan mengukur tingkat efesiensi dan efektifitas biaya produksi untuk membandingkan hasil yang dicapai dengan yang di harapkan (Carter,2009).

Biaya standar akan menghasilkan selisih biaya yang ditetapkan sebelumnya dengan biaya sesungguhnya. Cara yang paling tepat untuk mengetahui dan menghitung besarnya penyimpangan yang terjadi dalam biaya produksi adalah dengan menggunakan analisis varians ( Mulyadi,2009).

Pengendalian kualitas penting untuk dilakukan oleh perusahaan agar produk yang dihasilkan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan perusahaan maupun standar yg telah ditetapkan oleh badan lokal dan internasional yang mengolah tentang standardisasi mutu/kualitas, dan tentunya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh konsumen.

Mempertahankan hasil produksi yang berkualitas dan bermutu, dengan mempunyai standardisasi biaya yang telah ditetapkan untuk mempertahankan total quality control. Hal ini untuk memperoleh pengakuan dari konsumen (langganan) telah ditentukan produk untuk mengkompensasikan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi barang dan jasa sesuai dengan bidang perusahaan.

PTP. XIV Pabrik Gula Takalar Kabupaten Takalar penting untuk mempertahankan kualitas produksi (quality control) dengan menggunakan biaya standardisasi yang efisien dan efektif. Keadaan ini merupakan suatu hal yang wajar, karena perusahaan adalah organisasi yang usahanya untuk mencapai kemakmuran.

Biaya total ataupun biaya per unit harus diketahui untuk menentukan harga jual. Besarnya keuntungan atau kerugian, dapat juga diketahui, sebab tiap-tiap transaksi perusahaan selalu membandingkan biaya (cost) yang disertai dengan pengawasan pada saat berproduksi.

Berdasarkan uraian tersebut penulis memilih perusahaan PTP. XIV Pabrik Gula Takalar Kabupaten Takalar sebagai obyek penelitian dengan mengangkat judul "Pengaruh Standardisasi Biaya Produksi Terhadap Total Quality Control Pada PTP. XIV Pabrik Takalar Kabupaten Takalar”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah Apakah Standardisasi Biaya Produksi berpengaruh terhadap Total Quality Control pada PT. Perkebunan Nusantara (persero) kabupaten Takalar.

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh standardisasi biaya produksi terhadap Total Quality Control pada PT. Perkebunan Nusantara (persero) kabupaten Takalar.

D. Manfaat penelitian

a. Manfaat Teoritis
Sebagai konstribusi pengembangan ilmu akuntansi biaya, khususnya yang terkait dengan pengarus standarisasi biaya produksi terhadap total quality control.

b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini di harapkan dapat berguna sebagai referensi dasar untuk penelitian berikutnya dalam bidang yang sama.

c. Kebijakan
Sebagai bahan masukan perusahaan untuk mengevaluasi kembali sistem akuntansi biaya yang ada terutama mengenai standardisasi biaya produksi terhadap total quality control.


Untuk selengkapnya bisa download melalui TOMBOL DOWNLOAD di bawah!


Baca Lengkap....

Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa

Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa

Linguis berkata bahwa "speaking is language". Berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh ketrampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar dipelajari.

Berbicara sudah barang tentu berhubungan erat dengan perkembangan kosakata yang diperoleh oleh sang anak; melalui kegiatan menyimak dan membaca. Kebelum-matangan dalam perkembangan bahasa juga merupakan suatu keterlambatan dalam kegiatan-kegiatan berbahasa.

Perlu kita sadari juga bahwa keterampilan keterampilan yang diperlukan bagi kegiatan berbicara yang efektif banyak persamaannya dengan yang dibutuhkan bagi komunikasi efektif dalam keterampilan-keterampilan berbahasa yang lainnya im (Greene & Petty, 1971: 39-40).

Untuk memeroleh gambaran yang lebih jelas, berikut ini akar kita tinjau secara lebih terperinci hubungan antara:

a) berbicara dan menyimak,
b) berbicara dan membaca,
c) ekspresi lisan dan ekspresi tulis.

1. Hubungan antara berbicara dan menyimak


Berbicara dan menyimak merupakan kegiatan komunikasi dua arah yang langsung serta merupakan komunikasi tatap-muka atau face- to-face communication (Brooks, 1964: 134).

Hal-hal yang dapat memperlihatkan eratnya hubungan antara berbicara dan menyimak, adalah sebagai berikut.


  • Ujaran (speech) biasanya dipelajari melalui menyimak dan meniru (imitasi). Oleh karena itu, contoh atau model yang disimak atau direkam oleh sang anak sangat penting dalam penguasaan kecakapan berbicara.
  • Kata-kata yang akan dipakai serta dipelajari oleh sang anak biasanya ditentukan oleh perangsang (stimulus) yang mereka temui (misalnya kehidupan desa/kota) dan kata-kata yang paling banyak memberi bantuan atau pelayanan dalam menyampaikan ide-ide atau gagasan mereka.
  • Ujaran sang anak mencerminkan pemakaian bahasa di rumah dan dalam masyarakat tempatnya hidup. Misalnya, ucapan, intonasi, kosakata, penggunaan kata-kata, dan pola-pola kalimat.
  • Anak yang lebih muda lebih dapat memahami kalimat-kalimat yang jauh lebih panjang dan rumit ketimbang kalimat-kalimat yang dapat diucapkannya.
  • Meningkatkan keterampilan menyimak berarti membantu meningkatkan kualitas berbicara seseorang.
  • Bunyi atau suara merupakan faktor penting dalam meningkatkan cara pemakaian kata-kata sang anak. Oleh karena itu sang anak akan tertolong kalau mereka menyimak ujaran-ujaran yang baik dari para guru, rekaman-rekaman yang bermutu, cerita-cerita yang bernilai tinggi, dan lain-lain.
  • Berbicara dengan bantuan alat-alat peraga (visual aids) akan menghasilkan penangkapan informasi yang lebih baik pada pihak penyimak. Umumnya, sang anak mempergunakan/meniru bahasa yang didengarnya. (Tarigan, 1980: 1 – 2; Dawson [et al], 1963: 29).

2. Hubungan antara berbicara dan membaca

Beberapa proyek penelitian telah memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara perkembangan kecakapan berbahasa lisan dan kesiapan baca. Telaah-telaah tersebut memperlihatkan bahwa kemampuan-kemampuan umum berbahasa lisan turut melengkapi suatu latar belakang pengalaman-pengalaman yang menguntungkan.

Keterampilan-keterampilan tersebut mencakup ujaran yang jelas dan lancar, kosa kata yang luas dan beraneka ragam, penggunaan kalimat-kalimat lengkap serta sempurna bila diperlukan, pembedaan pendengaran yang tepat, dan kemampuan mengikuti serta menelusuri perkembangan urutan suatu cerita, atau menghubungkan kejadian kejadian dalam urutan yang wajar serta logis.

Hubungan-hubungan antara bidang kegiatan lisan dan membaca telah dapat diketahui dari beberapa telaah penelitian, antara lain:


  • performansi atau penampilan membaca berbeda sekali dengan kecakapan berbahasa lisan.
  • pola-pola ujaran yang tuna-aksara mungkin mengganggu pelajaran membaca bagi anak-anak.
  • kalau pada tahun-tahun awal sekolah, ujaran membentuk suatu dasar bagi pelajaran membaca, maka membaca bagi anak-anak kelas yang lebih tinggi turut membantu meningkatkan bahasa lisan mereka; misalnya: kesadaran linguistik mereka terhadap istilah-istilah baru, struktur kalimat yang baik dan efektif, serta penggunaan kata-akta yang tepat.
  • kosa kata khusus mengenai bahan bacaan haruslah diajarkan secara langsung. Seandainya muncul kata-kata baru dalam buku bacaan siswa, maka sang guru hendaknya mendiskusikannya dengan siswa agar mereka memahami maknanya sebelum mereka mulai membacanya. (Tarigan, 1980: 4; Tarigan, 1980: 6-7, Dawson [et al], 1963:30).

3. Hubungan antara ekspresi lisan dan ekspresi tulis

Adalah wajar bila komunikasi lisan dan komunikasi tulis erat sekali berhubungan karena keduanya mempunyai banyak persamaan antara lain:

(a) Sang anak belajar berbicara jauh sebelum dia dapat menulis dan kosa kata, pola-pola kalimat, serta organisasi ide-ide yang memberi ciri kepada ujarannya merupakan dasar bagi ekspresi tulis berikutnya.

(b) Sang anak yang telah dapat menulis dengan lancar biasanya dapat pula menuliskan pengalaman pengalaman pertamanya secara tepat tanpa diskusi lisan pendahuluan tetapi dia masih perlu membicarakan ide ide yang rumit yang diperolehnya dari tangan kedua.

Bila seorang anak harus menulis suatu uraian, menjelaskan suatu proses ataupun melaporkan suatu kejadian sejarah yang secara pribadi belum pernah dialaminya), maka dia memetik pelajaran dari suatu diskusi kelompok pendahuluan.

Dengan demikian maka dia dapat mempercerah pikirannya, mengisi kekosongan-kekosongan, memperbaiki impresi atau kesan-kesan yang salah, serta mengatur ide-idenya sebelum dia mulai menulis sesuatu.

(c) Perbedaan-perbedaan terdapat pula antara komunikasi lisan dan komunikasi tulis. Ekspresi lisan cenderung ke arah kurang berstruktur, lebih sering berubah-ubah, tidak tetap, dan biasanya lebih kacau serta membingungkan ketimbang komunikasi tulis.

Kebanyakan pidato atau pembicaraan bersifat informal, dan seringkali kalimat-kalimat orang yang berpidato atau berbicara itu tidak ada hubungannya satu dan lainnya.

Si pembicara memikirkan ide-idenya sambil berbicara, dan kerap kali dia lupa bagaimana terjadinya suatu kalimat lama sebelum dia menyelesaikannya. Karena adanya masalah-masalah seperti ini pada ekspresi lisan, pengajaran mengenai keterampilan berbicara dan menyimak perlu mendapat perhatian.

Pengalaman telah menunjukkan bahwa meningkatkan ekspresi lisan pada individu berarti turut pula meningkatkan daya pikir mereka.

Membasmi kebiasaan-kebiasaan yang ceroboh ketidakteraturan dalam ujaran, kalimat-kalimat yang tidak menentu ujung pangkalnya serta berulang-ulang, pikiran-pikiran yang tidak sempurna dan tidak konsekuen dalam ekspresi lisan memang sangat perlu dan selalu harus dilakukan agar kita dapat membimbing para individu ke arah kebiasaan berpikir yang tepat dan logis.

Sebaliknya, komunikasi tulis cenderung lebih unggul dalam isi pikiran maupun struktur kalimat, lebih formal dalam gaya bahasa dan jauh lebih teratur dalam pengertian ide-ide.

Sang penulis biasanya telah memikirkan dalam-dalam setiap kalimat sebelum dia menulis naskahnya; dia sering memeriksa serta memperbaiki kalimat-kalimatnya beberapa kali sebelum dia menyelesaikan tulisannya.

(d) Pembuat catatan serta pembuat bagan atau rangka ide-ide yang akan disampaikan pada suatu pembicaraan, akan menolong siswa untuk mengutarakan ide-ide tersebut kepada para pendengar.

Para siswa harus belajar berbicara dari catatan-catatan. Mereka membutuhkan banyak latihan berbicara dari catatan agar penyajiannya jangan terputus-putus dan tertegun-tegun.

Biasanya bagan atau rangka yang dipakai sebagai pedoman dalam berbicara sudah cukup memadai, kecuali dalam kasus laporan formal dan terperinci yang memerlukan penulisan naskah yang lengkap sebelumnya.

***

Begitulah, guru bahasa haruslah melihat instruksi atau pengajarannya dalam konteks yang tepat lagi wajar. Sang guru harus melihat bahwa pengajaran menyimak, berbicara, dan menulis itu haruslah sering berhubungan serta berkaitan erat dengan keterampilan berbahasa yang keempat, yaitu membaca.

Segala usaha yang dilakukan untuk meningkatkan salah satu segi tersebut jelas akan berpengaruh kepada ketiga segi lainnya; dan melalaikan salah satu di antaranya, jelas pula memberi pengaruh jelek pada yang lainnya. Yah, kita harus selalu mengingat bahwa "learning is an ie grated thing" (Dawson [et al], 1063: 30 32; Tarigan, 1980: 571).

Demikianlah dalam pendahuluan ini telah kita bicarakan sepintas kilas mengenai ketrampilan berbahasa yang dalam bahasa Inggris disebut language (arts and) skills. Istilah art "seni dipergunakan untuk melukiskan sesuatu yang bersifat personal, kreatif, dan.original; sedangkan kata skill "keterampilan" dipakai untuk menyatakan sesuatu yang bersifat mekanis, eksak, impersonal.

Menyimak dan membaca erat berhubungan dalam hal bahwa keduanya merupakan alat untuk menerima komunikasi. Berbicara dan menulis erat berhubungan dalam hal bahwa keduanya merupakan cara untuk mengekspresikan makna atau arti. Dalam penggunaannya, keempat ketrampilan tersebut sering sekali berhubungan satu sama lain.

Seorang mahasiswa menulis catatan waktu dia menyimak atau membaca. Seorang pembicara menafsirkan respons pendengaran terhadap suaranya sendiri. Dalam percakapan jelas terlihat bahwa berbicara dan menyimak hampir-hampir merupakan proses yang sama. (Anderson, 1972: 3).


Sumber:

Buku Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa (Hal 3 – 8)
Penulis: Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan
Penerbit: Angkasa Bandung
Tahun 1979 (Cetakan Pertama) & Tahun 2008 (Edisi Revisi)
Baca Lengkap....

Memahami Semiotika: Semiotika dan Semiologi

Ada sekian banyak orang di seluruh belahan dunia yang memahami hal-hal dalam semiotika justru bukan sebagai semiotika (Umberto Eco Travels in Hyperreality, 1986).
Memahami Semiotika: Semiotika dan Semiologi

Istilah manakah yang lebih disukai, semiotika atau semiologi; semiotics atau semiology? Yang jelas, kata semiotika di samping kata semiologi sampai kini masih dipakai.

Selain istilah semiotika dan semiologi dalam sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang.

Tampaknya, pembahasan yang luas tentang nama bidang studi yang disebut "semiotika" telah muncul di negara-negara Anglo-Saxon (Segers, 2000:5).

Seseorang menyebut semiologi jika ia berpikir tentang tradisi Saussurean. Dalam penerbitan-penerbitan Prancis, istilah-istilah semiologie kerap dipakai. Elements de Semiologie, misalnya, adalah salah satu judul yang dipakai oleh Roland Barthes (1964).

Namun, istilah semiotics digunakan dalam kaitannya dengan karya Charles Sanders Peirce dan Charles Morris.

Jadi, sesungguhnya kedua istilah ini, semiotika dan semiologi, mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya: mereka yang bergabung dengan Peirce menggunakan kata semiotika, dan mereka yang bergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi.

Namun yang terakhir, jika dibandingkan dengan yang pertama, kian jarang dipakai (van Zoest, 1993:2). Tommy Christomy (2001:7) menyebutkan, “Ada kecenderungan, istilah semiotika lebih populer daripada istilah semiologi sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya."

Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu tentang tanda.

Para ahli umumnya cenderung tidak begitu mau dipusingkan oleh kedua istilah tersebut, karena mereka menganggap keduanya sebenarnya sama saja.

Perbedaan antara keduanya

Satu-satunya perbedaan antara keduanya, menurut Hawkes (dalam Sobur, 2001b:107) adalah bahwa istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa, sementara semiotika cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris.

Dengan kata lain, seperti sudah disinggung, penggunaan kata semiologi menunjukkan pengaruh kubu Saussure, sedangkan semiotika lebih tertuju kepada kubu Peirce (van Zoest, 1996:2).

“Perbedaan istilah itu,” kata Masinambow (2000b:iii), "menunjukkan perbedaan orientasi: yang pertama (semiologi) mengacu pada tradisi Eropa yang bermula pada Ferdinand de Saussure (1857-1913), sedangkan yang kedua (semiotika) pada tradisi Amerika yang bermula pada Charles Sanders Peirce (1839-1914).”

Dalam definisi Saussure (Budiman, 1999a:107), semiologi merupakan “sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat" dan, dengan demikian, menjadi bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang mengaturnya.

Para ahli semiotika Prancis tetap mempertahankan istilah semiologi yang Saussurean ini bagi bidang-bidang kajiannya. Dengan cara itu mereka ingin menegaskan perbedaan antara karyakarya mereka dengan karya-karya semiotika yang kini menonjol di Eropa Timur, Italia, dan Amerika Serikat.

Sementara, istilah semiotika atau semiotik, yang dimunculkan pada akhir abad ke-19 oleh filsuf aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Peirce, merujuk kepada "doktrin formal tentang tanda-tanda”.

Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun sejauh terkait dengan pikiran manusia-seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas.

Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda non verbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi.

Dalam buku ini (Buku Memahami Semiotika), yang akan dipakai hanya istilah semiotika, mengikuti contoh yang diberikan Umberto Eco. Maka itu, perbedaan implikasi filosofis dan metodologis dari kedua istilah tersebut, setidaknya, dapat dihindari.

Keputusan untuk hanya memakai istilah semiotika (semiotics), seperti dikatakan Eco (1975:9; lihat juga Segers, 2000:5), adalah sesuai dengan resolusi yang diambil oleh komite internasional di Paris bulan Januari 1969.

Pilihan ini kemudian dikukuhkan oleh Association for Semiotics Studies pada kongresnya yang pertama tahun 1974. Dalam konteks ini, semiotics (dan ekuivalensinya dalam bahasa Prancis semiotique) menjadi istilah untuk semua peristilahan lama semiology dan semiotics.


Sumber:
Dari buku Semiotika Komunikasi (hal 11-13), 2003.
Penulis: Drs. Alex Sobur, M. Si.
Diterbitkan oleh Rosda
Baca Lengkap....

Makalah: Pemanfaatan Perpustakaan Perguruan Tinggi dalam Memenuhi Kebutuhan Informasi Kepada Pengguna

Makalah: Pemanfaatan Perpustakaan Perguruan Tinggi dalam Memenuhi Kebutuhan Informasi Kepada Pengguna

BAB I
PENDAHULUAN

Perpustakaan Perguruan Tinggi merupakan salah satu unsur utama dalam menunjang kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi atau dapat disebut jantung dari Perguruan Tinggi. Perpustakaan Perguruan Tinggi merupakan sarana untuk pemenuhan kebutuhan informasi sivitas akademika, khususnya mahasiswa dan dosen. Koleksi perpustakaan sangat penting untuk terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan informasi dari waktu ke waktu, perkembangan informasi akan meningkatkan pemanfaatan perpustakaan dalam memenuhi kebutuhan informasi mahasiswa dan sivitas akademika perguruan tinggi pada umumnya.

Kebutuhan pengguna untuk memenuhi informasi yang berguna sebagai pendukung kegiatan belajar bagi seluruh sivitas akademika. Kebutuhan informasi setiap orang berbeda-beda. Begitu juga dengan kebutuhan informasi pengguna perpustakaan lainnya. Sehingga infomasi tersebut tidak up to date dan tidak sesuai dengan kebutuhan informasi pengguna saat ini. Seharusnya perpustakaan harus mampu menyediakan kebutuhan informasi bagi penggunanya untuk memaksimalkan fungsi perpustakaan dan pemanfaatan pengguna terhadap perpustakaan dalam rangka pemenuhan kebutuhan informasi bagi sivitas akademika.

Dengan adanya perpustakaan mendukung pemenuhan informasi penggunanya. Oleh karena itu, perpustakaan sebagai penyedia informasi (information provider), sudah saatnya memposisikan diri sebagai institusi terdepan dimana saat ini seluruh masyarakat secara global telah mengarah kepada kebutuhan informasi sebagai komponen utama masyarakat modern. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan tentang bagaimana pemanfaatan Perpustakaan apakah sudah memenuhi kebutuhan informasi dari pengguna, Jika belum perlu diperbaiki agar pemanfaatan perpustakaan dapat memenuhi kebutuhan informasi pengguna secara maksimal.

BAB II
PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN PERGURUAN TINGGI DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN INFORMASI KEPADA PENGGUNA

2.1 Perpustakaan Perguruan Tinggi
Perpustakaan perguruan tinggi sering disebut sebagai jantungnya universitas karena tanpa perpustakaan tersebut maka proses pelaksanaan belajar mengajar disivitas akademika mungkin kurang optimal. Perpustakaan perguruan tinggi seperti yang telah diketahui secara umum merupakan salah satu fasilitas yang harus ada pada sebuah perguruan tinggi. Karena perpustakaan menjadi tempat pencarian dan perolehan informasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa perguruan tinggi dalam kegiatan pembelajaran dan menunjang kegiatan penelitian. Seperti yang dikatakan oleh Sutarno (2006, 36).

Di bawah ini dijelaskan beberapa pendapat tentang pengertian perpustakaan perguruan tinggi sebagai berikut:

Menurut Hasugian (2009:79) menyatakan pengertian perpustakaan perguruan tinggi adalah Perpustakaan yang dikelola oleh perguruan tinggi dengan tujuan membantu terpenuhinya tujuan perguruan tinggi. Perpustakaan perguruan tinggi sebagai perpustakaan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan tinggi yang layanannya diperuntukkan sivitas akademika perguruan tinggi yang bersangkutan.

Pendapat Sutarno dalam bukunya Perpustakaan dan Masyarakat (2003:35) mendefenisikan “perpustakan perguruan tinggi merupakan yang berada dalam suatu perguruan tinggi dan yang sederajat yang berfungsi mencapai tri dharma perguruan tinggi, sedangkan penggunanya adalah seluruh civitas akademika”.

Sedangkan menurut Syahrial-Pamuntjak (2000:5) dalam bukunya Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan, menyatakan bahwa: Perpustakaan Perguruan Tinggi adalah perpustakaan yang tergabung dalam lingkungan pendidikan tinggi, baik yang berupa perpustakaan universitas, perpustakaan fakultas, perpustakaan akademi, dan perpustakaan sekolah tinggi.

Berdasarkan beberapa defenisi dapat disimpulkan bahwa perpustakaan perguruan tinggi adalah perpustakaan yang berada di bawah naungan sebuah universitas atau perguruan tinggi lainnya yang sederajat yang penggunanya adalah mahasiswa dan civitas akademika.

===========================

Untuk makalah lengkapnya bisa di downlad melalui salah satu tombol download di bawah!


Baca Lengkap....

Dasar-Dasar Pendidikan: Konsep dan Prinsip Belajar dan Pembelajaran

Dasar-Dasar Pendidikan: Konsep dan Prinsip Belajar dan Pembelajaran

Konsep dan Prinsip Belajar dan Pembelajaran

Belajar memiliki tiga atribut pokok ialah: 1) Belajar merupakan proses mental dan emosional atau aktivitas pikiran dan perasaan; 2) Hasil belajar berupa perubahan perilaku, baik yang menyangkut kognitif, psiko-motorik, maupun afektif; 3) Belajar berkat mengalami baik mengalami secara langsung maupun mengalami secara tidak langsung (melalui media). Dengan kata lain, belajar terjadi di dalam interaksi dengan lingkungan (lingkungan fisik dan sosial).

Supaya belajar terjadi secara efektif perlu diperhatikan beberapa prinsip antara lain:

1) Motivasi, yaitu dorongan untuk melakukan kegiatan belajar, baik motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik dinilai lebih baik sebab berkaitan langsung dengan tujuan pembelajaran itu sendiri.

2) Perhatian atau pemusatan energi psikis terhadap pelajaran erat kaitannya dengan motivasi. Untuk memusatkan perhatian siswa terhadap pelajaran bisa didasarkan terhadap diri siswa itu sendiri dan/atau terhadap situasi pembelajarannya.

3) Aktivitas belajar itu sendiri adalah aktivitas. Bila pikiran dan perasaan siswa tidak terlibat aktif dalam situasi pembelajaran, pada hakikatnya siswa tersebut tidak belajar. Penggunaan metode dan modia yang bervariasi dapat merangsang siswa lebih aktif belajar.

4) Umpan balik di dalam belajar sangat penting, supaya siswa segera mengetahui benar tidaknya pekerjaan yang ia lakukan. Umpan balik dari guru, sebaiknya yang mampu menyadarkan siswa terhadap kesalahan mereka dan meningkatkan pemahaman siswa akan pelajaran tersebut.

5) Perbedaan individual adalah individu tersendiri yang memiliki perbedaan dari yang lain. Guru hendaknya mampu memperhatikan dan melayani siswa sesuai dengan hakikat mereka masing-masingBerkaitan dengan ini catatan pribadi setiap siswa sangat diperlukan. Pembelajaran merupakan suatu sistem lingkungan belajar yang terdiri dari unsur lujuan, bahan pelajaran, strategi. alat, siswa, dan guru. Semua unsur atau komponen tersebut saling berkaitan, saling mempengaruhi, dan semuanya berfungsi dengan berorientasi kepada tujuan.

Sumber buku:
Judul: PROFESIONALISME GURU DALAM PEMBELAJARAN
Penulis: Drs. H. Zainal Aqib, M. Pd.
Dicetak oleh: Percetakan Insan Cendekia, Jl. Kaliwaron 58, Surabaya.
Cetakan Pertama, 2002. Cetakan Kedua, 2007, Cetakan Ketiga, 2010.
Baca Lengkap....

Dasar-Dasar Pendidikan: 8 Tipe-Tipe Belajar

Dasar-Dasar Pendidikan 8 Tipe-Tipe Belajar
Sumber gambar: gurubumi.com
Dalam praktik pengajaran, penggunaan suatu dasar teori untuk segala situasi merupakan tindakan yang kurang bijaksana. Tidak ada suatu teori belajarpun yang cocok untuk segala situasi. Karena masing-masing mempunyai landasan yang berbeda dan cocok untuk situasi tertentu.

Robert M. Gagne mencoba melihat berbagai macam teori belajar dalam satu kebulatan yang saling melengkapi dan tidak bertentangan. Menurutnya, belajar mempunyai delapan tipe. Kedelapan tipe itu bertingkat – ada hierarki dalam masing-masing tipe. Setiap tipe belajar merupakan prasyarat bagi tipe belajar di atasnya.

Tipe belajar yang dikemukakan oleh Gagne pada hakikatnya merupakan prinsip umum baik dalam belajar maupun mengajar. Artinya, dalam mengajar atau membimbing siswa belajar pun terdapat tingkatan sebagaimana tingkatan belajar tersebut di atas. Kedelapan tipe itu adalah:

1. Belajar Isyarat (Signal Learning)

Belajar isyarat mirip dengan conditioned respons atau respons bersyarat. Seperti menutup mulut dengan telunjuk, isyarat mengambil sikap tak bicara. Lambaian tangan, isyarat untuk datang mendekat. Menutup mulut dengan telunjuk dan lambaian tangan adalah isyarat, sedangkan diam dan datang adalah respon. Tipe belajar semacam ini dilakukan dengan merespon atau isyarat. Jadi, respons yang dilakukan itu bersifat umum, kabur, dan emosional. Menurut Kimble (1961), bentuk belajar semacam ini biasanya bersifat tidak disadari dalam arti respons diberikan secara tidak sadar.

2. Belajar Stimulus - Respons (Stimulus Respons Learning)

Berbeda dengan bahasa isyarat, respons bersifat umum, kabur, dan emosional. Tipe belajar S – R , respons bersifat spesifik. 2 x 3=6 adalah bentuk suatu hubungan S – R. Mencium bau masakan sedap, keluar air liur, itupun ikatan S - R. Jadi, belajar stimulus respons sama dengan teori asosiasi (S-R bond). Setiap respons dapat diperkuat dengan reinforcement. Hal ini berlaku pula pada tipe belajar stimulus respons.

3. Belajar Rangkaian (Chaining)

Rangkaian atau rantai dalam chaining adalah semacam rangkaian antara berbagai S – R yang bersifat segera. Hal ini terjadi dalam rangkaian motorik, seperti gerakan dalam mengikat sepatu, makan-minum-merokok atau gerakan verbal, seperti selamat tinggal, bapak-ibu, dan sebagainya.

4. Asosiasi Verbal (Verbal Assosiation)

Suatu kalimat "piramida itu berbangun limas" adalah contoh asosiasi verbal. Seseorang dapat menyatakan bahwa piramida berbangun limas kalau ia mengetahui berbagai bangun seperti balok, kubus, atau kerucut. Hubungan atau asosiasi verbal terbentuk bila unsur-unsurnya terdapat dalam urutan tertentu dan yang satu mengikuti yang lain.

5. Belajar Diskriminasi (Discriminition Learning)

Tipe belajar ini adalah perbedaan terhadap berbagai rangkaian. Seperti membedakan berbagai bentuk wajah, binatang, atau tumbuh-tumbuhan.

6. Belajar Konsep (Concept Learning)

Konsep merupakan simbol berpikir. Hal ini diperoleh dari hasil membuat tafsiran terhadap fakta atau realita dan hubungan antar berbagai fakta. Dengan konsep tersebut, maka dapat digolongkan binatang bertulang belakang menurut ciri-ciri khusus (kelas). Seperti kelas mamalia, reptilia, amphibia, burung, dan ikan. Dapat pula digolongkan manusia berdasarkan ras (warna kulit) atau kebangsaan, suku bangsa, atau hubungan keluarga. Kemampuan membentuk konsep ini terjadi bila orang dapat melakukan diskriminasi.

7. Belajar Aturan (Rule Learning)

Hukum, dalil, atau rumus adalah rule (aturan). Tipe balajar ini banyak terdapat dalam semua pelajaran di sekolah, seperti benda memuai bila dipanaskan atau besar sudut dalam sebuah segitiga sama dengan 180°. Belajar aturan temyata mirip dengan verbal chaining (rangkaian verbal), terutama bila aturan itu tidak diketahui artinya. Oleh karena itu, setiap dalil atau rumus yang dipelajari harus dipahami artinya.

8. Belajar Pemecahan Masalah (Problem Solving)

Memecahkan masalah adalah biasa dalam kehidupan Ini memerlukan pemikiran. Upaya pemecahan masalah dilakukan dengan menghubungkan berbagai aturan yang relevan dengan masalah itu. Dalam memecahkan masalah diperlukan waktu adakalanya singkat dan adakalanya lama. Juga seringkali harus dilalui berbagai langkah, seperti tiap unsur dalam masalah itu mencari hubungannya dengan aturan (rule) tertentu, dan sebagainya.

Dalam segala langkah diperlukan pemikiran. Tampaknya pemecahan masalah terjadi dengan tiba-tiba (insight). Dengan ulangan-ulangan masalah tidak terpecahkan dan apa yang dipecahkan sendiri - yang penyelesaiannya ditemukan sendiri lebih mantap dan dapat ditransfer kepada situasi atau problem lain. Kesanggupan memecahkan masalah memperbesar kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah lain.

Sumber buku:Judul: PROFESIONALISME GURU DALAM PEMBELAJARAN
Penulis: Drs. H. Zainal Aqib, M. Pd.
Dicetak oleh: Percetakan Insan Cendekia, Jl. Kaliwaron 58, Surabaya.
Cetakan Pertama, 2002. Cetakan Kedua, 2007, Cetakan Ketiga, 2010.
Baca Lengkap....

Tokoh Pendidikan dan Teori Pendidikan di Indonesia dan di Dunia

Tokoh Pendidikan dan Teori Pendidikan di Indonesia dan di Dunia



Berikut tokoh-tokoh pendidikan dan teori pendidikan yang ada di Indonesia dan di dunia.

1. Berikut ini nama-nama tokoh pendidikan dunia berdasarkan periodisasinya.

a. Zaman Kuno
- Sokrates
- Isokrates
- Plato
- Aristoteles
- Cecero
- Lucretius
- Quilintian

b. Abad Pertengahan
- Justinian
- Alcuin
- Charkmagne
- Alfred
- Albertus Magnus
- Saint Thomas Aquinos
- Roger Bacon
- John Duns Scotus
- William Ockhan
- Waldenses
- Albigenses
- John Wycliffe
- John Huss
- Petrarch
- Boccaccio
- Vittorino
- Feltre
- Guarino da Verona

c. Zaman Modern
- Johannes Sturm
- Martin Luther
- John Calvin
- Ignatius Layola
- Richard Mulcaster
- Francois Rabelaris
- Michel de Montaigne
- Francis Bacon
- John Milton
- Wolfgang Ratke
- John Amos Comenius
- Augustus Hermann Francke
- John Locke
- Jean Jacques Rousseau
- Johann Bernhard Basedown
- Immanuel Kant
- Campe Salzmann Rochow
- Zedhtz
- Franklin
- Jefferson
- Johann Heinrich Pestalozzi
- Johann Friedrich Froebel
- Robert Owen
- Herbert Spencer
- Horace Mann
- Henry Bernard
- Charles William Eliot
- John Dewey
- Herman Harrel Home

2. Para Tokoh Pendidikan Nasional

1. R.A Kartini (1879 – 1904), lembaga pendidikan Sekolah Gadis tahun 1903.
2. R. Dewi Sartika (1884 – 1947), lembaga pendidikan Sekolah Istri tahun 1904.
3. Rohana Kudus (1884 - ?), lembaga pendidikan Sekolah Gadis tahun 1905.
4. KH. Ahmad Dahlan (1868 – 1923), lembaga pendidikan Muhammadiyah 1912.
5. Ki Hajar Dewantara (1889 – 1959), lembaga pendidikan Taman Siswa tahun 1922.
6. Moh. Syafei (1899 - ?), lembaga pendidikan INS 1922.

3. Beberapa tokoh pendidikan di antaranya memberikan teorinya sebagai berikut:

a) Plato (428 SM)
Berdasarkan psikologi dan teori masyarakat, Plato mengemukakan beberapa fakta tentang pola pendidikan, di mana keterampilan. seni, dan pengetahuan diwariskan.

b) Quintilian (35-90 M)
Pendidikan hendaknya menghasilkan manusia baik yang terampil berbicara ("a good man skilled in speaking").

c) Augustine (354 M)
Metode pengajaran Augustine mementingkan pengertian dan bukan dogma. Untuk itu, digunakan penalaran atau berpikir logis.

d) Comenius (1592)
Pendidikan hendaknya universal, seragam, dan melalui sekolahsekolah rendah dan wajib belajar. Pengajaran hendaknya memperhatikan minat murid.

e) John Locke (1632)
Menurut Locke, tujuan akhir pendidikan ialah kebahagiaan alau kesejahteraan bangsa. Untuk itu, warga negara diperlengkapi dengan pendidikan jasmani, pendidikan moral, dan pendidikan intelek.

f) Rousseau (1712)
Teori pendidikan Rousseau dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pendidikan swasta bagi orang laki-laki, pendidikan negeri bagi orang laki-laki, dan pendidikan kaum wanita. Teori Rousseau terdapat pengungkapan fakta yang berkaitan dengan hakikat manusia dan sejarah manusia.

g) Immanuel Kant (1724)
Bagi Kant, pendidikan berarti keseksamaan, disiplin, dan pengajaran. Jelasnya, anak harus diasuh dan dijaga jika ia mandeg. Disiplin ialah pemunahan kebuasan dan kekerasan, sedangkan pengajaran ialah memperbaiki keamanan dan kognisi.

h) Johann Heinrich Pestalozzi (1746)
Pada hakikatnya, anak didik adalah pribadi yang memiliki dayadaya yang perlu dikembangkan. Anak bukan hanya sebagai individu, akan tetapi dipandang sebagai anggota masyarakat. Tujuan pendidikan adalah membimbing anak menjadi orang yang baik dengan jalan mengembangkan daya-daya yang ada pada anak.

i) Johann Friederich Herbart (1776)
Menurut Herbart, tujuan pendidikan adalah menyatukan anak didik pengalaman yang baik dengan kemauan yang baik, sehingga anak didik dalam semua perbuatannya menunjukkan kepribadian dan berbuat berdasarkan sila moral.

j) Johann Friedrich Frobel (1782)
Tujuan pendidikan Frobel adalah untuk mengembangkan manusia dengan segala daya jasmani dan rohani yang ada padanya. Pendidikan harus sesuai dengan kebutuhan hidup sekarang dan mendatang agar anak dapat hidup dalam kemurian dan kesucian, dengan memenuhi panggilan di dunia ini sebagai makhluk yang berasal dari Tuhan dan akan menuju ke Tuhan.

k) Jan Lighthart (1859)
Pendidikan bertujuan pembentukan manusia yang berbudi pekerti Kecerdasan otak memang perlu, tetapi itu bukan yang terpenting. Pengajaran hendaknya menghindari intelektualisme dan verbalisme.

l) Maria Montessori (1870)
Pendidikan adalah hanya pertolongan bagi perkembangan anak didik. Segenap faktor pendidikan hendaknya btertolak dari kodrat dan pembawaan anak didik (pedosentris).

m) Helen Parkhurst (1887)
Parkhurst adalah pencipta sistem pengajaran Dalton (Laboratorium Plan). Dalam sistein Dalton ini, hahan pengajaran yang diberikan sekaligus dalam bentuk tugas untuk tahunan, bulanan, dan mingguan. Sistem Dalton dengan bentuk tugas ini memenuhi dasar didaktik efisien.

n) John Dewey (1859)
Tujuan pendidikan menurut Dewey adalah untuk mencapai kekebalan semua generasi penerus masyarakat yang dididik. Metode pendidikan mananamkan suatu disiplin, tetapi bukan otoriter. Isi pendidikan adalah mata pelajaran mata pelajaran yang memberikan "impulse" atau dorongan kepada anak didik.

4. Selain teori pendidikan para tokoh pendidik dunia, bersama ini dikemukakan beberapa pengertian pendidikan menurut tokoh pendidikan, misalnya:

a) Langeveld
Pemberian bimbingan dan pertolongan rohani dari orang dewasa kepada mereka yang masih memerlukannya.

b) Crow & Crow
Proses pengalaman yang memberikan pengertian, pandangan (insight), dan penyesuaian bagi seseorang yang menyebabkan ia berkembang.

c) Cryns
Pertolongan yang diberikan oleh siapa yang bertanggung jawab atas pertumbuhan anak untuk membawanya ke tingkat dewasa.

d) John Dewey
Pendidikan adalah suatu proses pengalaman.

e) Ki Hajar Dewantara
Daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak untuk memajukan kehidupan anak didik selaras dengan dunianya.


Sumber buku:
Judul: PROFESIONALISME GURU DALAM PEMBELAJARAN
Penulis: Drs. H. Zainal Aqib, M. Pd.
Dicetak oleh: Percetakan Insan Cendekia, Jl. Kaliwaron 58, Surabaya.
Cetakan Pertama, 2002. Cetakan Kedua, 2007, Cetakan Ketiga, 2010.
Baca Lengkap....

Filsafat Pendidikan dan Teori-Teori Landasan Filsafat Pendidikan

Filsafat Pendidikan dan Teori-Teori Landasan Filsafat Pendidikan

A. FILSAFAT PENDIDIKAN

Filsafat Pendidikan merupakan ilmu yang memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dan persoalan-persoalan dalam lapangan pendidikan.

Menurut ahli-ahli filsafat Amerika di antaranya John S. Brubacher dan Theodore Brameld, ada empat aliran filsafat pendidikan, yaitu:

  1. Perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang ini diliputi oleh kekacauan dan kesimpangsiuran dalam dunia pendidikan dan kebudayaan. Hal ini disebabkan manusia telah melupakan dan mengabaikan nilai-nilai luhur keagamaan, seperti yang terdapat pada abad pertengahan. Oleh karena itu, Perenialisme merupakan filsafat pendidikan yang bersifat regresif (seperti pada waktu abad pertengahan).
  2. Esensialisme, merupakan filsafat pendidikan yang tidak menyetujui simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Jadi, merupakan reaksi terhadap pendapat aliran Perenialisme Esensialisme menghendaki pendidikan yang stabil, tidak berubah-ubah, dan sistematis yang memenuhi tuntutan zaman modern.
  3. Progresivisme, menghendaki pendidikan yang fleksibel dan senantiasa disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Progresivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter, sehingga yang diutamakan Progresivisme ialah bagian-bagian utama dan kebudayaan, yaitu kelompok ilmu hayat, antropologi, psikologi. dan ilmu alam.
  4. Re-Konstruksionisme, pada dasarnya sama dengan Progresivisme, tetapi dapat dikatakan lebih progresif lagi.

Keempat aliran filsafat pendidikan tersebut di atas dipengaruhi dan didukung oleh empat aliran filsafat, yaitu:

a. Naturalisme, mengatakan bahwa kenyataan yang sebenarnya dan segala sesuatu itu berasal dari dalam dan tidak ada sesuatupun yang ada ini terdapat di balik alam ini.
b. Idealisme, berpendapat bahwa kenyataan itu terdiri dari ide-ide atau spirit, sedangkan alam fisik ini tergantung pada atau merupakan ekspresi dari jiwa universal atau Tuhan.
c. Realisme, berpendirian bahwa dunia luar itu merupakan kenyataan yang sebenarnya.
d. Pragmatisme, mengatakan bahwa yang benar itu hanyalah yang berguna untuk masyarakat. Hal ini terkenal juga dengan nama utilities principle.

Seperti kita ketahui bahwa aliran-aliran filsafat pendidikan yang telah dibicarakan di atas adalah buah pikiran dari ahli-ahli filsafat barat. Untuk Indonesia, falsafah hidup bangsanya adalah Pancasila.

B. LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Perkembangan teori pendidikan mengalami proses yang berangkat dari pandangan-pandangan, sudut tinjau, atau kerangka acuan yang melandasi penyelenggaraan pendidikan. Landasan ini menyangkut pandangan suatu teori terhadap hakikat anak sebagai subjek didik.

Landasan teori ini biasanya menjadi keyakinan yang melekat ketat dalam individu-individu yang mengelola pendidikan Dengan demikian, maka policy dan praktik kerjanya akan diwarnai oleh prinsip dan keyakinan yang dianutnya.

Teori-teori yang menjadi landasan filsafat pendidikan yang telah herkembang sejak abad ke-17 adalah sebagai berikut:

1. Teori Empirisme

Teori ini mengatakan bahwa perkembangan manusia sangat ditentukan oleh faktor lingkungan, terutama pendidikan Anak lahir bagaikan kertas putih yang belum ada tulisannya. Lingkunganlah yang akan membubuhkan aneka ragam tulisan pada kertas putih itu.

Demikian juga manusia, pribadinya baik atau buruk menurut ukuran normatif tergantung lingkungan yang membentuknya. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan faktor vital dalam membentuk pribadi manusia. Pendidikan sebagai lingkungan berkuasa penuh atas pembentukan pribadi manusia.

Teori ini dipelopori oleh ahli filsafat dan ahli pendidikan yang bernama John Locke (1632-1704). Teorinya biasa dikenal dengan teori "Tabularasa". Ia menganggap bahwa manusia lahir bagaikan tabularasa (meja yang di atasnya dilapisi lilin).

Tulisan apa pun yang dituangkan pada tabularasa itu, demikian pulalah jenis bentuk dan warna meja itu. Teori inilah yang kemudian diterapkan dalam dunia pendidikan karena seorang anak dilahirkan dalam keadaan bersih tanpa noda dan suci adanya, maka lingkunganlah yang membentuk pribadi anak di kemudian hari.

Pandangan di atas sejalan dengan teori J.J. Rouseau yang menyatakan bahwa, "All things are good as they came out of the hands of their creator but everything generates in the hands of man".

Segala sesuatu pada dasarnya baik sebagaimana datang dari penciptanya, namun segala sesuatu menurun ke tangan tangan manusia. Berarti pembentukan pribadi manusia tergantung kepada manusianya itu sendiri dalam mendayagunakan lingkungan.

Oleh sebab itu, berhubung lingkungan relatif dapat didayagunakan dan dikuasai oleh manusia, maka aliran ini memiliki ciri optimisme dalam perkembangan pribadi manusia.

2. Teori Nativisme

Teori ini menyatakan bahwa perkembangan pribadi sangat ditentukan oleh faktor hereditas atau pembawaan yang potensial berasal dari dalam diri seseorang. Anak lahir telah membawa potensi-potensi yang berasal dari dalam diri anak itu secara kodrati. Pembentukan pribadi anak selanjutnya tergantung bagaimana ia mengembangkan pembawaan ini.

Teori ini mengabaikan lingkungan secara dominan dalam pembentukan pribadi seseorang dan pendidikan memainkan peranan hanya dalam rangka perealisasi potensi-potensi pembawaan.

Teori ini dipelopori oleh Arthur Schopenhauer (1788 - 1860). Pendapatnya mengenai pribadi manusia adalah bahwa faktor pembawaan yang telah dibawa sejak lahir tidak dapat diubah oleh pengaruh lingkungan atau pendidikan. Apabila manusia sejak lahir memiliki potensi-potensi yang secara kodrati tinggi, maka perkembangan pribadi mendatang akan tinggi pula.

Sebaliknya, jika anak lahir tanpa potensi-potensi hereditas yang baik, maka seseorang nantinya akan memiliki potensi yang kurang baik. Pendidikan tidak akan mengubah kodrat manusia yang telah membawa potensi-potensi sejak lahir.

3. Teori Konvergensi

Teori ini menyatakan bahwa perkembangan pribadi manusia merupakan hasil dari proses kerja sama antara hereditas (pembawaan) dan environment (lingkungan). Tiap pribadi merupakan perpaduan atau konvergensi dari faktor internal (potensi-potensi dalam diri) dengan faktor eksternal (lingkungan termasuk pendidikan).

Bagaimanapun baiknya hereditas, apabila lingkungan tidak menunjang dan mengembangkannya, maka hereditas yang sudah baik itu akan menjadi laten (tetap tidur). Begitu juga sebaliknya, apabila hereditas sudah tidak baik, namun lingkungan memungkinkan dan menunjang, maka kepribadian yang ideal akan tercapai.

Teori ini dipelopori oleh William Stern (1871-1938). Teori ini menekankan kedua faktor yang berasal dari pembawaan maupun lingkungan. Aliran ini mengakui bahwa anak lahir sudah membawa potensi-potensi tertentu.

Namun demikian, potensi potensi tersebut bersifat potensial dan lingkungan (baca: pendidikan) akan berperan juga dalam membentuk pribadi manusia, sehingga pribadi manusia merupakan perpaduan di antara keduanya.
***

Masing-masing dari ketiga teori di atas memiliki penganut sesuai dengan keyakinan pandangan dan sudut tinjauannya. Namun, berkembangnya ilmu pengetahuan membawa konsekuensi arah yang lebih realistis.

Kenyataan menunjukkan bahwa pribadi orang sangat diwarnai oleh lingkungan di mana ia hidup. Di samping manusia membawa potensi-potensi sejak lahir, pendidikan sangat memengaruhinya.

Sebagai contoh, seorang anak yang lahir dari seorang pendeta atau alim ulama, belum menjamin ia menjadi orang yang soleh di kemudian hari, jika sejak kecil ia dididik pada orang yang suka main judi, merampok, dan sebangsanya.

Di lain pihak, anak yang lahir dengan potensi yang serba lemah (anak dalam kategori debile, embicile, ediot, dan sebagainya), walaupun dididik oleh ilmuwan tangguh, maka lingkungan tidak kuasa mengubah serba kekurangan tersebut menjadi orang yang berpribadi lengkap secara maksimal.

Oleh sebab itu, teori konvergensi ini banyak dianut oleh para ahli pendidikan dewasa ini karena sifatnya yang realistis.


Sumber buku:
Judul: PROFESIONALISME GURU DALAM PEMBELAJARAN
Penulis: Drs. H. Zainal Aqib, M. Pd.
Dicetak oleh: Percetakan Insan Cendekia, Jl. Kaliwaron 58, Surabaya.
Cetakan Pertama, 2002. Cetakan Kedua, 2007, Cetakan Ketiga, 2010.
Baca Lengkap....

Menulis Sinopsis Naskah Film yang Menarik

Berikut teknik menulis Sinopsis Naskah Film yang Menarik oleh Baskoro Adi dan Perdana Kartawiyudha

Menulis Sinopsis Naskah Film yang Menarik


Sinopsis adalah sebuah ringkasan sebuah cerita, yang menjelaskan poin-poin utama dalam cerita. Sinopsis dipergunakan untuk dua hal:

1. Sinopsis sebagai proses development
Sinopsis ini harus menjelaskan cerita secara utuh, dari awal hingga akhir. Dengan adanya keutuhan cerita ini, seluruh pihak yang terlibat dalam film dapat mengerti jalan cerita secara utuh, sehingga dapat memberikan masukan dalam proses development.
2. Sinopsis sebagai alat menjual film
Sinopsis ini dapat menggunakan cliffhanger di akhir, misalkan: “apakah karakter utama dapat mencapai tujuannya?” Tujuan dari synopsis ini adalah membuat calon penonton menjadi tertarik untuk menonton film yang kita buat.
Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan sinopsis:
1)  Selalu awali paragraf pertama dari synopsis Anda dengan: nama tokoh (who), pekerjaan atau tugas (what), dimana ia tinggal (where), waktu (when), dan apa yang ia perjuangankan (why).
a. Selalu gunakan all-caps untuk kemunculan tokoh pertama kali. Sesudahnya, dapat menggunakan ejaan nama sebagaimana biasa.
b. Karakter yang harus masuk dalam sinopsis adalah: protagonis, antagonis, dan love interest.

Tokoh lain yang tidak berperan dalam plot, bisa dikesampingkan.
2)  Tuliskan babak 1, dalam kurang dari 2 paragraf. Dalam 2 paragraf ini sudah harus merangkum seluruh karakter dan konflik yang terjadi.

3)  Tuliskan babak 2, dalam kurang dari 4 paragraf. Dalam 4 paragraf ini, menjelaskan usaha protagonis dalam mencapai tujuannya, outcome dari usaha pertamanya, hingga konflik terbesar yang membawa cerita menuju klimaks.

4)  Tuliskan babak 3, dalam kurang dari 2 paragraf. Dalam 2 paragraf terakhir ini, sudah merangkum hasil dari klimaks cerita, dan menggambarkan keadaan sesudah karakter utama melakukan usahanya.

Yang harus dihindari dalam menulis sinopsis:
1) Menuliskan terlalu banyak tokoh atau kejadian;
2) Menuliskan terlalu banyak twist dalam cerita
3) Terlalu banyak detail dalam synopsis. Ingat, synopsis yang baik adalah synopsis yang singkat namun mengena. Karena pembaca synopsis, misalkan produser, atau sutradara, ingin mengetahui isi ceritanya dari awal hingga akhir secara cepat. Mereka tidak punya cukup banyak waktu membaca sinopsis yang terlalu bertele-tele.
4) Menuliskan editorial yang tidak perlu. Seperti: “FLASHBACK TO...”

Tips 1: MORE WHITE SPACE, PLEASE!
Agar pembaca lebih nyaman membaca sinopsis, treatment ataupun skenario, batasi tiap paragraf tidak lebih dari 5 baris.

Antar paragraf pisahkan dengan 1 spasi.Hal ini mengurangi efek kelelahan mata dalam membaca tulisan kita.Mungkin tidak ada bedanya ketika hanya 1-2 halaman. Ketika lebih dari itu, akan terasa perbedaannya.

Tips 2: MENULIS SINOPSIS SECARA DRAMATIK
Ketika pembaca membaca synopsis Anda, buatlah mereka bisa dengan cepat merasakan genre dari cerita Anda.Kalau Anda membuat sinopsis komedi, usahakan pembaca bisa tertawa ketika membaca sinopsis tersebut.Demikian juga ketika genrenya horor, komedi, atau yang lainnya. Buatlah pembaca tidak hanya tahu ceritanya apa, tetapi juga bisa merasakan seperti apa emosi dalam cerita tersebut hanya dengan membaca sinopsisnya.

Anda bisa mengambil contoh cara penulisan novel ataupun cerpen untuk keperluan penulisan sinopsis ini. Tidak masalah kalau harus di titik tertentu harus mendetilkan pada adegan tertentu atau dialog tertentu untuk mengangkat mood pembaca pada saat membacanya, asalkan jangan kemudian terlena jadi berpanjang-panjang di keseluruhan bagian karena itu sudah masuk ke wilayah treatment ataupun skenario.


Sumber: Buku Menulis Cerita Film Pendek: Sebuah Modul Workshop Penulisan Skenario Tingkat Dasar.
Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017. 
Tim Penyusun: Perdana Kartawiyudha (koordinator), Baskoro Adi Wuryanto, Damas Cendekia, Melody Muchransyah, dan Rahabi Mandra.

Baca Lengkap....

Planting of Information dan Pay-Off dalam Film

Planting of Information dan Pay-Off dalam Film

Tulisan ini masih lanjutan dari konsep plot dalam film. Silakan baca di Konsep Plot dalam Film Oleh Perdana Kartawiyudha.

Planting of Information
Berisi karakter, aksi, kostum, properti, musik, atau elemen filmis lainnya yang dimunculkan pada adegan tertentu dalam cerita yang seolah-olah hanya diganakan untuk keperluan adegan tersebut, tapi ternyata juga punya fungsi penting untuk adegan-adegan berikutnya.

Planting of information ini harus ditampilkan dengan cermat agar kehadirannya tidak mengganggu dramatik dan logika pada adegan tersebut. Kalau tujuannya memberikan efek kejutan (surpise) pada akhir cerita, kehadirannya jadi sangat penting untuk membuat penonton tidak merasa dikelabuhi atas surprise tersebut.

Kejutan atau surprise atau adalah titik dimana ketika mereka menyadari apa yang mereka duga atau ekspektasikan ternyata salah. Nah, kalau penonton tidak dipersiapkan untuk menduga atau berekspektasi tertentu meski secara halus, maka kejutannya bisa jadi gagal. Begitu juga ketika informasi yang ditanamkan di awal terlalu jelas arahannya, dan penonton berhasil menduga arah kejutannya, maka pada waktunya, tidak lagi jadi kejutan. Oleh karena itu, kemunculan planting of information ini memang harus hati-hati dan cermat sehingga penonton tidak bisa menebak kejutan seperti apa yang akan muncul.

Dengan adanya planting of information, alih-alih merasa dikelabuhi, penonton akan lebih merasa dirinya tidak cukup cermat membaca dan mengartikan tanda-tanda yang sudah coba ditampilkan di awal cerita.

Pay-Off
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penonton akan selalu menganggap informasi yang ditampilkan dihadapan mereka sebagai informasi yang penting. Informasi yang sudah ditanam di awal cerita (planting of information), harus dituai dalam perkembangan cerita, yang disebut dengan pay off. Ketika penonton diberikan pay off tanpa adanya planting of information, penonton aan merasa dirinya dikelabuhi oleh pembuat ceritanya.

Sebaliknya, ketika penonton diberikan planting of information tanpa adanya pay off, penonton merasa ceritanya belum tuntas karena ada “teka-teki” yang tak terjelaskan. Ketika film usai, penonton masih akan merasa ada hal yang mengganjal, ada teka-teki yang belum terpecahkan. Kecuali kalau memang ini adalah tujuan dari film tersebut dibuat, hal ini akan sangat mengganggu penonton dalam menikmati film yang ditontonnya.


Sumber: Buku Menulis Cerita Film Pendek: Sebuah Modul Workshop Penulisan Skenario Tingkat Dasar.
Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017. 
Tim Penyusun: Perdana Kartawiyudha (koordinator), Baskoro Adi Wuryanto, Damas Cendekia, Melody Muchransyah, dan Rahabi Mandra.
Baca Lengkap....

Konsep Plot dalam Film Oleh Perdana Kartawiyudha

Konsep Plot dalam Film Oleh Perdana Kartawiyudha

A. Konsep Plot
Plot dalam film fiksi adalah serangkaian peristiwa yang dipilih untuk ditampilkan dan kemudian dirangkai dengan hubungan sebab akibat sehingga membentuk cerita.

Kehidupan manusia memang berjalan secara kronologis tetapi dalam bercerita kita tidak selalu menampilkannyademikian. Contoh yang paling sering adalah hadirnya flashback, yang membuat peristiwa seolah berjalan mundur sesaat untuk kemudian memberikan dorongan untuk perkembangan cerita ke depannya. Atau bisa juga kita tampilkan bagian paling dramatik dalam cerita di awal film, baru kemudian dirunut mengapa karakter bisa sampai ke titik tersebut. Berbagai strategi penyusunan plot bisa dipakai untuk mencapai kesan tertentu bagi penonton.

Di sini dibutuhkan kejelian pencerita dalam memilih dan merangkai perisitwa yang dianggap relevan untuk dimasukkan ke dalam cerita. Karena tidak semua detil perisitwa harus ditampilkan dalam film. Misalnya realitanya orang bangun tidur, lalu mandi, lalu sarapan, lalu masuk ke garasi untuk mengendarai kendaraan menuju tempat aktifitas. Tapi bisa jadi dalam cerita semua peristiwa itu tidak penting ditampilkan satu persatu. Bisa saja kita langsung begitu karakter bangun tidur, melajukan mobil, dan tiba di tempat aktivitas. Peristiwa yang tidak relevan untuk kebutuhan cerita tidak perlu dimasukkan karena hanya akan mengganggu dramatik. Untuk mengukurnya, selalu tanya pada diri sendiri “kalau adegan atau aksi ini saya hilangkan, apa pengaruhnya ke cerita?”. Jika jawabannya tidak ada, berarti adegan atau aksi tersebut memang harus dibuang.

Dalam menyusun rangkaian plot pun kita semestinya menjaga eskalasi dramatik cerita. Kalau kita lihat grafik pada Bab sebelumnya, kita bisa lihat cerita yang baik, semakin jauh cerita berjalan, intensitas dramatiknya makin naik, secara grafik pun makin naik. Artinya problem yang dihadapi karakter kita makin rumit dan kompleks, sehingga membutuhkan usaha lebih dari yang sebelumnya, bahkan yang karakter bisa bayangkan dia punya lakukan. Jika pertama karakter bertemu dengan prajurit, maka berikutnya dia berhadapan dengan jendral, dan akhirnya bertemu dengan raja. Dengan demikian, penonton pun turut bersama dengan karakter secara emosional menghadapi problematika yang semakin sulit, tapi dari sudut pandang penonton, makin seru untuk disaksikan.

B. Chekhov’s Gun Theory
Teori ini muncul dari seorang tokoh drama panggung Anthony Chekhov. Dia menggambarkan suatu adegan dalam suatu pertunjukan panggung di mana karakter mengeluarkan sebuah pistol dan meletakkannya di suatu laci pada awal cerita, kemudian dalam perkembangkan cerita, ketika salah satu karakter dalam kondisi terancam, dia meraih pistol yang ada di laci dan menggunakannya.

Dalam konsep ini, apa yang dipersipkan di awal, harus terjelaskan di akhir cerita. Hal penting yang seolah tiba-tiba muncul di akhir cerita, harus sudah diperkenalkan (meski dengan sangat halus) di awal cerita. Tanpa salah satunya, penonton akan merasa ada yang janggal dan dampaknya penonton merasa ada bagian dari cerita yang belum tuntas. Bayangkan saja jika ada tokoh dalam kasus di atas yang tiba-tiba mengeluarkan pistol dan menyimpannya dalam laci tapi dalam perkembangan cerita tak lagi dibahas tentang pistol tersebut, penonton akan menunggu-nunggu apa fungsi adegan pistol di awal.

Sudah menjadi sifat dasar penonton untuk menganggap informasi apapun yang ditampilkan kepada meraka sebagai hal yang penting. Jika ada hal yang seolah penting tapi kemudian tidak dibahas tuntas dalam film, penonton akan menunggununggu dan ketika cerita selesai tak juga dibahas, penonton akan mengganggap cerita tersebut tidak tuntas. Hal yang sama ketika tiba-tiba saja ada tokoh dalam kasus di atas ketika berada dalam kondisi terdesak tiba-tiba membuka laci dan mengeluarkan pistol. “Kok dia tahu kalau di situ ada pistol?”

Penonton bisa merasa dikelabuhi karena apa yang ditampilkan seolah kebetulan semata atau adanya campur tangan tuhan (Deux-ex Machina). Meski dalam kehidupan nyata kita sering menemukan kebetulan-kebetulan dan tanpa bisa dielaskan akal mengalami keajaiban dari penguasa semesta, tetapi dalam cerita fiksi, kebetulan-kebetulan atau pertolongan Tuhan semacam ini sulit diterima nalar penonton.

Kebetulan atau pertolongan Tuhan dalam cerita fiksi dianggap sebagai kegagalan pembuat cerita dalam membangun logika cerita. Dalam konteks cerita di atas, penonton merasa perlu untuk diperlihatkan bahwa karakter dalam cerita tersebut sudah mengetahui bahwa dilacinya terdapat pistol sehingga ketika dia terdesak dan membutuhkannya dia sadar atas apa yang sudah diketahuinya. Meski demikian, aturan ini jadi tidak sepenuhnya berlaku ketika kebetulan dan pertolongan Tuhan ini memang sejak awal didesain menjadi inti dari cerita tersebut.

Prinsip menyimpan pistol dan memakai pistol di atas berkembangkan dalam dunia penceritaan, termasuk dalam film, dengan nama PLANTING OF INFORMATION dan PAY OFF. Tidak hanya soal pistol atau properti, tapi bisa berbagai elemen filmis seperti karakter, setting, kostum, musik, dan lain-lain. Tujuannya tetap sama, untuk menjaga logika dunia penceritaan dalam pikiran penonton. Pembuat cerita perlu sadar bahwa penonton menganggap penting berbagai elemen yang ada di cerita sehingga apa yang sudah diperkenalkan di awal, harus terjelaskan kemudian. Begitu juga sebaliknya, apayang muncul di akhir, harus sudah diperkenalkan sebelumnya. Logika seperti ini yang berlaku dalam pikiran penonton ketika menikmati suatu film.

Sekian dan untuk penjelasan mengenai Planting of Information dan Pay-Off dapat dibaca pada postingan Planting of Information dan Pay-Off dalam Film.


Sumber: Buku Menulis Cerita Film Pendek: Sebuah Modul Workshop Penulisan Skenario Tingkat Dasar.
Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017. 
Tim Penyusun: Perdana Kartawiyudha (koordinator), Baskoro Adi Wuryanto, Damas Cendekia, Melody Muchransyah, dan Rahabi Mandra.
Baca Lengkap....

Cerita dengan Struktur Cerita Tiga Babak Pada Film (Bagian 2)

Cerita dengan Struktur Cerita Tiga Babak Pada Film (Bagian 2)

Untuk bagian pertama bisa dilihat di Cerita dengan Struktur Cerita Tiga Babak Pada Film

Babak 2
Begitu karakter memutuskan untuk mewujudkan apa yang diinginkan dalam cerita ini, dia masuk ke babak 2. Babak yang dalam porsi dramatiknya punya porsi paling besar dibandingkan dengan babak 1 ataupun babak 2. Ini adalah babak yang paling ditunggu-tunggu oleh penonton karena pertama kali karakter kita harus menghadapi petualangan baru di “dunia baru”, sehingga di samping dia harus berhadapan dengan ancaman yang sering datang dari luar, dirinya pun harus dengan cepat beradaptasi dengan dunia baru ini. Proses jatuh bangun karakter yang seolah menjadi “fish out of the water” ini yang menarik diikuti oleh penonton. Untuk itu, dibutuhkan kejelian pencerita untuk menjaga daya tarik cerita di sepanjang babak ini.

Seringkali pada babak ini karakter baru menyadari bahaya yang sebenarnya dihadapinya dalam usaha mewujudkan tujuannya tersebut. Halangan yang samar-samar terlihat atau mungkin seolah terlihat jelas pada babak 1, kini menampakkan wujud aslinya yang lebih menantang untuk ditaklukkan. Bisa jadi, efek dimino atau efek bola salju terjadi pada babak ini, dimana problem yang seolah kecil kemudian seiring berjalannya waktu semakin membesar dan tak terbendung. Karakter kita juga bisa mengalami salah paham, salah perhitungan, salah jalan, salah ambil keputusan, yang membuat situasi makin runyam dan seolah makin jauh dari tujuannya.

Kompleksitas masalah terus bergulir dan berkembang dalam babak ini. Semakin karakter kita tenggelam atau terlena dalam problem yang dihadapi, semakin penonton merasa ingin terus mengikuti jalan hidupnya.

Plot Point 2 atau Key Turning Point 2
Babak 2 dan Babak 3 biasanya dipisahkan oleh Plotpoint 2 atau Key Turning Point 2.Titik ini sering disebut juga “the lowest point” karena menggambarkan secara dramatik titik terendah bagi karakter kita dalam mewujudkan tujuannya. The lowest point ditulis dalam tanda kutip karena biasanya, plot point 2 atau Key Turning Point 2 merupakan kebalikan dari ending. Biasanya, ya.

Untuk tujuan dramatika cerita, biasanya apabila ending cerita digambarkan karakter berhasil mendapatkan tujuannya, maka Plot Point 2 digambarkan karakter seolah-olah gagal total dalam mencapai tujuannya. Begitu juga sebaliknya, jika di akhir cerita karakter digambarkan gagal mendapatkan tujuannya, makan plot point 2 ini karakter seolah-oleh berada di puncak keberhasilan dalam mencapai tujuannya.

Dalam konteks film panjang, titik ini bisa terbaca jelas, tapi dalam film pendek, dengan pertimbangan durasi, seringkali tidak diterapkan secara ketat. Dalam beberapa kasus film pendek, plot point 2 ini digambarkan paralel dengan ending-nya. Kalau ending-nya karakter gagal mencapai tujuannya, demikian juga yang tergambar pada plot point 2. Semua kembali pada strategi penceritaan penulis dalam menyajikan cerita kepada penonton.

Babak 3
Setelah karakter “babak belur” ataupun terlena pada babak dua hingga sampai titik terendah (atau tertinggi) pada plot point 2, kita tiba pada pertarungan terakhir. Dalam video game, ini adalah momen di mana karakter bertemu dengan sang raja iblis karena seluruh halangan berhasil ditaklukkan. Ini bisa dianggap seperti putaran final yang paling menentukan berhasil atau gagalnya karakter mewujudkan tujuannya.

Karena putaran final atau sudah berhadapan dengan raja iblis, hambatan yang dihadapi karakter juga makin besar dan makin berbahaya. Apa yang dipertaruhkannya jika gagal pun makin besar. Di titik ini, karakter sudah sangat tidak mungkin untuk mundur dari pertarungan karena risiko untuk mundur dari pertarungan pun tak kalah besarnya dengan terus berjuang. Titik puncak pertarungan ini disebut klimaks. Sepanjang perjalanan cerita, penonton menunggu hadirnya momen yang dipercaya paling seru ini.

Di babak 3 ini, semua problem yang diperkenalkan dan berkembang pada babak-babak sebelumnya harus terselesaikan. Penyelesaiannya ini bisa berbagai macam bentunya, tapi pada prinsipnya menjawab apakah tujuan yang yang sejak awal berusaha diwujudkan karakter, pada akhirnya berhasil atau gagal tercapai. Wujud berhasil kegagalan dan keberhasilannya pun bisa bermacam-macam. Bisa sesederhana karakter berhasil atau gagal dalam pertarungan terakhirnya di klikmaks. Momen setelah klimaks ini secara dramatik cerita biasanya cenderung menurun drastis karena sudah tidak ada lagi konflik. Momen ini berisi bagaimana karakter menyikapi keberhasilan dan kegagalannya dalam mendapatkan apa yang diinginkan. Oleh karena itu, mestinya bagian ini tidak terlalu lama untuk mengindari kebosanan penonton.

Di level yang lebih lanjut, pencerita bisa membuat Babak 3 lebih kompleks dengan membuat karakter mendapati pelajaran hidup setelah melewati berbagai halangan sepanjang cerita. Pelajaran hidup ini membuat karakter sadar apa yang sebenarnya dia butuhkan, atau di Bab Karakter di sebut need. Dengan adanya pelajaran hidup ini, tak peduli berhasil ataupun gagal karakter dalam mendapatkan apa yang diinginkan, karakter bisa mendapat kesempatan berubah menjadi orang yang lebih baik.

Meski demikian, beberapa cerita yang karakternya telah memahami apa yang menjadi neednya, dia bisa kemudian acuh dan tetap fokus pada apa yang menjadi keinginannya sejak awal. Karena suatu alasan yang bisa dipahami penonton, protagonis ditampilkan mengabaikan pelajaran hidup atau apa yang dibutuhkannya untuk menjadi orang yang lebih. Dalam hal ini, tidak ada benar salah. Ini semua tergantung pencerita, akan membawa cerita ini kemana dan pada akhirnya ingin menyampaikan apa kepada penonton.

Bahkan ketika pencerita dengan sadar membiarkan karakter menutup cerita tanpa mendapat jawaban apakah karakter berhasil atau gagal mendapatkan apa yang diperjuangkannya sepanjang cerita, boleh-boleh saja. Yang penting pencerita sadar konsekuensi dari pilihannya mengakhiri cerita karena inilah yang kesimpulan yang dibawa penonton pulang setelah menonton filmnya. Tidak hanya kesimpulan seperti apa yang cerita ini, tetapi pelajaran hidup apa yang mereka dapatkan dari film tersebut.

Sumber: Buku Menulis Cerita Film Pendek: Sebuah Modul Workshop Penulisan Skenario Tingkat Dasar. Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017. Tim Penyusun: Perdana Kartawiyudha (koordinator), Baskoro Adi Wuryanto, Damas Cendekia, Melody Muchransyah, dan Rahabi Mandra.
Baca Lengkap....