Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Apa, Mengapa, Bagaimana, dan Ciri-Ciri Profesi Menurut Ahli

Apa, Mengapa, Bagaimana, dan Ciri-Ciri Profesi Menurut Ahli

Dalam percakapan sehari-hari sering terdengar istilah profesi atau profesional. Seseorang mengatakan bahwa profesinya sebagai seorang dokter, yang lain mengatakan bahwa profesinya sebagai arsitek, atau ada pula sebagai pengacara, guru, ada juga yang mengatakan profesinya pedagang, penyanyi, petinju, penari, tukang koran, dan sebagainya. Para staf dan karyawan instansi militer dan pemerintahan juga tidak henti-hentinya menyatakan akan meningkatkan keprofesionalannya. Ini berarti bahwa jabatan mereka adalah suatu profesi juga.

    Jika diamati dengan cermat bermacam-macam profesi yang disebutkan di atas, belum dapat dilihat dengan jelas apa yang merupakan kriteria bagi suatu pekerjaan sehingga dapat disebut suatu profesi itu. Kelihatannya, kriterianya dapat bergerak dari segi pendidikan formal yang diperlukan bagi seseorang untuk mendapatkan suatu profesi, sampai kepada kemampuan yang dituntut seseorang dalam melakukan tugasnya.

    Dokter dan arsitek harus melalui pendidikan tinggi yang cukup lama, dan menjalankan pelatihan berupa pemagangan yang juga memakan waktu yang tidak sedikit sebelum mereka diizinkan memangku jabatannya. Setelah memangku jabatannya, mereka juga dituntut untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dengan tujuan meningkatkan kualitas layanannya kepada khalayak.

    Sementara itu untuk menjadi pedagang atau petinju mungkin tidak diperlukan pendidikan tinggi, malah pendidikan khusus sebelum memangku jabatan itu pun tidak perlu, meskipun latihan, baik sebelum ataupun setelah menggauli jabatan itu, tentu saja sangat diperlukan. Oleh sebab itu, agar tidak menimbulkan kerancuan dalam pembicaraan selanjutnya kita harus memperluas pengertian profesi itu.

    A. Pengertian dan Konsep Profesi, Profesional, Profesionalisme, Profesionalitas, dan Profesionalisasi

    Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian (expertise) dari para anggotanya. Artinya, tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan itu. Misalnya untuk mengoperasi seseorang yang mempunyai penyakit kanker, dibutuhkan seorang dokter spesialis bedah yang memiliki kemampuan yang diperoleh dari pendidikan khusus untuk itu, Keahlian diperoleh melalui apa yang disebut profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum seseorang menjalani profesi itu (pendidikan/latihan prajabatan) maupun setelah menjalani suatu profesi (inservice training).

    Profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, orang yang menyandang suatu profesi, misalnya, “Dia seorang profesional”. Kėdua, penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya. Dalam pengertian kedua ini, istilah profesional dikontraskan dengan “nonprofesional” atau “amatiran”. Dalam kegiatan sehari-hari seorang profesional melakukan pekerjaan sesuai dengan ilmu yang telah dimilikinya, jadi tidak asal tahu saja.

    Profesionalisme menunjuk kepada komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya.

    Profesionalitas, di pihak lain, mengacu kepada sikap para anggota profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki dalam rangka melakukan pekerjaannya. Jadi seorang profesional tidak akan mau mengerjakan sesuatu yang memang bukan bidangnya. Misalnya seorang guru akan selalu memberikan pelayanan yang baik kepada murid-muridnya.

    Profesionalisasi, menunjuk pada proses peningkatan kualifikasi maupun kemampuan para anggota profesi dalam mencapai kriteria yang standar dalam penampilannya sebagai suatu profesi. Profesionalisasi pada dasarnya merupakan serangkaian proses pengembangan profesional (profesional development), baik dilakukan melalui pendidikan/latihan “prajabatan" maupun latihan dalam jabatan (inservice training). Oleh karena itu, profesionalisasi merupakan proses yang sepanjang hayat (lifelong) dan tidak pernah berakhir (never ending), selama seseorang telah menyatakan dirinya sebagai warga suatu profesi.

    Jika dalam masa pendidikan/latihan prajabatan itu profesionalisasi lebih banyak ditentukan oleh lembaga (community of scholars, faculty members) dengan berpegang pada kaidah-kaidah akademik dan latihan praktek yang standar, maka setelah bekerja, profesionalisasi lebih banyak tergantung kepada setiap individu profesional tersebut, apakah ia/mereka mau meningkatkan profesionalitasnya (skills yang ditampilkan) dan profesionalismenya (komitmen pada profesi), apakah ia mau terus belajar, bergaul secara akrab dengan rekan sejawatnya untuk saling memberi dan menerima dalam suatu iklim kesejawatan dan kebersamaan.

    Berikut beberapa pendapat pakar tentang profesi: Didi Atmadilaga, secara bebas menafsirkan makna “profesi” yang dikemukakan dalam Encyclopedia of SocialSciences sebagai berikut; ….Wewenang praktek suatu kejuruan yang bersifat pelayanan pada kemanusiaan secara intelektual spesifik yang sangat tinggi, yang didukung oleh penguasaan pengetahuan keahlian serta seperangkat sikap dan keterampilan teknik, yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan khusus, yang penyelenggaraannya dilimpahkan kepada lembaga pendidikan tinggi... yang bersama memberikan izin praktek atau penolakan praktek dan kelayakan praktek dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang diawasi langsung oleh pemerintah maupun asosiasi profesi yang bersangkutan.

    Selanjutnya, Walter Johnson (1959) mengartikan petugas profesional (profesionals) sebagai “...seseorang yang menampilkan suatu tugas khusus yang mempunyai tingkat kesulitan lebih dari biasa dan mempersyaratkan waktu persiapan dan pendidikan cukup lama untuk menghasilkan pencapaian kemampuan, keterampilan dan pengetahuan yang berkadar tinggi”.

    B. Ciri-Ciri Profesi

    Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diangkat beberapa kriteria untuk menentukan ciri-ciri suatu profesi, yaitu sebagai berikut.
    1. Ada standar untuk kerja yang baku dan jelas.

    2. Ada lembaga pendidikan khusus yang menghasilkan pelakunya dengan program dan jenjang pendidikan yang baku serta memiliki standar akademik yang memadai dan yang bertanggung jawab tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang melandasi profesi itu.

    3. Ada organisasi profesi yang mewadahi para pelakunya untuk mempertahankan dan memperjuangkan eksistensi dan kesejahteraannya.

    4. Ada etika dan kode etik yang mengatur perilaku etik para pelakunya dalam memperlakukan kliennya.

    5. Ada sistem imbalan terhadap jasa layanannya yang adil dan baku.

    6. Ada pengakuan masyarakat (profesional, penguasa, dan awam) terhadap pekerjaan itu sebagai suatu profesi (Rochman Natawidjaja, 1989).

    Dari uraian di atas tentang ciri-ciri suatu profesi, maka profesi mempunyai ciri-ciri utama sebagai berikut.
    1. Fungsi dan signifikansi sosial: suatu profesi merupakan suatu pekerjaan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial dan krusial.

    2. Keterampilan/keahlian: untuk mewujudkan fungsi ini, dituntut derajat keterampilan/keahlian tertentu.

    3. Pemerolehan keterampilan tersebut bukan hanya dilakukan secara rutin, melainkan bersifat pemecahan masalah atau penanganan situasi kritis yang menuntut pemecahan dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.

    4. Batang tubuh ilmu: suatu profesi didasarkan kepada suatu disiplin ilmu yang jelas, sistematis, dan eksplisit (a systematic body of knowledge) dan bukan hanya common sense.

    5. Masa pendidikan: upaya mempelajari dan menguasai batang tubuh ilmu dan keterampilan keahlian tersebut membutuhkan masa latihan yang lama, bertahun-tahun dan tidak cukup hanya beberapa bulan. Hal ini dilakukan pada tingkat perguruan tinggi.

    6. Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional: proses pendidikan tersebut juga merupakan wahana untuk sosialisasi nilai-nilai profesional di kalangan para siswa/mahasiswa.

    7. Kode etik dalam memberikan pelayanan kepada klien, seorang profesional berpegang teguh kepada kode etik yang pelaksanaannya dikontrol oleh organisasi profesi. Setiap pelanggaran terhadap kode etik dapat dikenakan sanksi.

    8. Kebebasan untuk memberikan judgment: anggota suatu proses mempunyai kebebasan untuk menetapkan judgment-nya sendiri dalam menghadapi atau memecahkan sesuatu dalam lingkup kerjanya.

    9. Tanggung jawab profesional dan otonomi: komitmen pada suatu profesi adalah melayani klien dan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Tanggung jawab profesional harus diabdikan kepada mereka. Oleh karena itu, praktek profesional itu otonom dari campur tangan pihak luar.

    10. Pengakuan dan imbalan: sebagai imbalan dari Pendidikan dan Latihan yang lama, komitmennya dan seluruh jasa yang diberikan kepada klien, maka seorang profesional mempunyai prestise yang tinggi di mata masyarakat dan karenanya juga imbalan yang layak.

    C. Ciri-Ciri Profesi Menurut Para Ahli

    Ciri-ciri profesi menurut Omstein dan Levine adalah sebagai berikut.
    1. Melayani masyarakat, merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat (tidak berganti-ganti pekerjaan).

    2. Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkauan gokhalayak ramai (tidak setiap orang dapat melakukannya).

    3. Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek (teori yang baru dikembangkan dari hasil penelitian).

    4. Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.

    5. Terkendali berdasarkan lisensi baku dan atau mempunyai persyaratan masuk (untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau sada persyaratan khusus yang ditentukan untuk dapat mendudukinya).

    6. Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu (tidak diatur orang luar).

    7. Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan unjuk kerja yang ditampilkan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan (langsung bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskannya, tidak dipindahkan ke atasan atau instansi yang lebih tinggi). Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.

    8. Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien: dengan penekanan terhadap layanan yang akan diberikan.

    9. Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya; relative bebas dari supervisi dalam jabatan (misalnya dokter memakai tenaga administrasi untuk mendata klien, sementara tidak ada supervisi dari luar terhadap pekerjaan dokter sendiri).

    10. Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.

    11. Mempunyai asosiasi profesi dan atau kelompok elite untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan anggotanya (keberhasilan tugas dokter dievaluasi dan dihargai oleh organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bukan oleh Departemen Kesehatan).

    12. Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan atau menyangsikan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan.

    13. Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggi dari publik dan kepercaya dari setiap anggotanya (anggota masyarakat selalu meyakini dokter lebih tahu tentang penyakit pasien yang dilayaninya).

    14. Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi (bila dibandino dengan jabatan lainnya).

    Ciri-ciri profesi menurut Sanusi et. al. (1991):
    1. Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang menentukan (krusial).

    2. Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu.

    3. Keterampilan/keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.

    4. Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematik dan eksplisit, yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.

    5. Jabatan itu memerlukan pendidikan perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.

    6. Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri.

    7. Dalam memberikan layanan kepada masyarakat anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.

    8. Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgment terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya.

    9. Dalam prakteknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas dari campur tangan orang luar.

    10. Jabatan ini mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat, dan karenanya memperoleh imbalan yang tinggi pula.

    Ciri-ciri profesi menurut Robert W. Richey (1974) sebagai berikut:
    1. Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal daripada kepentingan pribadi.

    2. Seorang pekerja profesional, secara relatif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya.

    3. Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan.

    4. Memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap serta cara kerja.

    5. Membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi.

    6. Adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam profesi, serta kesejahteraan anggotanya.

    7. Memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi dan kemandirian.

    8. Memandang profesi sebagai suatu karier hidup (a live career) dan menjadi seorang anggota yang permanen.

    Ciri-ciri profesi menurut D. Westby Gibson (1965) sebagai berikut:
    1. Pengakuan oleh masyarakat terhadap layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh kelompok pekerja yang dikategorikan sebagai suatu profesi.

    2. Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik dan prosedur yang unik.

    3. Diperlukannya persiapan yang sengaja dan sistematis sebelum orang mampu melaksanakan suatu pekerjaan profesional.

    4. Dimilikinya suatu mekanisme untuk menyaring sehingga hanya mereka yang dianggap kompeten yang diperbolehkan bekerja untuk lapangan pekerjaan tertentu.

    5. Dimilikinya organisasi profesional yang di samping melindungi kepentingan anggotanya dari saingan kelompok luar, juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat, termasuk tindak etis profesional pada anggotanya.

    Sumber:
    Profesi Keguruan
    (Buku Materi Pokok MKDK4005/2SKS/Modul 1-6)
    Edisi 1
    Oleh Djam'an Satori, dkk.
    Penerbit: Universitas Terbuka, Tangerang Selatan
    Tahun: 2012
    Halaman 1.3 - 1.10
    Baca Lengkap....

    Sifat Guru Sukses, Sikap Kontradiksi dan Sifat Guru Prustasi



    Sukses tidaknya pendidikan sangat dipengaruhi oleh peran seorang guru. Pada pendidikan formal di sekolah, guru memegang kendali penuh terhadap peserta didik di dalam kelas. Baik atau tidaknya pembelajaran dalam kelas bergantung pada guru sebagai ujung tombaknya.

      Sekarang ini, beberapa guru sering menyalahartikan perannya sebagai pendidik. Mereka mengganggap tugas guru hanya mentransfer ilmu. Padahal guru memegang peran strategis, terutama dalam upaya membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan. Maka dari itu, guru seharusnya memiliki sikap dan sifat yang baik agar anak didiknya dapat meniru dan mencontoh perilaku-perilaku baik tersebut. Dengan kata lain guru harus memiliki kualitas yang baik untuk menjadikan pendidikan lebih bermutu.

      Dengan kepribadian yang baik tersebut nantinya akan memberikan dampak positif terhadap sikap dan perilaku siswa disekolah. Guru juga harus mampu memilih metode atau pembelajaran seperti apa yang pas untuk anak didik mereka. Tidak memaksa namun perlahan membuat anak didik menyukai cara belajar yang diterapkan.

      Seorang guru yang ideal menurut Uzer Usman (1992) mempunyai tugas pokok yaitu mendidik, mengajar dan melatih. Oleh karena itu seorang guru harus memiliki kompetensi. Dalam profesi keguruan kita mengenal istilah kompetensi. Kompetensi itulah yang digunakan untuk menilai apakah seorang guru berkualitas atau tidak.

      Ada tiga kompetensi yang harus dimiliki guru, yaitu kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional (Baca di sini "Ciri-Ciri dan 10 Kualitas Guru yang Baik"). Karena itu, berikut penjelasan tentang sifat guru yang sukses dan sifat guru prustasi.

      A. Sifat Guru Sukses


      Beth Lewis mengemukakan pertanyaan “Apa yang kita bisa pelajari dari guru yang sukses?" Guru-guru yang paling dikagumi adalah mereka yang tetap ingin tahu pentingnya intelektual dan profesional, baik di dalam maupun di luar kelas selama beberapa dekade. Mereka menghindari stagnasi di semua lini dan memelihara gairah yang patut ditiru oleh anak-anak dalam proses pembelajaran. Mereka tetap hidup dalam kenangan siswa selamanya karena kreativitas, rasa menyenangkan, dan belas kasihan mereka.

      Berikut adalah kualitas guru yang diduga kuat berkontribusi paling sukses bagi karir mengajar guru.

      1. Guru yang sukses memiliki harapan tinggi secara terus-menerus

      Guru-guru yang paling efektif mengharapkan prestasi besar dari murid-murid mereka, dan tidak menerima begitu saja atas kekurangan prestasi siswanya. Dalam pendidikan, harapan itu membangun ramalan. Ketika guru percaya masing-masing dan setiap siswa bisa berprestasi membubung melampaui batas-batas yang dibayangkan, anak-anak akan merasakan keyakinan itu dan bekerja dengan guru untuk mewujudkannya.

      2. Mereka berpikir kreatif

      Guru-guru terbaik berpikir di luar kotak, di luar kelas, dan di luar kondisi yang "normal". Mereka melompat di luar dinding kelas dan membawa murid mereka bersamanya! Guru-guru berprestasi mencoba sebanyak mungkin membuat pengalaman kelas menarik dan mengesankan bagi siswa. Mereka mencari cara untuk mendorong siswa mereka masuk ke dalam sebuah aplikasi dunia nyata dan mengemas pengalaman tingkat berikutnya. Berpikirlah taktis, tak terduga, gerakan yang bertujuan, dan sedikit "gila", maka Anda akan berada di jalur yang benar.

      3. Fleksibel dan sensitif tingkat tinggi

      Guru-guru terbaik bergerak melebihi kebutuhan mereka sendiri dan tetap peka terhadap kebutuhan orang lain, termasuk siswa, orang tua, kolega, dan masyarakat. Ini menantang karena setiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda, namun guru yang paling sukses adalah mereka yang memainkan banyak peran yang berbeda dalam satu hari ketika menerima fluiditas dan rahmat, sambil tetap jujur terhadap diri sendiri.

      4. Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan berkembang atau kuriositas

      Banyak orang yang akrab dengan kondisi stagnan, sinis, rendah energi yang tampaknya akan menunggu waktu mereka sampai pensiun, dan menunggu jam mengajar berakhir, bahkan lebih tidak intensif dibandingkan dengan siswa. Itulah yang tidak boleh dilakukan oleh guru.

      Sebaliknya, guru yang paling dikagumi memperbarui energi mereka dengan belajar ide-ide baru dari guru muda, dan mereka tidak terancam oleh cara-cara baru dalam melakukan sesuatu di kampus sekolah. Mereka memiliki prinsip-prinsip inti yang kuat, tapi tetap memiliki semangat untuk berkembang sesuai dengan perubahan waktu. Mereka merangkul teknologi baru dan percaya diri dalam bergerak maju ke masa depan.

      5. Mereka adalah manusia sempurna

      Guru-guru yang paling efektif membawa seluruh dirinya untuk pekerjaa Mereka merayakan keberhasilan siswa, muncul belas kasih berjuang untuk orang tua, menceritakan kisah-kisah dari kehidupan mereka sendiri, menertawakan kesalahan mereka, berbagi kebiasaan unik mereka, dan tidak takut untuk menjadi manusia sempurna di depan murid-murid mereka. Mereka mengerti bahwa guru tidak hanya memberikan kurikulum, tetapi bagi mereka yang terbaik adalah menjadi pemimpin inspiratif, menunjukkan siswa bagaimana harus bersikap di semua bidang kehidupan dan dalam semua jenis situasi.

      Guru yang hebat mengakui secara jujur ketika mereka tidak tahu jawabannya. Mereka minta maaf ketika siswa memerlukan dan memperlakukan siswanya dengan hormat.

      6. Guru yang sukses senang belajar dan menjalani kehidupan

      Guru guru di kagumi memandang banyak hal secara ringan dan menyenangkan, serta menjadi pembelajar yang serius. Mereka tidak takut untuk menjadi bodoh karena karena memang selalu menjadi pembelajar dan menikmati kehidupan dengan segala perkembangannya.

      B. Sikap Kontradiksi


      Sesungguhnya pendidikan harus dimulai dengan solusi dari kontradiksi guru-murid. Pendidikan harus mendamaikan kutub kontradiksi sehingga mampu memanusiawikan keduanya, yaitu guru dan siswa. Solusi ini tidak juga tidak bisa diterima dalam konsep perbankan pendidikan.

      Sebaliknya, perbankan pendidikan mempertahankan dan bahkan merangsang kontradiksi melalui sikap berikut dan praktik yang menindas sebagai cermin masyarakat secara keseluruhan:

      - guru mengajar dan siswa diajar;
      - guru tahu segalanya dan siswa tahu apa-apa;
      - guru berpikir, siswa menyadap pikiran guru;
      - guru berbicara dan siswa patuh mendengarkan;
      - disiplin ditetapkan guru dan siswa mematuhi disiplin yang ditetapkan;
      - guru memilih dan melaksanakan pilihannya dan siswa mematuhinya;
      - guru bertindak dan siswa memiliki ilusi untuk bertindak melalui tindakan guru:
      - guru memilih isi program dan siswa secara tanpa dialog beradaptasi dengan isi program itu;
      - guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalnya sendiri yang dikemasnya secara bertentangan dengan kebebasan siswa;
      - guru adalah subjek proses belajar, sedangkan siswa adalah obyek belaka.

      Tidak mengherankan bahwa konsep perbankan pendidikan menganggap siswa sebagai beradaptasi, makhluk dikelola. Pekerjaan siswa tidak lebih dari menyimpan deposito yang dipercayakan kepada mereka. Siswa kurang mengembangkan kesadaran kritis akan hasil dari intervensi mereka di dunia sebagai transformator dari dunia itu. Semakin benar-benar mereka menerima peran pasif yang dikenakan pada mereka, semakin mereka cenderung hanya untuk beradaptasi dengan dunia seperti apa adanya dan keterampilan mereka terfragmentasi pada realitas yang disimpan di dalamnya.

      C. Sifat Guru Frustrasi


      Di banyak negara profesi guru sangat dihormati. Namun demikian, dari sisi pandang guru sendiri, penyandang profesi ini tidak luput dari belenggu permasalahan, karena mereka menghadapi aneka tantangan. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Harris Interactive (2006), beberapa permasalahan yang dihadapi oleh guru disajikan berikut ini.

      Pertama, guru yang memandang tidak cukup waktu merencanakan pembelajaran sebanyak 65 persen.

      Kedua, 2 dari 3 guru menyatakan bahwa gaji tidak sesuai dengan beban pekerjaan sebanyak 64 persen.

      Ketiga, guru yang memandang bahwa membantu siswa secara indivi dual sebagai salah satutan tangan berat sebanyak 60 persen.

      Keempat, guru yang mempersepsi bahwa prestise profesional masih jauh dari harapan sebanyak 37 persen.

      Kelima, guru yang memandang bahwa pelaksanaan pembelajaran di kelas merupakan tanangan berat sebanyak 34 persen.

      Ini berarti bahwa masih ada guru yang belum secara sungguh-sungguh menjalankan tugas-tugas profesionalnya dalam suasana yang menyenangkan. Hal ini dapat mengundang frustrasi di kalangan siswa. Sebagaimana termuat dalam situs www.gladlywoulditeach.com, pada sebuah forum diskusi online untuk kelas bahasa Inggris terungkap ciri-ciri guru yang menyebab kan frustrasi bagi siswanya.


      Berikut ini disajikan ciri-ciri guru yang menyebabkan siswanya frustasi akibat kinerja buruk guru ketika melaksanakan proses pembelajaran.

      1. Pandangan negatif terhadap kegiatan mengajar atau pekerjaan mereka. Siswa berulang kali menyampaikan gagasan bahwa guru-guru yang membenci pekerjaan mereka harus mencari pekerjaan lain.

      2. Sibuk bekerja dan kurangnya varietas dalam kegiatan kelas. Siswa meraa terganggu oleh tugas-tugas yang tidak membangun keterampilan atau pengetahuan baru bagi mereka.

      3. Kecongkakan. Siswa jengkel terhadap guru-guru yang meremehkan, menghina atau merendahkan mereka. Alih-alih mendukung mereka, siswa merasa bahwa beberapa guru memperlakukan mereka dengan cara merendahkan.

      4. Kurangnya pengetahuan. Guru yang mengajar langsung dari buku memunculkan frustrasi siswa karena mereka sering tidak mampu menjawab pertanyaan secara lebih rinci dari apa yang diberikan dalam buku teks, juga tidak mengaitkan materi pelajaran dengan dunia nyata atau contoh-contoh di luar buku teks.

      5. Tidak ada mengenal banyak tentang siswanya. Menurut siswa, beberapa guru hanya membuat sedikit usaha untuk mengenal murid-murid mereka, tahu sedikit tentang apa yang siswa lakukan di luar kelas, dan hanya sebagian kecil guru yang melakukan usaha untuk mempelajari dan mengenali nama-nama siswanya. siswa tahuan

      6. Keengganan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan siswa. Dalam beberapa kelas siswa menyela untuk mengajukan pertanyaan. Menurut siswa, beberapa guru meremehkan mereka. Sebagian guru menyatakan bahwa sesungguhnya pertanyaan itu sudah bisa dijawab oleh siswa. sendiri. Sebagian siswa lainnya menyatakan bahwa guru tidak bisa menjawab pertanyaan dengan jelas. Hal ini tampaknya menjadi da penyebab sampingan dari dua frustrasi lainnya: arogansi guru dan/atau kekurangan pengetahuan guru.

      7. Apati. Siswa melaporkan bahwa beberapa guru tidak peduli dengan siswa-siswa mereka, kelas mereka, atau kegiatan dalam kelas. Siswa sangat cepat menentukan bahwa jika guru tidak peduli tentang proses pembelajaran di kelas kelas, mereka seharusnya juga tidak peduli terhadap guru.

      Di samping itu, sebagian siswa menyatakan bahwa guru-guru mereka kurang mengenali etika pekerjaan yang baik. Sebagian dari guru hanya membuat beberapa tanda di atas kertas kerja, sehingga siswa tidak tahu perbaikan apa yang harus dilakukan. Sikap sebagian guru-guru yang menunjukkan sikap pilih kasih juga memunculkan frustrasi pada diri siswa.

      Meskipun siswa tidak kesulitan menjelaskan ciri-ciri guru mereka yang frustrasi, ternyata hampir semua siswa mengawali laporan mereka dengan mengekspresikan rasa hormat kepada guru dan menggarisbawahi bahwa sebagian besar dari guru mereka telah dipersiapkan dengan baik, peduli, berpengetahuan, dan seringkali inspirasional.

      Sumber: Buku Psikologi Pendidikan (Dalam Perspektif Baru). Penulis: Prof. Dr. Sudarwan Danim & Dr. H. Khairil. Diterbitkan Tahun 2010 (cetakan pertama) dan 2011 (cetakan kedua) oleh ALFABETA Bandung.
      Baca Lengkap....

      Teori Perkembangan yang Sering Menjadi Acuan dalam Bidang Pendidikan

      Teori Perkembangan yang Sering Menjadi Acuan dalam Bidang Pendidikan
      Ada berbagai teori perkembangan. Pada tulisan ini akan dibahas beberapa teori yang sering menjadi acuan dalam bidang pendidikan, yaitu teori yang termasuk teori menyeluruh/global (Rousseau, Stanley Hall, Havigurst), dan teori yang termasuk khusus/spesifik (Piaget, Kohlbergf, Erikson).

        Nana Saodih Sukmadinata (2009) menguraikannya sebagai berikut:

        A. Jean Jacques Rousseau

        Jean Jacques Rousseau merupakan ahli pendidikan beraliran liberal yang menjadi pendorong pembelajaran discovery. Rousseau mulai mendakan kajian pada 1800an. Menurutn Rousseau, perkembangan anak terbagi menjadi empat tahap, yaitu:

        1) Masa bayi infancy (0-2 tahun), usia antara 0-2 tahun adalah masa perkembangan fisik. Kecepatan pertumbuhan fisik lebih dominan dibandingkan perkembangan aspek lain, sehingga anak disebut sebagai binatang yang sehat;

        2) Masa anak/childhood (2-12 tahun), disebut juga masa perkembangan sebagai manusia primitif. Kecuali masih terjadi pertumbuhan fisik secara pesat, aspek lain sebagai manusia juga mulai berkembang, misalnya kemampuan berbicara, berfikir, intelektual, moral, dll;

        3) Masa remaja awal/pubescence (12-15 tahun), disebut masa remaja awal/pubescence, ditandai dengan perkembangan pesat intelektual dan kemampuan bernalar juga disebut masa bertualang;

        4) Masa remaja/adolescence (15-25 tahun). Pada masa ini tejadi perkembangan pesat aspek seksual, social, moral, dan nurani, juga disebut masa hidup sebagai manusia beradab.

        B. Stanley Hall

        Stanley Hall, seorang psikolog dari Amerika Serikat, merupakan salah satu perintis kajian ilmiah tentang siklus hidup (life span) yang berteori bahwa perubahan menuju dewasa terjadi dalam sekuens (urutan) yang universal bagian dari proses evolusi, parallel dengan perkembangan psikologis, namun demikian, faktor lingkungan dapat mempengaruhi cepat lambatnya perubahan tersebut. Misalnya, usia enam tahun adalah usia masuk sekolah di lingkungan tertentu, tetapi ada yang memulai sekolah pada usia lebih lambat di lingkungan yang lain. Konsekuensinya, irama perkembangan anak di kedua lingkungan tersebut dapat berbeda.

        Stanley Hall membagi masa perkembangan menjadi empat tahap, yaitu:

        1) Masa kanak-kanak/infancy (0-4 tahun). Pada usia-usia ini, perkembangan anak disamakan dengan binatang, yaitu melata atau berjalan;

        2) Masa anak/childhood (4-8 tahun). Masa ini disebut masa pemburu, anak haus akan pemahaman lingkungannya, sehingga akan berburu kemanapun, mempelajari lingkungan sekitarnya;

        3) Masa puber/youth 8-12 tahun). Pada masa ini anak tumbuh dan berkembang tetapi sebhagai makhluk yang belum beradab. Banyak hal yang masih harus dipelajari untuk menjadi makhluk yang beradab di lingkungannya, seperti yangt berkaitan dengan sosial, emosi, moral, intelektual;

        4) Masa remaja/adolescence (12 – dewasa). Pada masa ini, anak mestinya sudah menjadi manusia beradab yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dunia yang selalu berubah.

        Perspektif life span seperti yang dipelopori oleh Stanley Hall dkk., dapat dibuktikan pada tahap masa remaja sampai dewasa. Misalnya, pada masyarakat tertentu yang masih terbelakang, anak justru cepat menjadi dewasa. Karena pendidikan hanya tersedia sampai sekolah dasar, masayrakat cenderung mulai bekerja dan berkeluarga dalam usia muda. Sebaliknya, pada masyarakat yang semua warganegaranya mencapai pendidikan tinggi, anak-anak menjadi dewasa pada usia yang lebih lanjut.

        C. Robert J. Havigurst

        Robert J. Havigurst dari Universitas Chicago mulai mengembangkan konsep developmental task (tugas perkembangan) pada tahun 1940an, yang menggabungkan antara dorongan tumbuh/berkembang sesuai dengan kecepatan pertumbuhannya denga tantangan dan kesempatan yang diberikan oleh lingkungannya. Havigurst menyusun tahap-tahap perkembangan menjadi lima tahap berdasarkan problema yang harus dipecahkan dalam setiap fase, yaitu: 1) Masa bayi/infancy (0 – ½ tahun); 2) Masa anak awal/early childhood (2/3 – 5/7 tahun); 3) Masa anak/late childhood (5/7 tahun – pubesen); 4) Masa adolesense awal/early adolescence (pubesen – pubertas); 5) Masa adolescence/late adolescence (pubertas – dewasa).

        Menurut teori ini, dalam perkembangan, anak melewati delapan tahap perkembangan (developmental stages). Ada sepuluh tugas perkembangan yang harus dikuasai anak pada setiap fase, yaitu: 1) Ketergantungan – kemandirian; 2) Memberi – menerima kasih sayang; 3) Hubungan social; 4) Perkembangan kata hati; 5) Peran biososio dan psikologis; 6) Penyesuaian dengan perubahan badan; 7) Penguasaan perubahan badan dan motoric; 8) Memahai dan mengendalikan lingkungan fisik; 9) Pengembangan kemampuan konseptual dan sistem simbol; 10) Kemampuan melihat hubungan dengan alam semesta.

        Dikuasai atau tidaknya tugas perkembangan pada setiap fase akan mempengaruhi penguasaan tugas-tugas pada fase berikutnya.

        D. Jean Piaget

        Jean Piaget latar belakangnya adalah pakar biologi dari Swiss yang hidup pada tahun 1897 sampai tahun 1980 (Harre dan Lamb), 1988). Teori-teorinya dikembangkan dari hasil pengamatan terhadap tiga orang anak kandungnya sendiri, kebanyakan berdasarkan hasil pengamatan pembicaraanya dengan anak atau antar anak-anak sendiri. Piaget lebih memfokuskan kajiannya dalam aspek perkembangan kognitif anak dan mengelompokkannya dalam empat tahap, yaitu:

        1)Tahap sensorimotorik (0-2 tahun). Tahap ini juga disebut masa discriminating dan labeling. Pada masa ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks, bahasa awal, dan ruang waktu sekarang saja.

        2)Tahap praoperasional (2-4 ahun). Pada tahap praoperasional, atau prakonseptual, atau disebut juga dengan masa intuitif, anak mulai mengembangkan kemampuan menerima stimulus secara terbatas. Kemampuan bahasa mulai berkembang, pemikiran masih statis, belum dapat berfikir abstrak, dan kemampuan persepsi waktu dan ruang masih terbatas.

        3)Tahap operasional konkrit (7-11 tahun). Tahap ini juga disebut masa performing operation. Pada masa ini, anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas menggabungkan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat, dan membagi.

        4)Tahap operasonal formal (11-15 tahun). Tahap ini juga disebut masa proportional thinking. Pada masa ini, anak sudah mampu berfikir tingkat tinggi, seperti berfikir secara deduktif, induktif, menganalisis, mensintesis, mampu berfikir secara abstrak dan secara reflektif, serta mampu memecahkan berbagai masalah.

        E. Lawrence Kohlberg

        Mengacu kepada teori perkembangan Piaget yang berfokus pada perkembangan kognitif, Kohlberg lebih berfokus pada kognitif moral atau moral reasoning. Kemampuan kognitif moral seseorang dapat diukur dengan menghadapkannya dengan dilemna moral hipotesis yang terkait dengan kebenaran, keadilan, konflik terkait aturan dan kewajiban moral.

        Menurut Kohlberg, perkembangan moral kognitif anak terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu:

        1. Preconventional moral reasoning, yaitu:

        a) Obidience and paunisment orientation. Pada tahap ini, orientasi anak masih pada konsekuensi fisik dari perbuatan benar – salahnya, yaitu hukuman dan kepatuhan. Mereka hormat kepada penguasa, penguasalah yang menetapkan aturan/undang-undang, mereka berbuat benar untuk menghindari hukuman;

        b) Naively egoistic orientation. Pada tahap ini, anak beorientasi pada instrument relative. Perbuatan benar adalah perbuatan yang secara instrument memuaskan keinginannya sendiri dan (kadang-kadang) juga orang lain. Kepeduliannya pada keadilan/ketidakadilan bersifat pragmatic, yaitu apakah mendatangkan keuntungan atau tidak.

        2. Conventional moral reasoning, yaitu:

        a) Good boy orientation. Pada tahap ini, orientasi perbuatan yang baik adalah yang menyenangkan, membantu, atau diepakati oleh orang lain. Orientasi ini juga disebut good/nice boy orientation. Anak patuh pada karakter tertentu yang dianggap alami, cenderung mengembangkan niat baik, menjadi anak baik, saling berhubungan baik, peduli terhadap orang lain;

        b) Authority and social order maintenance orientation. Pada tahap ini, orientasi anak adalah pada aturan dan hukum. Anak menganggap perlunya menjaga ketertiban, memenuhi kewajiban dan tugas umum, mencegah terjadinya kekacauan sistem. Hukum dan perintah penguasa adalah mutlak dan final, penekanan pada kewajiban dan tugas terkait dengan perannya yang diterima di masyarakat dan publik.

        3. Post conventional moral reasoning, yaitu:

        a) Contranctual legalistic orientation. Pada tahap ini, orientasi anak pada legalitas kontrak social. Anak mulai peduli pada hak azasi individu, dan yang baik adalah yang disepakati oleh mayoritas masyarakat. Anak menyadari bahwa nilai (benar/salah, baik/buruk, suka/tidak suka, dll) adalah relatif, menyadari bahwa hukum adalah intrumen yang disetujui untuk mengatur kehidupan masyarakat, dan itu dapat diubha melalui diskusi apabila hukum gagal mengetur masyarakat;

        b) Conscience or principle orientation. Pada tahap ini, orientasi adalah pada prinsip-prinsip etika yang bersifat universal. Benar-salah harus disesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip etika yang bersifat ini sari dari etika universal. Aturan hukum legal harus dipisahkan dari aturan moral. Masing-masing (hukum legal dan moral) harus diakui terpisah, masing-masing mempunyai penerapannya sendiri, tetapi tetap mengacu pada nilai-nilai etika/moral.

        F. Erick Homburger Erickson

        Erickson merupakan salah seorang tokoh psikoanalisis pengikut Sigmund Freud. Dia memusatkan kajiannya pada perkembangan psikososial anak. Menurut Erickson (dalam Harre dan Lamb, 1988), dalam perkembangan, anak melewati delapan tahap perkembangan (developmental stages), disebut siklus kehidupan (life cycle) yang ditandai dengan adanya krisis psikososial tertentu. Teori Erickson ini secara luas banyak diterima, karena menggambarkan perkembangan manuasia mencakup seluruh siklus kehidupan dan mengakui adanya interaksi antara individu dengan konteks sosial. Kedelapan tahap tersebut digambarkan pada table di bawah ini.

        Tabel  perkembangan psikososial anak

        Pada tahap basic trust vs mistrust (infancy – bayi), anak baru mulai mengenal dunia, perhatian anak adalah mencari rasa aman dan nyaman. Lingkungan dan sosok yang mampu menyediakan rasa nyaman/aman itulah yang dipercaya oleh anak, sebalinya, yang menjadikan sebaliknya, cenderung tidak dipercaya. Rasa aman dan nyaman ini terkait dengan kebutuhan primer seperti makan, minum, pakaian, kasih sayang. Sosok ibu atau pengasuh biasanya sangat dipercaya karena setiap mendatangkan kenyamanan. Sedangkan orang yang dianggap asing akan ditolaknya.

        Pada tahap autonomy vs shame and doubt (toddler – masa bermain), anak tidak ingin sepenuhnya tergantung pada orang lain. Anak mulai mempunyai keinginan dan kemauan sendiri. Dalam masa ini, orangtua perlu memberikan kebebasan yang terkendali, karena apabila anak terlalu dikendalikan/didikte, pada diri anak dapat tumbuh rasa selalu was-was, ragu-ragu, kecewa.

        Pada tahap Initiative vs guilt (preschool – prasekolah), pada diri anak mulai tumbuh inisiatif yang perlu difasilitasi, didorong, dan dibimbing oleh orang dewasa disekitarnya. Anak mulai bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Berbagai aktifitas fisik seperti bermain, berlari, lompat, banyak dilakukan. Kurangnya dukungan dari lingkungan, misalnya terlalu dikendalikan, kurangnya fasilitas, sehingga inisiatifnya menjadi terkendala, pada diri anak akan timbul rasa kecewa dan bersalah.

        Pada tahap ini, industry vs inferiority (schoolage – masa sekolah), anak cenderung luar biasa sibuk melakukan berbagai aktifitas yang diharapkan mempunyai hasil dalam waktu dekat. Keberhasilan dalam aktifitas ini akan menjadikan anak merasa puas dan bangga. Sebaliknya, jika gagal, anak akan merasa rendah diri. Oleh karena itu, anak memerlukan bimbngan dan fasilitasi agar tidak gagal dan setiap aktifitasnya.

        Pada tahap identity vs role confusion (asolescence – remaja), anak dihadapkan pada kondisi pencarian identittas diri. Jatidiri ini akan akan berpengaruh besar pada masa depannya. Pengaruh lingkungan sangat penting. Lingkungan yang baik akan menjadikan anak memiliki jati diri sebagai orang baik, sebaliknya lingkunganh yang tidak baik anak membawanya menjadi pribadi yang kurang baik. Orang tua harus menjamin bahwa anak berada dalam lingkungan yang baik, sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi, misalnya menjadi anggota geng anak nakal, anak jalanan, pemabuk, narkoba, dll., adalah disebabkan karena anak keliru dalam membangun identitas diri.

        Pada tahap intimacy vs isolation (young adulthood – dewasa awal), anak mulai menyadari bahwa meskipun dalam banyak hal memerlukan komunikasi dengan masyarakat dan teman sebaya, dalam hal-hal tertentu, ada yang memang harus bersifat privat. Ada hal-hal yang hanya dibicarakan dengan orang tertentu, ada orang tertentu tempat mencurahkan isi hati, memerlukan orang yang lebih dekat secara pribadi, termasuk pasangan lawan jenis. Kegagalan pada tahap ini dapat mengakibatkan anak merasa terisolasi di kehidupan masyarakat.

        Tahap generativity vs stagnation (middle adulthood – dewasa tengah-tengan) menandai munculnya rasa tanggungjawab atas generasi yang akan datang. Bentuk kepedulian ini tidak hanya dalam bentuk peran sebagai orangtua, tetapi juga perhatian dan kepeduliannya pada anak-anak yang merupakan generasi penerus. Ada rasa was-was akan generasi penerusnya (keturunannya), seperti apakah mereka nanti, bahagiakah, terpenuhi kebutuhannyakah? Atau akan stagnan, bertenti sama sekali.

        Tahap ini, ego integrity vs despair (later adulthood – dewasa akhir), adalah tahap akhir dari siklus kehidupan. Individu akan melakukan introspeksi, mereview kembali perjalanan kehidupan yang telah dilalui dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, dari karier satu ke karier lainnya. Yang paling diharapkan adalah jika tidak ada penyesalan.

        Daftar Pustaka

        Clark, b. (1984). Growing Up Gifted. Boston, MA: Prentice Hall.

        Harre, R. and Lamb, R. (eds). (1988). The encyclopedic Dictionary of Psychology. Cambridge, MA: MIT Press.12.

        Sugiman, Sumardiyono, Marfuah (2016). Guru Pembelajar: Modul Matematika SMP – Karakteristik Siswa. Jakarta: Dtjen Guru Dan Tenaga Kependidikan.

        Sukmadinata, N. S. (2009). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.

        Sunardi dan Imam Sujadi (2016). Sumber Belajar Penunjang PLPG 2016 (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan 2016).
        Baca Lengkap....

        Pedagogik: Karakteristik Siswa (Sumber Belajar Penunjang)

        Pedagogik: Karakteristik Siswa (Sumber Belajar Penunjang)
        Siswa sebagai subyek pembelajaran merupakan individu aktif dengan berbagai karakteristiknya, sehingga dalam proses pembelajaran terjadi interaksi timbal balik, baik antara guru dengan siswa maupun antara siswa dengan siswa.

          Oleh karena itu, salah satu dari kompetensi pedagogik yang harus dikuasai guru adalah memahami karakteristik anak didiknya, sehingga tujuan pembelajaran, materi yang disiapkan, dan metode yang dirancang untuk menyampaikannya benar-benar sesuai dengan karakteristik siswanya.

          Perbedaan karakteristik anak salah satunya dapat dipengaruhi oleh perkembangannya. Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu masa pertemkuan spermatozoid dengan sel telur sampai dengan dewasa.

          1. Metode dalam psikologi perkembangan

          Ada dua metode yang sering dipakai dalam meneliti perkembangan manusia, yaitu longitudinal dan cross sectional. Dengan metode longitudinal, peneliti mengamati dan mengkaji perkembangan satu atau banyak orang yang sama usia dalam waktu yang lama. Misalnya penelitan Luis Terman (dalam Clark, 1984) yang mengikuti perkembangan sekelompok anak jenius dari masa pra-sekolah sampai masa dewasa waktu mereka sudah mencapai karier dan kehidupan yang mapan. Perbedaan karakteristik setiap saat itulah yangt diasumsikan sebagai tahap perkembangan.

          Penelitian dengan metode longitudinal mempunyai kelebihan, yaitu kesimpulan yang diambil lebih meyakinkan, karena membandingkan karakteristik anak yangbvsama pada usia yang berbeda-beda, sehingga setiap perbedaan dapat diasumsiukan sebagai hasil perkembangan dan pertumbuhan. Tetapi, metode ini memerlukan waktu sangat lama untuk mendapat hasil yang sempurna.

          Dengan metode cross sectional, peneliti mengamati dan mengkaji banyak anak dengan berbagai usia dalam waktu yang sama. Misalnya, penelitian yang pernah dilakukan oleh Arnold Gessel (dalam Nana Saodih Sukmadinata, 2009) yang mempelajari ribuan anak dari berbagai tingkatan usia, mencatat ciri-ciri fisik dan mentalnya, pola-pola perkembangan dan memampuannya, serta perilaku mereka. Perbedaan karakteristik setiap kelompok itulah yang diasumsikan sebagai tahapan perkembangan. Dengan pendekatan cross-sectional, proses penelitian tidak memerlukan waktu lama, hasil segera dapat diketahui.

          Kelemahannya, peneliti menganalisis perbedaan karakteristik anak-anak yang berbeda, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam menarik kesimpulan, bahwa perbedaan itu semata-mata karena perkembangan.

          2. Pendekatan dalam psikologi perkembangan

          Manusia merupakan kesatuan antara jasmani dan rohani yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Manusia merupakan individu yang kompleks, terdiri dari banyak aspek, termasuk jasmani, intelektual, emosi, moral, sosial, yang membentuk keunikan pada setiap orang. Kajian perkembangan manuasi dapat menggunakan pendekatan menyeluruh atau pendekatan khusus (Nana Sodih Sukmadinata, 2009). Menganalisis seluruh segi perkembangan disebut pendekatan menyeluruh/global. Segala segi perkembangan dideskripsikan dalam pendekatan ini, seperti perkembangan fisik, motorik, social, intelektual, moral, intelektual, emosi, religi, dsb.

          Walaupun demikian, untuk mempermudah penelitian, pembahasan dapat dilakukan per aspek perkembangan. Misalnya, ada peneliti yang memfokuskan kajiannya pada perkambangan aspek fisik saja, aspek intelektual saja, aspek moral saja, aspek emosi saja, dsb. Inilah yang dikenal dengan pendekatan khusus (spesifik).

          3. Teori perkembangan

          Ada berbagai teori perkembangan. Berikut ini akan dibahas beberapa teori yang sering menjadi acuan dalam bidang pendidikan, yaitu teori yang termasuk teori menyeluruh/global (Rousseau, Stanley Hall, Havigurst), dan teori yang termasuk khusus/spesifik (Piaget, Kohlbergf, Erikson), seperti yang diuraikan dalam Nana Saodih Sukmadinata (2009).

          Pembahasan lengkap tentang teori perkembangan yang dimaksud di atas bisa dibaca pada artikel Teori Perkembangan yang Sering Menjadi Acuan dalam Bidang Pendidikan
          Baca Lengkap....

          Semiotika Komunikasi Alex Sobur: Ideologi dan Mitologi

          Ideologi dan mitologi di dalam hidup kita sama dengan kode-kode dalam perbuatan semiotis dan komunikasi kita. Tanpa itu, komunikasi tidak dapat berlangsung (Aart van Zoest, 1980).
          Semiotika Komunikasi Alex Sobur: Ideologi dan Mitologi

          Istilah ideologi dan mitologi sering disebut dalam analisis-analisis ekonomi-politik. Tidak cuma dalam argumentas akademis yang dibuat oleh para teoretikus kritis, namun juga dalam laporan-laporan jurnalistik. Pemberitaan pers umpamanya, bisa menciptakan citra yang mengandung unsur-unsur mitos. Namun ada gap antara berita yang tak lengkap ata ulasan yang sangat spekulatif dengan realita. Ulasan penulis penulis asing ikut menciptakan unsur-unsur mitos itu.

            Istilah mitos juga kerap dipakai dalam pemikiran ekonom politik, cuma saja dalam penggunaan yang lebih proporsional. Analisis ekonomi-politik sering merupakan kritik terhadap pemikiran ekonomi konvensional. Keduanya menggunakan paradigma yang berbeda. Karena itu penglihatan keduanya mengenai hal yang sama menghasilkan kesimpulan yang boleh jadi berbeda, bahkan bertentangan. Seringkali hasil pemikiran ekonomi konvensional dikatakan pengkritik ekonomi-politik sebagai tidak berdasarkan fakta empiris, bias kepada kepentingan kelas atau menyesatkan; misalnya, tentang soal pangan dan kelaparan dunia.

            Sepuluh pandangan yang "tak benar” tentang masalah pangan dunia itu, misalnya, disebut oleh Francess Moore Lappe & Joseph Collins sebagai mitos-mitos dalam bukunya World Hunger: 10 Myth (1979, 1982, dikutip Rahardjo, 1996:192). Salah satu gejala yang disebut mitos itu adalah tentang pendapat dominan bahwa kelaparan yang terjadi di berbagai tempat di dunia adalah karena kelangkaan (scarcity). Padahal menurut data yang mereka peroleh, produksi pangan dunia itu sebenarnya lebih dari cukup untuk kebutuhan pangan seluruh umat manusia.

            Boleh jadi, mitos adalah kebutuhan manusia. Itulah sebabnya mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi, sebagaimana dikatakan Barthes dalam bukunya Mythologies (1993). Dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa sebagai bentuk simbol dalam komunikasi, mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olah raga dan televisi. Gejala ini memang kita saksikan sehari-hari, terutama dalam advertensi lewat televisi.

            Dikaitkan dengan ideologi maka, seperti dikatakan van Zoest (1980), “ideologi dan mitologi di dalam hidup kita sama dengan kode-kode dalam perbuatan semiotis dan komunikasi kita.” Tanpa itu, menurutnya, komunikasi tidak dapat berlangsung. Setiap penggunaan teks, setiap penanganan bahasa, setiap semiosis (penggunaan tanda) pada umumnya hanya timbul berkat suatu ideologi yang secara sadar atau tidak sadar dikenal oleh pemakai tanda. Sebuah teks tak pernah terlepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi.

            1. Peranan ideologi di dalam semiosis

            Peranan ideologi di dalam semiosis acapkali secara praktis jauh menyelinap, sehingga tidak begitu kentara. Van Zoest (1996b:104) mencontohkan, bagaimana kita dapat mengetahui apakah yang dikatakan sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang tidak menyenangkan, bilamana orang mengatakan tentang seseorang “dia sangat sopan”. Di Indonesia, kata van Zoest, ucapan ini mungkin sekali menyenangkan. Di Nederland, hal ini sama sekali tidak pasti. Konotasi kata sopan berhubungan dengan ideologi orang yang berbicara, dan juga berhubungan dengan ideologi orang yang diajak berbicara. Tidak mengetahui konteks dapat menghentikan komunikasi, tetapi tidak mengetahui masalah ideologi, menurut van Zoest, jaun lebih membahayakan: orang tanpa menyadarinya dapat keliru dalam menginterpretasi.

            Balibar dan Macherey (1978), seperti dikutip van Zoest, berpendapat bahwa terutama sastralah yang melakukan manipulasi, meski van Zoest sendiri meragukan apakah benar bahwa “teks sastra sangat ideal untuk mereproduksi ideologi umum karena teks sastra dalam kaitan dengan ideologi-ideologinya yang khas mengenai penulis dan pembaca sebagai subjek yang bebas, tampaknya terlepas dari segala keharusan” (van Zoest, 1980:70). Bagi van Zoest, manipulasi cerita, atau bualan itu, cuma sekadar gaya. Dan itu lebih menyangkut kepada mitos individual.

            Memang dalam sastra, ideologi acapkali memunculkan kejutan, baru dan tak terduga, meski entah dengan cara bagaimana harus ada kontak antara ideologi dan pembaca. Yang jelas, kita bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti pelbagai konotasi yang ada di dalamnya. Salah satu cara adalah mencari mitologi dalam teks-teks semacam itu. Ideologi adalah sesuatu yang abstrak, sementara mitologi (kesatuan mitos-mitos yang koheren) menyajikan inkarnasi makna-makna yang mempunyai wadah dalam ideologi.

            “Ideologi harus dapat diceritakan,” kata van Zoest. Cerita itulah mitos. Setiap bangsa mempunyai cerita-cerita kunonya dan cerita-cerita turun temurun yang disebut mitos mengenai bangsanya. Mitos adalah uraian naratif atau penuturan tentang sesuatu yang suci (sacred), yaitu kejadian-kejadian yang luar biasa, di luar dan mengatasi pengalaman manusia sehari-hari.

            Penuturan itu umumnya diwujudkan dalam dongeng-dongeng, atau legenda tentang dunia supra-natural. Karena itu maka studi tentang mitos biasanya digali dari cerita-cerita rakyat (folklore).

            2. Ideologi dan Mitos Sulit Dipisahkan

            Di negeri kita, mitos terkadang lebih efektif daripada ideologi pada saat-saat kritis seperti tahun 1965, sebab mitos bertumpu pada kepercayaan, sedangkan ideologi pada intelektualitas. Tetapi mitos akan lumpuh pada waktu normal. Jika merujuk pada sejarah, mitos lebih subjektif, ideologi lebih objektif (Kuntowijoyo, 1997:80).

            Meski demikian, antara ideologi dan mitos tampaknya dua hal yang sulit dipisahkan. Karena itulah mengapa ideologi Amerika sering diceritakan dalam mitos-mitos. Lewat film-film, misalnya, kekerasan Amerika disahkan. Tidak hanya pada era film-film koboi tempo dulu yang kerap diperankan aktor John Wayne, namun juga sampai aktor-aktor “keras” masa kini: Stallone dan Swazzenegger.

            Dalam perspektif semiotika, mitos dapat dikaji atau ditemukan jejaknya dengan mencari indikasi fiksional dalam teks, yang secara keseluruhan disajikan sebagai nonfiksional (melalui indikasi nonfiksional dengan sifat referensial: nama-nama orang yang kita kenal sebagai nonfiktif).

            Kelompok indikasi nonfiksional yang paling penting mungkin ialah indikasi peristiwaan. Peristiwa yang diceritakan boleh jadi sedemikian klise atau begitu tak bisa dipercaya sehingga dunia yang digambarkan, yang pada dasarnya nyata, memperlihatkan tanda-tanda dunia fiktif seperti yang kita kenal dalam dongeng dan sebagainya.

            Mitos, yang bisa dibaca pada “tuturan-tuturan” anonim seperti iklan, pers, dan lain-lain, dikendalikan secara sosial dan merupakan suatu "cerminan" yang terbalik: mitos membalik sesuatu yang kultural atau historis menjadi alamiah. Lewat sebuah kajian semiotika, inversi pada mitos ini dapat “dikembalikan” dengan cara memilah amanatnya ke dalam dua buah sistem signifikasi: pertama, sistem konotasi yang petanda-petandanya bersifat ideologis dan, kedua, sistem denotasi yang berfungsi untuk menaturalisasi proposisi dengan cara memberikan sebuah jaminan berupa sesuatu yang paling “inosens”, yaitu bahasa (Budiman, 1999:76).

            Lantas, apa sebetulnya yang disebut ideologi? Apa yang terkandung atau akibat dalam penggunaannya? Apa pula yang dimaksud mitos atau mitologi? Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas, uraian berikut ini mencoba menjelaskannya.

            3. Pengertian dan Teori-Teori Ideologi

            Ternyata, kata ideologi pun ditentukan oleh sejarah. Napoleon dalam kemarahannya terhadap lawan-lawannya menyebut mereka “kaum ideologis”, yaitu dengan konotasi bahwa mereka tidak mau tahu tentang realita-bahwa Napoleon telah menjadi Kaisar Prancis.

            Memang, kata ideologi itu asal-usulnya hanyalah berarti teori gagasan-gagasan. Kaum ideolog, seperti disebut-sebut Napoleon, adalah para anggota kelompok filosofis di Prancis yang dalam tradisi Condillac menolak metafisika dan mencari dasar ilmu-ilmu budaya pada dasar-dasar antropologis dan psikologis (Mannheim, 1991:74).

            Konsep modern tentang ideologi lahir ketika Napoleon yang mendapati bahwa kelompok filsuf ini menentang ambisi-ambisi imperialnya mencemooh dan mencap mereka sebagai ideolog ideolog. Dari situ kata ideologi itu mengalami kemerosotan makna vang seperti kata “doctrinaire”, yang menurut Mannheim (1991:75), kata itu bertahan sampai hari ini.

            Pada akhir abad ke-18, Destut de Tracy memunculkan kata ideologi sebagai istilah yang menunjuk pada “ilmu tentang gagasan” (Kaplan, 2000:154). Secara historis memang istilah ideologi pertama-tama dikemukakan oleh de Tracy, seorang Prancis yang nunya cita-cita membangun suatu sistem pengetahuan, yang ta sebut sebagai “science of ideas” (Pranarka, 1987:415). De Tracy sendiri pernah menduduki jabatan penting sebagai orang yang dipercaya untuk membangun sistem pendidikan di Prancis. Oleh Napoleon orang-orang seperti de Tracy ini disebut sebagai orang-orang yang bermimpi. Maka itu bagi Napoleon, ideologi bukanlah hal yang besar dan terhormat, melainkan merupakan hal yang remeh dan tidak terpakai (walaupun Napoleon sendiri adalah orang yang mempunyai temperamen yang amat ideologikal).

            Di abad ke-19, kata ideologi terutama dipakai dalam arti aliran yang tidak mau mengetahui kenyataan, di mana kenyataan adalah apa yang dianggap benar karena terdapat dalam praktik politik. Dengan adanya kenyataan praktik politik ini, maka dianggap inilah kenyataan dan orang tidak perlu memikirkan persoalannya lagi.

            Mulai saat itulah kata ideologi meninggalkan bidang ilmiah dan mendapat arti politik dan terutama dipengaruhi penggunaannya oleh Marxisme. Marxisme kemudian menggunakan istilah ideologi sebagai senjata melawan middle class dengan pemikiran mereka. Pemikiran middle class disebut teori saja, sementara teori Marxisme disebutnya “satu-satunya ideologi”. Sebaliknya, jika kata ideologi dipakai oleh Marxisme terhadap idea golongan lain, maka ideologi mendapat arti khas, yakni “teori-teori yang menyembunyikan maksud tertentu” (Susanto, 1985:225).

            4. Ideologi Menurut Karl Marx

            Karl Marx, ketika itu, banyak berbicara tentang ideologi. Bahkan salah satu bukunya ia beri judul The German Ideology. Ideologi menjadi vokabuler yang penting di dalam pemikiran politik maupun ekonomi Karl Marx. Bagi Marx, ideologi adalah suatu bagian dari apa yang disebutnya sebagai suprastruktur. Ideologi adalah sebuah wawasan yang dihasilkan oleh kekuatan pada bangunan bawah, yaitu kekuatan yang memiliki faktor-faktor produksi.

            Maka itu ideologi bukanlah wawasan yang sifatnya empirikal, diangkat dari kenyataan-kenyataan. Ideologi adalah sebuah rekayasa mental (Pranarka, 1987:415). Ideologi itu terjadi disebabkan karena kekuatan yang membentuk ideologi itu memerlukannya untuk dapat mempertahankan posisi dan kekuatannya. Makanya ideologi selalu bersifat fungsional. Ideologi tidak berbicara mengenai kebenaran, tidak berbicara mengenai kenyataan empirik, akan tetapi ideologi berbicara mengenai kemanfaatan, kepentingan, kemauan, dan pamrih. Itulah sebabnya maka pada hakikatnya suatu ideologi selalu dipandang sebagai sesuatu yang tidak ilmiah, sesuatu yang tertutup.

            Menurut Marx, semua sistem ekonomi sampai sekaran oleh adanya kelas-kelas bawah dan kelas-kelas atas. Struktur kekuasaan dalam bidang ekonomi itu tercermin juga dalam bidang politik. Salah satu pokok teori Karl Marx adalah bahwa negara secara hakiki merupakan negara kelas, artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi (Magnis-Suseno, 2001:120). Karena itu, menurut Marx, negara bukanlah lembaga di atas masyarakat tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka.

            Jadi, negara pertamatama tidak bertindak demi kepentingan umum, melainkan demi kepentingan kelas-kelas atas. Mengajukan sesuatu sebagai kepentingan umum sebenarnya merupakan kepentingan egois pihak yang berpamrih itulah inti dari apa yang oleh Marx disebut sebagai ideologis.

            “Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi” (Magnis-Suseno, 2001:122).

            Kritik ideologi banyak disebut-sebut para ahli-Karl Mannheim, misalnya sebagai salah satu sumbangan terpenting teori Marx terhadap analisis struktur kekuasaan dalam masyarakat. Karl Mannheim (Sunarto, 2000:33) setuju pada kesimpulan Marx. Bahkan, dia menyumbangkan sebuah analisis ideologi dari perspektif sejarah. Mannheim membandingkan ideologi itu dari satu era ke era yang lain, dengan menyatakan tidak ada ideologi yang dapat dipahami sepenuhnya kecuali hubungan kesejaharahannya jelas mengenai gagasan-gagasan dari era sebelumnya dan meneliti pengaruh dari ideologi sebelumnya itu pada era terkini.

            Istilah ideologi memang seringkali hanya diartikan sebaga sebuah sistem ide seperti ketika orang berbicara tentang ideolog liberal, konservatif, atau sosialis. David Kaplan, misalnya, menggunakan istilah ideologi untuk mengacu kepada kawasan idea sional dalam suatu budaya (Kaplan, 2000:154). Arthur Schlesinger, Jr. melihat, pembedaan antara gagasan (ideas) dengan ideologi adalah hal yang bermanfaat.
            Menurutnya (1960:47): Gagasan atau ide ialah kawasan atau pemahaman tertentu, sedangkan ideologi merupakan kristalisasi gagasan menjadi sistem yang bersifat universal. Gagasan relatif, sedangkan ideologi absolut. Ada orang yang menerima begitu saja pengalamannya yang campur-aduk, tetapi ada pula yang membutuhkan gambaran tentang sosok rasionalitas-akhir semesta ini. Pihak yang disebut belakangan itu mendambakan pola tunggal yang mendasar, yang serba-cakup dan serba menjelaskan serta dapat dipahami manusia dan memberikan serangkaian kaidah yang memadai untuk semua kemungkinan (tak terduga) dalam politik dan kehidupan.
            Bagi Gramsci, ideologi lebih dari sekadar sistem ide. Ia membedakan antara sistem yang berubah-ubah (arbitrary systems) yang dikemukakan oleh intelektual dan filsuf tertentu, dan ideologi organik yang bersifat historis (historically organic ideologies), yaitu ideologi yang diperlukan dalam kondisi sosial tertentu: “Sejauh ideologi itu secara historis diperlukan, ia mempunyai keabsahan yang bersifat psikologis: ideologi ‘mengatur’ manusia, dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka, dan sebagainya” (Simon, 2000:83). Ideologi bukanlah fantasi perorangan, namun terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat. Di sini Gramsci merujuk pada pendapat Marx tentang ‘solidaritas keyakinan masyarakat’.

            Sebenarnya, apa pun dan dari siapa pun yang mencoba merumuskan pengertian ideologi, kita secara singkat dapat mengklasifikasikannya ke dalam tiga pengertian atau kecenderungan: yang positif, yang negatif, dan yang netral.

            5. Positif dan Negatif Ideologi Dikemukakan Jorge Larrain

            Pengertian ideologi secara positif dan negatif dikemukakan Jorge Larrain (dalam Sunarto, 2000:31). Secara positif, ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia (worldview) yang menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial. Pengertian ideologi yang demikian juga tampak dari pendapat Franz MagnisSuseno yang menyatakan “Ideologi sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap-sikap dasar rohani sebuah gerakan, kelompok sosial, atau kebudayaan” (Magnis-Suseno, 1992:230).

            Dalam pengertian netral, ideologi dipersepsi David Kaplan dalam penggunaannya tentang nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang dunia, etos, dan semacamnya. “Kami menggunakannya dalam pengertian netral dan umum seperti dimaksudkan oleh penemunya, yakni de Tracy,” kata Kaplan (2000:154).

            Bagi kebanyakan orang, ideologi mewakili suatu kecenderungan umum untuk menukarkan yang benar dengan apa yang tidak baik bagi kepentingan sendiri. Sekalipun anggapan yang sangat luas tersebar ini tidak harus berarti bahwa ideologi adalah suatu konsepsi palsu mengenai kebenaran, namun anggapan itu mengakui bahwa hanya ada satu ideologi saja yang dapat dikatakan benar; dan ada tanda-tanda bahwa kita dapat menemukan ideologi mana dikatakan Leonard Binder (1966:210), dapat mengajukan suatu pandangan lain yang juga telah tersebar luas bahwa selalu ada dua interpretasi atas setiap cerita. Teori yang kedua ini mengemukakan bahwa mungkin saja ada kebenaran dalam setiap dua macam (atau lebih?) perspektif yang berbeda tentang suatu keadaan yang sama.

            Di mata Binder, anggapan-anggapan mengenai ideologi ini menjadi lebih rumit lagi dengan adanya persoalan yang ketiga, yang dapat dirumuskan dalam suatu ucapan yang sering disebut “things are not what they seem,” apa yang diketahui itu belum tentu sesuai dengan kebenaran (Binder, 1966:210). Persoalan yang ketiga ini, menurut Binder, menyangkut hubungan yang tidak begitu tegas antara dunia pikiran kita dan apa yang ada dalam dunia kenyataan.

            Teori mengenai ideologi terutama mempermasalahkan tiga soal ini (Binder, 1966:21). 
            1. whether or how self or group interest distorts three understanding” (apakah benar dan bagaimanakah lepentingan sendiri dan kepentingan kelompok mengacaukan kemampuan untuk memahami sesuatu);
            2. whether the only validity any ideological view can have is relative to circumstances” (apakah suatu ideologi itu diterima hanya jika sesuai dengan kenyataan); dan
            3. whether empirical observation gives us any test of the validity of an ideology” (apakah observasi empiris dapat memberi kita suatu batu ujian untuk mengetahui validitas suatu ideologi).
            Batas-batas yang inheren dalam kemampuan observasi empass untuk menemukan validitas ideologi, menurut Binder, tidak dengan sendirinya membenarkan pendirian relativis kecuali mempersukar bahkan memustahilkan pembuktian pandangan mana yang benar. “Adalah merupakan sifat manusia, saya kira, untuk selalu berada dalam keadaan ragu-ragu dan berperasaan jangan-jangan lawannya berada pada pihak yang benar,” kata Binder.

            Sebagai implikasi dari keadaan yang rumit ini, di mana relativisme ideologis dipertahankan, baik sebagai asumsi yang valid ataupun yang hanya praktis, kita, ujar Binder, dapat bertanya apakah perspektif-perspektif atau ideologi-ideologi berhubungan dengan sifat-sifat yang tidak berubah dan yang tetap dari setiap kelompok ataukah hal-hal ini berhubungan dengan tingkat-tingkat perkembangan yang universal.

            Apakah tanggapan seseorang mengenai realitas sebenarnya bergantung pada kedudukan sosialnya, ataukah kemampuan seseorang untuk mencapai kemajuan dalam dunia ini bergantung pada pandangannya mengenai sifat dari realitas? Apakah ideologiideologi itu berdasarkan pengalaman-pengalaman dan kenyataan sejarah yang unik yang sedemikian rupa sehingga sangat besar perbedaan-perbedaannya; atau apakah ideologi-ideologi itu berdasarkan tingkat rasionalitas dari tanggapan terhadap dunia?

            6. Perbedaan Pendapat Para Ahli Mengenai Ideologi dan Filsafat

            Dalam hal ini, para ahli mengenai ideologi dan filsafat sangat berbeda pendapat (Binder, 1966:211). Ada yang berat pada pihak yang satu dan ada yang berat pada pihak yang lain, dan ada pula yang di tengah-tengah. Binder dalam hal ini melihatnya sebagai suatu dikotomi yang sederhana. la merumuskan dikotomi ini sebagai “romantik-nasionalis” dan “rasional-evolusionis”. Menurut Binder, kaum rasional-evolusionis telah banyak berjasa dalam memperkaya pengertian kita mengenai ide perkembangan. Biasanya, kata Binder, rumusan ini mengandung tiga tingkat perkembangan ontologis yang harus dilalui oleh setiap bangsa, sekalipun ada ahli-ahli yang mengemukakan dua tingkat saja.

            Ketiga tingkat yang dimaksud Binder itu adalah animisme, spekulasi teologi dan metafisik, serta rasionalitas ilmiah-suatu trias yang mengingatkan kita pada penggunaan yang tidak jelas dan tidak tegas bentuknya dari kata-kata “tradisi” dan “kemodernan". Implikasi dari doktrin yang evolusioner ini adalah, tentunya, bidang ideologi setiap negara harus melalui suatu proses perubahan ide-ide dan nilai-nilai. Rupanya, tandas Binder, proses ini bisa dipercepat dengan menekankan elemen-elemen pikiran-pikiran rasional-ilmiah yang dimiliki secara universal.

            Sementara itu, dalam ilmu-ilmu sosial dikenal dua pengertian mengenai ideologi, yaitu ideologi secara fungsional dan secara struktural (Surbakti, 1992:32). Ideologi secara fungsional diartikan seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik, sedangkan ideologi secara struktural diartikan sebagai sistem kebenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa.

            Sekarang ini tampaknya banyak bermunculan interpretasi baru yang diberikan terhadap nilai-nilai dasar ideologi (Alfian, 1995:90). Ini adalah sesuatu yang wajar mengingat kenyataan bahwa masyarakat mengalami perubahan-perubahan. Mereka beranjak dari suatu realita ke realita yang lain dan baru. Proses perubahan atau perpindahan itu barangkali pada awalnya tidak terasa dan terlihat, namun pada jarak waktu tertentu ia muncul sebagai suatu kenyataan yang amat kentara dan tak mungkin ditolak lagi. Misalnya, masyarakat yang semulanya agraris kemudian mengalami proses industrialisasi, maka pada tingkat tertentu dari proses itu mereka mungkin akan menyadari dan melihat terjadinya perubahan yang mencolok dalam diri mereka.


            Sumber:
            Buku SEMIOTIKA KOMUNIKASI
            Hal: 207-216
            Penulis: Drs. Alex Sobur, M. Si.
            Tahun Terbit: 2003
            Penerbit: Rosda
            Baca Lengkap....

            Paulo Freire dan Wacana Kekuasaan dalam Politik Pendidikan

            Paulo Freire dan Wacana Kekuasaan dalam Politik Pendidikan

            Freire telah membuat salah satu dari banyak konsep kekuasaan yang paling radikal dalam teori sosial kontemporer miliknya. Kekuasaan dipandang sebagai kekuatan yang negatif dan juga positif, sifatnya dialektis tetapi mode of operation-nya selalu represif.

              Menurut Freire, kekuasaan bekerja pada dan melalui masyarakat. Di satu sisi, ini berarti bahwa dominasi tidak pernah sepenuhnya mutlak, yang dalam hal ini kekuasaan bersifat eksklusif dan sebagai kekuatan negatif. Di sisi yang lain, kekuasaan merupakan daya dorong dari semua perilaku manusia di mana masyarakat mempertahankan hidupnya, berjuang dan berusaha mewujudkan cita-cita kehidupannya yang lebih baik.

              Secara umum teori Freire tentang kekuasaan dan gambarannya mengenai sifatnya yang dialektis menunjukkan bahwa fungsi kekuasaan ini sangat penting dan merasuk ke berbagai segi kehidupan.

              Dalam hal ini, kekuasaan tidak dipahami hanya dalam wilayah publik dan pribadi di mana pemerintah, kelas-kelas yang dominan dan kelompok-kelompok lainnya memainkan peran. Kekuasaan itu ada di tangan siapa saja dan menemukan bentuknya dalam ruang publik yang saling beroposisi yang secara tradisional telah kehilangan kekuasaannya dan bentuk bentuk resistensinya.

              Pandangan Freire tentang kekuasaan bukan hanya merupakan cara pandang yang menjadi alternatif dan berguna bagi para teoritisi radikal yang terperangkap dalam keputusasaan dan sinisme, tetapi juga menekankan bahwa kekuasaan itu selalu diikuti dengan pertentangan, ketegangan dan kontradiksi dalam berbagai institusi sosial, seperti sekolah di mana kekuasaan seringkali dianggap sebagai kekuatan positif yang resisten.

              Akhirnya, Freire mengetahui bahwa kekuasaan sebagai sebuah bentuk dominasi tidak dipaksakan pemerintah secara sederhana melalui tangan-tangannya, seperti polisi, tentara dan departemen kehakiman.

              Dominasi dipraktikkan lewat kekuasaan, teknologi dan ideologi yang secara bersama-sama menghasilkan pengetahuan, hubungan sosial dan ekspresi budaya yang berfungsi secara aktif untuk membuat masyarakat diam. Pembicaraan dominasi tidak hanya mengacu pada ekspresi budaya yang mempengaruhi kaum tertindas dalam kesehariannya, namun juga menyangkut bagaimana kaum tertindas ini menginternalisasi pengaruh dan turut melestarikan penindasan tersebut.

              Pembicaraan ini merupakan topik yang sangat penting di dalam buku Freire dan mengindikasikan bagaimana dominasi itu dipraktikkan secara subjektif melalui proses internalisasi dan “pengendapan diri” dalam bentuk-bentuk kebutuhan pribadi.

              Pentingnya menyelidiki dominasi yang menindas secara psikis

              Apa yang sedang kita bicarakan adalah pemikiran Freire tentang betapa pentingnya usaha untuk menyelidiki dominasi yang menindas secara psikis, dan oleh karenanya, juga perlu pengamatan internal terhadap pengetahuan diri dan terhadap bentuk-bentuk emansipasi sosial dan individu.

              Konsep dominasi dan bagaimana kekuasaan bekerja secara represif terhadap jiwa manusia memperluas konsep belajar, termasuk bagaimana manusia belajar tanpa berkata-kata, bagaimana kebiasaan kemudian menjadi sejarah yang beku, dan bagaimana pengetahuan itu sendiri menghambat perkembangan subjektivitas tertentu dan cara manusia menjalani kehidupan di dunia.

              Persepsi terhadap pengetahuan sangat penting karena akan menunjukkan bagaimana perbedaan-perbedaan konsep pengetahuan yang emansipatoris mungkin akan ditolak oleh orang yang mendapatkan keuntungan darinya. Dalam kasus yang seperti ini, masyarakat tertindas mendapatkan akses terhadap logika dominasi mungkin dikarenakan mereka mempertahankan pengetahuan yang bertentangan dengan pandangan dunia mereka.

              Pengetahuan justru turut mempertahankan status quo dominasi ini karena menjadi kekuatan aktif yang bersifat negatif dan menolak untuk melihat adanya kemungkinan lain dalam kehidupan ini. Dengan kondisi yang seperti ini, dari sudut pandang pendidikan muncul pertanyaan, bagaimana para pendidik yang radikal menilai dan mendiskusikan pihak-pihak yang melakukan represi dan yang melupakan tujuan inti dari dominasi?

              Bagaimana penjelasan terhadap kondisi yang tetap menolak untuk mengetahui dan menyelidiki bahwa pengetahuan mengandung kemungkinan yang bertentangan dengan dominasi itu sendiri?

              Pesan Freire dari konsep pendidikannya

              Pesan yang ingin disampaikan Freire dari konsep pendidikannya relatif cukup jelas. Jika pendidik yang radikal mengetahui makna kebebasan, mereka pertama-tama harus menyadari bentuk-bentuk dominasi, di mana dominasi itu tumbuh subur, dan masalah apa yang dihadapi mereka yang ditindas oleh dominasi itu secara subjektif maupun objektif.

              Akan tetapi, proyek ini tidak akan mungkin terlaksana jika mereka tidak mengetahui karakteristik sejarah dan kebudayaan yang spesifik, bentuk-bentuk kehidupan sosial, siapa kelompok penindas dan siapa yang tertindas, sebagai titik awal melakukan analisa. Inilah isu yang diangkat Freire dalam bukunya Politik Pendidikan.


              Sumber:
              Buku Politik Pendidikan (Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan)
              Halaman 16-19
              Penerbit: REaD (Research, Education, and Dialogue) bekerjasama dengan PUSTAKA PELAJAR 2007
              Baca Lengkap....