Sekilas Tentang Perpustakaan Arsip dan Daerah Sulsel

Tidak jauh dari perbatasan Gowa-Makassar tepatnya di Jl. Sultan Alauddin Makassar, berdiri gedung berlantai dua di atas lahan seluas 3000 m2. Bangunannya sendiri berukuran 2.204 m2 yang terdiri dari beberapa ruangan, dengan halaman lumayan luas yang digunakan untuk ruang parkir. Gedung tersebut terletak di sebelah kiri dari arah Gowa, tepatnya di depan Universitas Muhammadiyah Makassar. Gedung tersebut merupakan gedung Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan atau lebih dikenal Perpustakaan Wilayah Sulsel. Namun siapa sangka perjalanan Badan Perpustakaan danArsip Daerah Sulawesi Selatan(Sulsel) penuh dengan tantangan untuk bisa berdiri seperti sekarang ini.

“Perpustakaan Wilayah Sulsel ini mempunyai sejarah yang panjang. Pada mulanya hanya merupakan taman baca. Dimana buku koleksinya merupakan kumpulan dari koleksi Perpustakaan Negara Indonesia Timur (NTI),” ujar Syahaid Rasak, Kepala Sub Deposit dan Kelembagaan Perpustakaan Wilayah Sulsel.

Namun saat itu, beruntung pada tahun 1950 seorang tokoh sastrawan di Makassar bernama Y.E Tatengkeng berhasil menyelamatkan buku-buku dari perpustakaan NTI. Saat itu, Bangsa Indonesia masih dalam suasana perang dalam suasana perang mempertahankan Negara Kesetuan RI. Beliaulah yang memimpin Perpustakaan Negara yang pertama pada saat itu di samping itu Tatengkeng juga menjabat sebagai Kepala Kantor Kebudayaan yang berada di Makassar.

Berkat perjuangan dan usaha yang tak kenal lelah dan menyerah Y.E. Tatengkeng, tahun 1956 keluarlah Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Pengajaran Republik Indonesia, sehingga resmilah perpustakaan ini dengan nama Perpustakaan Negara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Perpustakaan yang berkedudukan di Makassar ini memilih lokasi di Benteng Ujung Pandang (sekarang benteng Roterdam). Pusat literatur ini berfungsi sebagai perpustakaan umum untuk wilayah provinsi dan sekitarnya. Selain itu lembaga ini juga berperan untuk mendorong dan memajukan perpustakaan rakyat setempat. Juga menjadi wadah yang memberikan petunjuk khusus bagi pemerintah provinsi tentang peraturan, keputusan-keputusan, dan pedoman-pedoman serta pengumuman resmi yang menyediakan Lembaran Negara (LN), Tambahan Lembaran Negara (TLN), Berita Negara (BN), Tambahan Berita Negara (TBN), Lembaran Daerah (LD) dan buku-buku dan bacaan lain yang dibutuhkan dan dapat dipergunakan instansi dan kantor pemerintahan.

Pada tahun 1961 Perpustakaan Negara tersebut pindah ke Jl. Jenderal Sudirman Makassar. Gedung perpustakaan ini dibangun atas bantuan Gubernur Sulsel yang saat itu dijabat Andi Pangeran Pettarani. Saat itu, perpustakaan negara berdiri langsung di bawah pimpinan kepala biro perpustakaan. Dan pada tahun 1997 Perpustakaan Daerah Sulsel berubah menjadi Perpustakaan Nasional Provinsi Sulsel dengan tipe A dan esolan IIA.

Tanggal 1 Agustus 1985 Kantor Perpustakaan Negara Provinsi Sulsel Departemen Kebudayaan pindah ke Jalan Sultan Alauddin Makassar. Bangunan baru tersebut dibuat lebih mewah dari bangunan sebelumnya di Jalan Jendral Sudirman.

Ketika era otonomi daerah, munculnya undang-undang nomor 22 tahun 1997, tentang otonomi daerah, maka Perpustakaan Nasional Prov. Sulsel diambil alih oleh pemerintah daerah Provinsi Sulsel. Dan pada tahun 2001 menjadi Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah yang bertanggung jwab langsung kepada Gubernur Sulsel sesuai peraturan Nomor 30 tahun 2001. Dengan adanya aturan tersebut, maka Perpustakaan Wilayah Sulsel mempunyai kedudukan dan status yang kuat.

Dari berbagai tahap pergantian nama Perpustakaan Prov. Sulsel, mulai dari Perpustakaan Negara yang dikepalai oleh Y. E Tatengkeng menjadi Badan Arsip Perpustakaan Negara hingga menjadi Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Sulsel , juga diiringi dengan beberapa kali mengalami pergantian pimpinan, dan kini dikepalai oleh Drs. Ama Saing.

Perjalanan panjang penuh tantangan itulah yang membuat Perpustakaan Daerah Sulsel masih tetap berdiri kokoh hingga sekarang ini. Untuk mewujudkan visinya, yakni menjadikan Perpustakaan Daerah sebagai wahana terciptanya masyarakat pembelajar Sulsel, maka semua unit kerja melaksanakan misi meningkatkan pengelolaan perpustakaan, meningkatkan dan menciptakan SDM yang profesional dalam bidang perpustakaan. Selain itu perpustakaan juga dituntut untuk meningkatkan pembangunan sarana daan prasarana perpustakaan, meningkatkan kerjasama di bidang perpustakaan, meningkatkan layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi. Juga untuk membina, mengembangkan minat dan kebiasaan membaca masyarakat, dan meningkatkan kualitas dan kuantitas penyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan kearsipan dalam rangka tertib administrasi.


Sumber: ACCA. Majalah Perpustakaan Arsip dan Daerah Sulsel. Edisi 02/2012

Majalah Arsip Sulsel

Baca Lengkap....

Pembelajaran Apresiasi Puisi

Karya sastra dapat berfungsi sebagai media alternatif yang dapat menghubungkan kehidupan manusia masa lampau, masa kini, masa yang akan datang, juga dapat berfungsi sebagai bahan informasi masa lalu yang berguna dalam upaya merancang peradaban manusia ke arah kehidupan yang lebih baik dan bergairah di masa depan. Dalam tulisan Rapi Tang (2007:4) Wellek dan Warren mengemukakan bahwa dalam aliran kritik Hegel dan Taine, kebesaran sejarah dan sosial karya sastra adalah “dokumen karena merupakan monumen” (document because they are monument).

Sastra pada hakikatnya berkaitan dengan berbagai cabang ilmu. Hakikat sastra ini dapat kita jelaskan dari sudut pengarang, pembaca, atau dari sudut karya sastra itu sendiri. Seorang sastrawan yang akanmencipta sastra sangatlahdituntut memiliki kompetensi bahasa. Hal inilah yang memungkinkan ide, gagasan, atau perasaan yang akan diungkapkan dapat disampaikan. Kompetensi dimaksud bukan hanya sekadar mengetahui kaidah-kaidah yang berlaku atau memahami sistem yang ada pada suatu bahasa. Sastrawan dituntut lebih dari itu. Sastrawan sangat dituntut mampu mengolah bahasa yang akan digunakannya itu secara kreatif sehingga menimbulkan daya pesona bagi pembacanya. Selain itu, ide atau gagasan dan juga perasaan yang akan diungkapkan itu merupakan pengalaman batin sastrawan yang telah melalui proses yang melibatkan berbagai pengetahuan yang dimiliki dan menghendaki pula wawasan yang luas.

Relevansi karya sastra dengan berbagai aspek kemanusiaan atau kemasyarakatan, memberi peranan yang cukup penting sebagai suatu lembaga atau institusi yang dapat dijadikan acuan dalam memahami gejala sosial yang pernah dan atau sedang berkembang pada suatu etnis atau suatu bangsa.

Pembelajaran sastra tidak terlepas dari kegiatan pendidikan. Pembelajaran lebih menekankan pada usaha perpindahan atau pengawasan pengetahuan, kecakapan dan pembinaan keterampilan kepada mahasiswa serta dapat mengetahui lingkungan kebudayaan. Sedangkan pendidikan lebih menekankan usaha pembentukan nilai-nilai hidup, sikap norma-norma, dan pribadi mahasiswa. Setiap perilaku tersebut tidak terlepas dari usaha pembentukan pribadi individu. Pembelajaran sastra bertujuan untuk membina apresiasi sastra, mahasiswa dapat lebih kreatif, yaitu membina agar memiliki kesanggupan untuk memahami, menikmati dan menghargai suatu karya sastra.

Pembinaan apresiasi sastra dan pembelajaran sastra melalui usaha mendekatkan kepada sastra yakni, menumbuhkan rasa peka, dan rasa cinta kepada sastra dan menumbuhkan minat baca mahasiswa terhadap karya sastra. Dengan usaha ini diharapkan pembelajaran sastra dapat membantu menumbuhkan aspek kejiwaan, sehingga terbentuk suatu pertumbuhan pribadi yang utuh.

Pembaca memiliki kebebasan memberikan makna atau arti sebuah karya sastra. Setiap orang (pembaca) dapat memberikan makna, arti, dan respon terhadap karya sastra yang dibaca atau dinikmatinya. Makna dan arti karya itu dikaitkan dengan pengalaman batin pembaca, pengalaman hidup pembaca, dari situlah makna dibangun. Dengan demikian terjadilah keberanekaragaman makna dari setiap karya sastra.Teori ini dipopulerkan di Indonesia oleh Prof. Umar Yunus.

Pembelajaran apresiasi puisi sebagai bagian dari pembelajaran apresiasi sastra mempunyai salah satu tujuan agar mahasiswa mampu memahami puisi yang dibacanya. Untuk memahami dengan baik, diperlukan pembelajaran apresiasi puisi yang baik pula, yaitu pembelajaran yang memperhatikan konsep dasar pengajaran apresiasi sastra.

Pembelajaran puisi, sungguh akan dapat memberi warna bagi perkembangan mental mahasiswa ke arah yang lebih positif. Sebuah keniscayaan, kalau materi pembelajaran Bahasa Indonesia (terutama pembelajaran sastra) tentulah memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan materi pelajaran lain. Materi pembelajaran sastra (puisi) harus hadir sebagai pembelajaran yang tidak saja sebagai ladang ilmu pengetahuan, namun lebih dari itu harus hadir untuk dinikmati bersama-sama oleh dosen dan mahasiswa.

Pembelajaran puisi bukan sekadar pembelajaran yang diselaraskan dengan kemampuan mahasiswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan matematis yang diajukan dosen.Pembelajaran puisi (juga), sebuah proses pematangan diri mahasiswa yang hasilnya akan diperoleh dalam sebuah proses yang panjang. Proses ketika mahasiswa melakoni kehidupannya yang akan banyak memiliki hubungan simetris dengan peristiwa-peristiwa yang dihadirkan dalam (pembelajaran) puisi, bukan sekadar pembelajaran. Dosen harus mampu menghadirkan proses pembelajaran yang menyenangkan. Ini tentu saja sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, seperti yang termaktub pada Pasal 40 ayat 2 yang menyatakan, seorang pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, inovatif, kreatif, dinamis dan dialogis.

Pembelajaran puisi juga harus diselaraskan antara pembelajaran yang menghasilkan kemampuan mahasiswa dalam menguasai konsep-konsep dasar puisi dengan kompetensi komunikatif mahasiswa secara praktis tentang puisi. Kalau ditarik benang merah, porsi untuk kemampuan praktis mahasiswa harus menjadi prioritas.

Baedhowi (2008: 8) menjelaskan bahwa pendidikan sastra memupuk kecerdasan mahasiswa hampir dalam semua aspek. Peran dosen berada di garis depan dalam pembelajaran sastra. Melalui apresiasi sastra mahasiswa dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup, kecerdasan intelektual (IQ) dapat dilatih. Latihan dilakukan dengan mencari unsur-unsur yang ada dalam karya sastra.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan sastra membawa mahasiswa cerdas secara IQ, EQ, maupun SQ, artinya pendidikan sastra membawa mahasiswa pintar, terampil, dan jujur terhadap pribadinya, dengan gaya bahasa yang indah dan liku-liku kehidupan yang beragam pengarang, yang telah menciptakan karya sastra.


Sumber:
Baedhowi. “Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan”. Makalah disajikan dalam Kongres IX Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Depdiknas. Jakarta 28 Oktober - 1 November 2008.

Departemen Pendidikan Nasional. 1997. Pengajaran Apresiasi Sastra. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendiikan Dasar dan Menengah.

Rapi Tang, Muhammad. 2007. Pendekatan dalam Sosiologi Sastra dan Penerapannya Umar Yunus: Panduan Teori Sastra. Makassar: Program Pascasarjana, Universitas Negeri Makassar.
Baca Lengkap....