Teori Perkembangan yang Sering Menjadi Acuan dalam Bidang Pendidikan

Teori Perkembangan yang Sering Menjadi Acuan dalam Bidang Pendidikan
Ada berbagai teori perkembangan. Pada tulisan ini akan dibahas beberapa teori yang sering menjadi acuan dalam bidang pendidikan, yaitu teori yang termasuk teori menyeluruh/global (Rousseau, Stanley Hall, Havigurst), dan teori yang termasuk khusus/spesifik (Piaget, Kohlbergf, Erikson).

    Nana Saodih Sukmadinata (2009) menguraikannya sebagai berikut:

    A. Jean Jacques Rousseau

    Jean Jacques Rousseau merupakan ahli pendidikan beraliran liberal yang menjadi pendorong pembelajaran discovery. Rousseau mulai mendakan kajian pada 1800an. Menurutn Rousseau, perkembangan anak terbagi menjadi empat tahap, yaitu:

    1) Masa bayi infancy (0-2 tahun), usia antara 0-2 tahun adalah masa perkembangan fisik. Kecepatan pertumbuhan fisik lebih dominan dibandingkan perkembangan aspek lain, sehingga anak disebut sebagai binatang yang sehat;

    2) Masa anak/childhood (2-12 tahun), disebut juga masa perkembangan sebagai manusia primitif. Kecuali masih terjadi pertumbuhan fisik secara pesat, aspek lain sebagai manusia juga mulai berkembang, misalnya kemampuan berbicara, berfikir, intelektual, moral, dll;

    3) Masa remaja awal/pubescence (12-15 tahun), disebut masa remaja awal/pubescence, ditandai dengan perkembangan pesat intelektual dan kemampuan bernalar juga disebut masa bertualang;

    4) Masa remaja/adolescence (15-25 tahun). Pada masa ini tejadi perkembangan pesat aspek seksual, social, moral, dan nurani, juga disebut masa hidup sebagai manusia beradab.

    B. Stanley Hall

    Stanley Hall, seorang psikolog dari Amerika Serikat, merupakan salah satu perintis kajian ilmiah tentang siklus hidup (life span) yang berteori bahwa perubahan menuju dewasa terjadi dalam sekuens (urutan) yang universal bagian dari proses evolusi, parallel dengan perkembangan psikologis, namun demikian, faktor lingkungan dapat mempengaruhi cepat lambatnya perubahan tersebut. Misalnya, usia enam tahun adalah usia masuk sekolah di lingkungan tertentu, tetapi ada yang memulai sekolah pada usia lebih lambat di lingkungan yang lain. Konsekuensinya, irama perkembangan anak di kedua lingkungan tersebut dapat berbeda.

    Stanley Hall membagi masa perkembangan menjadi empat tahap, yaitu:

    1) Masa kanak-kanak/infancy (0-4 tahun). Pada usia-usia ini, perkembangan anak disamakan dengan binatang, yaitu melata atau berjalan;

    2) Masa anak/childhood (4-8 tahun). Masa ini disebut masa pemburu, anak haus akan pemahaman lingkungannya, sehingga akan berburu kemanapun, mempelajari lingkungan sekitarnya;

    3) Masa puber/youth 8-12 tahun). Pada masa ini anak tumbuh dan berkembang tetapi sebhagai makhluk yang belum beradab. Banyak hal yang masih harus dipelajari untuk menjadi makhluk yang beradab di lingkungannya, seperti yangt berkaitan dengan sosial, emosi, moral, intelektual;

    4) Masa remaja/adolescence (12 – dewasa). Pada masa ini, anak mestinya sudah menjadi manusia beradab yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dunia yang selalu berubah.

    Perspektif life span seperti yang dipelopori oleh Stanley Hall dkk., dapat dibuktikan pada tahap masa remaja sampai dewasa. Misalnya, pada masyarakat tertentu yang masih terbelakang, anak justru cepat menjadi dewasa. Karena pendidikan hanya tersedia sampai sekolah dasar, masayrakat cenderung mulai bekerja dan berkeluarga dalam usia muda. Sebaliknya, pada masyarakat yang semua warganegaranya mencapai pendidikan tinggi, anak-anak menjadi dewasa pada usia yang lebih lanjut.

    C. Robert J. Havigurst

    Robert J. Havigurst dari Universitas Chicago mulai mengembangkan konsep developmental task (tugas perkembangan) pada tahun 1940an, yang menggabungkan antara dorongan tumbuh/berkembang sesuai dengan kecepatan pertumbuhannya denga tantangan dan kesempatan yang diberikan oleh lingkungannya. Havigurst menyusun tahap-tahap perkembangan menjadi lima tahap berdasarkan problema yang harus dipecahkan dalam setiap fase, yaitu: 1) Masa bayi/infancy (0 – ½ tahun); 2) Masa anak awal/early childhood (2/3 – 5/7 tahun); 3) Masa anak/late childhood (5/7 tahun – pubesen); 4) Masa adolesense awal/early adolescence (pubesen – pubertas); 5) Masa adolescence/late adolescence (pubertas – dewasa).

    Menurut teori ini, dalam perkembangan, anak melewati delapan tahap perkembangan (developmental stages). Ada sepuluh tugas perkembangan yang harus dikuasai anak pada setiap fase, yaitu: 1) Ketergantungan – kemandirian; 2) Memberi – menerima kasih sayang; 3) Hubungan social; 4) Perkembangan kata hati; 5) Peran biososio dan psikologis; 6) Penyesuaian dengan perubahan badan; 7) Penguasaan perubahan badan dan motoric; 8) Memahai dan mengendalikan lingkungan fisik; 9) Pengembangan kemampuan konseptual dan sistem simbol; 10) Kemampuan melihat hubungan dengan alam semesta.

    Dikuasai atau tidaknya tugas perkembangan pada setiap fase akan mempengaruhi penguasaan tugas-tugas pada fase berikutnya.

    D. Jean Piaget

    Jean Piaget latar belakangnya adalah pakar biologi dari Swiss yang hidup pada tahun 1897 sampai tahun 1980 (Harre dan Lamb), 1988). Teori-teorinya dikembangkan dari hasil pengamatan terhadap tiga orang anak kandungnya sendiri, kebanyakan berdasarkan hasil pengamatan pembicaraanya dengan anak atau antar anak-anak sendiri. Piaget lebih memfokuskan kajiannya dalam aspek perkembangan kognitif anak dan mengelompokkannya dalam empat tahap, yaitu:

    1)Tahap sensorimotorik (0-2 tahun). Tahap ini juga disebut masa discriminating dan labeling. Pada masa ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks, bahasa awal, dan ruang waktu sekarang saja.

    2)Tahap praoperasional (2-4 ahun). Pada tahap praoperasional, atau prakonseptual, atau disebut juga dengan masa intuitif, anak mulai mengembangkan kemampuan menerima stimulus secara terbatas. Kemampuan bahasa mulai berkembang, pemikiran masih statis, belum dapat berfikir abstrak, dan kemampuan persepsi waktu dan ruang masih terbatas.

    3)Tahap operasional konkrit (7-11 tahun). Tahap ini juga disebut masa performing operation. Pada masa ini, anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas menggabungkan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat, dan membagi.

    4)Tahap operasonal formal (11-15 tahun). Tahap ini juga disebut masa proportional thinking. Pada masa ini, anak sudah mampu berfikir tingkat tinggi, seperti berfikir secara deduktif, induktif, menganalisis, mensintesis, mampu berfikir secara abstrak dan secara reflektif, serta mampu memecahkan berbagai masalah.

    E. Lawrence Kohlberg

    Mengacu kepada teori perkembangan Piaget yang berfokus pada perkembangan kognitif, Kohlberg lebih berfokus pada kognitif moral atau moral reasoning. Kemampuan kognitif moral seseorang dapat diukur dengan menghadapkannya dengan dilemna moral hipotesis yang terkait dengan kebenaran, keadilan, konflik terkait aturan dan kewajiban moral.

    Menurut Kohlberg, perkembangan moral kognitif anak terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu:

    1. Preconventional moral reasoning, yaitu:

    a) Obidience and paunisment orientation. Pada tahap ini, orientasi anak masih pada konsekuensi fisik dari perbuatan benar – salahnya, yaitu hukuman dan kepatuhan. Mereka hormat kepada penguasa, penguasalah yang menetapkan aturan/undang-undang, mereka berbuat benar untuk menghindari hukuman;

    b) Naively egoistic orientation. Pada tahap ini, anak beorientasi pada instrument relative. Perbuatan benar adalah perbuatan yang secara instrument memuaskan keinginannya sendiri dan (kadang-kadang) juga orang lain. Kepeduliannya pada keadilan/ketidakadilan bersifat pragmatic, yaitu apakah mendatangkan keuntungan atau tidak.

    2. Conventional moral reasoning, yaitu:

    a) Good boy orientation. Pada tahap ini, orientasi perbuatan yang baik adalah yang menyenangkan, membantu, atau diepakati oleh orang lain. Orientasi ini juga disebut good/nice boy orientation. Anak patuh pada karakter tertentu yang dianggap alami, cenderung mengembangkan niat baik, menjadi anak baik, saling berhubungan baik, peduli terhadap orang lain;

    b) Authority and social order maintenance orientation. Pada tahap ini, orientasi anak adalah pada aturan dan hukum. Anak menganggap perlunya menjaga ketertiban, memenuhi kewajiban dan tugas umum, mencegah terjadinya kekacauan sistem. Hukum dan perintah penguasa adalah mutlak dan final, penekanan pada kewajiban dan tugas terkait dengan perannya yang diterima di masyarakat dan publik.

    3. Post conventional moral reasoning, yaitu:

    a) Contranctual legalistic orientation. Pada tahap ini, orientasi anak pada legalitas kontrak social. Anak mulai peduli pada hak azasi individu, dan yang baik adalah yang disepakati oleh mayoritas masyarakat. Anak menyadari bahwa nilai (benar/salah, baik/buruk, suka/tidak suka, dll) adalah relatif, menyadari bahwa hukum adalah intrumen yang disetujui untuk mengatur kehidupan masyarakat, dan itu dapat diubha melalui diskusi apabila hukum gagal mengetur masyarakat;

    b) Conscience or principle orientation. Pada tahap ini, orientasi adalah pada prinsip-prinsip etika yang bersifat universal. Benar-salah harus disesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip etika yang bersifat ini sari dari etika universal. Aturan hukum legal harus dipisahkan dari aturan moral. Masing-masing (hukum legal dan moral) harus diakui terpisah, masing-masing mempunyai penerapannya sendiri, tetapi tetap mengacu pada nilai-nilai etika/moral.

    F. Erick Homburger Erickson

    Erickson merupakan salah seorang tokoh psikoanalisis pengikut Sigmund Freud. Dia memusatkan kajiannya pada perkembangan psikososial anak. Menurut Erickson (dalam Harre dan Lamb, 1988), dalam perkembangan, anak melewati delapan tahap perkembangan (developmental stages), disebut siklus kehidupan (life cycle) yang ditandai dengan adanya krisis psikososial tertentu. Teori Erickson ini secara luas banyak diterima, karena menggambarkan perkembangan manuasia mencakup seluruh siklus kehidupan dan mengakui adanya interaksi antara individu dengan konteks sosial. Kedelapan tahap tersebut digambarkan pada table di bawah ini.

    Tabel  perkembangan psikososial anak

    Pada tahap basic trust vs mistrust (infancy – bayi), anak baru mulai mengenal dunia, perhatian anak adalah mencari rasa aman dan nyaman. Lingkungan dan sosok yang mampu menyediakan rasa nyaman/aman itulah yang dipercaya oleh anak, sebalinya, yang menjadikan sebaliknya, cenderung tidak dipercaya. Rasa aman dan nyaman ini terkait dengan kebutuhan primer seperti makan, minum, pakaian, kasih sayang. Sosok ibu atau pengasuh biasanya sangat dipercaya karena setiap mendatangkan kenyamanan. Sedangkan orang yang dianggap asing akan ditolaknya.

    Pada tahap autonomy vs shame and doubt (toddler – masa bermain), anak tidak ingin sepenuhnya tergantung pada orang lain. Anak mulai mempunyai keinginan dan kemauan sendiri. Dalam masa ini, orangtua perlu memberikan kebebasan yang terkendali, karena apabila anak terlalu dikendalikan/didikte, pada diri anak dapat tumbuh rasa selalu was-was, ragu-ragu, kecewa.

    Pada tahap Initiative vs guilt (preschool – prasekolah), pada diri anak mulai tumbuh inisiatif yang perlu difasilitasi, didorong, dan dibimbing oleh orang dewasa disekitarnya. Anak mulai bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Berbagai aktifitas fisik seperti bermain, berlari, lompat, banyak dilakukan. Kurangnya dukungan dari lingkungan, misalnya terlalu dikendalikan, kurangnya fasilitas, sehingga inisiatifnya menjadi terkendala, pada diri anak akan timbul rasa kecewa dan bersalah.

    Pada tahap ini, industry vs inferiority (schoolage – masa sekolah), anak cenderung luar biasa sibuk melakukan berbagai aktifitas yang diharapkan mempunyai hasil dalam waktu dekat. Keberhasilan dalam aktifitas ini akan menjadikan anak merasa puas dan bangga. Sebaliknya, jika gagal, anak akan merasa rendah diri. Oleh karena itu, anak memerlukan bimbngan dan fasilitasi agar tidak gagal dan setiap aktifitasnya.

    Pada tahap identity vs role confusion (asolescence – remaja), anak dihadapkan pada kondisi pencarian identittas diri. Jatidiri ini akan akan berpengaruh besar pada masa depannya. Pengaruh lingkungan sangat penting. Lingkungan yang baik akan menjadikan anak memiliki jati diri sebagai orang baik, sebaliknya lingkunganh yang tidak baik anak membawanya menjadi pribadi yang kurang baik. Orang tua harus menjamin bahwa anak berada dalam lingkungan yang baik, sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi, misalnya menjadi anggota geng anak nakal, anak jalanan, pemabuk, narkoba, dll., adalah disebabkan karena anak keliru dalam membangun identitas diri.

    Pada tahap intimacy vs isolation (young adulthood – dewasa awal), anak mulai menyadari bahwa meskipun dalam banyak hal memerlukan komunikasi dengan masyarakat dan teman sebaya, dalam hal-hal tertentu, ada yang memang harus bersifat privat. Ada hal-hal yang hanya dibicarakan dengan orang tertentu, ada orang tertentu tempat mencurahkan isi hati, memerlukan orang yang lebih dekat secara pribadi, termasuk pasangan lawan jenis. Kegagalan pada tahap ini dapat mengakibatkan anak merasa terisolasi di kehidupan masyarakat.

    Tahap generativity vs stagnation (middle adulthood – dewasa tengah-tengan) menandai munculnya rasa tanggungjawab atas generasi yang akan datang. Bentuk kepedulian ini tidak hanya dalam bentuk peran sebagai orangtua, tetapi juga perhatian dan kepeduliannya pada anak-anak yang merupakan generasi penerus. Ada rasa was-was akan generasi penerusnya (keturunannya), seperti apakah mereka nanti, bahagiakah, terpenuhi kebutuhannyakah? Atau akan stagnan, bertenti sama sekali.

    Tahap ini, ego integrity vs despair (later adulthood – dewasa akhir), adalah tahap akhir dari siklus kehidupan. Individu akan melakukan introspeksi, mereview kembali perjalanan kehidupan yang telah dilalui dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, dari karier satu ke karier lainnya. Yang paling diharapkan adalah jika tidak ada penyesalan.

    Daftar Pustaka

    Clark, b. (1984). Growing Up Gifted. Boston, MA: Prentice Hall.

    Harre, R. and Lamb, R. (eds). (1988). The encyclopedic Dictionary of Psychology. Cambridge, MA: MIT Press.12.

    Sugiman, Sumardiyono, Marfuah (2016). Guru Pembelajar: Modul Matematika SMP – Karakteristik Siswa. Jakarta: Dtjen Guru Dan Tenaga Kependidikan.

    Sukmadinata, N. S. (2009). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.

    Sunardi dan Imam Sujadi (2016). Sumber Belajar Penunjang PLPG 2016 (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan 2016).
    Baca Lengkap....

    Pedagogik: Karakteristik Siswa (Sumber Belajar Penunjang)

    Pedagogik: Karakteristik Siswa (Sumber Belajar Penunjang)
    Siswa sebagai subyek pembelajaran merupakan individu aktif dengan berbagai karakteristiknya, sehingga dalam proses pembelajaran terjadi interaksi timbal balik, baik antara guru dengan siswa maupun antara siswa dengan siswa.

      Oleh karena itu, salah satu dari kompetensi pedagogik yang harus dikuasai guru adalah memahami karakteristik anak didiknya, sehingga tujuan pembelajaran, materi yang disiapkan, dan metode yang dirancang untuk menyampaikannya benar-benar sesuai dengan karakteristik siswanya.

      Perbedaan karakteristik anak salah satunya dapat dipengaruhi oleh perkembangannya. Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu masa pertemkuan spermatozoid dengan sel telur sampai dengan dewasa.

      1. Metode dalam psikologi perkembangan

      Ada dua metode yang sering dipakai dalam meneliti perkembangan manusia, yaitu longitudinal dan cross sectional. Dengan metode longitudinal, peneliti mengamati dan mengkaji perkembangan satu atau banyak orang yang sama usia dalam waktu yang lama. Misalnya penelitan Luis Terman (dalam Clark, 1984) yang mengikuti perkembangan sekelompok anak jenius dari masa pra-sekolah sampai masa dewasa waktu mereka sudah mencapai karier dan kehidupan yang mapan. Perbedaan karakteristik setiap saat itulah yangt diasumsikan sebagai tahap perkembangan.

      Penelitian dengan metode longitudinal mempunyai kelebihan, yaitu kesimpulan yang diambil lebih meyakinkan, karena membandingkan karakteristik anak yangbvsama pada usia yang berbeda-beda, sehingga setiap perbedaan dapat diasumsiukan sebagai hasil perkembangan dan pertumbuhan. Tetapi, metode ini memerlukan waktu sangat lama untuk mendapat hasil yang sempurna.

      Dengan metode cross sectional, peneliti mengamati dan mengkaji banyak anak dengan berbagai usia dalam waktu yang sama. Misalnya, penelitian yang pernah dilakukan oleh Arnold Gessel (dalam Nana Saodih Sukmadinata, 2009) yang mempelajari ribuan anak dari berbagai tingkatan usia, mencatat ciri-ciri fisik dan mentalnya, pola-pola perkembangan dan memampuannya, serta perilaku mereka. Perbedaan karakteristik setiap kelompok itulah yang diasumsikan sebagai tahapan perkembangan. Dengan pendekatan cross-sectional, proses penelitian tidak memerlukan waktu lama, hasil segera dapat diketahui.

      Kelemahannya, peneliti menganalisis perbedaan karakteristik anak-anak yang berbeda, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam menarik kesimpulan, bahwa perbedaan itu semata-mata karena perkembangan.

      2. Pendekatan dalam psikologi perkembangan

      Manusia merupakan kesatuan antara jasmani dan rohani yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Manusia merupakan individu yang kompleks, terdiri dari banyak aspek, termasuk jasmani, intelektual, emosi, moral, sosial, yang membentuk keunikan pada setiap orang. Kajian perkembangan manuasi dapat menggunakan pendekatan menyeluruh atau pendekatan khusus (Nana Sodih Sukmadinata, 2009). Menganalisis seluruh segi perkembangan disebut pendekatan menyeluruh/global. Segala segi perkembangan dideskripsikan dalam pendekatan ini, seperti perkembangan fisik, motorik, social, intelektual, moral, intelektual, emosi, religi, dsb.

      Walaupun demikian, untuk mempermudah penelitian, pembahasan dapat dilakukan per aspek perkembangan. Misalnya, ada peneliti yang memfokuskan kajiannya pada perkambangan aspek fisik saja, aspek intelektual saja, aspek moral saja, aspek emosi saja, dsb. Inilah yang dikenal dengan pendekatan khusus (spesifik).

      3. Teori perkembangan

      Ada berbagai teori perkembangan. Berikut ini akan dibahas beberapa teori yang sering menjadi acuan dalam bidang pendidikan, yaitu teori yang termasuk teori menyeluruh/global (Rousseau, Stanley Hall, Havigurst), dan teori yang termasuk khusus/spesifik (Piaget, Kohlbergf, Erikson), seperti yang diuraikan dalam Nana Saodih Sukmadinata (2009).

      Pembahasan lengkap tentang teori perkembangan yang dimaksud di atas bisa dibaca pada artikel Teori Perkembangan yang Sering Menjadi Acuan dalam Bidang Pendidikan
      Baca Lengkap....

      Skripsi Pengaruh Standardisasi Biaya Produksi Terhadap Total Quality Control pada Pabrik Gula Takalar

      I. PENDAHULUAN

      A. Latar Belakang

      Upaya untuk menjaga kontinuitas perusahaan, baik multi nasional maupun perusahaan asing dapat berkembang dengan baik maka pemerintah mengambil langkah-langkah dalam hal pengembangan dan pengawasan terhadap kegiatan perusahaan. Pengaruh standardisasi yang mempunyai peranan adalah kemampuan manajemen yang dimiliki perusahaan seperti faktor lingkungan usaha yang sering sulit dikendalikan oleh perusahaan, struktur distribusi segi budaya sosial dan etika serta persaingan dalam memasarkan hasil produk.
        Salah satu yang perlu diperhatikan perusahaan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan yaitu pengendalian kualitas produksi. Maju mundurnya suatu perusahaan, baik ditinjau dari penekanan biaya produksi dan daya saing serta penyesuaian dengan konsumen tergantung dan kualitas barang yang dihasilkan.

        Biaya produksi perusahaan diperlukan satu tolak ukur sebagai bahan untuk mengevaluasi dan mengukur tingkat efesiensi dan efektifitas biaya produksi untuk membandingkan hasil yang dicapai dengan yang di harapkan (Carter,2009). Biaya standar akan memudahkan manajemen dalam mengambil keputusan, mengontrol kegiatan produksi dan melakukan tindakan perbaikan yang berkaitan dengan pengeluaran biaya produksi.

        Biaya standar adalah biaya yang ditentukan di muka, yang merupakan jumlah biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk membuat satu kesatuan produk atau untuk membiayai kegiatan tertentu,dibawah asumsi bahwa kondisi ekonomi, efisiensi dan faktor-faktor lain tertentu (Mulyadi, 2012:387). Biaya standar akan menghasilkan selisih biaya yang ditetapkan sebelumnya dengan biaya sesungguhnya. Cara yang paling tepat untuk mengetahui dan menghitung besarnya penyimpangan yang terjadi dalam biaya produksi adalah dengan menggunakan analisis varians ( Mulyadi,2009).

        Pengendalian kualitas penting untuk dilakukan oleh perusahaan agar produk yang dihasilkan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan perusahaan maupun standar yg telah ditetapkan oleh badan lokal dan internasional yang mengolah tentang standardisasi mutu/kualitas, dan tentunya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh konsumen. Pengendalian kualitas yang dilaksanakan dengan baik akan memberikan dampak terhadap kualitas produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Standar quality yang di maksud adalah bahan baku, proses produksi, dan produk jadi ( M.N Nasution,2005). Oleh karenanya kegiatan pengendalian kualitas tersebut dapat dilakukan mulai daribahan baku, selama proses produksi berlangsung sampai pada produk akhir dan disesuaikan dengan standar yang di tetapkan.

        Mempertahankan hasil produksi yang berkualitas dan bermutu, dengan mempunyai standardisasi biaya yang telah ditetapkan untuk mempertahankan total quality control. Hal ini untuk memperoleh pengakuan dari konsumen (langganan) telah ditentukan produk untuk mengkompensasikan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi barang dan jasa sesuai dengan bidang perusahaan.

        PTP. XIV Pabrik Gula Takalar Kabupaten Takalar penting untuk mempertahankan kualitas produksi (quality control) dengan menggunakan biaya standardisasi yang efisien dan efektif. Keadaan ini merupakan suatu hal yang wajar, karena perusahaan adalah organisasi yang usahanya untuk mencapai kemakmuran. Perusahaan harus berusaha agar tetap memenuhi fungsinya dalam menunjang perkembangan dan kesuksesan menghadapi persaingan dengan perusahaan yang sejenis. Mencapai hal tersebut perlu adanya pengendalian kualitas, sehigga tetap diterima oleh konsumen.

        Sehubungan usaha tersebut, maka perhatian utama perusahaan pada umumnya dititik beratkan pada standardisasi biaya dalam proses produksi dalam hubungan dengan quality control hasil produksi yang dihasilkan, karena biaya-biaya yang dikeluarkan relevan dengan hasil produksinya.

        Biaya total ataupun biaya per unit harus diketahui untuk menentukan harga jual. Besarnya keuntungan atau kerugian, dapat juga diketahui, sebab tiap-tiap transaksi perusahaan selalu membandingkan biaya (cost) yang disertai dengan pengawasan pada saat berproduksi.

        Seorang pengusaha adalah lebih mudah untuk menghitung harga pokok barang dari proses produksi, sebab perhitungan biaya bagi produsen menurut proses produksi sampai barang itu dipasarkan. Bagi produsen, harga pokok merupakan salah satu masalah yang penting dan cukup ruwet untuk dipecahkan.

        Berdasarkan uraian tersebut penulis memilih perusahaan PTP. XIV Pabrik Gula Takalar Kabupaten Takalar sebagai obyek penelitian dengan mengangkat judul "Pengaruh Standardisasi Biaya Produksi Terhadap Total Quality Control Pada PTP. XIV Pabrik Gula Takalar Kabupaten Takalar”.

        B. Rumusan Masalah

        Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah Apakah Standardisasi Biaya Produksi berpengaruh terhadap Total Quality Control pada PT. Perkebunan Nusantara (persero) kabupaten Takalar.

        C. Tujuan Penelitian

        Untuk mengetahui pengaruh standardisasi biaya produksi terhadap Total Quality Control pada PT. Perkebunan Nusantara (persero) kabupaten Takalar.

        D. Manfaat penelitian

        a. Manfaat Teoritis
        Sebagai konstribusi pengembangan ilmu akuntansi biaya, khususnya yang terkait dengan pengarus standarisasi biaya produksi terhadap total quality control.

        b. Manfaat Praktis
        Hasil penelitian ini di harapkan dapat berguna sebagai referensi dasar untuk penelitian berikutnya dalam bidang yang sama.

        c. Kebijakan
        Sebagai bahan masukan perusahaan untuk mengevaluasi kembali sistem akuntansi biaya yang ada terutama mengenai standardisasi biaya produksi terhadap total quality control.

        DOWNLOAD SKRIPSI



        Untuk download versi lengkapnya bisa lewat link di bawah!


        Download via Google Drive


        DOWNLOAD GD

        Download via Mediafire


        DOWNLOAD MF
        Baca Lengkap....

        Skripsi Perlindungan Korban Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Secara Berlanjut (Abstrak)

        Skripsi Perlindungan Korban Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Secara Berlanjut (Abstrak)

        ABSTRAK

        Nama : NURFADILLAH
        NIM : 104 001 142 03
        Fakultas/Jurusan: Syari’ah dan Hukum/Ilmu Hukum
        Judul : Perlindungan Korban Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Secara Berlanjut (Studi kasus putusan Nomor: 61/Pid.sus/2015/PN.Sgm)


        Skiripsi ini berjudul perlindungan korban tindak pidana pencabulan terhadap anak secara berlanjut (studi putusan nomor: 61/Pid.sus/2015/2015/PN.Sgm), pokok masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana yang dilakukan secara berlanjut atau lebih dari satu kali terhadap anak, karena tindak pidana pencabulan merupakan salah satu bentuk tindak pidana terhadap anak yang merupakan contoh kerentangan posisi anak, terutama terhadap kepentingan seksual laki-laki.

        Ketidakmampuan anak untuk melawan dan rasa takut yang dimiliki membuat anak rentang menerima perbuatan cabul dari laki-laki. Perlindungan yang diberikan untuk melindungi hak-hak anak merupakan salah satu hal yang menarik untuk diperhatikan, seperti pada perkara dengan nomor putusan 61/Pid.sus/2015/PN.Sgm.

        Tujuan penelitian untuk mengetahui bentuk perlindungan Hukum terhadap korban tindak pidana pencabulan terhadap anak secara berlanjut pada perkara putusan nomor 61/Pid.sus/2015/PN.Sgm; mengetahui faktor yang mendorong dan menghambat pemberian perlindungan hukum kepada korban tindak pidana pencabulan terhadap anak secara berlanjut pada perkara putusan nomor 61/pid.sus/2015/PN.Sgm.

        Penelitian ini menggunakan metode penelitian pendekatan Yuridis sosiologis dengan spesifikasi penelitian deskriftif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Penelitian ini mengungkapkan bentuk perlindungan yang diberikan terhadap korban tindak pidana pencabulan terhadap anak secara berlanjut pada perkara putusan nomor 61/Pid.sus/2015/PN.Sgm adalah bentuk perlindungan secara langsung yang meliputi upaya rehabilitasi, mencakup pelayanan medis dan bantuan hukum serta adanya konseling, dan perlindungan tidak langsung yang diberikan kepada korban adalah hakim melaksanakan sidang secara tertutup dan mengisolir terdakwa ke dalam penjara selama Sembilan tahun melalui putusannya, faktor penghambat pemberian perlindungan antara lain peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia, kesadaran korban kurangnya fasilitas dan faktor pendorong pemberian perlindungan antara lain peraturan perundang-undangan yang mendukung dan dukungan pemerintah daerah.


        Skripsi Perlindungan Korban Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Secara Berlanjut dengan klik tombol download di bawah!

        Download via Google Drive


        DOWNLOAD GD

        Download via Mediafire


        DOWNLOAD MF
        Baca Lengkap....

        Semiotika Komunikasi Alex Sobur: Ideologi dan Mitologi

        Ideologi dan mitologi di dalam hidup kita sama dengan kode-kode dalam perbuatan semiotis dan komunikasi kita. Tanpa itu, komunikasi tidak dapat berlangsung (Aart van Zoest, 1980).
        Semiotika Komunikasi Alex Sobur: Ideologi dan Mitologi

        Istilah ideologi dan mitologi sering disebut dalam analisis-analisis ekonomi-politik. Tidak cuma dalam argumentas akademis yang dibuat oleh para teoretikus kritis, namun juga dalam laporan-laporan jurnalistik. Pemberitaan pers umpamanya, bisa menciptakan citra yang mengandung unsur-unsur mitos. Namun ada gap antara berita yang tak lengkap ata ulasan yang sangat spekulatif dengan realita. Ulasan penulis penulis asing ikut menciptakan unsur-unsur mitos itu.

          Istilah mitos juga kerap dipakai dalam pemikiran ekonom politik, cuma saja dalam penggunaan yang lebih proporsional. Analisis ekonomi-politik sering merupakan kritik terhadap pemikiran ekonomi konvensional. Keduanya menggunakan paradigma yang berbeda. Karena itu penglihatan keduanya mengenai hal yang sama menghasilkan kesimpulan yang boleh jadi berbeda, bahkan bertentangan. Seringkali hasil pemikiran ekonomi konvensional dikatakan pengkritik ekonomi-politik sebagai tidak berdasarkan fakta empiris, bias kepada kepentingan kelas atau menyesatkan; misalnya, tentang soal pangan dan kelaparan dunia.

          Sepuluh pandangan yang "tak benar” tentang masalah pangan dunia itu, misalnya, disebut oleh Francess Moore Lappe & Joseph Collins sebagai mitos-mitos dalam bukunya World Hunger: 10 Myth (1979, 1982, dikutip Rahardjo, 1996:192). Salah satu gejala yang disebut mitos itu adalah tentang pendapat dominan bahwa kelaparan yang terjadi di berbagai tempat di dunia adalah karena kelangkaan (scarcity). Padahal menurut data yang mereka peroleh, produksi pangan dunia itu sebenarnya lebih dari cukup untuk kebutuhan pangan seluruh umat manusia.

          Boleh jadi, mitos adalah kebutuhan manusia. Itulah sebabnya mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi, sebagaimana dikatakan Barthes dalam bukunya Mythologies (1993). Dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa sebagai bentuk simbol dalam komunikasi, mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olah raga dan televisi. Gejala ini memang kita saksikan sehari-hari, terutama dalam advertensi lewat televisi.

          Dikaitkan dengan ideologi maka, seperti dikatakan van Zoest (1980), “ideologi dan mitologi di dalam hidup kita sama dengan kode-kode dalam perbuatan semiotis dan komunikasi kita.” Tanpa itu, menurutnya, komunikasi tidak dapat berlangsung. Setiap penggunaan teks, setiap penanganan bahasa, setiap semiosis (penggunaan tanda) pada umumnya hanya timbul berkat suatu ideologi yang secara sadar atau tidak sadar dikenal oleh pemakai tanda. Sebuah teks tak pernah terlepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi.

          1. Peranan ideologi di dalam semiosis

          Peranan ideologi di dalam semiosis acapkali secara praktis jauh menyelinap, sehingga tidak begitu kentara. Van Zoest (1996b:104) mencontohkan, bagaimana kita dapat mengetahui apakah yang dikatakan sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang tidak menyenangkan, bilamana orang mengatakan tentang seseorang “dia sangat sopan”. Di Indonesia, kata van Zoest, ucapan ini mungkin sekali menyenangkan. Di Nederland, hal ini sama sekali tidak pasti. Konotasi kata sopan berhubungan dengan ideologi orang yang berbicara, dan juga berhubungan dengan ideologi orang yang diajak berbicara. Tidak mengetahui konteks dapat menghentikan komunikasi, tetapi tidak mengetahui masalah ideologi, menurut van Zoest, jaun lebih membahayakan: orang tanpa menyadarinya dapat keliru dalam menginterpretasi.

          Balibar dan Macherey (1978), seperti dikutip van Zoest, berpendapat bahwa terutama sastralah yang melakukan manipulasi, meski van Zoest sendiri meragukan apakah benar bahwa “teks sastra sangat ideal untuk mereproduksi ideologi umum karena teks sastra dalam kaitan dengan ideologi-ideologinya yang khas mengenai penulis dan pembaca sebagai subjek yang bebas, tampaknya terlepas dari segala keharusan” (van Zoest, 1980:70). Bagi van Zoest, manipulasi cerita, atau bualan itu, cuma sekadar gaya. Dan itu lebih menyangkut kepada mitos individual.

          Memang dalam sastra, ideologi acapkali memunculkan kejutan, baru dan tak terduga, meski entah dengan cara bagaimana harus ada kontak antara ideologi dan pembaca. Yang jelas, kita bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti pelbagai konotasi yang ada di dalamnya. Salah satu cara adalah mencari mitologi dalam teks-teks semacam itu. Ideologi adalah sesuatu yang abstrak, sementara mitologi (kesatuan mitos-mitos yang koheren) menyajikan inkarnasi makna-makna yang mempunyai wadah dalam ideologi.

          “Ideologi harus dapat diceritakan,” kata van Zoest. Cerita itulah mitos. Setiap bangsa mempunyai cerita-cerita kunonya dan cerita-cerita turun temurun yang disebut mitos mengenai bangsanya. Mitos adalah uraian naratif atau penuturan tentang sesuatu yang suci (sacred), yaitu kejadian-kejadian yang luar biasa, di luar dan mengatasi pengalaman manusia sehari-hari.

          Penuturan itu umumnya diwujudkan dalam dongeng-dongeng, atau legenda tentang dunia supra-natural. Karena itu maka studi tentang mitos biasanya digali dari cerita-cerita rakyat (folklore).

          2. Ideologi dan Mitos Sulit Dipisahkan

          Di negeri kita, mitos terkadang lebih efektif daripada ideologi pada saat-saat kritis seperti tahun 1965, sebab mitos bertumpu pada kepercayaan, sedangkan ideologi pada intelektualitas. Tetapi mitos akan lumpuh pada waktu normal. Jika merujuk pada sejarah, mitos lebih subjektif, ideologi lebih objektif (Kuntowijoyo, 1997:80).

          Meski demikian, antara ideologi dan mitos tampaknya dua hal yang sulit dipisahkan. Karena itulah mengapa ideologi Amerika sering diceritakan dalam mitos-mitos. Lewat film-film, misalnya, kekerasan Amerika disahkan. Tidak hanya pada era film-film koboi tempo dulu yang kerap diperankan aktor John Wayne, namun juga sampai aktor-aktor “keras” masa kini: Stallone dan Swazzenegger.

          Dalam perspektif semiotika, mitos dapat dikaji atau ditemukan jejaknya dengan mencari indikasi fiksional dalam teks, yang secara keseluruhan disajikan sebagai nonfiksional (melalui indikasi nonfiksional dengan sifat referensial: nama-nama orang yang kita kenal sebagai nonfiktif).

          Kelompok indikasi nonfiksional yang paling penting mungkin ialah indikasi peristiwaan. Peristiwa yang diceritakan boleh jadi sedemikian klise atau begitu tak bisa dipercaya sehingga dunia yang digambarkan, yang pada dasarnya nyata, memperlihatkan tanda-tanda dunia fiktif seperti yang kita kenal dalam dongeng dan sebagainya.

          Mitos, yang bisa dibaca pada “tuturan-tuturan” anonim seperti iklan, pers, dan lain-lain, dikendalikan secara sosial dan merupakan suatu "cerminan" yang terbalik: mitos membalik sesuatu yang kultural atau historis menjadi alamiah. Lewat sebuah kajian semiotika, inversi pada mitos ini dapat “dikembalikan” dengan cara memilah amanatnya ke dalam dua buah sistem signifikasi: pertama, sistem konotasi yang petanda-petandanya bersifat ideologis dan, kedua, sistem denotasi yang berfungsi untuk menaturalisasi proposisi dengan cara memberikan sebuah jaminan berupa sesuatu yang paling “inosens”, yaitu bahasa (Budiman, 1999:76).

          Lantas, apa sebetulnya yang disebut ideologi? Apa yang terkandung atau akibat dalam penggunaannya? Apa pula yang dimaksud mitos atau mitologi? Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas, uraian berikut ini mencoba menjelaskannya.

          3. Pengertian dan Teori-Teori Ideologi

          Ternyata, kata ideologi pun ditentukan oleh sejarah. Napoleon dalam kemarahannya terhadap lawan-lawannya menyebut mereka “kaum ideologis”, yaitu dengan konotasi bahwa mereka tidak mau tahu tentang realita-bahwa Napoleon telah menjadi Kaisar Prancis.

          Memang, kata ideologi itu asal-usulnya hanyalah berarti teori gagasan-gagasan. Kaum ideolog, seperti disebut-sebut Napoleon, adalah para anggota kelompok filosofis di Prancis yang dalam tradisi Condillac menolak metafisika dan mencari dasar ilmu-ilmu budaya pada dasar-dasar antropologis dan psikologis (Mannheim, 1991:74).

          Konsep modern tentang ideologi lahir ketika Napoleon yang mendapati bahwa kelompok filsuf ini menentang ambisi-ambisi imperialnya mencemooh dan mencap mereka sebagai ideolog ideolog. Dari situ kata ideologi itu mengalami kemerosotan makna vang seperti kata “doctrinaire”, yang menurut Mannheim (1991:75), kata itu bertahan sampai hari ini.

          Pada akhir abad ke-18, Destut de Tracy memunculkan kata ideologi sebagai istilah yang menunjuk pada “ilmu tentang gagasan” (Kaplan, 2000:154). Secara historis memang istilah ideologi pertama-tama dikemukakan oleh de Tracy, seorang Prancis yang nunya cita-cita membangun suatu sistem pengetahuan, yang ta sebut sebagai “science of ideas” (Pranarka, 1987:415). De Tracy sendiri pernah menduduki jabatan penting sebagai orang yang dipercaya untuk membangun sistem pendidikan di Prancis. Oleh Napoleon orang-orang seperti de Tracy ini disebut sebagai orang-orang yang bermimpi. Maka itu bagi Napoleon, ideologi bukanlah hal yang besar dan terhormat, melainkan merupakan hal yang remeh dan tidak terpakai (walaupun Napoleon sendiri adalah orang yang mempunyai temperamen yang amat ideologikal).

          Di abad ke-19, kata ideologi terutama dipakai dalam arti aliran yang tidak mau mengetahui kenyataan, di mana kenyataan adalah apa yang dianggap benar karena terdapat dalam praktik politik. Dengan adanya kenyataan praktik politik ini, maka dianggap inilah kenyataan dan orang tidak perlu memikirkan persoalannya lagi.

          Mulai saat itulah kata ideologi meninggalkan bidang ilmiah dan mendapat arti politik dan terutama dipengaruhi penggunaannya oleh Marxisme. Marxisme kemudian menggunakan istilah ideologi sebagai senjata melawan middle class dengan pemikiran mereka. Pemikiran middle class disebut teori saja, sementara teori Marxisme disebutnya “satu-satunya ideologi”. Sebaliknya, jika kata ideologi dipakai oleh Marxisme terhadap idea golongan lain, maka ideologi mendapat arti khas, yakni “teori-teori yang menyembunyikan maksud tertentu” (Susanto, 1985:225).

          4. Ideologi Menurut Karl Marx

          Karl Marx, ketika itu, banyak berbicara tentang ideologi. Bahkan salah satu bukunya ia beri judul The German Ideology. Ideologi menjadi vokabuler yang penting di dalam pemikiran politik maupun ekonomi Karl Marx. Bagi Marx, ideologi adalah suatu bagian dari apa yang disebutnya sebagai suprastruktur. Ideologi adalah sebuah wawasan yang dihasilkan oleh kekuatan pada bangunan bawah, yaitu kekuatan yang memiliki faktor-faktor produksi.

          Maka itu ideologi bukanlah wawasan yang sifatnya empirikal, diangkat dari kenyataan-kenyataan. Ideologi adalah sebuah rekayasa mental (Pranarka, 1987:415). Ideologi itu terjadi disebabkan karena kekuatan yang membentuk ideologi itu memerlukannya untuk dapat mempertahankan posisi dan kekuatannya. Makanya ideologi selalu bersifat fungsional. Ideologi tidak berbicara mengenai kebenaran, tidak berbicara mengenai kenyataan empirik, akan tetapi ideologi berbicara mengenai kemanfaatan, kepentingan, kemauan, dan pamrih. Itulah sebabnya maka pada hakikatnya suatu ideologi selalu dipandang sebagai sesuatu yang tidak ilmiah, sesuatu yang tertutup.

          Menurut Marx, semua sistem ekonomi sampai sekaran oleh adanya kelas-kelas bawah dan kelas-kelas atas. Struktur kekuasaan dalam bidang ekonomi itu tercermin juga dalam bidang politik. Salah satu pokok teori Karl Marx adalah bahwa negara secara hakiki merupakan negara kelas, artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi (Magnis-Suseno, 2001:120). Karena itu, menurut Marx, negara bukanlah lembaga di atas masyarakat tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka.

          Jadi, negara pertamatama tidak bertindak demi kepentingan umum, melainkan demi kepentingan kelas-kelas atas. Mengajukan sesuatu sebagai kepentingan umum sebenarnya merupakan kepentingan egois pihak yang berpamrih itulah inti dari apa yang oleh Marx disebut sebagai ideologis.

          “Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi” (Magnis-Suseno, 2001:122).

          Kritik ideologi banyak disebut-sebut para ahli-Karl Mannheim, misalnya sebagai salah satu sumbangan terpenting teori Marx terhadap analisis struktur kekuasaan dalam masyarakat. Karl Mannheim (Sunarto, 2000:33) setuju pada kesimpulan Marx. Bahkan, dia menyumbangkan sebuah analisis ideologi dari perspektif sejarah. Mannheim membandingkan ideologi itu dari satu era ke era yang lain, dengan menyatakan tidak ada ideologi yang dapat dipahami sepenuhnya kecuali hubungan kesejaharahannya jelas mengenai gagasan-gagasan dari era sebelumnya dan meneliti pengaruh dari ideologi sebelumnya itu pada era terkini.

          Istilah ideologi memang seringkali hanya diartikan sebaga sebuah sistem ide seperti ketika orang berbicara tentang ideolog liberal, konservatif, atau sosialis. David Kaplan, misalnya, menggunakan istilah ideologi untuk mengacu kepada kawasan idea sional dalam suatu budaya (Kaplan, 2000:154). Arthur Schlesinger, Jr. melihat, pembedaan antara gagasan (ideas) dengan ideologi adalah hal yang bermanfaat.
          Menurutnya (1960:47): Gagasan atau ide ialah kawasan atau pemahaman tertentu, sedangkan ideologi merupakan kristalisasi gagasan menjadi sistem yang bersifat universal. Gagasan relatif, sedangkan ideologi absolut. Ada orang yang menerima begitu saja pengalamannya yang campur-aduk, tetapi ada pula yang membutuhkan gambaran tentang sosok rasionalitas-akhir semesta ini. Pihak yang disebut belakangan itu mendambakan pola tunggal yang mendasar, yang serba-cakup dan serba menjelaskan serta dapat dipahami manusia dan memberikan serangkaian kaidah yang memadai untuk semua kemungkinan (tak terduga) dalam politik dan kehidupan.
          Bagi Gramsci, ideologi lebih dari sekadar sistem ide. Ia membedakan antara sistem yang berubah-ubah (arbitrary systems) yang dikemukakan oleh intelektual dan filsuf tertentu, dan ideologi organik yang bersifat historis (historically organic ideologies), yaitu ideologi yang diperlukan dalam kondisi sosial tertentu: “Sejauh ideologi itu secara historis diperlukan, ia mempunyai keabsahan yang bersifat psikologis: ideologi ‘mengatur’ manusia, dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka, dan sebagainya” (Simon, 2000:83). Ideologi bukanlah fantasi perorangan, namun terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat. Di sini Gramsci merujuk pada pendapat Marx tentang ‘solidaritas keyakinan masyarakat’.

          Sebenarnya, apa pun dan dari siapa pun yang mencoba merumuskan pengertian ideologi, kita secara singkat dapat mengklasifikasikannya ke dalam tiga pengertian atau kecenderungan: yang positif, yang negatif, dan yang netral.

          5. Positif dan Negatif Ideologi Dikemukakan Jorge Larrain

          Pengertian ideologi secara positif dan negatif dikemukakan Jorge Larrain (dalam Sunarto, 2000:31). Secara positif, ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia (worldview) yang menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial. Pengertian ideologi yang demikian juga tampak dari pendapat Franz MagnisSuseno yang menyatakan “Ideologi sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap-sikap dasar rohani sebuah gerakan, kelompok sosial, atau kebudayaan” (Magnis-Suseno, 1992:230).

          Dalam pengertian netral, ideologi dipersepsi David Kaplan dalam penggunaannya tentang nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang dunia, etos, dan semacamnya. “Kami menggunakannya dalam pengertian netral dan umum seperti dimaksudkan oleh penemunya, yakni de Tracy,” kata Kaplan (2000:154).

          Bagi kebanyakan orang, ideologi mewakili suatu kecenderungan umum untuk menukarkan yang benar dengan apa yang tidak baik bagi kepentingan sendiri. Sekalipun anggapan yang sangat luas tersebar ini tidak harus berarti bahwa ideologi adalah suatu konsepsi palsu mengenai kebenaran, namun anggapan itu mengakui bahwa hanya ada satu ideologi saja yang dapat dikatakan benar; dan ada tanda-tanda bahwa kita dapat menemukan ideologi mana dikatakan Leonard Binder (1966:210), dapat mengajukan suatu pandangan lain yang juga telah tersebar luas bahwa selalu ada dua interpretasi atas setiap cerita. Teori yang kedua ini mengemukakan bahwa mungkin saja ada kebenaran dalam setiap dua macam (atau lebih?) perspektif yang berbeda tentang suatu keadaan yang sama.

          Di mata Binder, anggapan-anggapan mengenai ideologi ini menjadi lebih rumit lagi dengan adanya persoalan yang ketiga, yang dapat dirumuskan dalam suatu ucapan yang sering disebut “things are not what they seem,” apa yang diketahui itu belum tentu sesuai dengan kebenaran (Binder, 1966:210). Persoalan yang ketiga ini, menurut Binder, menyangkut hubungan yang tidak begitu tegas antara dunia pikiran kita dan apa yang ada dalam dunia kenyataan.

          Teori mengenai ideologi terutama mempermasalahkan tiga soal ini (Binder, 1966:21). 
          1. whether or how self or group interest distorts three understanding” (apakah benar dan bagaimanakah lepentingan sendiri dan kepentingan kelompok mengacaukan kemampuan untuk memahami sesuatu);
          2. whether the only validity any ideological view can have is relative to circumstances” (apakah suatu ideologi itu diterima hanya jika sesuai dengan kenyataan); dan
          3. whether empirical observation gives us any test of the validity of an ideology” (apakah observasi empiris dapat memberi kita suatu batu ujian untuk mengetahui validitas suatu ideologi).
          Batas-batas yang inheren dalam kemampuan observasi empass untuk menemukan validitas ideologi, menurut Binder, tidak dengan sendirinya membenarkan pendirian relativis kecuali mempersukar bahkan memustahilkan pembuktian pandangan mana yang benar. “Adalah merupakan sifat manusia, saya kira, untuk selalu berada dalam keadaan ragu-ragu dan berperasaan jangan-jangan lawannya berada pada pihak yang benar,” kata Binder.

          Sebagai implikasi dari keadaan yang rumit ini, di mana relativisme ideologis dipertahankan, baik sebagai asumsi yang valid ataupun yang hanya praktis, kita, ujar Binder, dapat bertanya apakah perspektif-perspektif atau ideologi-ideologi berhubungan dengan sifat-sifat yang tidak berubah dan yang tetap dari setiap kelompok ataukah hal-hal ini berhubungan dengan tingkat-tingkat perkembangan yang universal.

          Apakah tanggapan seseorang mengenai realitas sebenarnya bergantung pada kedudukan sosialnya, ataukah kemampuan seseorang untuk mencapai kemajuan dalam dunia ini bergantung pada pandangannya mengenai sifat dari realitas? Apakah ideologiideologi itu berdasarkan pengalaman-pengalaman dan kenyataan sejarah yang unik yang sedemikian rupa sehingga sangat besar perbedaan-perbedaannya; atau apakah ideologi-ideologi itu berdasarkan tingkat rasionalitas dari tanggapan terhadap dunia?

          6. Perbedaan Pendapat Para Ahli Mengenai Ideologi dan Filsafat

          Dalam hal ini, para ahli mengenai ideologi dan filsafat sangat berbeda pendapat (Binder, 1966:211). Ada yang berat pada pihak yang satu dan ada yang berat pada pihak yang lain, dan ada pula yang di tengah-tengah. Binder dalam hal ini melihatnya sebagai suatu dikotomi yang sederhana. la merumuskan dikotomi ini sebagai “romantik-nasionalis” dan “rasional-evolusionis”. Menurut Binder, kaum rasional-evolusionis telah banyak berjasa dalam memperkaya pengertian kita mengenai ide perkembangan. Biasanya, kata Binder, rumusan ini mengandung tiga tingkat perkembangan ontologis yang harus dilalui oleh setiap bangsa, sekalipun ada ahli-ahli yang mengemukakan dua tingkat saja.

          Ketiga tingkat yang dimaksud Binder itu adalah animisme, spekulasi teologi dan metafisik, serta rasionalitas ilmiah-suatu trias yang mengingatkan kita pada penggunaan yang tidak jelas dan tidak tegas bentuknya dari kata-kata “tradisi” dan “kemodernan". Implikasi dari doktrin yang evolusioner ini adalah, tentunya, bidang ideologi setiap negara harus melalui suatu proses perubahan ide-ide dan nilai-nilai. Rupanya, tandas Binder, proses ini bisa dipercepat dengan menekankan elemen-elemen pikiran-pikiran rasional-ilmiah yang dimiliki secara universal.

          Sementara itu, dalam ilmu-ilmu sosial dikenal dua pengertian mengenai ideologi, yaitu ideologi secara fungsional dan secara struktural (Surbakti, 1992:32). Ideologi secara fungsional diartikan seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik, sedangkan ideologi secara struktural diartikan sebagai sistem kebenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa.

          Sekarang ini tampaknya banyak bermunculan interpretasi baru yang diberikan terhadap nilai-nilai dasar ideologi (Alfian, 1995:90). Ini adalah sesuatu yang wajar mengingat kenyataan bahwa masyarakat mengalami perubahan-perubahan. Mereka beranjak dari suatu realita ke realita yang lain dan baru. Proses perubahan atau perpindahan itu barangkali pada awalnya tidak terasa dan terlihat, namun pada jarak waktu tertentu ia muncul sebagai suatu kenyataan yang amat kentara dan tak mungkin ditolak lagi. Misalnya, masyarakat yang semulanya agraris kemudian mengalami proses industrialisasi, maka pada tingkat tertentu dari proses itu mereka mungkin akan menyadari dan melihat terjadinya perubahan yang mencolok dalam diri mereka.


          Sumber:
          Buku SEMIOTIKA KOMUNIKASI
          Hal: 207-216
          Penulis: Drs. Alex Sobur, M. Si.
          Tahun Terbit: 2003
          Penerbit: Rosda
          Baca Lengkap....

          Paulo Freire dan Wacana Kekuasaan dalam Politik Pendidikan

          Paulo Freire dan Wacana Kekuasaan dalam Politik Pendidikan

          Freire telah membuat salah satu dari banyak konsep kekuasaan yang paling radikal dalam teori sosial kontemporer miliknya. Kekuasaan dipandang sebagai kekuatan yang negatif dan juga positif, sifatnya dialektis tetapi mode of operation-nya selalu represif.

            Menurut Freire, kekuasaan bekerja pada dan melalui masyarakat. Di satu sisi, ini berarti bahwa dominasi tidak pernah sepenuhnya mutlak, yang dalam hal ini kekuasaan bersifat eksklusif dan sebagai kekuatan negatif. Di sisi yang lain, kekuasaan merupakan daya dorong dari semua perilaku manusia di mana masyarakat mempertahankan hidupnya, berjuang dan berusaha mewujudkan cita-cita kehidupannya yang lebih baik.

            Secara umum teori Freire tentang kekuasaan dan gambarannya mengenai sifatnya yang dialektis menunjukkan bahwa fungsi kekuasaan ini sangat penting dan merasuk ke berbagai segi kehidupan.

            Dalam hal ini, kekuasaan tidak dipahami hanya dalam wilayah publik dan pribadi di mana pemerintah, kelas-kelas yang dominan dan kelompok-kelompok lainnya memainkan peran. Kekuasaan itu ada di tangan siapa saja dan menemukan bentuknya dalam ruang publik yang saling beroposisi yang secara tradisional telah kehilangan kekuasaannya dan bentuk bentuk resistensinya.

            Pandangan Freire tentang kekuasaan bukan hanya merupakan cara pandang yang menjadi alternatif dan berguna bagi para teoritisi radikal yang terperangkap dalam keputusasaan dan sinisme, tetapi juga menekankan bahwa kekuasaan itu selalu diikuti dengan pertentangan, ketegangan dan kontradiksi dalam berbagai institusi sosial, seperti sekolah di mana kekuasaan seringkali dianggap sebagai kekuatan positif yang resisten.

            Akhirnya, Freire mengetahui bahwa kekuasaan sebagai sebuah bentuk dominasi tidak dipaksakan pemerintah secara sederhana melalui tangan-tangannya, seperti polisi, tentara dan departemen kehakiman.

            Dominasi dipraktikkan lewat kekuasaan, teknologi dan ideologi yang secara bersama-sama menghasilkan pengetahuan, hubungan sosial dan ekspresi budaya yang berfungsi secara aktif untuk membuat masyarakat diam. Pembicaraan dominasi tidak hanya mengacu pada ekspresi budaya yang mempengaruhi kaum tertindas dalam kesehariannya, namun juga menyangkut bagaimana kaum tertindas ini menginternalisasi pengaruh dan turut melestarikan penindasan tersebut.

            Pembicaraan ini merupakan topik yang sangat penting di dalam buku Freire dan mengindikasikan bagaimana dominasi itu dipraktikkan secara subjektif melalui proses internalisasi dan “pengendapan diri” dalam bentuk-bentuk kebutuhan pribadi.

            Pentingnya menyelidiki dominasi yang menindas secara psikis

            Apa yang sedang kita bicarakan adalah pemikiran Freire tentang betapa pentingnya usaha untuk menyelidiki dominasi yang menindas secara psikis, dan oleh karenanya, juga perlu pengamatan internal terhadap pengetahuan diri dan terhadap bentuk-bentuk emansipasi sosial dan individu.

            Konsep dominasi dan bagaimana kekuasaan bekerja secara represif terhadap jiwa manusia memperluas konsep belajar, termasuk bagaimana manusia belajar tanpa berkata-kata, bagaimana kebiasaan kemudian menjadi sejarah yang beku, dan bagaimana pengetahuan itu sendiri menghambat perkembangan subjektivitas tertentu dan cara manusia menjalani kehidupan di dunia.

            Persepsi terhadap pengetahuan sangat penting karena akan menunjukkan bagaimana perbedaan-perbedaan konsep pengetahuan yang emansipatoris mungkin akan ditolak oleh orang yang mendapatkan keuntungan darinya. Dalam kasus yang seperti ini, masyarakat tertindas mendapatkan akses terhadap logika dominasi mungkin dikarenakan mereka mempertahankan pengetahuan yang bertentangan dengan pandangan dunia mereka.

            Pengetahuan justru turut mempertahankan status quo dominasi ini karena menjadi kekuatan aktif yang bersifat negatif dan menolak untuk melihat adanya kemungkinan lain dalam kehidupan ini. Dengan kondisi yang seperti ini, dari sudut pandang pendidikan muncul pertanyaan, bagaimana para pendidik yang radikal menilai dan mendiskusikan pihak-pihak yang melakukan represi dan yang melupakan tujuan inti dari dominasi?

            Bagaimana penjelasan terhadap kondisi yang tetap menolak untuk mengetahui dan menyelidiki bahwa pengetahuan mengandung kemungkinan yang bertentangan dengan dominasi itu sendiri?

            Pesan Freire dari konsep pendidikannya

            Pesan yang ingin disampaikan Freire dari konsep pendidikannya relatif cukup jelas. Jika pendidik yang radikal mengetahui makna kebebasan, mereka pertama-tama harus menyadari bentuk-bentuk dominasi, di mana dominasi itu tumbuh subur, dan masalah apa yang dihadapi mereka yang ditindas oleh dominasi itu secara subjektif maupun objektif.

            Akan tetapi, proyek ini tidak akan mungkin terlaksana jika mereka tidak mengetahui karakteristik sejarah dan kebudayaan yang spesifik, bentuk-bentuk kehidupan sosial, siapa kelompok penindas dan siapa yang tertindas, sebagai titik awal melakukan analisa. Inilah isu yang diangkat Freire dalam bukunya Politik Pendidikan.


            Sumber:
            Buku Politik Pendidikan (Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan)
            Halaman 16-19
            Penerbit: REaD (Research, Education, and Dialogue) bekerjasama dengan PUSTAKA PELAJAR 2007
            Baca Lengkap....

            Perilaku Belajar Paulo Freire (Mengembangkan Sikap Kritis dalam Belajar)

            Pada saat menulis bibliografi (daftar pustaka) mestinya kita dengan sendirinya mempunyai satu tujuan yaitu untuk memfokuskan atau merangsang keinginan pembaca agar dapat mempelajari lebih lanjut materi yang telah dibacanya.

              Jika sebuah bibliografi tidak mempunyai tujuan seperti itu, jika dalam bibliografi tersebut tampaknya ada sesuatu yang hilang atau tidak menantang pembacanya, maka berkuranglah daya tarik bibliografi tersebut. Sehingga bibliografi menjadi tidak berguna, tertimbun oleh barang-barang lain di dalam laci meja.

              Perilaku Belajar Paulo Freire (Mengembangkan Sikap Kritis dalam Belajar)

              Dalam menyusun bibliografi, ada tiga tipe pembaca yang perlu diperhatikan, yaitu pembaca yang memang menjadi sasaran utama, penulis yang bukunya dicantumkan dalam bibliografi itu sendiri, dan penulis-penulis bibliografi lainnya. Bibliografi tidak dapat disusun hanya dengan menuliskan judul-judul buku secara serampangan apalagi tidak mendasarkan pada sumber yang jelas.

              Lebih dari itu, sebuah bibliografi tidak boleh menjadi bacaan yang dogmatis, justru seharusnya menawarkan tantangan bagi mereka yang membacanya. Tantangan ini menjadi nyata kalau orang mulai mempelajari buku-buku yang ditulis itu, bukan hanya membaca secara serampangan atau hanya membuka-buka halaman demi halaman.

              Sesungguhnya, belajar (studying) itu merupakan pekerjaan yang cukup berat yang menuntut sikap kritis-sistematik (systematic critical attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktik langsung. Sikap kritis manusia sama sekali tidak dapat dihasilkan oleh pendidikan yang bergaya bank (banking education).

              Sebaliknya pendidikan semacam itu justru pada dasarnya membunuh semangat, keingintahuan, dan kreativitas kita. Mata pelajaran sekolah mencerdaskan siswa, tetapi kecerdasan yang hanya berkaitan dengan teks, dan ini tidak akan menjadi kritik yang mendasar terhadap teks itu sendiri.

              Ketika pembaca terlibat dalam proses yang sederhana itu, maka membaca hanya bersifat mekanis, dan proses itu - beserta faktor-faktor yang lain - menggambarkan bagaimana pembaca tidak memfokuskan diri pada buku yang dibacanya tetapi justru memikirkan hal yang lainnya. Intinya dalam pendidikan gaya bank ini, yang dibutuhkan pembaca bukanlah pemahaman akan isi, tetapi sekedar hafalan (memo rization). Sekali lagi bukannya memahami teks, tetapi tugasnya hanya menghafal dan jika siswa melakukannya berarti telah memenuhi kewajibannya.

              Lain halnya dengan visi pendidikan yang kritis: seorang pembaca merasa tertantang oleh teks yang disodorkan padanya dan tujuan membaca adalah untuk memahami (appro priate) makna yang lebih dalam.

              Berikut ini beberapa cara untuk mengembangkan sikap kritis dalam belajar:

              a. Pembaca harus mengetahui peran dirinya

              Tidak mungkin orang dapat belajar secara serius jika motivasi membaca disebabkan oleh ketertarikan terhadap daya pikat kata-kata pengarangnya, terpesona oleh kekuatan magis, atau jika dia bersikap pasif dan menjadi terbelenggu (domes ticated), hanya berusaha menghafal pemikiran pengarangnya, atau jika dia membiarkan dirinya ‘diserbu’ (invaded) oleh pemikiran pengarang, atau jika pembaca dijadikan sebuah ‘bejana’ yang cukup diisi dengan kutipan-kutipan dari teks yang termaktub di dalamnya.

              Mempelajari sebuah teks secara serius memerlukan analisa terhadap sebuah bidang kajian yang ditulis oleh orang yang telah mempelajarinya. Ini juga memerlukan pemahaman terhadap sosio-historis ilmu pengetahuan. Selain itu, pun perlu meneliti isi teks tersebut dan mempelajari pengetahuan-pengetahuan yang lain.

              Belajar adalah sebuah bentuk penemuan kembali (reinventing), penciptaan kembali (recreating), penulisan ulang (rewriting), dan ini merupakan tugas seorang subjek, bukan objek. Selanjutnya, dengan pendekatan ini pembaca tidak dapat memisahkan dirinya dari teks itu karena dia akan, jika dia melakukannya berarti, meninggalkan sikap kritis terhadap teks tersebut.

              Sikap kritis dalam belajar sama dengan sikap yang diperlukan untuk menghadapi dunia (yakni dunia dan kehidupan nyata pada umumnya), untuk bertanya dalam hati, yang dimulai dengan terus mengamati kebenaran yang tersembunyi di balik fakta yang dipaparkan dalam teks-teks.

              Semakin tekun kita belajar semakin kita mempunyai pandangan global dan makin mampu mengaplikasikan nya ketika membaca suatu teks dengan cara memilah-milah komponennya. Membaca ulang sebuah teks untuk mengetahui batasan-batasan komponen tersebut akan menciptakan pemahaman yang lebih signifikan secara keseluruhannya.

              Ketika melihat kata-kata inti dalam indeks, pembaca yang kritis akan terkesima dengan susunan tema yang selalu tidak eksplisit dicantumkan dalam bagian indeks suatu buku. Garis pembatas antara tema-tema tersebut tentu saja akan menjadi kerangka acuan pembaca (frame of reference) sebagai pembaca atau subjek (subject-reader).

              Sewaktu membaca sebuah teks, kita sebagai subjek harus merefleksikan (merenungkan) setiap topik pembicaraan, walaupun bukan merupakan tema utama teks (buku) tersebut. Dengan merenungkannya yang berarti menghubungkan antara tulisan yang kita baca dan pengetahuan yang telah kita miliki sebelumnya, maka sebagai pembaca yang baik kita seharusnya menganalisa teks tersebut, mencari hubungan antara gagasan utama teks tersebut dengan tujuan (kepentingan) membaca.

              Namun demikian, ada sebuah syarat yang perlu diperhatikan: Kita harus menganalisa isi teks dengan cara mengingat apa yang telah kita ketahui sebelum membaca teks tersebut atau sesudahnya, supaya kita tidak dianggap mengkhianati pemikiran utuh penulis.

              Sekali kita telah menemukan titik temu apa yang kita pelajari dengan kepentingan kita, maka harus dibuat catatan tentangnya di sebuah kartu dan diberi judul sesuai dengan topiknya. Kita harus meluangkan waktu untuk memikirkan topik itu ketika teks tadi menawarkan ruang gerak untuk kita. Kemudian, kita dapat melanjutkan membaca, berkonsentrasi pada teks yang mengundang refleksi yang mendalam.

              Dalam analisa akhir, mempelajari sebuah teks de jangan serius, laiknya mempelajari sebuah artikel, mensyaratkan bukan hanya pengamatan yang kritis terhadap isi pokok tetapi juga pengamatan terhadap kepekaan, ketenangan intelektual yang mantap, dan keinginan untuk meneliti.

              b. Pada dasarnya praktik belajar adalah bersikap terhadap dunia

              Karena praktik ini merupakan sikap terhadap dunia, maka praktik ini tidak dapat direduksi menjadi sekedar hubungan antara pembaca dengan teks.

              Sebenarnya sebuah teks merupakan refleksi dan mengekspresikan pergulatan penulis dengan dunia. Dan bahkan ketika seorang penulis tidak begitu mena ruh perhatian terhadap kenyataan yang sesungguhnya, dia tetap akan mengekspresikan bagaimana dia berseteru dengan dunia. Dengan demikian, belajar adalah memikirkan pengalaman, dan memikirkan pengalaman adalah cara terbaik untuk berpikir secara benar.

              Orang yang sedang belajar tidak boleh menghentikan rasa ingin tahunya terhadap orang lain dan kehidupan nyata. Mereka itu selalu bertanya dan berusaha menemukan jawaban, serta terus mencarinya.

              Dengan memelihara sikap ingin tahu ini menyebabkan kita menjadi cekatan (skillfull) dan mendapat banyak keuntungan. Dalam hal ini sebenarnya kita memanfaatkan apa yang telah kita pelajari dalam pergulatan antara pengalaman sehari-hari dan apa yang kita bicarakan.

              Sepercik ide-ide yang seringkali menghantam kita ketika sedang berjalan-jalan adalah akibat dari apa yang disebut Wright Mills dengan file of ideas. Ide-ide itu jika disimpan dengan tepat menjadi tantangan nyata yang harus kita tangkap. Ketika kita memikirkan secara lebih mendalam ide-ide tersebut maka akan menjadi alat refleksi yang lebih tajam pada saat kita membaca sebuah teks.

              c. Kapan saja mempelajari sesuatu kita dituntut menjadi lebih akrab dengan bibliografi yang telah kita baca, dan juga bidang studi secara umum atau bidang studi yang kita alami.

              d. Perilaku belajar mengasumsikan hubungan dialektis antara pembaca dan penulis yang refleksinya dapat ditemukan dalam tema teks tersebut.

              Dialektika ini melibatkan pengalaman sosio-historis dan ideologis penulis, yang tentu tidak sama dengan pengalaman pembaca.

              e. Perilaku belajar menuntut rasa rendah hati (sense of modesty)

              Jika kita benar-benar mempunyai sikap rendah hati dan kritis, kita tidak perlu merasa bodoh sewaktu kita dihadapkan pada kesulitan yang besar untuk memahami makna sebenarnya dari suatu teks. Teks yang kita baca tidak selalu mudah untuk dipahami. Dengan sikap rendah hati dan kritis kita lantas mengetahui bahwa teks tersebut bisa jadi berada di luar kemampuan kita untuk memahaminya, sehingga teks itu menjadi sebuah tan tangan tersendiri.

              Dalam hal ini, apa yang harus kita ketahui adalah pentingnya meningkatkan diri menjadi lebih baik, dan ketika suatu saat nanti kita ‘sudah siap’ maka kita dapat kembali membaca teks tersebut. Sungguh, tidak akan berguna jika kita meneruskan membaca apa yang tidak kita pahami. Sebaliknya, kita mestinya berhenti dan membiarkannya untuk sementara waktu. Memahami suatu teks bukanlah hadiah dari orang lain. Ini membutuhkan kesabaran dan komitmen kita.

              Kualitas perilaku belajar (the act of study) tidak bisa diukur dengan jumlah halaman yang dibaca selama satu malam atau jumlah buku yang dibaca selama satu semester.

              Belajar bukanlah mengkonsumsi ide, namun ciptakan dan terus menciptakan ide.


              Sumber:
              Buku Politik Pendidikan (Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan)
              Bab I Halaman 27 - 33
              Penerbit: REaD (Research, Education, and Dialogue) bekerjasama dengan PUSTAKA PELAJAR 2007
              Baca Lengkap....

              Karakteristik Guru dengan Kemampuan Mengajar yang Unggul

              Karakteristik Guru dengan Kemampuan Mengajar yang Unggul

              Guru harus mampu menginspirasi siswa. Inilah yang disebut guru inspirasional. Guru harus selalu tampil dengan mental yang unggul. Kegiatan mengajar yang unggul dipandang sebagai proses akademik, dimana siswa termotivasi belajar secara berkelanjutan, substansial, dan positif terutama berkaitan dengan bagaimana mereka berpikir, bertindak, dan merasa.

                Keunggulan ini juga bermakna suatu proses yang mengangkat motivasi belajar siswa ke tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan efek mengjar biasa. Kegiatan mengajar semacam ini menginspirasi siswa untuk terus belajar, selayaknya orang terhipnotis karena inspirasi dari gurunya.

                Seorang guru yang sangat baik dipandang sebagai salah satu energi yang memberikan kontribusi positif yang luar biasa terhadap terciptanya suasana belajar siswa, termasuk membangkitkan minat mereka.

                Berdasarkan hasil kajian terhadap beberapa referensi, guru dengan kemampuan mengajar yang unggul memiliki karakteristik seperti berikut ini.

                1. Keahlian pokok

                • memiliki pengetahuan tentang materi pelajaran secara menyeluruh dan menunjukkan antusiasme yang menular untuk itu;
                • menguasai materi lebih jauh dari sekadar yang tertuang dalam buku teks standar;
                • meneliti dan mengembangkan pikiran-pikiran penting dan asli mengenai materi pelajaran khusus;
                • mendalami secara kontinyu mata pelajaran, menganalisis sifat dan cakupan materi pelajaran, dan mengevaluasi kualitas;
                • mengikuti perkembangan secara teratur dalam mata pelajaran terkait dan pengembangan intelektual bidang lain yang menunjang;
                • memiliki minat yang kuat dalam isu-isu yang lebih luas demi pengembangan intelektual yang mengagumkan.

                2. Ahli pedagogis

                • menetapkan tujuan-tujuan pembelajaran yang sesuai dan mampu mengkomunikasinya dengan jelas;
                • menunjukkan sikap positif dan kepercayaan terhadap siswa, serta secara kontinyu bekerja untuk mengatasi kendala yang mungkin menghambat kemajuan belajar;
                • mengevaluasi dan menilai siswa secara adil dan cepat;
                • mendorong siswa berpikir dan memberdayakan diri untuk menemukan kreativitas mereka sendiri;
                • mempromosikan berbagai ide-ide, ekspresi, dan pendapat terbuka yang beragam, dengan tetap menjaga suasana integritas, kesopanan, dan rasa hormat;
                • memandu siswa berhasil belajar melalui eksplorasi proses pemecahan masalah secara kreatif dan kritis, serta dan membantu siswa bergulat dengan ide-ide dan informasi yang mereka butuhkan untuk mengem bangkan pemahaman mereka sendiri;
                • mempromosikan penemuan siswa;
                • menjadikan mengajar dan belajar sebagai kegiatan ilmiah;
                • menunjukkan rasa komitmen yang kuat bagi komunitas akademis di samping keberhasilan pribadi di dalam kelas;
                • memberikan umpan balik secara teratur, konstruktif, dan obyektif untuk siswa;
                • menemukan cara yang unik dan kreatif untuk menghubungkan siswa satu sama lain.

                3. Komunikator yang unggul

                • menunjukkan kemampuan berkomunikasi lisan dan tulisan yang efektif;
                • menunjukkan kemampuan berorganisasi dan keterampilan perencanaan yang baik;
                • membantu siswa belajar menggunakan keterampilan berkomunikasi yang efektif; mendengarkan dengan penuh perhatian, bersemangat, dan menunjukkan keakraban;
                • memanfaatkan alat pembelajaran secara tepat dan efektif; menyederhanakan dan menjelaskan materi pelajaran yang kompleks, serta menghasilkan wawasan yang menginspirasi;
                • menggunakan bahasa sebagai jembatan budaya.

                4. Mentor yang berpusat pada siswa

                • menjadikan dan membuat kegiatan belajar siswa sebagai prioritas tertinggi;
                • menyediakan waktu secara ikhlas untuk mempengaruhi motivasi belajar siswa;
                • berusaha untuk merangsang setiap siswa belajar melalui berbagai metode serta mendorong dan mengundang partisipasi aktif siswa;
                • membantu siswa menghubungkan pengalaman pembelajaran dan memfasilitasi pengembangan pengetahuan dirinya;
                • menyampaikan kepada siswa bahwa mereka harus mampu memahami fakta dengan pemahaman dan aplikasi konsep-konsep;
                • menanamkan keinginan pada siswa untuk belajar seumur hidup;
                • mengilhami mereka untuk mencapai tingkat intelektual yang lebih tinggi dan tidak menyerah ketika menghadapi kesulitan belajar;
                • membuat siswa dengan mudah memahami kepribadiannya.

                5. Asesor yang sistematis dan berkelanjutan

                • mengembangkan dan menggunakan hasil penilaian untuk terus meningkatkan pengalaman belajar siswa sesuai dengan tujuan program;
                • menggunakan pendekatan sistematis untuk menilai kemampuan diri dalam mengajar, menyiapkan bahan belajar yang segar dan baru, membuat perubahan yang sesuai pada saat yang tepat dan menetapkan tujuan yang jelas, serta menunjukkan cara berpikir dan bertindak yang diharapkan dari siswa;
                • menciptakan lingkungan yang mengundang umpan balik siswa yang membangun untuk perbaikan pembelajaran;
                • menyesuaikan gaya mengajar untuk mencapai tujuan belajar siswa yang berhasil;
                • mengakui keterbatasan dan kekurangan sendiri, menerima realitas keterbukaan dan daya kritis siswa, serta belajar dari mereka;
                • mendukung upaya pengujian untuk mengetahui keberhasilan kegiatan pembelajaran.

                Pertanyaan selanjutnya adalah calon guru seperti apa yang diinginkan? Windsor dan Rowland (2005) melakukan survei terhadap sekelompok administrator sekolah mengenai calon guru yang mereka inginkan. Administrator sekolah yang disurvei ternyata menghendaki calon guru yang memiliki sifat-sifat spesifik atau keterampilan yang merupakan ciri khas dari administrators seorang guru yang efektif.

                Karakteristik Calon Guru

                Karakteristik calon guru yang dikehendaki oleh inistrator sekolah di Amerika Serikat disajikan berikut ini.

                1. Memiliki kepribadian yang asli, yaitu tulus dan rendah hati setiap saat.
                2. Memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, tertulis dan lisan. Guru-guru yang memiliki pola berpikir yang buruk atau berkomunikasi dengan cara yang tidak jelas dengan cepat akan membawa guru itu segera "keluar” dari lembaganya bertugas.
                3. Menjadi pendengar yang baik dan memahami apa yang dikomunikasikan kepadanya.
                4. Memiliki sikap yang kooperatif. Calon guru yang dikehendaki adalah individu-individu yang fleksibel dan mudah bekerjasama dengan komunitas sekolah dan masyarakat.
                5. Memiliki pandangan positif pada pengajaran, pembelajaran, dan siswa.
                6. Dapat dipercaya dan diandalkan. Guru harus mampu menampilkan peran guru model untuk siswa dan dia sangat unggul dalam bidang ini.
                7. Memahami apa yang dibutuhkan untuk menjadi guru yang efektif. Mereka harus mengetahui tentang bagaimana siswa belajar dan bagaimana guru mampu memfasilitasi proses pembelajaran.
                8. Dapat mengelola siswa di dalam dan di luar kelas.
                9. Memiliki sikap ambisius untuk mencapai prestasi dan berkinerja terbaik. Administrator sekolah menghendaki guru yang mampu menjadi pemrakarsa kegiatan dan aneka acara. Guru yang mereka kehendaki adalah yang bisa membuat sesuatu benar-benar terwujud.
                10. Memiliki keterampilan kepemimpinan, tampil hati-hati dan tidak berperilaku kasar.
                11. Memiliki pemahaman dasar tentang prinsip-prinsip yang berlaku umum di pendidikan psikologi. Calon guru dapat menggunakan dan mengaplikasikan istilah-istilah seperti "penguatan," "penguasaan," "tujuan pembelajaran," dan "hasil belajar", khususnya ketika berbicara tentang proses belajar.
                12. Memahami materi pelajaran dengan baik dan dapat menyajikannya secara merangsang dan menarik.
                13. Memiliki kemampuan lebih dari satu mata pelajaran. Administrator sekolah menghendaki calon guru yang memiliki kemampuan mengajar untuk lebih dari satu subjek area. Bagi calon guru sekolah dasar, mereka menghendaki calon guru yang memiliki kemampuan dan keterampilan mengajar di berbagai tingkat kelas.
                14. Memiliki harapan atas standar pribadi yang tinggi dan profesional, namun tidak menampilkan kekakuan. Bagi mereka, guru yang baik harus memahami realitas siswanya.
                15. Dapat memodifikasi teknik pengajaran untuk mengakomodasi keragaman kemampuan siswa dan gaya belajar mereka yang berbeda.
                16. Dapat menghubungkan kegiatan mengajar dengan tujuan lain dari aneka kegiatan sekolah.
                17. Mampu mengorganisasikan kegiatan bersama guru lainnya. Juga memiliki kemampuan melakukan tindak lanjut atas aneka kegiatan.
                18. Memiliki selera bagus dalam berpakaian. Bagus dalam berdandan akan sangat mengesankan siswa.
                19. Memiliki selera humor yang baik. Tersenyum atau tertawa adalah jarak terpendek di antara dua orang.
                20. Memiliki semangat untuk berkembang sebagai seorang profesional. Administrator sekolah menghendaki calon guru yang terbuka dengan ide-ide, teknik, dan pendekatan baru yang dapat meningkatkan efektivitas kerja guru secara keseluruhan.

                =============================================
                Sumber: Buku PROFESIONALISME GURU DALAM PEMBELAJARAN
                Penulis: Drs. H. Zainal Aqib, M.Pd.
                Cetakan pertama, 2002 Cetakan kedua, 2007 Cetakan ketiga, 2010
                Percetakan Insan Cendekia, SURABAYA
                Baca Lengkap....