Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa

Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa

Linguis berkata bahwa "speaking is language". Berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh ketrampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar dipelajari.

Berbicara sudah barang tentu berhubungan erat dengan perkembangan kosakata yang diperoleh oleh sang anak; melalui kegiatan menyimak dan membaca. Kebelum-matangan dalam perkembangan bahasa juga merupakan suatu keterlambatan dalam kegiatan-kegiatan berbahasa.

Perlu kita sadari juga bahwa keterampilan keterampilan yang diperlukan bagi kegiatan berbicara yang efektif banyak persamaannya dengan yang dibutuhkan bagi komunikasi efektif dalam keterampilan-keterampilan berbahasa yang lainnya im (Greene & Petty, 1971: 39-40).

Untuk memeroleh gambaran yang lebih jelas, berikut ini akar kita tinjau secara lebih terperinci hubungan antara:

a) berbicara dan menyimak,
b) berbicara dan membaca,
c) ekspresi lisan dan ekspresi tulis.

1. Hubungan antara berbicara dan menyimak


Berbicara dan menyimak merupakan kegiatan komunikasi dua arah yang langsung serta merupakan komunikasi tatap-muka atau face- to-face communication (Brooks, 1964: 134).

Hal-hal yang dapat memperlihatkan eratnya hubungan antara berbicara dan menyimak, adalah sebagai berikut.


  • Ujaran (speech) biasanya dipelajari melalui menyimak dan meniru (imitasi). Oleh karena itu, contoh atau model yang disimak atau direkam oleh sang anak sangat penting dalam penguasaan kecakapan berbicara.
  • Kata-kata yang akan dipakai serta dipelajari oleh sang anak biasanya ditentukan oleh perangsang (stimulus) yang mereka temui (misalnya kehidupan desa/kota) dan kata-kata yang paling banyak memberi bantuan atau pelayanan dalam menyampaikan ide-ide atau gagasan mereka.
  • Ujaran sang anak mencerminkan pemakaian bahasa di rumah dan dalam masyarakat tempatnya hidup. Misalnya, ucapan, intonasi, kosakata, penggunaan kata-kata, dan pola-pola kalimat.
  • Anak yang lebih muda lebih dapat memahami kalimat-kalimat yang jauh lebih panjang dan rumit ketimbang kalimat-kalimat yang dapat diucapkannya.
  • Meningkatkan keterampilan menyimak berarti membantu meningkatkan kualitas berbicara seseorang.
  • Bunyi atau suara merupakan faktor penting dalam meningkatkan cara pemakaian kata-kata sang anak. Oleh karena itu sang anak akan tertolong kalau mereka menyimak ujaran-ujaran yang baik dari para guru, rekaman-rekaman yang bermutu, cerita-cerita yang bernilai tinggi, dan lain-lain.
  • Berbicara dengan bantuan alat-alat peraga (visual aids) akan menghasilkan penangkapan informasi yang lebih baik pada pihak penyimak. Umumnya, sang anak mempergunakan/meniru bahasa yang didengarnya. (Tarigan, 1980: 1 – 2; Dawson [et al], 1963: 29).

2. Hubungan antara berbicara dan membaca

Beberapa proyek penelitian telah memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara perkembangan kecakapan berbahasa lisan dan kesiapan baca. Telaah-telaah tersebut memperlihatkan bahwa kemampuan-kemampuan umum berbahasa lisan turut melengkapi suatu latar belakang pengalaman-pengalaman yang menguntungkan.

Keterampilan-keterampilan tersebut mencakup ujaran yang jelas dan lancar, kosa kata yang luas dan beraneka ragam, penggunaan kalimat-kalimat lengkap serta sempurna bila diperlukan, pembedaan pendengaran yang tepat, dan kemampuan mengikuti serta menelusuri perkembangan urutan suatu cerita, atau menghubungkan kejadian kejadian dalam urutan yang wajar serta logis.

Hubungan-hubungan antara bidang kegiatan lisan dan membaca telah dapat diketahui dari beberapa telaah penelitian, antara lain:


  • performansi atau penampilan membaca berbeda sekali dengan kecakapan berbahasa lisan.
  • pola-pola ujaran yang tuna-aksara mungkin mengganggu pelajaran membaca bagi anak-anak.
  • kalau pada tahun-tahun awal sekolah, ujaran membentuk suatu dasar bagi pelajaran membaca, maka membaca bagi anak-anak kelas yang lebih tinggi turut membantu meningkatkan bahasa lisan mereka; misalnya: kesadaran linguistik mereka terhadap istilah-istilah baru, struktur kalimat yang baik dan efektif, serta penggunaan kata-akta yang tepat.
  • kosa kata khusus mengenai bahan bacaan haruslah diajarkan secara langsung. Seandainya muncul kata-kata baru dalam buku bacaan siswa, maka sang guru hendaknya mendiskusikannya dengan siswa agar mereka memahami maknanya sebelum mereka mulai membacanya. (Tarigan, 1980: 4; Tarigan, 1980: 6-7, Dawson [et al], 1963:30).

3. Hubungan antara ekspresi lisan dan ekspresi tulis

Adalah wajar bila komunikasi lisan dan komunikasi tulis erat sekali berhubungan karena keduanya mempunyai banyak persamaan antara lain:

(a) Sang anak belajar berbicara jauh sebelum dia dapat menulis dan kosa kata, pola-pola kalimat, serta organisasi ide-ide yang memberi ciri kepada ujarannya merupakan dasar bagi ekspresi tulis berikutnya.

(b) Sang anak yang telah dapat menulis dengan lancar biasanya dapat pula menuliskan pengalaman pengalaman pertamanya secara tepat tanpa diskusi lisan pendahuluan tetapi dia masih perlu membicarakan ide ide yang rumit yang diperolehnya dari tangan kedua.

Bila seorang anak harus menulis suatu uraian, menjelaskan suatu proses ataupun melaporkan suatu kejadian sejarah yang secara pribadi belum pernah dialaminya), maka dia memetik pelajaran dari suatu diskusi kelompok pendahuluan.

Dengan demikian maka dia dapat mempercerah pikirannya, mengisi kekosongan-kekosongan, memperbaiki impresi atau kesan-kesan yang salah, serta mengatur ide-idenya sebelum dia mulai menulis sesuatu.

(c) Perbedaan-perbedaan terdapat pula antara komunikasi lisan dan komunikasi tulis. Ekspresi lisan cenderung ke arah kurang berstruktur, lebih sering berubah-ubah, tidak tetap, dan biasanya lebih kacau serta membingungkan ketimbang komunikasi tulis.

Kebanyakan pidato atau pembicaraan bersifat informal, dan seringkali kalimat-kalimat orang yang berpidato atau berbicara itu tidak ada hubungannya satu dan lainnya.

Si pembicara memikirkan ide-idenya sambil berbicara, dan kerap kali dia lupa bagaimana terjadinya suatu kalimat lama sebelum dia menyelesaikannya. Karena adanya masalah-masalah seperti ini pada ekspresi lisan, pengajaran mengenai keterampilan berbicara dan menyimak perlu mendapat perhatian.

Pengalaman telah menunjukkan bahwa meningkatkan ekspresi lisan pada individu berarti turut pula meningkatkan daya pikir mereka.

Membasmi kebiasaan-kebiasaan yang ceroboh ketidakteraturan dalam ujaran, kalimat-kalimat yang tidak menentu ujung pangkalnya serta berulang-ulang, pikiran-pikiran yang tidak sempurna dan tidak konsekuen dalam ekspresi lisan memang sangat perlu dan selalu harus dilakukan agar kita dapat membimbing para individu ke arah kebiasaan berpikir yang tepat dan logis.

Sebaliknya, komunikasi tulis cenderung lebih unggul dalam isi pikiran maupun struktur kalimat, lebih formal dalam gaya bahasa dan jauh lebih teratur dalam pengertian ide-ide.

Sang penulis biasanya telah memikirkan dalam-dalam setiap kalimat sebelum dia menulis naskahnya; dia sering memeriksa serta memperbaiki kalimat-kalimatnya beberapa kali sebelum dia menyelesaikan tulisannya.

(d) Pembuat catatan serta pembuat bagan atau rangka ide-ide yang akan disampaikan pada suatu pembicaraan, akan menolong siswa untuk mengutarakan ide-ide tersebut kepada para pendengar.

Para siswa harus belajar berbicara dari catatan-catatan. Mereka membutuhkan banyak latihan berbicara dari catatan agar penyajiannya jangan terputus-putus dan tertegun-tegun.

Biasanya bagan atau rangka yang dipakai sebagai pedoman dalam berbicara sudah cukup memadai, kecuali dalam kasus laporan formal dan terperinci yang memerlukan penulisan naskah yang lengkap sebelumnya.

***

Begitulah, guru bahasa haruslah melihat instruksi atau pengajarannya dalam konteks yang tepat lagi wajar. Sang guru harus melihat bahwa pengajaran menyimak, berbicara, dan menulis itu haruslah sering berhubungan serta berkaitan erat dengan keterampilan berbahasa yang keempat, yaitu membaca.

Segala usaha yang dilakukan untuk meningkatkan salah satu segi tersebut jelas akan berpengaruh kepada ketiga segi lainnya; dan melalaikan salah satu di antaranya, jelas pula memberi pengaruh jelek pada yang lainnya. Yah, kita harus selalu mengingat bahwa "learning is an ie grated thing" (Dawson [et al], 1063: 30 32; Tarigan, 1980: 571).

Demikianlah dalam pendahuluan ini telah kita bicarakan sepintas kilas mengenai ketrampilan berbahasa yang dalam bahasa Inggris disebut language (arts and) skills. Istilah art "seni dipergunakan untuk melukiskan sesuatu yang bersifat personal, kreatif, dan.original; sedangkan kata skill "keterampilan" dipakai untuk menyatakan sesuatu yang bersifat mekanis, eksak, impersonal.

Menyimak dan membaca erat berhubungan dalam hal bahwa keduanya merupakan alat untuk menerima komunikasi. Berbicara dan menulis erat berhubungan dalam hal bahwa keduanya merupakan cara untuk mengekspresikan makna atau arti. Dalam penggunaannya, keempat ketrampilan tersebut sering sekali berhubungan satu sama lain.

Seorang mahasiswa menulis catatan waktu dia menyimak atau membaca. Seorang pembicara menafsirkan respons pendengaran terhadap suaranya sendiri. Dalam percakapan jelas terlihat bahwa berbicara dan menyimak hampir-hampir merupakan proses yang sama. (Anderson, 1972: 3).


Sumber:

Buku Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa (Hal 3 – 8)
Penulis: Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan
Penerbit: Angkasa Bandung
Tahun 1979 (Cetakan Pertama) & Tahun 2008 (Edisi Revisi)
Baca Lengkap....

Memahami Semiotika: Semiotika dan Semiologi

Ada sekian banyak orang di seluruh belahan dunia yang memahami hal-hal dalam semiotika justru bukan sebagai semiotika (Umberto Eco Travels in Hyperreality, 1986).
Memahami Semiotika: Semiotika dan Semiologi

Istilah manakah yang lebih disukai, semiotika atau semiologi; semiotics atau semiology? Yang jelas, kata semiotika di samping kata semiologi sampai kini masih dipakai.

Selain istilah semiotika dan semiologi dalam sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang.

Tampaknya, pembahasan yang luas tentang nama bidang studi yang disebut "semiotika" telah muncul di negara-negara Anglo-Saxon (Segers, 2000:5).

Seseorang menyebut semiologi jika ia berpikir tentang tradisi Saussurean. Dalam penerbitan-penerbitan Prancis, istilah-istilah semiologie kerap dipakai. Elements de Semiologie, misalnya, adalah salah satu judul yang dipakai oleh Roland Barthes (1964).

Namun, istilah semiotics digunakan dalam kaitannya dengan karya Charles Sanders Peirce dan Charles Morris.

Jadi, sesungguhnya kedua istilah ini, semiotika dan semiologi, mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya: mereka yang bergabung dengan Peirce menggunakan kata semiotika, dan mereka yang bergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi.

Namun yang terakhir, jika dibandingkan dengan yang pertama, kian jarang dipakai (van Zoest, 1993:2). Tommy Christomy (2001:7) menyebutkan, “Ada kecenderungan, istilah semiotika lebih populer daripada istilah semiologi sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya."

Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu tentang tanda.

Para ahli umumnya cenderung tidak begitu mau dipusingkan oleh kedua istilah tersebut, karena mereka menganggap keduanya sebenarnya sama saja.

Perbedaan antara keduanya

Satu-satunya perbedaan antara keduanya, menurut Hawkes (dalam Sobur, 2001b:107) adalah bahwa istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa, sementara semiotika cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris.

Dengan kata lain, seperti sudah disinggung, penggunaan kata semiologi menunjukkan pengaruh kubu Saussure, sedangkan semiotika lebih tertuju kepada kubu Peirce (van Zoest, 1996:2).

“Perbedaan istilah itu,” kata Masinambow (2000b:iii), "menunjukkan perbedaan orientasi: yang pertama (semiologi) mengacu pada tradisi Eropa yang bermula pada Ferdinand de Saussure (1857-1913), sedangkan yang kedua (semiotika) pada tradisi Amerika yang bermula pada Charles Sanders Peirce (1839-1914).”

Dalam definisi Saussure (Budiman, 1999a:107), semiologi merupakan “sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat" dan, dengan demikian, menjadi bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang mengaturnya.

Para ahli semiotika Prancis tetap mempertahankan istilah semiologi yang Saussurean ini bagi bidang-bidang kajiannya. Dengan cara itu mereka ingin menegaskan perbedaan antara karyakarya mereka dengan karya-karya semiotika yang kini menonjol di Eropa Timur, Italia, dan Amerika Serikat.

Sementara, istilah semiotika atau semiotik, yang dimunculkan pada akhir abad ke-19 oleh filsuf aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Peirce, merujuk kepada "doktrin formal tentang tanda-tanda”.

Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun sejauh terkait dengan pikiran manusia-seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas.

Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda non verbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi.

Dalam buku ini (Buku Memahami Semiotika), yang akan dipakai hanya istilah semiotika, mengikuti contoh yang diberikan Umberto Eco. Maka itu, perbedaan implikasi filosofis dan metodologis dari kedua istilah tersebut, setidaknya, dapat dihindari.

Keputusan untuk hanya memakai istilah semiotika (semiotics), seperti dikatakan Eco (1975:9; lihat juga Segers, 2000:5), adalah sesuai dengan resolusi yang diambil oleh komite internasional di Paris bulan Januari 1969.

Pilihan ini kemudian dikukuhkan oleh Association for Semiotics Studies pada kongresnya yang pertama tahun 1974. Dalam konteks ini, semiotics (dan ekuivalensinya dalam bahasa Prancis semiotique) menjadi istilah untuk semua peristilahan lama semiology dan semiotics.


Sumber:
Dari buku Semiotika Komunikasi (hal 11-13), 2003.
Penulis: Drs. Alex Sobur, M. Si.
Diterbitkan oleh Rosda
Baca Lengkap....

Makalah: Pemanfaatan Perpustakaan Perguruan Tinggi dalam Memenuhi Kebutuhan Informasi Kepada Pengguna

Makalah: Pemanfaatan Perpustakaan Perguruan Tinggi dalam Memenuhi Kebutuhan Informasi Kepada Pengguna

BAB I
PENDAHULUAN

Perpustakaan Perguruan Tinggi merupakan salah satu unsur utama dalam menunjang kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi atau dapat disebut jantung dari Perguruan Tinggi. Perpustakaan Perguruan Tinggi merupakan sarana untuk pemenuhan kebutuhan informasi sivitas akademika, khususnya mahasiswa dan dosen. Koleksi perpustakaan sangat penting untuk terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan informasi dari waktu ke waktu, perkembangan informasi akan meningkatkan pemanfaatan perpustakaan dalam memenuhi kebutuhan informasi mahasiswa dan sivitas akademika perguruan tinggi pada umumnya.

Kebutuhan pengguna untuk memenuhi informasi yang berguna sebagai pendukung kegiatan belajar bagi seluruh sivitas akademika. Kebutuhan informasi setiap orang berbeda-beda. Begitu juga dengan kebutuhan informasi pengguna perpustakaan lainnya. Sehingga infomasi tersebut tidak up to date dan tidak sesuai dengan kebutuhan informasi pengguna saat ini. Seharusnya perpustakaan harus mampu menyediakan kebutuhan informasi bagi penggunanya untuk memaksimalkan fungsi perpustakaan dan pemanfaatan pengguna terhadap perpustakaan dalam rangka pemenuhan kebutuhan informasi bagi sivitas akademika.

Dengan adanya perpustakaan mendukung pemenuhan informasi penggunanya. Oleh karena itu, perpustakaan sebagai penyedia informasi (information provider), sudah saatnya memposisikan diri sebagai institusi terdepan dimana saat ini seluruh masyarakat secara global telah mengarah kepada kebutuhan informasi sebagai komponen utama masyarakat modern. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan tentang bagaimana pemanfaatan Perpustakaan apakah sudah memenuhi kebutuhan informasi dari pengguna, Jika belum perlu diperbaiki agar pemanfaatan perpustakaan dapat memenuhi kebutuhan informasi pengguna secara maksimal.

BAB II
PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN PERGURUAN TINGGI DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN INFORMASI KEPADA PENGGUNA

2.1 Perpustakaan Perguruan Tinggi
Perpustakaan perguruan tinggi sering disebut sebagai jantungnya universitas karena tanpa perpustakaan tersebut maka proses pelaksanaan belajar mengajar disivitas akademika mungkin kurang optimal. Perpustakaan perguruan tinggi seperti yang telah diketahui secara umum merupakan salah satu fasilitas yang harus ada pada sebuah perguruan tinggi. Karena perpustakaan menjadi tempat pencarian dan perolehan informasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa perguruan tinggi dalam kegiatan pembelajaran dan menunjang kegiatan penelitian. Seperti yang dikatakan oleh Sutarno (2006, 36).

Di bawah ini dijelaskan beberapa pendapat tentang pengertian perpustakaan perguruan tinggi sebagai berikut:

Menurut Hasugian (2009:79) menyatakan pengertian perpustakaan perguruan tinggi adalah Perpustakaan yang dikelola oleh perguruan tinggi dengan tujuan membantu terpenuhinya tujuan perguruan tinggi. Perpustakaan perguruan tinggi sebagai perpustakaan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan tinggi yang layanannya diperuntukkan sivitas akademika perguruan tinggi yang bersangkutan.

Pendapat Sutarno dalam bukunya Perpustakaan dan Masyarakat (2003:35) mendefenisikan “perpustakan perguruan tinggi merupakan yang berada dalam suatu perguruan tinggi dan yang sederajat yang berfungsi mencapai tri dharma perguruan tinggi, sedangkan penggunanya adalah seluruh civitas akademika”.

Sedangkan menurut Syahrial-Pamuntjak (2000:5) dalam bukunya Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan, menyatakan bahwa: Perpustakaan Perguruan Tinggi adalah perpustakaan yang tergabung dalam lingkungan pendidikan tinggi, baik yang berupa perpustakaan universitas, perpustakaan fakultas, perpustakaan akademi, dan perpustakaan sekolah tinggi.

Berdasarkan beberapa defenisi dapat disimpulkan bahwa perpustakaan perguruan tinggi adalah perpustakaan yang berada di bawah naungan sebuah universitas atau perguruan tinggi lainnya yang sederajat yang penggunanya adalah mahasiswa dan civitas akademika.

===========================

Untuk makalah lengkapnya bisa di downlad melalui salah satu tombol download di bawah!


Baca Lengkap....

Dasar-Dasar Pendidikan: Konsep dan Prinsip Belajar dan Pembelajaran

Dasar-Dasar Pendidikan: Konsep dan Prinsip Belajar dan Pembelajaran

Konsep dan Prinsip Belajar dan Pembelajaran

Belajar memiliki tiga atribut pokok ialah: 1) Belajar merupakan proses mental dan emosional atau aktivitas pikiran dan perasaan; 2) Hasil belajar berupa perubahan perilaku, baik yang menyangkut kognitif, psiko-motorik, maupun afektif; 3) Belajar berkat mengalami baik mengalami secara langsung maupun mengalami secara tidak langsung (melalui media). Dengan kata lain, belajar terjadi di dalam interaksi dengan lingkungan (lingkungan fisik dan sosial).

Supaya belajar terjadi secara efektif perlu diperhatikan beberapa prinsip antara lain:

1) Motivasi, yaitu dorongan untuk melakukan kegiatan belajar, baik motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik dinilai lebih baik sebab berkaitan langsung dengan tujuan pembelajaran itu sendiri.

2) Perhatian atau pemusatan energi psikis terhadap pelajaran erat kaitannya dengan motivasi. Untuk memusatkan perhatian siswa terhadap pelajaran bisa didasarkan terhadap diri siswa itu sendiri dan/atau terhadap situasi pembelajarannya.

3) Aktivitas belajar itu sendiri adalah aktivitas. Bila pikiran dan perasaan siswa tidak terlibat aktif dalam situasi pembelajaran, pada hakikatnya siswa tersebut tidak belajar. Penggunaan metode dan modia yang bervariasi dapat merangsang siswa lebih aktif belajar.

4) Umpan balik di dalam belajar sangat penting, supaya siswa segera mengetahui benar tidaknya pekerjaan yang ia lakukan. Umpan balik dari guru, sebaiknya yang mampu menyadarkan siswa terhadap kesalahan mereka dan meningkatkan pemahaman siswa akan pelajaran tersebut.

5) Perbedaan individual adalah individu tersendiri yang memiliki perbedaan dari yang lain. Guru hendaknya mampu memperhatikan dan melayani siswa sesuai dengan hakikat mereka masing-masingBerkaitan dengan ini catatan pribadi setiap siswa sangat diperlukan. Pembelajaran merupakan suatu sistem lingkungan belajar yang terdiri dari unsur lujuan, bahan pelajaran, strategi. alat, siswa, dan guru. Semua unsur atau komponen tersebut saling berkaitan, saling mempengaruhi, dan semuanya berfungsi dengan berorientasi kepada tujuan.

Sumber buku:
Judul: PROFESIONALISME GURU DALAM PEMBELAJARAN
Penulis: Drs. H. Zainal Aqib, M. Pd.
Dicetak oleh: Percetakan Insan Cendekia, Jl. Kaliwaron 58, Surabaya.
Cetakan Pertama, 2002. Cetakan Kedua, 2007, Cetakan Ketiga, 2010.
Baca Lengkap....

Dasar-Dasar Pendidikan: 8 Tipe-Tipe Belajar

Dasar-Dasar Pendidikan 8 Tipe-Tipe Belajar
Sumber gambar: gurubumi.com
Dalam praktik pengajaran, penggunaan suatu dasar teori untuk segala situasi merupakan tindakan yang kurang bijaksana. Tidak ada suatu teori belajarpun yang cocok untuk segala situasi. Karena masing-masing mempunyai landasan yang berbeda dan cocok untuk situasi tertentu.

Robert M. Gagne mencoba melihat berbagai macam teori belajar dalam satu kebulatan yang saling melengkapi dan tidak bertentangan. Menurutnya, belajar mempunyai delapan tipe. Kedelapan tipe itu bertingkat – ada hierarki dalam masing-masing tipe. Setiap tipe belajar merupakan prasyarat bagi tipe belajar di atasnya.

Tipe belajar yang dikemukakan oleh Gagne pada hakikatnya merupakan prinsip umum baik dalam belajar maupun mengajar. Artinya, dalam mengajar atau membimbing siswa belajar pun terdapat tingkatan sebagaimana tingkatan belajar tersebut di atas. Kedelapan tipe itu adalah:

1. Belajar Isyarat (Signal Learning)

Belajar isyarat mirip dengan conditioned respons atau respons bersyarat. Seperti menutup mulut dengan telunjuk, isyarat mengambil sikap tak bicara. Lambaian tangan, isyarat untuk datang mendekat. Menutup mulut dengan telunjuk dan lambaian tangan adalah isyarat, sedangkan diam dan datang adalah respon. Tipe belajar semacam ini dilakukan dengan merespon atau isyarat. Jadi, respons yang dilakukan itu bersifat umum, kabur, dan emosional. Menurut Kimble (1961), bentuk belajar semacam ini biasanya bersifat tidak disadari dalam arti respons diberikan secara tidak sadar.

2. Belajar Stimulus - Respons (Stimulus Respons Learning)

Berbeda dengan bahasa isyarat, respons bersifat umum, kabur, dan emosional. Tipe belajar S – R , respons bersifat spesifik. 2 x 3=6 adalah bentuk suatu hubungan S – R. Mencium bau masakan sedap, keluar air liur, itupun ikatan S - R. Jadi, belajar stimulus respons sama dengan teori asosiasi (S-R bond). Setiap respons dapat diperkuat dengan reinforcement. Hal ini berlaku pula pada tipe belajar stimulus respons.

3. Belajar Rangkaian (Chaining)

Rangkaian atau rantai dalam chaining adalah semacam rangkaian antara berbagai S – R yang bersifat segera. Hal ini terjadi dalam rangkaian motorik, seperti gerakan dalam mengikat sepatu, makan-minum-merokok atau gerakan verbal, seperti selamat tinggal, bapak-ibu, dan sebagainya.

4. Asosiasi Verbal (Verbal Assosiation)

Suatu kalimat "piramida itu berbangun limas" adalah contoh asosiasi verbal. Seseorang dapat menyatakan bahwa piramida berbangun limas kalau ia mengetahui berbagai bangun seperti balok, kubus, atau kerucut. Hubungan atau asosiasi verbal terbentuk bila unsur-unsurnya terdapat dalam urutan tertentu dan yang satu mengikuti yang lain.

5. Belajar Diskriminasi (Discriminition Learning)

Tipe belajar ini adalah perbedaan terhadap berbagai rangkaian. Seperti membedakan berbagai bentuk wajah, binatang, atau tumbuh-tumbuhan.

6. Belajar Konsep (Concept Learning)

Konsep merupakan simbol berpikir. Hal ini diperoleh dari hasil membuat tafsiran terhadap fakta atau realita dan hubungan antar berbagai fakta. Dengan konsep tersebut, maka dapat digolongkan binatang bertulang belakang menurut ciri-ciri khusus (kelas). Seperti kelas mamalia, reptilia, amphibia, burung, dan ikan. Dapat pula digolongkan manusia berdasarkan ras (warna kulit) atau kebangsaan, suku bangsa, atau hubungan keluarga. Kemampuan membentuk konsep ini terjadi bila orang dapat melakukan diskriminasi.

7. Belajar Aturan (Rule Learning)

Hukum, dalil, atau rumus adalah rule (aturan). Tipe balajar ini banyak terdapat dalam semua pelajaran di sekolah, seperti benda memuai bila dipanaskan atau besar sudut dalam sebuah segitiga sama dengan 180°. Belajar aturan temyata mirip dengan verbal chaining (rangkaian verbal), terutama bila aturan itu tidak diketahui artinya. Oleh karena itu, setiap dalil atau rumus yang dipelajari harus dipahami artinya.

8. Belajar Pemecahan Masalah (Problem Solving)

Memecahkan masalah adalah biasa dalam kehidupan Ini memerlukan pemikiran. Upaya pemecahan masalah dilakukan dengan menghubungkan berbagai aturan yang relevan dengan masalah itu. Dalam memecahkan masalah diperlukan waktu adakalanya singkat dan adakalanya lama. Juga seringkali harus dilalui berbagai langkah, seperti tiap unsur dalam masalah itu mencari hubungannya dengan aturan (rule) tertentu, dan sebagainya.

Dalam segala langkah diperlukan pemikiran. Tampaknya pemecahan masalah terjadi dengan tiba-tiba (insight). Dengan ulangan-ulangan masalah tidak terpecahkan dan apa yang dipecahkan sendiri - yang penyelesaiannya ditemukan sendiri lebih mantap dan dapat ditransfer kepada situasi atau problem lain. Kesanggupan memecahkan masalah memperbesar kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah lain.

Sumber buku:Judul: PROFESIONALISME GURU DALAM PEMBELAJARAN
Penulis: Drs. H. Zainal Aqib, M. Pd.
Dicetak oleh: Percetakan Insan Cendekia, Jl. Kaliwaron 58, Surabaya.
Cetakan Pertama, 2002. Cetakan Kedua, 2007, Cetakan Ketiga, 2010.
Baca Lengkap....

Tokoh Pendidikan dan Teori Pendidikan di Indonesia dan di Dunia

Tokoh Pendidikan dan Teori Pendidikan di Indonesia dan di Dunia



Berikut tokoh-tokoh pendidikan dan teori pendidikan yang ada di Indonesia dan di dunia.

1. Berikut ini nama-nama tokoh pendidikan dunia berdasarkan periodisasinya.

a. Zaman Kuno
- Sokrates
- Isokrates
- Plato
- Aristoteles
- Cecero
- Lucretius
- Quilintian

b. Abad Pertengahan
- Justinian
- Alcuin
- Charkmagne
- Alfred
- Albertus Magnus
- Saint Thomas Aquinos
- Roger Bacon
- John Duns Scotus
- William Ockhan
- Waldenses
- Albigenses
- John Wycliffe
- John Huss
- Petrarch
- Boccaccio
- Vittorino
- Feltre
- Guarino da Verona

c. Zaman Modern
- Johannes Sturm
- Martin Luther
- John Calvin
- Ignatius Layola
- Richard Mulcaster
- Francois Rabelaris
- Michel de Montaigne
- Francis Bacon
- John Milton
- Wolfgang Ratke
- John Amos Comenius
- Augustus Hermann Francke
- John Locke
- Jean Jacques Rousseau
- Johann Bernhard Basedown
- Immanuel Kant
- Campe Salzmann Rochow
- Zedhtz
- Franklin
- Jefferson
- Johann Heinrich Pestalozzi
- Johann Friedrich Froebel
- Robert Owen
- Herbert Spencer
- Horace Mann
- Henry Bernard
- Charles William Eliot
- John Dewey
- Herman Harrel Home

2. Para Tokoh Pendidikan Nasional

1. R.A Kartini (1879 – 1904), lembaga pendidikan Sekolah Gadis tahun 1903.
2. R. Dewi Sartika (1884 – 1947), lembaga pendidikan Sekolah Istri tahun 1904.
3. Rohana Kudus (1884 - ?), lembaga pendidikan Sekolah Gadis tahun 1905.
4. KH. Ahmad Dahlan (1868 – 1923), lembaga pendidikan Muhammadiyah 1912.
5. Ki Hajar Dewantara (1889 – 1959), lembaga pendidikan Taman Siswa tahun 1922.
6. Moh. Syafei (1899 - ?), lembaga pendidikan INS 1922.

3. Beberapa tokoh pendidikan di antaranya memberikan teorinya sebagai berikut:

a) Plato (428 SM)
Berdasarkan psikologi dan teori masyarakat, Plato mengemukakan beberapa fakta tentang pola pendidikan, di mana keterampilan. seni, dan pengetahuan diwariskan.

b) Quintilian (35-90 M)
Pendidikan hendaknya menghasilkan manusia baik yang terampil berbicara ("a good man skilled in speaking").

c) Augustine (354 M)
Metode pengajaran Augustine mementingkan pengertian dan bukan dogma. Untuk itu, digunakan penalaran atau berpikir logis.

d) Comenius (1592)
Pendidikan hendaknya universal, seragam, dan melalui sekolahsekolah rendah dan wajib belajar. Pengajaran hendaknya memperhatikan minat murid.

e) John Locke (1632)
Menurut Locke, tujuan akhir pendidikan ialah kebahagiaan alau kesejahteraan bangsa. Untuk itu, warga negara diperlengkapi dengan pendidikan jasmani, pendidikan moral, dan pendidikan intelek.

f) Rousseau (1712)
Teori pendidikan Rousseau dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pendidikan swasta bagi orang laki-laki, pendidikan negeri bagi orang laki-laki, dan pendidikan kaum wanita. Teori Rousseau terdapat pengungkapan fakta yang berkaitan dengan hakikat manusia dan sejarah manusia.

g) Immanuel Kant (1724)
Bagi Kant, pendidikan berarti keseksamaan, disiplin, dan pengajaran. Jelasnya, anak harus diasuh dan dijaga jika ia mandeg. Disiplin ialah pemunahan kebuasan dan kekerasan, sedangkan pengajaran ialah memperbaiki keamanan dan kognisi.

h) Johann Heinrich Pestalozzi (1746)
Pada hakikatnya, anak didik adalah pribadi yang memiliki dayadaya yang perlu dikembangkan. Anak bukan hanya sebagai individu, akan tetapi dipandang sebagai anggota masyarakat. Tujuan pendidikan adalah membimbing anak menjadi orang yang baik dengan jalan mengembangkan daya-daya yang ada pada anak.

i) Johann Friederich Herbart (1776)
Menurut Herbart, tujuan pendidikan adalah menyatukan anak didik pengalaman yang baik dengan kemauan yang baik, sehingga anak didik dalam semua perbuatannya menunjukkan kepribadian dan berbuat berdasarkan sila moral.

j) Johann Friedrich Frobel (1782)
Tujuan pendidikan Frobel adalah untuk mengembangkan manusia dengan segala daya jasmani dan rohani yang ada padanya. Pendidikan harus sesuai dengan kebutuhan hidup sekarang dan mendatang agar anak dapat hidup dalam kemurian dan kesucian, dengan memenuhi panggilan di dunia ini sebagai makhluk yang berasal dari Tuhan dan akan menuju ke Tuhan.

k) Jan Lighthart (1859)
Pendidikan bertujuan pembentukan manusia yang berbudi pekerti Kecerdasan otak memang perlu, tetapi itu bukan yang terpenting. Pengajaran hendaknya menghindari intelektualisme dan verbalisme.

l) Maria Montessori (1870)
Pendidikan adalah hanya pertolongan bagi perkembangan anak didik. Segenap faktor pendidikan hendaknya btertolak dari kodrat dan pembawaan anak didik (pedosentris).

m) Helen Parkhurst (1887)
Parkhurst adalah pencipta sistem pengajaran Dalton (Laboratorium Plan). Dalam sistein Dalton ini, hahan pengajaran yang diberikan sekaligus dalam bentuk tugas untuk tahunan, bulanan, dan mingguan. Sistem Dalton dengan bentuk tugas ini memenuhi dasar didaktik efisien.

n) John Dewey (1859)
Tujuan pendidikan menurut Dewey adalah untuk mencapai kekebalan semua generasi penerus masyarakat yang dididik. Metode pendidikan mananamkan suatu disiplin, tetapi bukan otoriter. Isi pendidikan adalah mata pelajaran mata pelajaran yang memberikan "impulse" atau dorongan kepada anak didik.

4. Selain teori pendidikan para tokoh pendidik dunia, bersama ini dikemukakan beberapa pengertian pendidikan menurut tokoh pendidikan, misalnya:

a) Langeveld
Pemberian bimbingan dan pertolongan rohani dari orang dewasa kepada mereka yang masih memerlukannya.

b) Crow & Crow
Proses pengalaman yang memberikan pengertian, pandangan (insight), dan penyesuaian bagi seseorang yang menyebabkan ia berkembang.

c) Cryns
Pertolongan yang diberikan oleh siapa yang bertanggung jawab atas pertumbuhan anak untuk membawanya ke tingkat dewasa.

d) John Dewey
Pendidikan adalah suatu proses pengalaman.

e) Ki Hajar Dewantara
Daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak untuk memajukan kehidupan anak didik selaras dengan dunianya.


Sumber buku:
Judul: PROFESIONALISME GURU DALAM PEMBELAJARAN
Penulis: Drs. H. Zainal Aqib, M. Pd.
Dicetak oleh: Percetakan Insan Cendekia, Jl. Kaliwaron 58, Surabaya.
Cetakan Pertama, 2002. Cetakan Kedua, 2007, Cetakan Ketiga, 2010.
Baca Lengkap....

Filsafat Pendidikan dan Teori-Teori Landasan Filsafat Pendidikan

Filsafat Pendidikan dan Teori-Teori Landasan Filsafat Pendidikan

A. FILSAFAT PENDIDIKAN

Filsafat Pendidikan merupakan ilmu yang memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dan persoalan-persoalan dalam lapangan pendidikan.

Menurut ahli-ahli filsafat Amerika di antaranya John S. Brubacher dan Theodore Brameld, ada empat aliran filsafat pendidikan, yaitu:

  1. Perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang ini diliputi oleh kekacauan dan kesimpangsiuran dalam dunia pendidikan dan kebudayaan. Hal ini disebabkan manusia telah melupakan dan mengabaikan nilai-nilai luhur keagamaan, seperti yang terdapat pada abad pertengahan. Oleh karena itu, Perenialisme merupakan filsafat pendidikan yang bersifat regresif (seperti pada waktu abad pertengahan).
  2. Esensialisme, merupakan filsafat pendidikan yang tidak menyetujui simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Jadi, merupakan reaksi terhadap pendapat aliran Perenialisme Esensialisme menghendaki pendidikan yang stabil, tidak berubah-ubah, dan sistematis yang memenuhi tuntutan zaman modern.
  3. Progresivisme, menghendaki pendidikan yang fleksibel dan senantiasa disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Progresivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter, sehingga yang diutamakan Progresivisme ialah bagian-bagian utama dan kebudayaan, yaitu kelompok ilmu hayat, antropologi, psikologi. dan ilmu alam.
  4. Re-Konstruksionisme, pada dasarnya sama dengan Progresivisme, tetapi dapat dikatakan lebih progresif lagi.

Keempat aliran filsafat pendidikan tersebut di atas dipengaruhi dan didukung oleh empat aliran filsafat, yaitu:

a. Naturalisme, mengatakan bahwa kenyataan yang sebenarnya dan segala sesuatu itu berasal dari dalam dan tidak ada sesuatupun yang ada ini terdapat di balik alam ini.
b. Idealisme, berpendapat bahwa kenyataan itu terdiri dari ide-ide atau spirit, sedangkan alam fisik ini tergantung pada atau merupakan ekspresi dari jiwa universal atau Tuhan.
c. Realisme, berpendirian bahwa dunia luar itu merupakan kenyataan yang sebenarnya.
d. Pragmatisme, mengatakan bahwa yang benar itu hanyalah yang berguna untuk masyarakat. Hal ini terkenal juga dengan nama utilities principle.

Seperti kita ketahui bahwa aliran-aliran filsafat pendidikan yang telah dibicarakan di atas adalah buah pikiran dari ahli-ahli filsafat barat. Untuk Indonesia, falsafah hidup bangsanya adalah Pancasila.

B. LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Perkembangan teori pendidikan mengalami proses yang berangkat dari pandangan-pandangan, sudut tinjau, atau kerangka acuan yang melandasi penyelenggaraan pendidikan. Landasan ini menyangkut pandangan suatu teori terhadap hakikat anak sebagai subjek didik.

Landasan teori ini biasanya menjadi keyakinan yang melekat ketat dalam individu-individu yang mengelola pendidikan Dengan demikian, maka policy dan praktik kerjanya akan diwarnai oleh prinsip dan keyakinan yang dianutnya.

Teori-teori yang menjadi landasan filsafat pendidikan yang telah herkembang sejak abad ke-17 adalah sebagai berikut:

1. Teori Empirisme

Teori ini mengatakan bahwa perkembangan manusia sangat ditentukan oleh faktor lingkungan, terutama pendidikan Anak lahir bagaikan kertas putih yang belum ada tulisannya. Lingkunganlah yang akan membubuhkan aneka ragam tulisan pada kertas putih itu.

Demikian juga manusia, pribadinya baik atau buruk menurut ukuran normatif tergantung lingkungan yang membentuknya. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan faktor vital dalam membentuk pribadi manusia. Pendidikan sebagai lingkungan berkuasa penuh atas pembentukan pribadi manusia.

Teori ini dipelopori oleh ahli filsafat dan ahli pendidikan yang bernama John Locke (1632-1704). Teorinya biasa dikenal dengan teori "Tabularasa". Ia menganggap bahwa manusia lahir bagaikan tabularasa (meja yang di atasnya dilapisi lilin).

Tulisan apa pun yang dituangkan pada tabularasa itu, demikian pulalah jenis bentuk dan warna meja itu. Teori inilah yang kemudian diterapkan dalam dunia pendidikan karena seorang anak dilahirkan dalam keadaan bersih tanpa noda dan suci adanya, maka lingkunganlah yang membentuk pribadi anak di kemudian hari.

Pandangan di atas sejalan dengan teori J.J. Rouseau yang menyatakan bahwa, "All things are good as they came out of the hands of their creator but everything generates in the hands of man".

Segala sesuatu pada dasarnya baik sebagaimana datang dari penciptanya, namun segala sesuatu menurun ke tangan tangan manusia. Berarti pembentukan pribadi manusia tergantung kepada manusianya itu sendiri dalam mendayagunakan lingkungan.

Oleh sebab itu, berhubung lingkungan relatif dapat didayagunakan dan dikuasai oleh manusia, maka aliran ini memiliki ciri optimisme dalam perkembangan pribadi manusia.

2. Teori Nativisme

Teori ini menyatakan bahwa perkembangan pribadi sangat ditentukan oleh faktor hereditas atau pembawaan yang potensial berasal dari dalam diri seseorang. Anak lahir telah membawa potensi-potensi yang berasal dari dalam diri anak itu secara kodrati. Pembentukan pribadi anak selanjutnya tergantung bagaimana ia mengembangkan pembawaan ini.

Teori ini mengabaikan lingkungan secara dominan dalam pembentukan pribadi seseorang dan pendidikan memainkan peranan hanya dalam rangka perealisasi potensi-potensi pembawaan.

Teori ini dipelopori oleh Arthur Schopenhauer (1788 - 1860). Pendapatnya mengenai pribadi manusia adalah bahwa faktor pembawaan yang telah dibawa sejak lahir tidak dapat diubah oleh pengaruh lingkungan atau pendidikan. Apabila manusia sejak lahir memiliki potensi-potensi yang secara kodrati tinggi, maka perkembangan pribadi mendatang akan tinggi pula.

Sebaliknya, jika anak lahir tanpa potensi-potensi hereditas yang baik, maka seseorang nantinya akan memiliki potensi yang kurang baik. Pendidikan tidak akan mengubah kodrat manusia yang telah membawa potensi-potensi sejak lahir.

3. Teori Konvergensi

Teori ini menyatakan bahwa perkembangan pribadi manusia merupakan hasil dari proses kerja sama antara hereditas (pembawaan) dan environment (lingkungan). Tiap pribadi merupakan perpaduan atau konvergensi dari faktor internal (potensi-potensi dalam diri) dengan faktor eksternal (lingkungan termasuk pendidikan).

Bagaimanapun baiknya hereditas, apabila lingkungan tidak menunjang dan mengembangkannya, maka hereditas yang sudah baik itu akan menjadi laten (tetap tidur). Begitu juga sebaliknya, apabila hereditas sudah tidak baik, namun lingkungan memungkinkan dan menunjang, maka kepribadian yang ideal akan tercapai.

Teori ini dipelopori oleh William Stern (1871-1938). Teori ini menekankan kedua faktor yang berasal dari pembawaan maupun lingkungan. Aliran ini mengakui bahwa anak lahir sudah membawa potensi-potensi tertentu.

Namun demikian, potensi potensi tersebut bersifat potensial dan lingkungan (baca: pendidikan) akan berperan juga dalam membentuk pribadi manusia, sehingga pribadi manusia merupakan perpaduan di antara keduanya.
***

Masing-masing dari ketiga teori di atas memiliki penganut sesuai dengan keyakinan pandangan dan sudut tinjauannya. Namun, berkembangnya ilmu pengetahuan membawa konsekuensi arah yang lebih realistis.

Kenyataan menunjukkan bahwa pribadi orang sangat diwarnai oleh lingkungan di mana ia hidup. Di samping manusia membawa potensi-potensi sejak lahir, pendidikan sangat memengaruhinya.

Sebagai contoh, seorang anak yang lahir dari seorang pendeta atau alim ulama, belum menjamin ia menjadi orang yang soleh di kemudian hari, jika sejak kecil ia dididik pada orang yang suka main judi, merampok, dan sebangsanya.

Di lain pihak, anak yang lahir dengan potensi yang serba lemah (anak dalam kategori debile, embicile, ediot, dan sebagainya), walaupun dididik oleh ilmuwan tangguh, maka lingkungan tidak kuasa mengubah serba kekurangan tersebut menjadi orang yang berpribadi lengkap secara maksimal.

Oleh sebab itu, teori konvergensi ini banyak dianut oleh para ahli pendidikan dewasa ini karena sifatnya yang realistis.


Sumber buku:
Judul: PROFESIONALISME GURU DALAM PEMBELAJARAN
Penulis: Drs. H. Zainal Aqib, M. Pd.
Dicetak oleh: Percetakan Insan Cendekia, Jl. Kaliwaron 58, Surabaya.
Cetakan Pertama, 2002. Cetakan Kedua, 2007, Cetakan Ketiga, 2010.
Baca Lengkap....

Wisata Edukasi dan 3 Inovasi di TPA Talangagung yang Membuatnya Istimewa

Wisata Edukasi dan 3 Inovasi di TPA Talangagung yang Membuatnya Istimewa

Apa yang Anda bayangkan bila mendengar kata “tempat sampah”? Jorok, menjijikkan dan tidak sehat! Yah, begitulah imajinasi kebanyakan kita. Terlebih bila membayangkan tentang Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) alias pusat terbuangnya sampah-sampah.

Dahulu TPA memang disingkat Tempat Pembuangan Akhir, namun sejak Pemerintah menerbitkan UU No 18 tahun 2008, definisi itu berubah menjadi Tempat Pemrosesan Akhir.

Regulasi ini sekaligus mengubah paradigma dari sekadar pembuangan sampah menjadi sebuah sistem pengolahan berkelanjutan dan adanya larangan pengoperasian TPA secara terbuka. TPA yang ada saat ini minimal dioperasikan secara lahan urug terkendali (controlled landfill).

Sayangnya, belum semua kota atau kabupaten membenahi TPA nya sebaik mungkin sesuai standar yang ada. Sebagian besar kota dan kabupaten di Indonesia memiliki TPA yang masih dioperasikan secara terbuka atau open dumping.

Padahal, sistem open damping memiliki risiko dan dampak cukup besar bagi warga sekitar TPA antara lain polusi udara, risiko penyakit infeksi saluran pernafasan dan lainnya.

Wajar bila banyak daerah di Indonesia, kini belajar pada TPA Talangagung Kabupaten Malang Jawa Timur. TPA ini sangat inovatif karena sistem pengelolaan sampahnya sudah sangat ramah lingkungan.

Bayangkan saja, warga seitar tidak lagi menghirup bau menyengat akibat sampah. Bahkan warga sekitar telah mendapatkan manfaat besar dari keberadaan TPA, diantaranya sampah organiknya diolah menjadi biogas yang dimanfaatkan sebagai alternatif pengganti elpiji.

Berikut 3 inovasi di TPA Talangagung yang membuatnya istimewa dan mencengangkan. Daerah lain layak belajar banyak dari TPA ini agar pemrosesan sampah memberi manfaat besar bagi masyarakat.

Menggunakan sistem controlled landfill

Tidak seperti TPA lainnya yang masih open dumping, di TPA Talangagung telah dikelola dengan mengikuti topografi dan struktur geologi setempat sampai mencapai ketinggian sekitar 2 meter.

Setelah itu, ditutup dengan tanah atau terpal biodegradable yang bisa terurai, sehingga memungkinkan penguraian sampah berjalan efektif. Mekanisme seperti itu terus dilakukan secara berulang sampai cekungan penuh dan menjadi lahan urug terkendali alias controlled landfill.

1 Wisata Edukasi dan 3 Inovasi di TPA Talangagung yang Membuatnya Istimewa

Area TPA bahkan sudah dibagi dalam 3 zona. Pertama, zona pasif yakni area yang sudah penuh dan telah ditutupi lapisan tanah sehingga memungkinkan untuk ditanami pepohonan dan menjadi area hijau atau lokasi wisata.

Kedua, zona penyangga yakni wilayah yang dipenuhi beberapa jenis tanaman seperti sayur dan bunga-bunga yang berfungsi sebagai penyeimbang dan zona aktif. Ketiga, zona aktif atau zona khusus untuk mengolah sampah.

Di sini, sampah-sampah ditumpuk, dipadatkan dan ditimbun di tanah untuk memungkinkan terjadinya proses fermentasi anaerob.

Telah menghasilkan energi terbarukan

Sekarang ini, limbah sampah di TPA Talangagung telah mampu menghasilkan listrik dengan kapasitas 500 hingga 750 watt. Genset di TPA ini juga memanfaatkan bahan bakar sampai yang mencapai daya 5000 watt.

2 Wisata Edukasi dan 3 Inovasi di TPA Talangagung yang Membuatnya Istimewa

TPA Talangagung merupakan TPA terpadu yang telah memilah sampah organik dan anorganik sebanyak 125 meter kubik. Tidak hanya itu, di TPA ini dilengkapi pengolahan air lindi.

Air lindi tersebut dinetralkan dan dialirkan kembali ke TPA untuk menjaga kelembaban sampah yang masih mengalami fermentasi anaerob. Proses inilah yang menghasilkan gas metana sebagai pembangkit listrik dan gas elpiji.

3 Wisata Edukasi dan 3 Inovasi di TPA Talangagung yang Membuatnya Istimewa

Terdapat ruang wisata edukasi

Inovasi di TPA Talangagung juga dilakukan berbasis partisipatif yakni dengan melakukan transformasi pengetahuan lingkungan. Ruang edukasi warga ini sekaligus sebagai bagian dari fasilitas dalam program wisata edukasi yang ada.

4 Wisata Edukasi dan 3 Inovasi di TPA Talangagung yang Membuatnya Istimewa

Pihak terkait mengajak masyarakat untuk memilah sampah. Dengan demikian, pengunjung yang datang dapat memperoleh pengalaman menarik tentang cara memperlakukan sampah secara benar.

Melalui program ini, Pemkab Malang telah menerima penghargaan inovasi pelayanan publik tahun 2015 lalu dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Inovasi terus dilakukan untuk memberi nilai manfaat bagi warga di sekitarnya.

Semoga praktik cerdas ini menginspirasi daerah dan kota lainnya di Indonesia.


Sumber: Klikhijau.com
Baca Lengkap....