Sekilas Tentang Perpustakaan Arsip dan Daerah Sulsel

Tidak jauh dari perbatasan Gowa-Makassar tepatnya di Jl. Sultan Alauddin Makassar, berdiri gedung berlantai dua di atas lahan seluas 3000 m2. Bangunannya sendiri berukuran 2.204 m2 yang terdiri dari beberapa ruangan, dengan halaman lumayan luas yang digunakan untuk ruang parkir. Gedung tersebut terletak di sebelah kiri dari arah Gowa, tepatnya di depan Universitas Muhammadiyah Makassar. Gedung tersebut merupakan gedung Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan atau lebih dikenal Perpustakaan Wilayah Sulsel. Namun siapa sangka perjalanan Badan Perpustakaan danArsip Daerah Sulawesi Selatan(Sulsel) penuh dengan tantangan untuk bisa berdiri seperti sekarang ini.

“Perpustakaan Wilayah Sulsel ini mempunyai sejarah yang panjang. Pada mulanya hanya merupakan taman baca. Dimana buku koleksinya merupakan kumpulan dari koleksi Perpustakaan Negara Indonesia Timur (NTI),” ujar Syahaid Rasak, Kepala Sub Deposit dan Kelembagaan Perpustakaan Wilayah Sulsel.

Namun saat itu, beruntung pada tahun 1950 seorang tokoh sastrawan di Makassar bernama Y.E Tatengkeng berhasil menyelamatkan buku-buku dari perpustakaan NTI. Saat itu, Bangsa Indonesia masih dalam suasana perang dalam suasana perang mempertahankan Negara Kesetuan RI. Beliaulah yang memimpin Perpustakaan Negara yang pertama pada saat itu di samping itu Tatengkeng juga menjabat sebagai Kepala Kantor Kebudayaan yang berada di Makassar.

Berkat perjuangan dan usaha yang tak kenal lelah dan menyerah Y.E. Tatengkeng, tahun 1956 keluarlah Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Pengajaran Republik Indonesia, sehingga resmilah perpustakaan ini dengan nama Perpustakaan Negara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Perpustakaan yang berkedudukan di Makassar ini memilih lokasi di Benteng Ujung Pandang (sekarang benteng Roterdam). Pusat literatur ini berfungsi sebagai perpustakaan umum untuk wilayah provinsi dan sekitarnya. Selain itu lembaga ini juga berperan untuk mendorong dan memajukan perpustakaan rakyat setempat. Juga menjadi wadah yang memberikan petunjuk khusus bagi pemerintah provinsi tentang peraturan, keputusan-keputusan, dan pedoman-pedoman serta pengumuman resmi yang menyediakan Lembaran Negara (LN), Tambahan Lembaran Negara (TLN), Berita Negara (BN), Tambahan Berita Negara (TBN), Lembaran Daerah (LD) dan buku-buku dan bacaan lain yang dibutuhkan dan dapat dipergunakan instansi dan kantor pemerintahan.

Pada tahun 1961 Perpustakaan Negara tersebut pindah ke Jl. Jenderal Sudirman Makassar. Gedung perpustakaan ini dibangun atas bantuan Gubernur Sulsel yang saat itu dijabat Andi Pangeran Pettarani. Saat itu, perpustakaan negara berdiri langsung di bawah pimpinan kepala biro perpustakaan. Dan pada tahun 1997 Perpustakaan Daerah Sulsel berubah menjadi Perpustakaan Nasional Provinsi Sulsel dengan tipe A dan esolan IIA.

Tanggal 1 Agustus 1985 Kantor Perpustakaan Negara Provinsi Sulsel Departemen Kebudayaan pindah ke Jalan Sultan Alauddin Makassar. Bangunan baru tersebut dibuat lebih mewah dari bangunan sebelumnya di Jalan Jendral Sudirman.

Ketika era otonomi daerah, munculnya undang-undang nomor 22 tahun 1997, tentang otonomi daerah, maka Perpustakaan Nasional Prov. Sulsel diambil alih oleh pemerintah daerah Provinsi Sulsel. Dan pada tahun 2001 menjadi Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah yang bertanggung jwab langsung kepada Gubernur Sulsel sesuai peraturan Nomor 30 tahun 2001. Dengan adanya aturan tersebut, maka Perpustakaan Wilayah Sulsel mempunyai kedudukan dan status yang kuat.

Dari berbagai tahap pergantian nama Perpustakaan Prov. Sulsel, mulai dari Perpustakaan Negara yang dikepalai oleh Y. E Tatengkeng menjadi Badan Arsip Perpustakaan Negara hingga menjadi Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Sulsel , juga diiringi dengan beberapa kali mengalami pergantian pimpinan, dan kini dikepalai oleh Drs. Ama Saing.

Perjalanan panjang penuh tantangan itulah yang membuat Perpustakaan Daerah Sulsel masih tetap berdiri kokoh hingga sekarang ini. Untuk mewujudkan visinya, yakni menjadikan Perpustakaan Daerah sebagai wahana terciptanya masyarakat pembelajar Sulsel, maka semua unit kerja melaksanakan misi meningkatkan pengelolaan perpustakaan, meningkatkan dan menciptakan SDM yang profesional dalam bidang perpustakaan. Selain itu perpustakaan juga dituntut untuk meningkatkan pembangunan sarana daan prasarana perpustakaan, meningkatkan kerjasama di bidang perpustakaan, meningkatkan layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi. Juga untuk membina, mengembangkan minat dan kebiasaan membaca masyarakat, dan meningkatkan kualitas dan kuantitas penyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan kearsipan dalam rangka tertib administrasi.


Sumber: ACCA. Majalah Perpustakaan Arsip dan Daerah Sulsel. Edisi 02/2012

Majalah Arsip Sulsel

Baca Lengkap....

Pembelajaran Apresiasi Puisi

Karya sastra dapat berfungsi sebagai media alternatif yang dapat menghubungkan kehidupan manusia masa lampau, masa kini, masa yang akan datang, juga dapat berfungsi sebagai bahan informasi masa lalu yang berguna dalam upaya merancang peradaban manusia ke arah kehidupan yang lebih baik dan bergairah di masa depan. Dalam tulisan Rapi Tang (2007:4) Wellek dan Warren mengemukakan bahwa dalam aliran kritik Hegel dan Taine, kebesaran sejarah dan sosial karya sastra adalah “dokumen karena merupakan monumen” (document because they are monument).

Sastra pada hakikatnya berkaitan dengan berbagai cabang ilmu. Hakikat sastra ini dapat kita jelaskan dari sudut pengarang, pembaca, atau dari sudut karya sastra itu sendiri. Seorang sastrawan yang akanmencipta sastra sangatlahdituntut memiliki kompetensi bahasa. Hal inilah yang memungkinkan ide, gagasan, atau perasaan yang akan diungkapkan dapat disampaikan. Kompetensi dimaksud bukan hanya sekadar mengetahui kaidah-kaidah yang berlaku atau memahami sistem yang ada pada suatu bahasa. Sastrawan dituntut lebih dari itu. Sastrawan sangat dituntut mampu mengolah bahasa yang akan digunakannya itu secara kreatif sehingga menimbulkan daya pesona bagi pembacanya. Selain itu, ide atau gagasan dan juga perasaan yang akan diungkapkan itu merupakan pengalaman batin sastrawan yang telah melalui proses yang melibatkan berbagai pengetahuan yang dimiliki dan menghendaki pula wawasan yang luas.

Relevansi karya sastra dengan berbagai aspek kemanusiaan atau kemasyarakatan, memberi peranan yang cukup penting sebagai suatu lembaga atau institusi yang dapat dijadikan acuan dalam memahami gejala sosial yang pernah dan atau sedang berkembang pada suatu etnis atau suatu bangsa.

Pembelajaran sastra tidak terlepas dari kegiatan pendidikan. Pembelajaran lebih menekankan pada usaha perpindahan atau pengawasan pengetahuan, kecakapan dan pembinaan keterampilan kepada mahasiswa serta dapat mengetahui lingkungan kebudayaan. Sedangkan pendidikan lebih menekankan usaha pembentukan nilai-nilai hidup, sikap norma-norma, dan pribadi mahasiswa. Setiap perilaku tersebut tidak terlepas dari usaha pembentukan pribadi individu. Pembelajaran sastra bertujuan untuk membina apresiasi sastra, mahasiswa dapat lebih kreatif, yaitu membina agar memiliki kesanggupan untuk memahami, menikmati dan menghargai suatu karya sastra.

Pembinaan apresiasi sastra dan pembelajaran sastra melalui usaha mendekatkan kepada sastra yakni, menumbuhkan rasa peka, dan rasa cinta kepada sastra dan menumbuhkan minat baca mahasiswa terhadap karya sastra. Dengan usaha ini diharapkan pembelajaran sastra dapat membantu menumbuhkan aspek kejiwaan, sehingga terbentuk suatu pertumbuhan pribadi yang utuh.

Pembaca memiliki kebebasan memberikan makna atau arti sebuah karya sastra. Setiap orang (pembaca) dapat memberikan makna, arti, dan respon terhadap karya sastra yang dibaca atau dinikmatinya. Makna dan arti karya itu dikaitkan dengan pengalaman batin pembaca, pengalaman hidup pembaca, dari situlah makna dibangun. Dengan demikian terjadilah keberanekaragaman makna dari setiap karya sastra.Teori ini dipopulerkan di Indonesia oleh Prof. Umar Yunus.

Pembelajaran apresiasi puisi sebagai bagian dari pembelajaran apresiasi sastra mempunyai salah satu tujuan agar mahasiswa mampu memahami puisi yang dibacanya. Untuk memahami dengan baik, diperlukan pembelajaran apresiasi puisi yang baik pula, yaitu pembelajaran yang memperhatikan konsep dasar pengajaran apresiasi sastra.

Pembelajaran puisi, sungguh akan dapat memberi warna bagi perkembangan mental mahasiswa ke arah yang lebih positif. Sebuah keniscayaan, kalau materi pembelajaran Bahasa Indonesia (terutama pembelajaran sastra) tentulah memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan materi pelajaran lain. Materi pembelajaran sastra (puisi) harus hadir sebagai pembelajaran yang tidak saja sebagai ladang ilmu pengetahuan, namun lebih dari itu harus hadir untuk dinikmati bersama-sama oleh dosen dan mahasiswa.

Pembelajaran puisi bukan sekadar pembelajaran yang diselaraskan dengan kemampuan mahasiswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan matematis yang diajukan dosen.Pembelajaran puisi (juga), sebuah proses pematangan diri mahasiswa yang hasilnya akan diperoleh dalam sebuah proses yang panjang. Proses ketika mahasiswa melakoni kehidupannya yang akan banyak memiliki hubungan simetris dengan peristiwa-peristiwa yang dihadirkan dalam (pembelajaran) puisi, bukan sekadar pembelajaran. Dosen harus mampu menghadirkan proses pembelajaran yang menyenangkan. Ini tentu saja sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, seperti yang termaktub pada Pasal 40 ayat 2 yang menyatakan, seorang pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, inovatif, kreatif, dinamis dan dialogis.

Pembelajaran puisi juga harus diselaraskan antara pembelajaran yang menghasilkan kemampuan mahasiswa dalam menguasai konsep-konsep dasar puisi dengan kompetensi komunikatif mahasiswa secara praktis tentang puisi. Kalau ditarik benang merah, porsi untuk kemampuan praktis mahasiswa harus menjadi prioritas.

Baedhowi (2008: 8) menjelaskan bahwa pendidikan sastra memupuk kecerdasan mahasiswa hampir dalam semua aspek. Peran dosen berada di garis depan dalam pembelajaran sastra. Melalui apresiasi sastra mahasiswa dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup, kecerdasan intelektual (IQ) dapat dilatih. Latihan dilakukan dengan mencari unsur-unsur yang ada dalam karya sastra.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan sastra membawa mahasiswa cerdas secara IQ, EQ, maupun SQ, artinya pendidikan sastra membawa mahasiswa pintar, terampil, dan jujur terhadap pribadinya, dengan gaya bahasa yang indah dan liku-liku kehidupan yang beragam pengarang, yang telah menciptakan karya sastra.


Sumber:
Baedhowi. “Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan”. Makalah disajikan dalam Kongres IX Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Depdiknas. Jakarta 28 Oktober - 1 November 2008.

Departemen Pendidikan Nasional. 1997. Pengajaran Apresiasi Sastra. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendiikan Dasar dan Menengah.

Rapi Tang, Muhammad. 2007. Pendekatan dalam Sosiologi Sastra dan Penerapannya Umar Yunus: Panduan Teori Sastra. Makassar: Program Pascasarjana, Universitas Negeri Makassar.
Baca Lengkap....

Tugas dan Tanggung Jawab Guru

Tugas dan tanggung jawab seorang guru diantaranya adalah menciptakan suasana atau iklim proses pembelajaran yang dapat memotivasi siswa untuk senantiasa belajar dengan baik dan semangat. Tugas seorang guru itu mencakup beberapa hal, yaitu sebagai berikut: guru memiliki tugas yang beragam yang berimplementasi dalam bentuk pengabdian. Tugas tersebut meliputi bidang profesi, bidang kemanusiaan, dan bidang kemasyarakatan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup dan kehidupan. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.

Peters dikutip Sudjana (2002:15), Menyebutkan tugas dan tanggung jawab guru, yaitu: (a) Guru sebagai pengajar, (b) Guru sebagai pembimbing, dan (c) guru sebagai administrator. Ketiga tugas guru di atas merupakan tugas pokok profesi guru. Dimana guru sebagai pengajar lebih menekankan kepada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran. Guru sebagai pembimbing memberi tekanan kepada tugas, memberikan bantuan kepada siswa dalam pemecahan masalah yang dihadapinya. Sedangkan guru sebagai administrator kelas pada hakikatnya merupakan jalinan antara pengajaran dan ketatalaksanaan pada umumnya.

Tanggung jawab guru menurut Hamalik (2004: 127), yaitu sebagai berikut:
  1. Guru harus menuntut murid-murid belajar. Tanggung jawab guru yang terpenting adalah merencanakan dan menuntut murid-murid melakukan kegiatan-kegiatan belajar guru mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang diinginkan.
  2. Turut serta membina kurikulum sekolah. Sesungguhnya guru merupakan seorang key person yang paling mengetahui tentang kebutuhan kurikulum yang sesuai dengan tingkat perkembangan murid.
  3. Melakukan pembinaan terhadap diri siswa (kepribadian, watak dan jasmaniah). Memompakan pengetahuan kepada murid kiranya bukan pekerjaan yang sulit. Tetapi membina siswa agar menjadi manusia berwatak (berkarakter) sudah pasti bukan pekerjaan yang mudah. Mengembangkan watak dan kepribadiannya, sehingga mereka memiliki kebiasaan, sikap, cita-cita, berpikir dan berbuat, berani dan bertanggung jawab, ramah dan mau bekerja sama, bertindak atas dasar nilai-nilai moral yang tinggi, semuanya menjadi tanggungjawab guru.
  4. Memberikan bimbingan kepada murid. Bimbingan kepada murid agar mereka mampu mengenal dirinya sendiri, memecahkan masalahnya sendiri, mampu menghadapi kenyataan dan memiliki stamina emosional yang baik, sangat diperlukan.
  5. Melakukan diagnosis atas kesulitan-kesulitan belajar dan mengadakan penilaian atas kemajuan belajar.
  6. Menyelenggarakan penelitian. Sebagai seorang yang bergerak dalam bidang keilmuan (scientist) bidang pendidikan maka ia harus senantiasa memperbaiki cara bekerjanya.
  7. Mengenal masyarakat dan ikut serta aktif. Guru tidak mungkin melaksanakan pekerjaannya secara efektif, jikalau guru tidak mengenal masyarakat seutuhnya dan secara lengkap.
  8. Menghayati, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa yang mendasari sendi-sendi hidup dan kehidupan nasional, baik individu maupun masyarakat kecil sampai dengan kelompok sosial yang terbesar termasuk sekolah.
  9. Turut serta membantu terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa dan perdamaian dunia. Guru bertanggung jawab untuk mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang baik. Pengertian yang baik adalah antara lain memiliki rasa persatuan dan kesatuan sebagai bangsa.
  10. Turut menyukseskan pembangunan. Pembangunan adalah cara yang paling tepat guna membawa masyarakat ke arah kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Pembangunan itu meliputi pembangunan dalam bidang mental spiritual dan bidang materil

Tanggung jawab meningkatkan peranan profesional guru. Bertolak dari tanggung jawab guru yang telah dikemukakan di atas maka dengan demikian guru sangat perlu meningkatkan peranan dan kemampuan profesionalnya. Tanpa adanya kecakapan yang maksimal yang dimiliki oleh guru maka kiranya sulit bagi guru tersebut mengemban dan melaksanakan tanggung jawabnya dengan cara yang sebaik-baiknya.

Wijaya dkk (1994:9), menyebutkan beberapa tanggung jawab yang memerlukan sejumlah kemampuan yang lebih khusus dari seorang guru, yaitu:
  1. Tanggung jawab moral adalah setiap guru harus memiliki kemampuan menghayati perilaku dan etika yang sesuai dengan moral Pancasila dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Tanggung jawab dalam bidang pendidikan di sekolah adalah setiap guru harus menguasai cara belajar-mengajar yang efektif, mampu membuat satuan pelajaran, mampu dan memahami kurikulum dengan baik, mampu mengajar dikelas, mampu menjadi model bagi siswa, mampu memberikan nasihat, menguasai teknik-teknik pemberian bimbingan dan layanan, mampu membuat dan melaksanakan evaluasi dan lain-lain.
  3. Tanggung jawab guru dalam bidang kemasyarakatan adalah turut serta menyukseskan pembangunan dalam bidang kemasyarakatan, untuk itu guru harus mampu membimbing, mengabdi kepada dan melayani masyarakat.
  4. Tanggung jawab guru dalam bidang keilmuan, yaitu guru selaku keilmuan bertanggung jawab dan turut serta memajukan ilmu, terutama ilmu yang telah menjadi spesialisasinya dengan melaksanakan penelitian dan pengembangan.

Dengan demikian tugas dan tanggungjawab guru tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Dia tidak terikat oleh keterbatasan jam dan kelas untuk mendidik. Karena proses belajar tidak hanya dilakukan di sekolah namun dibutuhkan di lingkungan untuk membentuk karakter dan kepribadian siswa, atau sekurang-kurangnya dapat membentuk landasan yang berarti untuk bekal siswa selanjutnya.


Rujukan:
Hamalik. 2004. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Cet. III. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sudjana. 2002. Metoda Statistika. Edisi ke VI. Bandung: Tarsiti.
Wijaya, dkk. 1994. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Mutiara.
Baca Lengkap....

Tentang Guru (Pendidik)

1. Pengertian Guru
  • Menurut Peraturan Pemerintah, guru adalah jabatan fungsional, yaitu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam suatu organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan keahlian atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.
  • Menurut Keputusan Menteri Pendidikan, guru adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pendidikan di sekolah.
  • Menurut Undang-Undang No. 14 tahun 2005, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2. Persyaratan Menjadi Guru
Guru adalah pemimpin dari murid-murid yang ada di bawah asuhannya. Sebagai seorang pemimpin, wajarlah kalau ia menjadi kebanggaan dari murid-muridnya, selalu dipuja dan dipuji oleh murid-muridnya, dan sekaligus merupakan tempat kepercayaan dari murid-muridnya.

Oleh karena itu, persyaratan jasmaniah bagi seorang guru yang pertama-tama harus dipenuhi ialah, bahwa seorang guru tidak boleh mempunyai cacat tubuh yang nyata. Misalnya saja, mata juling atau kero (Jawa), mulut sumbing, jalannya pengkor, atau pincang, dan sebagainya. Hal ini semua, disamping memang bisa mengganggu guru dalam menunaikan tugasnya, akan mengurangi atau menghilangkan kebanggaan murid itu kepada gurunya, bahkan dapat mendatangkan kekecewaan di hati murid-murid. Kekecewaan murid terhadap keadaan (fisik) gurunya ini, sangat berpengaruh pada suasana pengajaran dan pendidikan, dan dengan sendirinya berpengaruh kepada hasil pendidikan.



Rujukan:
___________. 2005. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis. Cet. III. Jakarta: Rineka Cipta.

Mulyasa, E., 2005. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. CET. I. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005. CET. I. Jakarta: Sinar Grafindo.
Baca Lengkap....

Pasang Ri Kajang sebagai Sumber Inspirasi Penulisan Karya Sastra

Oleh: Andhika Daeng Mammangka, S.S

Sekelumit Dunia Sastra
Adalah hal yang menarik mencermati dunia sastra belakangan ini di Indonesia dan dunia. Betapa tidak, sastra di berbagai jenis karya sepertinya telah menjadi jalan lain selain agama untuk menawarkan nilai dan kearifan dalam menjalani kehidupan sebagai ummat manusia. Jika agama masih tampak tercurigai dengan agama lain dalam menyampaikan kebenaran, justru sastra tampaknya dapat dapat menembus batas agama, bangsa ataupun komunitas masyarakat tertentu. Kita bisa menyimak pesan (sastra/teks) kemanusiaan dan perdamaian Mahatma Gandhi atau Bunda Teresa yang keduanya dari India.

Mahatma Gandhi adalah sosok pria beragama Hindu yang memimpin rakyat India untuk merdeka dari kekuasaan Inggris pada tahun 1947, “Cinta tidak pernah meminta, ia sentiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan.” Sementara itu, Bunda Teresa yang seorang missionaris katolik , memiliki keluhuran jiwa dengan menjadi pemerhati penderita lepra, HIV, orang miskin, sekarat dan sebagainya. Salah satu pesannya yang menarik adalah “Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, mungkin saja besok sudah dilupakan orang; tapi bagaimanapun, teruslah berbuat baik.”(google.com)

Untuk karya sastra, kita bisa menyimak/memetik nilai dari karya Anton Chekov dan Vadlimir Nabokov dari Rusia, atau A.A. Navis danPramudya Ananta Toer dari Indonesia. Karya-karya mereka umumnya memotret kehidupan sosialnya dan memberikan inspirasi positif bagi pembacanya.

Di sisi lain, fenomena pasar buku sastra di Indonesia belakangan ini juga tampak mengalami kebangkitan. Ini dapat dilihat dengan munculnya buku-buku sastra yang merajai pasaran buku di toko buku. Walaupun masih beranjak perlahan namun sudah mulai cukup terasa kebangkitannya. Beberapa tahun silam, ada beberapa buku yang penjualannya menunjukkan angka yang luar biasa, seperti pada Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, konon hasil penjualannya mencapai angka milyaran rupiah. Bahkan, kesuksesannya membuat kisah dalam novel tersebut diangkat ke layar lebar.

Fenomena ini mendorong banyak orang untuk kemudian juga mulai menulis sebab faktanya, menulis bisa menjadi pekerjaan yang menyenangkan dan memberikan keuntungan ekonomi. Namun, harus disadari bahwa buku yang baik secara sastrawi belum tentu harus menjadi best seller atau laku di pasaran. Buku-buku yang memiliki kandungan nilai sastra yang bagus biasanya malah kurang laku di pasaran. Bukan berarti buku itu buruk akan tetapi, buku yang demikian itu membutuhkan kecerdasan tertentu untuk memahami isinya sementara masyarakat kita di Indonesia bukanlah pembaca yang cermat dan cerdas. Umumnya mereka membaca untuk entertain dan hanya membaca bacaan ringan di masa senggang.

Sastra Sebagai Jendela Budaya
Maman S Mahayana, seorang pemuka sastra di Indonesia di dalam sebuah artikelnya menyebutkan bahwa Sastra sesungguhnya merupakan produk budaya. Ia lahir dari kegelisahan kultural seorang pengarang. Secara sosiologis, pengarang adalah anggota masyarakat, makhluk sosial yang sangat dipengaruhi lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Maka, ketika ia memutuskan hendak mengungkapkan kegelisahannya sebagai tanggapan evaluatif atas segala problem yang terjadi dalam komunitas budayanya, representasinya terakumulasi dalam teks sastra. Dengan demikian, teks sastra sebenarnya dapat digunakan menjadi semacam pintu masuk untuk memahami kebudayaan sebuah komunitas.(mahayana-mahadewa.com). Pada konteks ke Bulukumbaan, khususnya Kajang sebagai komunitas budaya tentunya akan ada pertanyaan, apakah ada karya sastra yang terapresiasi dengan baik oleh masyarakat luar Kajang sebagai jendela untuk mengetahui Kajang? Pertanyaan ini bukan untuk dijawab, faktanya; sangat minim karya “orang” Kajang yang terapreasiasi sebagai karya sastra di Indonesia atau bahkan dunia.

Dunia sastra secara umum dikenal dengan dua jenis yakni Sastra Lisan dan Sastra Tulisan. Sastra lisan yang umum mencakup dengan kata-kata bijak/pesan filosofis/nyanyian/mantera/dongeng/fabel dan sebagainya, yang umumnya untuk konteks Bulukumba, hal tersebut pernah hidup dengan baik dalam jiwa masyarakat sebelum gempuran media elektronik yang membuat masyarakat kian berjarak dengan kearifan “sastra”nya. Padahal, di balik itu semua, ada banyak nilai kearifan dalam kehidupan yang dapat membuat kita menjadi lebih humanis dan religius dalam mengarungi kehidupan ini.

Sastra tulisan yang secara umum meliputi puisi, cerpen, novelet, novel, roman, naskah drama/film, essay dan sebagainya adalah alat ekspresi, media penyampaian gagasan/ide, sikap, opini, kisah, argumentasi dan sebagainya, Kesemuanya adalah alat atau media untuk merespons fakta-fakta kehidupan (dari catatan Sutardji Calzoum Bahri, Satu Tulisan Pendek dari Lima Puisi Panjang, google.com).

Kajang dan Sastra Lisan Dulu dan Sekarang
pasang ri kajang
Dalam sebuah kesempatan kunjungan ke Tanah Toa, Ammatoa mengatakan bahwa sebelum semua yang ada di dunia ini dituliskan, semuanya hanya terlisankan atau tersebut dalam “pasang/pesan”. Atau lebih tepatnya disebut Pasang Ri Kajang (berisi pedoman hidup yang diyakini Masyarakat Adat Kajang untuk dunia dan akhirat pra dan pasca Islam masuk), Setelahnyalah baru semua dituliskan. Hal ini menandakan, untuk konteks “Masyarakat Kajang”, sastra lisan hidup dan lestari dalam masyarakat Kajang secara luas. Nanti pada fase moderen atau manusia mengenal tulisan/huruf latin, sastra lisan itu kemudian memudar, tersimpan dalam ingatan tetua masayarakat Kajang. Kecuali dalam Masyarakat Adat Kajang, Sastra Lisan tersebut masih lestari dengan baik dan terwariskan dan tertransformasikan dari generasi ke generasi. Faktanya, masih banyak hal yang belum berubah di dalam kawasan Adat Kajang, terutama tradisi masyarakatnya yang harmonis dengan alam semesta, pola hidup yang sederhana, jujur dan bersahaja.

Pasang Ri Kajang sebagai Sumber Inspirasi Penulisan Karya Sastra
Pasang Ri Kajang (Pesan di Kajang)sebagai sebuah pedoman hidup dunia dan akhirat Masyarakat Adat Kajang tentunya memiliki kedalaman nilai yang luhur sebab hingga kini, pesan tersebut masih tetap diyakini kebenarannya dan dipatuhi ritualitasnya dalam masyarakat adat. Kemampuan mengeliminasi dan bertahan pada modernitas menjadikannya sebagai komunitas yang memiliki identitas dan otentitas yang kontras dengan masyarakat luar Kajang. Bukan hanya karena berpakaiannya yang serba hitam, namun sikap mereka dan menjalani kehidupan yang arif dan bijaksana.

Sebagai pedoman hidup, Pasang Ri Kajang tentunyalah sangat luas dan banyak. Namun, beberapa contoh dapat dikemukakan dalam tulisan ini sebagai bagian dari upaya penggalian nilai Pasang Ri Kajang dalam penulisan karya sastra (hasil penelitian pribadi penulis);

Appa’ Passala Pasang Ri Kajang, Erang Kasalamakang Lino na Ahere
(empat pesan keselamatan dunia dan akhirat)
Buakkang Mata/Menjaga Pandangan Mata
Pansuluq Saqra/Menjaga Tutur Kata
Palampa Lima/Menjaga Gerak Tangan
Angkaq Bangkeng/Menjaga Langkah Kaki

(hasil penelitian pribadi penulis 2006);

Mencermati salah satu Pasang Ri Kajang ini tentunya akan membawa kita pada dialog bathin yang panjang dan mendalam. Dari dialog bathin tersebut, jika kita ingin memberikan apresiasi dan memberikan respons dengan menggunakan media “karya sastra” sebagai penyampai, empat pesan di atas dapat menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dan dapat menjadi energi yang akan terus membuat imajinasi kita tumbuh dan merespons fakta-fakta sosial, religi, sikap ataupun fakta-fakta diri pribadi kita.

Jika ditarik ke dalam salah satu fakta “sosial dan politik” maka, ada berapa banyak karya sastra yang bisa lahir dari fenomena sosial politik di Indonesia atas keingkaran-keingkaran (kedustaan) maupun hal yang bersifat positif (bohong/ingkar) atas fakta kekuasaan, birokrasi maupun kemiskinan yang terus tumbuh tak terbendung dan birokrat dan politisi seolah mengeksploitasi/membiarkan dan dalam pidato-pidato mereka menyebutkan bahwa semua baik-baik saja.

Ada banyak ruang kemungkinan yang bisa terjadi dan menarik untuk diolah sebagai sebuah karya sastra dari fenomena “Kajang”, misalnya; realitas cinta pemuda “adat Kajang” yang akan menemukan benturan budaya jika salah satu di antaranya bukan orang Kajang dan memiliki pandangan hidup moderen, Fakta kehidupan Masyarakat Adat Kajang yang menolak Modernitas “listrik dan mesin”, fakta larangan menebang pohon sembarangan, fakta Hukum Adat kajang yang masih eksis, Ritualitas, dan sebagainya, yang tentunya sangat originil dan dapat menjadi hal menarik jika ditransformasikan ke dalam karya sastra.

Hal lain dalam Masyarakat Kajang, luar dan dalam batayya (kawasan adat), sastra lisan masih bisa diperoleh dari penutur yang jumlahnya tak banyak lagi. Umumnya hanya tetua masyarakat kajang, misalnya kisah atau Legenda Tombong Ratu di Laikang Kajang, Legenda Kehidupan Paratiwi atau dunia bawah tanah, Kisah pengislaman Amma Toa pertama di Kajang, Legenda Raksasa, Kisah Pembumihangusan Kajang oleh Belanda tahun 1825, Kisah perseteruan Raja Kajang dengan Raja Bantaeng, dan sebagainya yang kesemuanya memiliki nilai kesastraan yang tinggi dan hingga hari ini, belum pernah tereksplorasi secara massif dan dijadikan sebuah karya satra dalam bentuk puisi, novel, novelet, roman ataupun cerpen.

Hal-hal yang di atas ini adalah sisi lain dari Masyarakat Adat kajang yang dapat menjadi semangat yang luar biasa bagi Masayarakat kajang yang ingin mencoba melakukan “gerakan sastra” dengan menjadikan hal tersebut sebagai titik inti dari pusarannya dalam berkarya.

Peluang dan Tantangan Global
Inggris dan William Shakespeare yang mengarang Romie dan Juliet ratusan tahun silam telah menjadi bacaan yang telah diterjemahkan ke hampir seluruh bahasa di dunia termasuk Indonesia bahkan telah diangkat ke layar lebar dengan berbagai versi. Nizami dengan kisah Laila Majnun yang dikisahkan hampir seribu tahun silam di timur tengah masih tetap bisa diapresiasi hingga hari ini dengan seluruh nilai kehidupan yang ada di dalamnya. Kedua karya sastra yang mendunia di atas adalah fakta bahwa sebuah karya sastra yang baik bias menembus batas geografis, bahasa, budaya bahkan peperangan yang dahsyat sekalipun. Kemampuan sastra tersebut menembus batas membuktikan bahwa ada nilai positif yang dicari pembaca/manusia di balik karya tersebut.

Sangat mungkin bahwa kelak, ada kisah yang berasal dari sebuah kampung kecil yang bernama Kajang dengan segala keunikan, kesahajaan dan kearifannya, yang akan memaksa seluruh bangsa di dunia untuk menerjemahkan karya tentang Kajang tersebut ke dalam bahasa mereka.

Keunikan Kajang dari berbagai sisi adalah peluang untuk menjadi “sesuatu yang mendunia/mengglobal” dan tantangannya adalah apakah lembaga pendidikan di Indonesia secara umum telah menempatkan sastra dan pesastra sebagai bagian penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Jawabannya ada di dalam hati dan pikiran kita semua, dengan kembali memberikan pertanyaan sederhana, apakah kita tahu sejarah-sejarah kecil di sekeliling kita dan apakah kita kenal seseorang yang menulis dengan serius tentang “Kajang” atau sejarah-sejarah kecil itu?

Karya Sastra Timur tengah, India, Rusia, Jawa dan sebagainya telah kita nikmati di sini. Pernahkah kita bertanya bahwa apakah “Sastra Kajang” pernah dipreasiasi di negeri mereka? Jika belum, sekaranglah saat yang tepat untuk menggempur negeri dan masyarakat mereka dengan media sosial tanpa batas itu! INTERNET. Kita memiliki peluang. Tantangannya adalah apakah kita menguasai media internet itu?” kita masih terlalu sibuk dengan urusan perut dan belajar main Facebook, mereka telah sampai di bulan dan planet Jupiter.


Kota Bulukumba, 9 Mey 2014
Makalah untuk kegiatan Bahasa Jerman SMA 5 Kajang Bulukumba 2014


Bersumber dari: http://kelongpajaga.blogspot.com/2014/05/pasang-ri-kajang-sebagai-sumber.html
Baca Lengkap....

Teater dan Pluralisme

Dibandingkan dengan media lainnya, teater lebih bersifat multi-dimensi dan karenanya pendekatan teater bersifat holistik. Ada unsur tekstual (unsur cerita, dialog), unsur lakon, unsur pemeran, unsur musik dan artistik.

Unsur yang majemuk ini membuat teater lebih mungkin menyerap berbagai unsur dan keragaman budaya sebanyak-banyaknya. Teater dan pluralisme karenanya bukan hal yang asing. Pertama, dari aspek unsur-unsur teater, dan kedua dari aspek keragaman media dalam teater. Singkatnya, pada dirinya teater itu sendiri terdiri dari pluralitas media dan komunikasi.

Teater pada dirinya terdiri dari berbagai media. Musik, cerita, lakon, kostum, tata-ruang, adalah media dalam teater.

Pluralitas media ini memungkinkan teater menyerap keragaman dan perbedaan budaya. Unsur musik bisa digali dari berbagai kekayaan musik etnis, baik instrumen maupun melodinya. Unsur cerita dapat digali dari persoalan- persoalan setempat, mitologi, legenda dan cerita rakyat. Unsur tata-ruang dan busana dapat digali dari seni arsitektur, dekorasi dan busana setempat. Lalu bentuk teater itu sendiri dapat berupa atau mengadaptasi teater rakyat yang beragam (ketoprak, opera Batak, lenong, ludruk, dan lain-lain).

Meski demikian, pluralisme pada dasarnya sebuah praksis hidup karena merupakan suatu pencapaian. Sebagai praksis hidup, pluralisme dalam teater perlu diupayakan. Ia harus menyentuh dua aspek penting media: (1) konten teater dan (2) pengelolaan.

Pada media cetak, konten meliputi berita, foto berita, fitur, profil, wawancara, opini, dan iklan-iklan. Dan yang juga penting disimak adalah pencitraan melalui kata-kata dan deskripsi. Konten teater harus mendukung pluralisme termasuk bebas bias jender dan kekerasan, meliputi kata-kata, ekspresi tubuh, musik, dekorasi panggung dan cerita itu sendiri. Sedangkan pengorganisasian meliputi pengelolaan teater sebagai organisme hidup. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan teater agar mendukung pluralisme adalah berkeadilan jender dan non-diskriminasi.

Pengambilan keputusan tidak dimonopoli oleh laki-laki dan mengupayakan kepemimpinan bersama (collective leadership) dan praksis bersama (shared praxis).

Berdasarkan alasan collective leadership, team work dan shared praxis tersebut, maka pengelolaan teater mensyaratkan adanya interaksi di antara kepelbagaian dan perbedaan. Pluralisme adalah suatu pencapaian karena itu perlu dibangun mekanisme dan perilaku yang mendukung. Interaksi mengandaikan partisipasi aktif semua pihak. Ada dua hal dalam pengelolaan teater terkait dengan relasi-relasi manusia yang bersifat pengembangan partisipasi:

a) Seluruh anggota teater belajar mengembangkan relasi-relasi dengan sesama anggota. Misalnya, belajar menerima kelemahan dan keunggulan orang lain, belajar toleransi atas perbedaan-perbedaan, belajar menerima kritik, belajar mengembangkan empati dan solidaritas;

b) Pengorganisasian. Pengorganisasian di sini adalah belajar bersama dan bekerjasama. Meningkatnya interaksi diharapkan dapat mendorong anggota untuk lebih menghargai pendapat orang lain dan mengalahkan kepentingan pribadi untuk mencapai tujuan bersama.

Karena itu, Apa Saja Manfaat Teater bagi Komunitas?

Aspek-aspek kehidupan komunitas yang diberdayakan sekurangnya meliputi:
1) Tekstual-konseptual. Bagaimana menggali kekayaan budaya (musik, legenda/mitologi/cerita rakyat, dekorasi, dll.) untuk memperkaya dan memperkuat pementasan? Atau, jika cerita bertolak dari Kitab Suci, maka bagaimana menghidupkan teks-teksnya untuk masa kini?

2) Seni peran yang meliputi artikulasi fisik (tubuh), rasa, suara, dan imajinasi. Anggota teater berlatih menemukan dan mengenali fisiknya (tubuh), menemukan lapisan-lapisan perasaan dan kesadaran, mengartikulasikan ucapan/suara, mengembangkan imajinasi dan berlakon.

3) Meningkatkan kepekaan tubuh melalui olah tubuh, olah rasa, dan olah suara.

4) Analisa sosial bersama. Belajar menemukan, memahami dan memetakan persoalan-persoalan hidup pribadi, kolektif maupun masalah sosial yang lebih luas.

5) Dalam konteks relasi-relasi sosial komunitas, teater mendorong anggota-anggotanya untuk mengembangkan interaksi, partisipasi dalam keberagaman dan perbedaan anggota-anggota teater. Teater juga menyediakan kesempatan untuk belajar pengorganisasian diri (self-organizing) bagi komunitas serta belajar bekerjasama mencapai tujuan bersama. Pengembangan relasi sosial yang menekankan pada interaksi, partisipasi, serta kerjasama dan kerja bersama untuk mencapai tujuan bersama juga menempatkan pementasan teater sebagai sebuah proses ketimbang hasil akhir.

6) Mencipta media. Teater komunitas pertama-tama adalah media rakyat dari, oleh dan untuk komunitas. Penciptaan teater sebagai media komunitas membuka akses rakyat untuk ikut terlibat aktif dalam proses bermedia dan menjadi subyek media dan bukan semata obyek.


Sumber:
MODUL PELATIHAN TEATER UNTUK PENGUATAN KAPASITAS
Sebuah Panduan untuk Fasilitator


Penulis: Thompson Hs dan Rainy MP Hutabarat

Penerbit:
YAKOMA-PGI Alamat: Jalan Cempaka Putih Timur XI/26 Jakarta 10510
Baca Lengkap....

Makalah: Metode Resitasi (Pemberian Tugas)

A. Pengertian Metode Resitasi
Kegiatan belajar mengajar di sekolah merupakan fungsi pokok dan usaha yang paling strategis guna mewujudkan tujuan intruksional yang diembang oleh lembaga tersebut. Dalam rangka pelaksanaan fungsi dan tugas instruksional itu diperlukan tenaga pengelola yang terampil dan profesional, karena di tangan para gurulah terletak kemungkinan berhasil atau tidaknya tujuan pendidikan di sekolah.

Kegiatan belajar mengajar harus selalu ditingkatkan, agar proses itu dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Mengingat terbatasnya waktuyang tersedia dalam proses belajar mengajar di kelas, sehingga tidak sebanding dengan banyaknya materi yang akan disampaikan sesuai dengan pesan kurikulum. Kaitannya dengan hal tersebut, seorang tenaga pengajar harus berusaha untuk mencari agar apa yang telah dimuat dalam kurikulum dapat tercapai, terutama dalam memberikan pemahaman yang lebih baik, terarah dan berkesinambungan terhadap suatu konsep.

Banyaknya kegiatan di sekolah dalam kaitannya dengan kegiatan pendidikan dan pengajaran, cukup menyita waktu siswa untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar tersebut. Untuk mengatasi keadaan ini guru harus memberikan tugas-tugas di luar jam pelajaran, sebab bila hanya menggunakan seluruh jam pelajaran yang ada untuk setiap bidang studi tidak akan mencukupi tuntutan pelajaran yang diharuskan seperti yang tercantum dalam kurikulum. Oleh karena itu, dalam kurikulum 2004 disajikan tugas atau pekerjaan rumah sebagai pasangan atau pelengkap kegiatan tatap muka.

Salah satu usaha untuk meningkatkan pemahaman belajar PKn bagi murid sekolah dasar adalah dengan menggunakan metode yang tepat. Banyak metode yang dianggap tepat dalam penyajian materi pembelajaran terutama pada materi PKn, seperti metode ceramah, diskusi dan metode resitasi. Namun yang menjadi fokus pembicaraan dalam kajian ini, adalah metode pembelajaran resitasi atau metode pemberian tugas, karena metode resitasi ini merupakan salah satu metode pembelajaran yang menekankan kepada murid agar dapat belajar, menemukan dan merasakan sendiri kegiatan belajar yang dilakukan. Metode resitasi dalam perspektif Mansyur (1996 : 110) adalah guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar, kemudian harus mempertanggungjawabkannya.

Soekartawi (1995: 19) mendefinisikan bahwa metode resitasi adalah suatu cara yang menyajikan bahan pelajaran dengan memberikan tugas kepada siswa untuk dipelajari yang kemudian dipertanggungjawabkan di depan kelas. Juga metode resitasi sering disebut dengan metode pemberian tugas yakni metode dimana siswa diberi tugas khusus di luar jam pelajaran.

Defenisi metode resitasi yang dikemukakan di atas, dapat di deskripsikan bahwa metode resitasi atau pemberian tugas merupakan salah satu cara atau metode mengajar yang menuntut agar siswa dapat berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga ia mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru untuk dikerjakan di luar jam pelajaran.

B. Langkah-langkah Metode Resitasi
Menurut Nasution (1988) dikatakan bahwa pekerjaan rumah dapat berupa:
  1. Pekerjaan rumah sebagai belajar sendiri, misalnya mempelajari satu bab dari buku pelajaran, menterjemahkan bahasa asing, membaca, menghafal, dan sebagainya.
  2. Pekerjaan rumah sebagai sarana latihan, misalnya menyelesaikan soal-soal dari materi yang sudah diajarkan mengenai aturan dan prinsip-prinsip cara menyelesaikannya.
  3. Pekerjaan rumah berupa penyimpulan sejumlah bahan yang berhubungan dengan materi yang akan atau yang telah dipelajari.
Sejalan dengan batasan di atas, maka dalam penelitian ini yang menjadi sasaran tugas adalah pekerjaan rumah sebagai sarana latihan dimana siswa dituntut mengerjakan soal-soal dari materi yang diajarkan.

Pemberian tugas merupakan seperangkat soal-soal yang diberikan kepada siswa untuk dikerjakan di luar jam pelajaran, soal-soal tersebut disusun sedemikian rupa dengan mengacu pada tujuan intruksional khusus yang ingin dicapai dalam setiap kegiatan belajar mengajar di kelas, sebagaimana yang dijelaskan oleh Mulyasa (2007 : 113) bahwa agar metode pemberian tugas terstruktur dapat berlangsung secara efektif, guru perlu memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Tugas harus direncanakan secara jelas dan sistematis, terutama tujuan penugasan dan cara pengerjaannya.
  2. Tugas yang dberikan harus dapat dipahami peserta didik, kapan mengerjakannya, bagaimana cara mengerjakannya, berapa lama tugas tersebut harus dikerjakan, secara individu atau kelompok, dan lain-lain.
  3. Apabila tugas tersebut berupa tugas kelompok, perlu diupayakan agar seluruh anggota kelompok dapat terlibat secara aktif dalam proses penyelesaian tugas tersebut, terutama kalau tugas tersebut diselesaikan di luar kelas.
  4. Perlu diupayakan guru mengontrol proses penyelesaian tugas yang dikerjakan oleh peserta didik. Jika tugas diselesaikan di luar kelas, guru bisa mengontrol proses penyelesaian tugas melalui konsultasi dari peserta didik. Oleh karena itu dalam penugasan yang harus diselesaikan di luar kelas, sebaiknya peserta didik diminta untuk memberikan laporan kemajuan mengenai tugas yang dikerjakan.
  5. Berikanlah penilaian secara proporsional terhadap tugas-tugas yang dikerjakan peserta didik. Penilaian yang diberikan sebaiknya tidak hanya menitikberatkan pada produk (ending), tetapi perlu dipertimbangkan pula bagaimana proses penyelesaian tugas tersebut. Penilaian hendaknya diberikan secara langsung setelah tugas diselesaikan, hal ini disamping akan menimbulkan minat dan semangat belajar peserta didik, juga menghindarkan bertumpuknya pekerjaan peserta didik yang harus diperiksa.

Demikian pentingnya pemberian tugas itu sehingga siswa dapat lebih mendalami dan menghayati bahan yang telah diberikan. Metode pemberian tugas dapat diartikan sebagai suatu format interaksi belajar mengajar yang ditandai dengan adanya satu atau lebih tugas yang diberikan oleh guru, dimana penyelesaian tugas tersebut dapat dilakukan secara perorangan atau kelompok sesuai dengan petunjuk pemberian tugas tersebut.

Dengan memperhatikan batasan metode pemberian tugas sebagaimana dikemukakan diatas, maka hal-hal yang hendaknya diketahui guru adalah sebagai berikut:
  1. Tugas ditujukan kepada para siswa secara perorangan, kelompok atau kelas.
  2. Tugas dapat diselesaikan dan dilaksanakan di lingkungan sekolah (dalam kelas atau luar kelas) dan di luar sekolah (rumah).
  3. Tugas dapat berorientasi pada satu pokok bahasan ataupun integrasi beberapa pokok bahasan.
  4. Tugas dapat ditujukan untuk meninjau kembali pelajaran yang baru, mengingat pelajaran yang telah diberikan, menyelesaikan latihan-latihan pelajaran, mengumpulkan informasi atau data yang diperlukan untuk memecahkan masalah, serta tujuan-tujuan yang lain.

Pemberian tugas secara terstruktur setiap selesai proses belajar mengajar juga akan memberikan rangsangan yang berarti bagi obyek didik di dalam usaha lebih mendalami dan menekuni suatu topik/materi pelajaran. Dengan adanya tugas terstruktur obyek didik dirangsang untuk selalu memanfaatkan waktu dengan baik sehingga mengurangi kegiatan di luar kelas (sekolah) yang tidak bermanfaat, yang akhirnya akan menambah pengetahuan bagi obyek didik tersebut. Dengan demikian pemberian tugas secara terstruktur sangat positif dalam usaha meningkatkan prestasi belajar siswa dan juga memberikan penekanan tentang posisi esensial dari pelaksanaan tugas secara terstruktur, sebagai salah satu komponen yang terkait dalam proses belajar mengajar yang perlu mendapat perhatian secara wajar.


DAFTAR PUSTAKA

Mansyur. 1996. Materi Pokok Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Direktorat Jenderal Depdiknas.

Mulyasa. 2007. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nasution. 1988. Azas-azas Kurikulum. Bandung: Jemmars.

Soekartiwi. 1995. Meningkatkan Efektivitas Mengajar. (Cet. I) Jakarta: Dunia Pustaka Raya.
Baca Lengkap....