Kurangnya Minat Belajar di Kalangan Mahasiswa


Narasumber: Iswati Mahmudah
Profesi: Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia

Perkembangan mahasiswa dilihat dari segi kognitifnya setiap tahun semakin menurun, motivasi belajarnya otomoatis juga akan ikut menurun dan secara tidak langsung perkembangan kognitifnya juga ikut menurun.

Penyebab sehingga penurunan itu terjadi adalah yang pertama tentu tujuan mereka belejar itu tidak 100% dari minatnya, yang kedua motivasinya sangat rendah yang ingin dicapai mengambang, hal itu merupakan pengaruh pergaulan arus global (eksternal) sehingga mereka jauh dari buku coba lihat mahasiswa, mereka lebih asyik facebook, twiter, dan chatting berjam-jam daripada membaca. Jika minat membacanya kurang maka prestasinya juga akan menurun.

Tindakan khusus dari fakultas/prodi mengenai hal ini berbentuk pelatihan-pelatihan, kegiatan ilmiah, kemudian gaya mengajar dosen harusnya memberikan tugas itu harus ada respon paling tidak untuk penguatan, baik atau tidaknya tugas tersebut. Dengan kegiatan ilmiah yang diadakan maka mahasiswa harus menyadari bahwa ilmu yang didapatkan dari dosen belum seberapa dibanding perkembangan teknlogi yang semakin bertambah sehingga mahasiswa dapat menambah ilmunya dengan memanfaatkan IPTEK tersebut karena di internet itu setiap hari ada artikel-artikel yang berbeda, misalnya hari ini tentang disiplin, besoknya lagi tentang informasi lainnya. Sekarang bukan lagi hitungan hari melainkan setiap detik artikel di internet bisa saja berubah. Mahasiswa yang malas beli buku, jurusan Bahasa Indonesia tidak punya kamus Bahasa Indonesia, tidak punya EYD, dan tata bahasa baku. Jurusan Bahasa Inggris yang tidak punya kamus Bahasa Inggris, tidak bisa berbahasa Inggris. Hal itu adalah sesuatu yang yang tidak seharusnya terjadi. Penyebab terjadinya semua itu adalah mahasiswa kurang berlatih keterampilan-keterampilan berbahasa kita akhirnya lebih meningkat dan itu dikaitkan dengan mata kuliah.

Dampak dari kurangnya minat belajar adalah karya tulisnya itu semakin hari semakin tidak bermutu apalagi dosen yang membimbingnya tidak jeli apakah ini tulisan mahasiswa sendiri atau hasil dari tiruan dari hasil-hasil penelitian yang telah ada. Kalau dosennya tidak jeli seperti itu maka mahasiswa akan menyalin saja, bahkan banyak yang membeli skripsi. Mahasiswa juga banyak yang menyontek ketika ujian hal ini dilakukan karena mereka kurang percaya diri yang disebabkan oleh kurang membaca sehingga pengetahuannya sangat minim, kalau sudah ujian seperti itu tidak ada rasa malunya.

Solusi yang tepat untuk mengatasi kurangnya minat belajar di kalangan mahasiswa adalah dengan mengembangkan diri mahasiswa yang ditunjang dari sarana dan prasarana  yang ada di kampus. Sarana yang ada di perpustakaan lengkap atau tidak. Kalau buku-buku di perpustakaan lengkap mahasiswa bisa lebih giat lagi membaca, apalagi bagi mahasiswa yang tidak mampu tidak harus membeli buku untuk dibaca dan dipelajari tapi cukup pinjam saja di perpustakaan. Oleh karena itu, sarana kampus harus dilengkapi juga karena buku di perpustakaan itu-itu saja, dari dulu sampai sekarang tidak ada perubahan. Setidaknya perpustakaan kampus sama dengan perpustakaan wilayah dan multimedia. Ruangan kelasnya juga tidak mendukung akhirnya proses belajar mengajar tidak berjalan dengan kondusif. Bagaimana bisa belajar dengan tenang kalau ruangannya tidak kondusif, panas, pengap dan ribut. Mau menggunakan LCD juga tida bisa karena persediaan yang tidak memadai, tidak mungki juga setiap dosen membawa LCD ke kampus untuk mengajar karena itu memang seharusnya disediakan oleh kampus. Jadi solusi yang tepat untuk mengatasi hasil tersebut adalah dengan melengkapi sarana dan prasarana yang ada di kampus untuk menunjang perkembangan belajar mahasiswa.

Pengaruh kurangnya minat belajar mahasiswa terkait dosen yang bersangkutan. Seharusnya sering dilakukan penyegaran terhadap dosen-dosen dengan melakukan diklat, atau memberi kesempatan kepada mereka untuk belajar di perguruan tinggi yang lain, tidak usah pada perguruan tinggi negeri tapi di Universitas Muhammadiyah Malang sudah cukup karena Universitas Muhammadiyah Malang adalah salah satu perguruan tinggi yang terkenal di Indonesia dan dosen-dosennya juga berkualitas. Selain itu, mereka juga diberi kesempatan untuk belajar lagi, seharusnya kita bercermin pada sistem yang diterapkan di sana.

Dosen yang ideal adalah dosen yang  bisa menyadarkan mahasiswanya bahwa meraka itu perlu ilmu, perlu berkembang, dan mereka harus memiliki dorongan ingin tahu yang tinggi. Dosen juga harus bisa membagi waktunya antara jadwal mengajarnya dan kegiatan pengembangan dirinya apatahlagi kepentingan pribadinya. Jika dosen tidak sempat mengajar karena mengikuti kegiatan yang untuk pengembagan profesinya seperti mengikuti pelatihan-pelatihan keguruan maka tidak apa-apa jika tidak masuk mengajar pada satu pertemuan karena pengaruhnya juga akan dirasakan oleh peserta didiknya, tapi Dia harus mangganti jam mengajarnya itu pada waktunya yang lain dan penampilannya dalam mengajar harus lebih baik dari sebelumnya. Mengenai dosen yang tidak berkompoten dalam bidangnya seharusnya mereka tidak mengajar kecuali jika mereka bersedia untuk belajar dengan giat untuk menguasai pelajaran yang telah diamanahkan padanya, tetapi jika mereka tidak berkompoten dalam hal itu dan mereka tidak mau belajar maka apa yang akan diajarkan pada peserta didiknya. Dari pihak fakultas dan prodi juga harus ada kontrak atau semacam peraturan yang disepakati bersama, jadi tidak asal mengeskakan dosen saja tanpa ada kesepakata dari dosa yang bersangkutan sehingga tidak ada lagi kata tidak siap atau sibuk. Pihalk prodi juga harus melihat aktivitas dosen, jika dosen itu sibuk maka tidak boleh diberi mata kuliah yang banyak karena perkuliahan itu tidak akan berjalan lancar.

Harapan saya untuk mahasiswa ke depannya, yang pastinya harus lebih baik dari sekarang dan dari universitas yang lain. Sebenarnya kita sudah punya nilai lebih dibandingkan dengan universitas yang lain. Nilai lebihnya adalah kita belajar AIK (al-Islam Kemuhammadiyahan). Dengan demikian, diharapkan mahasiswa bisa punya kesadaran yang lebih dalam tentang agama. Tapi ada juga mahasiswa yang tingkat kesadarannya masih kurang, mereka tidak menyadari apa sebenarnya yang menjadi tujuan yang ingin dicapainya. Mahasiswa yang seperti ini harus diberi pengertian agar mereka sadar bahwa pendidikan itu penting sehingga mereka bisa bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. *** 

Sumber: Majalah Mitra Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Angk. 09
Baca Lengkap....

Konsep Perubahan Sosial


Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Berbicara tentang perubahan, kita membayangkan sesuatu yang terjadi setelah jangka waktu tertentu; kita berurusan dengan perbedaan keadaan yang diamati antara sebelum dan sesudah jangka waktu tertentu.
Untuk dapat menyatakan perbedaannya, ciri-ciri awal unit analisis harus diketahui dengan cermat-meski terus berubah (Strasser dan Randall dalam Sztompka, 2004; 5). Jadi konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga gagasan: (1) Perbedaan; (2) pada waktu berbeda; dan (3) di antara keadaan sistem sosial yang sama.
Perubahan sosial adalah setiap perubahan yang tak terulang dari sistem sosial sebagai satu kesatuan (Hawley dalam Sztompka, 2004). Perubahan sosial dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, tergantung pada sudu pengamatan: apakah dari sudut aspek, fragmen atau dimensi sistem sosialnya. Ini disebabkan keadaan sistem sosial itu tidak sederhana, tidak hanya berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil keadaan berbagai komponen seperti berikut:
Unsur-unsur pokok (misalnya: jumlah dan jenis individu, serta tindakan mereka).

  1. Hubungan antarunsur (misalnya: ikatan sosial, loyalitas, ketergantungan, hubungan antarindividu, integrasi).Berfungsinya unsur-unsur di dalam sistem (misalnya: peran pekerjaan yang dimainkan oleh individu atau diperlukannya tindakan tertentu untuk melestarikan ketertiban sosial).
  1. Pemeliharaan batas (misalnya: kriteria untuk menentukan sipa saja yang termasuk anggota sistem, syarat penerimaan individu dalam kelompok, prinsip rekrutmen dalam organisasi, dan sebagainya).
  1. Subsistem (misalnya: jumlah dan jenis seksi, segmen, atau divisi khusus yang dapat dibedakan).
  1. Lingkungan (misalnya: keadaan alam atau lokasi geopolitik).
  1. Proses Perubahan Sosial
  1. Strategi Perubahan Sosial

 Terciptanya keseimbangan atau kegoncangan, konsensus atau pertikaian, harmoni atau perselisihan, kerja sama atau konflik, damai atau perang, kemakmuran atau krisis dan sebagainya, berasal dari sifat saling memengaruhi dari keseluruhan ciri-ciri sistem sosial yang kompleks itu. Bila dipisah-pisah menjadi komponen dan dimensi utamanya, teori sistem secara tak langsung menyatakan kemungkinan perubahan berikut:
1.      Perubahan komposisi (mislnya, migrasi dari satu kelompok ke kelompok lain, menjadi anggota satu kelompok tertentu, pengurangan jumlah penduduk karena kelaparan, demobilisasi gerakan sosial, bubarnya suatu kelompok).
2.      Perubahan struktur (misalnya, terciptanya ketimpangan, kristalisasi kekuasaan, munculnya ikatan persahabatan, terbentuknya kerja sama atau hubungan kompetitif).
3.      Perubahan fungsi (misalnya, spesialisasi dan diferensiasi pekerjaan, hancurnya peran ekonomi keluarga, diterimanya peran yang diindoktrinasikan oleh sekolah atau unuversitas).
4.      Perubahan batas (misalnya, penggabungan beberapa kelompok, atau satu kelompok oleh kelompok lain, mengendurnya kriteria keanggotaan, dan penaklukan).
5.      Perubahan hubungan antar subsistem (misalnya, penguasaan rezim politik atas organisasi ekonomi, pengendalian keluarga dan keseluruhan kehidupan privat oleh pemerintah totaliter).
6.      perubahan lingkungan (misalnya, kerusakan ekologi, gempa bumi, munculya wabah atau virus HIV, lenyapnya sistem bipolar internasional).

Adakalanya perubahan hanya terjadi sebagian, terbatas ruang lingkupnya, tanpa menimbulkan akibat besar terhadap unsur lain dari sistem. Sistem sebagai keseluruhan tetap utuh, tak terjadi perubahan menyeluruh atas unsur-unsurnya meski di dalamnya terjadi perubahan sedikit demi sedikit. Contoh, kekuatan sistem politik demokratis terletak dalam kemampuannya menghadapi tantangan, mengurangi protes dan menyelesaikan konflik dengan mengadakan perombakan sebagian tanpa membahayakan stabilitas dan kontinuitas negara sebagai satu kesatuan. Perubahan seperti ini merupakan sebuah contoh perubahan di dalam sistem. Namun, pada kesempatan lain, perubahan mungkin mencakup keseluruhan (atau sekurangnya mencakup inti) aspek sistem, menghasilkan perubahan menyeluruh, dan menciptakan sistem baru yang secara mendasar berbeda dari sistem yang lama. Perubahan seperti ini dicontohkan oleh semua revolusi sosial besar. Bila dilihat contoh definisi perubahan sosial, terlihat bahwa berbagai pakar meletakkan tekanan pada jenis perubahan yang berbeda. Namun sebagian besar mereka memandang penting perubahan struktural dalam hubungan, organisasi, dan ikatan antara unsur-unsur masyarakat.
Dari sekian pendapat tentang perubahan sosial, penulis beranggapan bahwa Perubahan Sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu.


Ada tiga hal yang berkenaan dengan proses perubahan sosial. Pertama, bagaimana ideas mempengaruhi perubahan-perubahan sosial. Kedua, bagaimana tokoh-tokoh besar dalam sejarah menimbulkan perubahan besar di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, sejauh mana gerakan-gerakan sosial dalam revolusi menimbulkan perubahan stuktur sosial dan norma-norma sosial (Rahmat, 1999).
 1.  Ideas Menentukan Sejarah
Dalam Marxisme, yang kita kenal sebagai materealisme (historical materialisme), ada anggapan bahwa yang mengubah sejarah, masyarakat dan bangsa bukanlah ide atau gagasan tetapi teknologi, stuktur ekonomi atau penggunaan alat-alat produksi. Marx membagi stuktur masyarakat dalam dua bagian: suprastruktur dan infrastuktur. Suprastruktur adalah bagian yang soft dari sebuah kebudayaan, sedangkan infrastruktur adalah bagian yang hard. Perbandingan antara kebudayaan bisa disamakan dengan software dan hardware pada komputer. Software adalah peralatan komputer itu sendiri. Begitu juga dalam kebudayaan. Yang dibedakan antara program kebudayaan (software) dan kebudayaan itu sendiri (hardware).
Yang termasuk infrastruktur suatu kebudayaan, misalnya, struktur ekonomi atau teknologi kebudayaan iti sendiri; sedangkan suprastrukturnya adalah ideologi, kepercayaan, agama, ideas, dan lain-lain. Menurut Marx, suprastruktur ditentukan oleh infrastruktur. Ideologi akan sangat ditentukan oleh ekonomi. Keadaan ekonomi, misalnya, akan menentukan keadaan kelas; bukan sebaliknya. Agama kita sangat ditentukan oleh posisi ekonomi kita di tengah masyarakat. Versi-versi keberagamaan kita sangat ditentukan oleh letak dalam status sosial ekonomi. Apa yang dirumuskan oleh Marx sebetulnya merupakan antitesis dari apa yang kita bicarakan: bahwa ideas akan menentukan perubahan.
Kekuatan sejarah akan sangat ditentukan oleh ideas (gagasan-gagasan). Ideologilah yang akan menentukan perubahan ekonomi, sistem sosial, dan stuktur politik. Jika ideologi suatu masyarakat berubah, berubah pulalah infrastuktur masyarakat itu. Berbeda dengan pandangan Marx, teori ini menganggap bahwa ideaslah yang paling menentukan perubahan sosial. Teori yang sekaligus menjadi kritik terhadap Marx dikemukakan oleh Marx Weber (Sztompka, 2004).
Suatu masyarakat dikatakan mengalami perubahan sosial jika sistem sosialnya juga berubah. Jadi, dalam perkembangan masyarakat itu, individu tidak berperang apa-apa. Mereka hanyalah poin-poin kecil yang digerakkan oleh sistem sosial, politik, ekonomi. Dulu, para sosiolog melacak perubahan-perubahan pada masyarakat pada perubahan-perubahan institusi; individu sama sekali tidak memegang peranan. Sebagai contoh utamanya dalam tesis Marx. Namun, Weber membalikkan pandangan ini dengan mengatakan bahwa semua perubahan sosial dimulai dari perubahan tingkah laku manusia. Perubaan dari human action, perubahan dari tindakan-tindakan manusia yang ada dimasyarakat. Karena itu, banyak ahli menganggapWeber sebagai pendiri dari apa yang disebut sociologi humanis, sosiologi yang (kembali) menempatkan peranan manusia dalam perubahan-perubahan sosial. Berbeda dengan Marx, Weber berpendapat bahwa superstucture, soft belief system, ideology adalah faktor yang sangat aktif dan efektif dalam mengubah sejarah. Tesis Weber ini terbukti dengan munculnya kapitalisme (Rahmat, 1999).
Kapitalisme adalah sebuah sistem sosial yang di tegakkan di atas dasar pencarian keuntungan dan  tindakan-tindakan rasional. Kata Marx Weber, kapitalisme adalah pengantar menuju masyarakat modern. Bersamaan dengan lahirnya kapitalisme, lahir pula institusi-intitusi dan penguasaan-penguasaan baru yang independen. Pandangan baru tentang pasar (market) juga mulai muncul dipermukaan. Menurut Weber, sebagai sebuah sistem sosial, kelahian kapitalisme. Ada sekelompok orang yang perilakunya berbeda dengna kebanyakan orang pada zaman itu. Kapitalisme muncul karena sekelompok orang yang di sebut Weber sangat newentrepreneur (pengusaha-pengusaha baru) melakukan serangkaian tindakan (human action). Tindakan itu didasarkan pada semangat yang disebut semangat kapitalisme. Semangat kapitalisme terdiri dari tiga rukun berikut; Motif memperoleh laba (profit motive), hidup zuhud atau sederhana (ascetic orentation), dan semangat misi (ideas of calling).
2. Manusia-manusia Besar
Teori tentang great individuals (manusia-manusia besar yang mengubah sejarah) dikemukakan oleh beberapa orang. Thomas Carlyle, misalnya, adalah penulis buku Heroes and Hero Worshipers (para pahlawan dan pemujaan pahlawan). Menurut Carlyle, sejarah adalah biografi manusia besar “history of the world is the biography of the great man”. Pada salah satu bagian, dia menulis tentang Rasulullah, The Hero as The Prophet, pahlawan sebagai Nabi. Thomas Carlyle memandang sejarah sebagai biografi dari manusia-manusia besar. Dia mengatakan, “sejarah universal merupakan sejarah apa yang telah dicapai oleh umat manusia di dunia dan pada dasarnya adalah sejarah manusia besar yang sudah bekerja di dunia”. Lebih lanjut, Carlyle mengatakan bahwa manusia besar adalah jiwa dari seluruh sejarah umat manusia.
Ada tiga macam tipe individu di tengah-tengah masyarakat (Rahmat, 1999). Pertama, ada ordinary people (manusia-manusia biasa) seperti kita yang membentuk jaringanjaringan sosial. Masyarakat sebenarnya terdiri dari sekian banyak ordinary people. Kita tidak bisa memasukkan mereka sebagai individu besar untuk mengubah sejarah. Kedua, exceptional actors, yaitu tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Mereka bisa berbuat apa saja dan mempunyai kearifan yang dalam. Mereka bisa memahami apa yang dibutuhkan masayarakat di sekitarnya. Exceptional actors ini termasuk para nabi, pembaharu, dan tokoh sejarah besar. Mereka mempunyai sesuatu yang istimewa yang membedakannya dengan manusia yang lain. Tipe terakhir adalah orang-orang yang berada di antara kedua tipe tadi. Orang seperti ini tidak mempunyai kebijakan dan pengetahuan seperti yang dimiliki oleh exceptional actors, tetapi mereka menduduki posisi penting di masyarakat. Karena itu mereka biasanya disebut holders of exceptional positions. Seseorang, misalnya, yang memiliki kearifan yang rendah, tiba-tiba menjadi presiden. Maka dia pun akan ikut menentukan jalannya sejarah dan dapat mempengaruhi proses perubahan perubahan sosial. Bahkan, sekiranya dia buta huruf seperti seorang kaisar di Afrika, dia dapat menentukan jalannya sejarah, paling tidak di negerinya sendiri.
Lalu apa yang dilakukan oleh great individuals itu untuk mengubah sejarah? Ada beberapa type of actions yang dilakukan oleh manusia. Sebagai anggota masyarakat kita berada dalam sebuah spektrum, dari private actions, tindakan orang yang mempengaruhi secara pribadi tetapi tidak begitu banyak yang menimbulkan perubahan sosial, sampai tindakan bersama (collective actions) yang tidak terorganisasi, biasanya dilakukan dengan cara yang buruk. Demonstrasi-demonstrasi yang belakangan marak, biasanya hanya bersifat temporer. Kerusuhan-kerusuhan juga menimbulkan perubahan sosial, tetapi tidak berdampak besar kepada masyarakat sebagai bangsa. Collective actions ini biasanya dilakukan oleh social movement (gerakan-gerakan sosial). Tindakan yang lebih bisa mengubah lagi adalah tindakan-tindakan yang terorganisasi, terencana, dan sudah disiapkan sebelumnya, seperti organizing dan mobilizing. Dalam istilah Bung Karno, ada yang dikenal dengan pembentukan kekuatan dan pemanfaatan kekuatan. Ada sebuah organisasi sosial yang mengorganisasi rencana-rencana mereka membentuk kekuatan dan memanfaatkan kekuatan itu. Tindakan yang paling akhir adalah tindakan-tindakan politik (political action). Seorang great individuals diukur pengaruhnya dari seluruh tindakan ini (Sztompka, 2004).
3. Revolusi
Ketika seluruh bangsa dilanda krisis, semua orang menuntut perubahan. Makin menderita bangsa itu, makin ingin perubahan itu segera terjadi. Revolusi muncul sebagai strategi terbaik. Reformasi dianggap terlalu lamban, sementara perut tidak bisa menunggu. Bila penyakit sosial seperti korupsi sudah berurat berakar dalam seluruh tubuh bangsa, kita memerlukan pembedahan total; yakni, revolusi. Ada kerinduan untuk menyongsong revolusi. Ada kebanggaan dalam gerakan revolusioner. Ada banyak contoh bangsa-bangsa besar lahir dari puing-puing revolusi. Tetapi, pada saat yang sama, ada ketakutan akan kedahsyatan revolusi. Bayangan kita tentang revolusi itu ambigu. Pada satu sisi, revolusi dipandang sebagai pelita harapan, yang membimbing kita dari kegelapan status quo pada cahaya masa depan. Pada sisi lain, revolusi dilihat sebagai momok yang mengerikan, bersimbah darah, dan penuh adegan kekerasan (Sztompka, 2004).
Revolusi adalah manifestasi perubahan sosial yang paling spektakuler. Revolusi menengarai guncangan fundamental dalam proses sejarah, membentuk kembali masyarakat dari dalam dan merancang lagi bangsa. Revolusi tidak membiarkan apapun seperti sebelumnya; revolusi menutup satu zaman dan membuka zaman baru. Pada saat revolusi, masyarakat mengalami puncak perannya, ledakan potensi transformasi diri. Pada bangkitnya revolusi, masyarakat dan para anggotanya seakan-akan dihidupkan kembali, hampir dilahirkan kembali. Dalam pengertin ini, revolusi adalah tanda kesehatan sosial. Karena muatan makna yang sarat ideologis, revolusi sering dirancukan dengan berbagai cara perubahan sosial lainnya. Revolusi memang perubahan yang cepat; tetapi tidak semua perubahan yang cepat disebut revolusi. Menurut Sztompka, paling tidak ada lima ciri yang membedakan revolusi dari jenis-jenis perubahan sosial lainnya:
1.      Revolusi menimbulkan perubahan pada skala yang paling luas; menyentuh semua tahap dan dimensi masyarakat: ekonomi, politik, budaya, organisasi sosial, kehidupan sehari-hari, kepribadian manusia.
2.      Pada semua bidang kehidupan ini, perubahannya bersifat radikal, fundamental, mencapai akar atau inti dari konstitusi dan fungsi masyarakat.
3.      Perubahan berlangsung dengan sangat cepat, seperti sebuah ledakan dinamika yang terbersit dari arus lamban proses sejarah.
4.        Revolusi juga menunjukkan perubahan yang paling kentara; karena itu paling dikenang.
5.      Revolusi menimbulkan reaksi emosional dan intelektual yang sangat istimewa pada para peserta atau saksi revolusi: semangat yang membara, ledakan mobilisasi massa, optimisme, perasaan perkasa, kegembiraan dalam keikutsertaan pada ‘pesta’ revolusi; aspirasi yang melangit dan utopia masa depan.  


Perubahan sosial bisa dilakukan dengan revolusi atau people’s power. Revolusi atau people’s power merupakan bagian dari power strategy (strategi perubahan sosial dengan kekuasaan). Dan revolusi merupakan puncak dari semua bentuk perubahan sosial. Karena, ia menyentuh segenap sudut dan dimensi sosial secara radikal, massal, cepat, mencolok, dan mengundang gejolak intelektual dan emosional dari semua orang yang terlibat di dalamnya.
Strategi perubahan yang lainnya adalah persuasive strategy (strategi persuasif). Dalam strategi ini, media massa bisa sangat berperan. Karena, pada umumnya, strategi persuasif dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat yang tidak lain melalui media massa. J.A.C. Brown memasukkan propaganda dalam strategi persuasif untuk melakukan perubahan sosial (Ritzer, 2003).
Dan yang terakhir adalah strategi normative reeducative (normatif-reedukatif). Normatif adalah kata sifat dari norm (norma) yang berarti aturan yang berlaku di masyarakat. Posisi kunci norma-norma sosial dalam kehidupan bermasyarakat telah diakui secara luas oleh hampir semua ilmuwan sosial.
Norma termasyarakatkan lewat education (pendidikan). Oleh sebab itu, strategi normatif ini umumnya digandengkan dengan upaya reeducation (pendididkan-ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat yang lama dengan yang baru. Jadi, strategi ini juga lebih banyak bersifat persuasif dan bertahap. Lain halnya dengan revolusi yang disebut sebagai perubahan sosial secara cepat.
Perubahan sosial berbeda dengan perubahan individual. Walaupun, mungkin saja perubahan individual mempengaruhi perubahan sosisal dikemudian hari. Sebaliknya pun begitu. Perbedaannya terletak pada hubungannya dengan rekayasa sosial dan rekayasa individual. Rekayasa sosial dilakukan karena munculnya problem-problem sosial. Sebelum ada problem sosial, tidak akan ada orang berpikir untuk melakukan rekayasa sosial. Jadi, munculnya problem sosial yang mesti segera diatasi merupakan faktor utama dalam melakukan rekayasa sosial.
Untuk mengatasi problem sosial, kita perlu mengubah institusi-institusi sosial, sistem sosial, dan norma-norma sosial yang sebelumnya berlaku dalam suatu masyarakat. Pendeknya, harus ada suatu perubahan sosial, bukan individual. Dan, seperti yang telah disebut di atas, perubahan sosial yang terencana (planed social change) pasti melalui rekayasa sosial. Belakangan, rekayasa sosial ini diganti dengan social marketing (pemasaran sosial). Karena, ketika kita merencanakan suatu perubahan sosial, kita sebenarnya sedang memasarkan rencana baru atau solusi. Biar berjalan lancar, solusi itu perlu dipasarkan dan ditawarkan kepada masyarakat. Bila kebanyakan anggota masyarakat menerima tawaran kita, maka perubahan sosial itu akan berjalan dengan lancar. Jika yang terjadi sebaliknya maka perubahan sosial itu bisa terhambat atau bahkan tidak bisa jalan sama sekali.
Ada  beberapa problem sosial yang disebutkan oleh para ilmuwan sosial sebagai sumber-sumber perubahan: (1) Poverty (kemiskinan). Kemiskinan adalah problem sosial yang melibatkan orang banyak. (2) Crimes (kejahatan). Kejahatan bisa berjenjang-jenjang dari blue collar crimes hingga white collar crimes (kejahatan orang yang berkerah putih). White color crimes, misalnya, adalah kejahatan yang dilakukan oleh para ustad, eksekutif, birokrat, politisi, dan yang setingkat dengan mereka (Rahmat, 1999).
Sekarang ini, masyarakat kita dilanda oleh white color crimes yang sangat menggugah dan mengungkit rasa keadilan kita. Seringkali kita menemukan ada anak jalanan  atau rakyat jelata yang dipukuli oleh satpam sampai mati hanya karena mencuri kayu di hutan sejumlah beberapa kubik saja. Sementara, yang mencuri kekayaan hutan seharga ratuan juta dibiarkan. Masalah white color crimes ini adalah problem sosial yang amat menganiaya rakyat kecil di Indonesia pada zaman Orde Baru ataupun saat ini. (3) Pertikaian atau konflik. Konflik sosial bisa bersifat rasial, etnis, sektarian, ideologis, dan sebagainya. Bahkan, dalam kerangka pikir Marxian, perubahan (transformation) sistem sosial yang bersifat menyeluruh hanya akan terjadi melalui konflik. Tanpa terjadi konflik, tidak akan ada transformasi yang bersifat menyeluruh.

Baca Lengkap....

Karya Sastra dan Masyarakat


          Karya sastra adalah suatu wadah untuk mengungkapkan gagasan, ide dan pikiran dengan gambaran-gambaran pengalaman. Sastra menyuguhkan pengalaman batin yang dialami pengarang kepada penikmat karya sastra (masyarakat). Sastra bukan hanya refleksi sosial melainkan merespresentase sebuah gagasan tentang dunia yang atau gagasan atas realitas sosiologis yang melampaui waktunya.  Karya sastra yang baik adalah sebuah karya yang dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat. Hubungan sastra dengan masyarakat pendukung nilai-nilai kebudayaan tidak dapat dipisahkan, karena sastra menyajikan kehidupan dan sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial (masyarakat), walaupun karya sastra meniru  alam dan dunia subjektif manusia (Wellek dan Warren, 1990:109). Di samping itu sastra berfungsi sebagai  kontrol sosial yang berisi ungkapan sosial beserta problematika kehidupan masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Jobrahim, ed, (1994: 221) bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.
            Secara historis, dalam kaitannya dengan masyarakat yang menghasilkannya, karya sastra dibedakan menjadi dua macam, yaitu sastra lama (klasik) dan sastra baru (modern). Sastra lama juga disebut sastra  daerah (regional), menggunakan bahasa (bahasa) daerah, terbesar diseluruh Nusantara. Sebaliknya, sastra modern juga disebut sastra Indonesia (nasional), menggunakan bahasa Indonesia, penyebarannya pada umumnya terbesar pada kota-kota (besar). Sebagai objek kajian, kedudukan sastra lama dan sastra modern sama, relevansinya tergantung dari sudut pandang dan kepentingan suatu penelitian.
            Secara teknis sastra lama ada dua macam, yaitu sastra lisan (oral) dan sastra tulis. Melihat kondisi-kondisi geografis ekologis, dan keragaman bentuknya, sastra lisan merupakan khazanah kebudayaan yang paling kaya. Melihat penyebaranya yang sangat luas, khazana kultural ini tidak pernah terdeteksi secara pasti. Yang pasti adalah bahwa tradisi tersebut makin lama makin berkurang dengan berkurangnya masyarakat pendukung sebagai akibat mobilitas dan globalisasi. Tradisi tulis tidak berpengaruh terhadap keberadaan sastra lisan. Artinya, meskupun suatu tradisi lisan telah ditranskripsikan ke dalam tulisan, tradisi tersebut tetap hidup dengan mekanismenya masing-masing. Oleh karena itu, masyarakat pendukungnyalah yang memilki pengaruh terbesar terhadap perkembangan tradis lisan. Tradisi lisan adalah tradisi komunikasi langsung dan dimungkinkan terjadinya interaksi antara pengirim dengan penerima. Esensi tradisi oral adalah proses komunikasi tersebut, bukan proses tekno;ogisasinya. Transkipsi, transliterasi, dan sebagainnya  hanyalah gejala kedua, sama dengan sinopsis sebuah novel, relevansinya tersebut untuk membantu memahami objek yang sesungguhnya (Ratna, 2005).
            Tradis tulis berkembang dengan pesat sejak ditemukannya mesin cetak abad ke-15 oleh Guttenberg. Satu abad kemudian, yaitu abad ke-16, hampir semua khazanah kebudayaan Eropa Klasik sudah tersedia dalam bentuk cetakan teknologi ini sampai di Indonesia pertengahan ke-18, diawali dengan penerbitan surat kabar yang pertama oleh pemerintah kolonial Belanda. Industri percetakan bertambah subur akhir abad ke-19 melalui para pedagang Tioghoa. Menurut Ratna (2005: 62-63) perkembangan ini didukung oleh pemilikan modal untuk membeli alat-alat percetakan di satu pihak tradisi untuk memajukan pendidikan sebagai konservasi nilai-nilai borjuis di pihak yang lain. Kemudian, awal abad ke-20 dunia percetakan diambil alih oleh penerbitan Balai Pustaka. Sementara itu, sastar derah tetap melanjudkan tradisinya masing-masing, seperti Sastra Bali dengan tulisan Bali, sastra Jawa dengan tulisan Jawa, dan sebagainnya. Penemuan teknologi kemputer menpersatukan kedua mekanisme, secara teknologis komputer dapat mentranskipskan kelisana dalam bentuk apa pun, termasuk lambang-lambang menjadi tradisi keberaksaraan.
            Tugas sosiologis sastra, baik sebagai institusi formal maupun literer justru menjadi lebih penting dalam kaitannya dengan nilai-nilainya sebagai aset kebudayaan. Sastra klasik adalah warisan nenek moyang, pancaran masyarakat lama, sekaligus merupakan gudang inforamasi bagi generasi berikutnya. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 45, pasal 32, maka seluruh khazanah kultural yang masih dipelihara oleh masyarakat yang bersangkutan wajib dilindungi oleh negara, termasuk aparatur yang menyertai sesuai dengan fungsinya, maka cara-cara yang dapat dilakukan oleh sosiologis sastra adalah melestarikan dengan cara merekam, mengabadiakan , menganalisis, memahami dan menyebarluaskannya. Tugas ini memang sangat berat sebab kekayaan terbatas. Masalah lain yang juga belum teratasi  adalah keterbatasan dana penelitian. Kendalah yang jauh lebih serius adalah tradisi memposisikan karya sastra sebagai gelajah sekunder, dengan konsekuensi bahwa berbagai masalah yang berkaitan dengan aspek-aspek rohani hanya berfungsi sebagai pelengkap. Oleh karena itulah, banyak tradisi lisan yang belum tersentuh, seperti wilayah pedalaman di Sumatra, Kalimantan dan, Irian  Barat dan sebagainya, sehinnga sangat rawan untuk menjadi punah.
            Perbedaan pendapat mengenai awal terjadinya sastra Indonesia modern timbul sebagai akibat beberapa indikator yang terlibat, di antaranya, sebagai berikut:
1.      Bahasa sebagai kualitas linguistik dan sastra sebagai kulaitas estetis lahir pada periode yang sama. Bahasa dan sastra Indonesia adalah pernyataan sikap bukan hakikat.
2.      Hubungan bentuk sastra lama dan modern belum jelas, sementara pengaruh sastra lama masih sangat kuat.
3.      Pada saat lahirnya sastra Indonesia modern, yaitu awal abad ke-20, terjadi pergeseran sosial yang sangat kompleks termasuk intervensi pemerintah kolonial  dengan cara memanfaatkan sastra sebagai kekuatan politik.
4.      sebagian pendapat berasal dari sarjana Barat yang dengan sendirinya menggunakan tolok ukur sastra Barat.
5.      Usia sastra Indonesia yang masih relatif singkat sehingga sangat sulit untuk mengadakan pembabakan waktu.
Dalam kaitannya dengan peranan masyarakat, masalah aktual paling banyak dibicarakan mengenai sastra awal abad ke-20, terutama sepanjang tahun 1930-an adalah nasionalisme. Menurut Kartodirdjo (1990; 120-130) terdapat beberapa indikator yang menopang perkembangan ideologi tersebut, sebagai berikut :
1.      Meratanya perkembangan pendidikan, yang dengan sendirinya membangkitkan kesadaran nasional.
2.      Timbulnya sikap radikal sebagai akibat penyimpangan pelaksanaan politik etis.
3.      Pengaruh situasi internasional seperti pecahnya Perang Dunia I (1914-1918).

Pesatnya perkembangan sastra Indonesia modern, merupakan akibat langsung pemanfaatan teknologi modern, yaitu percetakan, yang juga disebarluaskan melalui sistem komunikasi modern. Hasil-hasil karya dapat digandakan secara massal dan dapat dinikmati di seluruh pelosok tanah air dalam waktu yang relatif singkat. Sastra modern menyajikan peristiwa aktual yang terjadi sehari-hari, cerita-cerita yang sangat akrab dengan masyarakat kontemporer. Sesuai dengan situasi dan kondisi, tingkat pengalaman dan pengetahuan masyarakat, maka cerita-cerita yang menarik adalah cerita yang mengandung masalah-masalah yang berkaitan dengan kemerdekaan, kemakmuran, percintaan, keberhasilan suatu perjuangan, dan kemajuan-kemajuan perdaban manusia pada umumnya. Lokasi cerita adalah kota-kota besar, tokoh-tokoh berasal dari kelas menengah ke atas.
Karya sastra tetap menarik karena menyerupai kehidupan, tetapi jelas bukan kehidupan itu sendiri. Dimensi-dimensi emosionalitas yang teralienasikan dapat disalurkan melalui pembaca karya sastra. Penjajahan yang sangat lama, taraf kehidupan yang sama sekali tidak memadai, seolah-olah telah melumpuhkan sebagian semangat perjuangan. Membaca karya sastra berarti menumbuhkan harapan-harapan baru, dengan cara mengidentifikasikan diri dengan kejadian-kejadian dalam karya sastra. Karya sastra pada gilirannya menggali energi yang stagnasi, karya sastra merupakan katharsis, revitalisasi bagi kekuatan yang tersembunyi. Pada dasarnya sastra awal abad ke-20 bernilai dari segi ekstraliterer, tetapi semangat itulah yang dapat disumbangkan bagi kemajuan bangsa. Sutan Takdir Alisyahbana merupakan tokoh yang telah banyak memberikan pertimbangan dalam hubungan ini. Pada tingkatan yang lebih luas, polemik kebudayaan memberikan arah terhadap perkembangan budaya kontemporer, meskipun sesungguhnya sampai sekarang belum terwujud secara nyata.
Berbeda dengan karya sastra yang dapat diolongkan menjadi lama dan modern, masyarakat selalu dibayangkan melalui masyarakat sekarang. Dalam analisis sastra lama, misalnya, benar yang dibicarakan adalah masyarakat lama, masyarakat sebagai katar belakang produksi karya, tetapi jelas dinilai dalam kaitannya dengan masyarakat sekarang. Apabila masyarakat sastra lama semata-mata dinilai sebagai masyarakat lama, maka penelitian  menjadi bersifar sejarah, filologi, antropologi, atau sosiologi itu sendiri. Kemungkinan lain analisis menjadi semata-mata refleksi, karya sastra sebagai cermin yang pasif. Sebaliknya, analisis sosiologi adalah analisis karya melalui kompetensi masyarakat, dengan tujuan untuk menemukan estetika karya, bukan estetika masyarakat.
Masyarakat sebagai masalah pokok sosiologi sastra dapat digolongkan ke dalam tiga macam, sebagi berikut:
1.      Masyarakat yang merupakan latar belakang produksi karya.
2.      Masyarakat yang terkandung dalam karya.
3.      Masyarakat yang merupakan latar belakang pembaca.
Masyarakat pertama dihuni oleh pengarang, keberadaannya tetap, tidak berubah sebab merupakan proses sejarah. Masyarakat kedua dihuni oleh tokoh-tokoh rekaan, sebagai manifestasi subjek pengarang. Oleh karena itu, keberadaannya memiliki dua dimensi yang berbeda. Di satu pihak, sebagai bentuk fiisk, sebagai naskah bersifat tetap, sedangkan di pihak lain sebagai kualitas psike, sebagai teks berubah secara terus-menerus. Masyarakat yang terakhir dihuni oleh (para) pembaca. Sebagai proses sejarah keberadaannya sama dengan masyarakat yang pertama. Perbedaannya, masyarakat pembaca berubah sebagai akibat perubahan pembaca itu sendiri, yang berganti-ganti sepanjang zaman (Ratna, 2005; 215-216).
Sebagai masyarakat pengarang, masyarakat pertama terdiri atas fakta-fakta, dihuni oleh individu sekaligus transindividu, peristiwa dan kejadian-kejadiannya dapat diamati secara langsung. Pada umumnya, masyarakat yang terkandung dalam karya sastralah yang paling banyak menarik perhatian. Secara teoritis masyarakat ini merupakan masyarakat imajiner yang sesuai dengan hakikat karya sebagai rekaan. Relevansinya adalah fungsi-fungsinya dalam menampilkan unsur-unsur karya sastra, seperti tokoh-tokoh, tema, sudut pandang, dan sebagainya. Keseluruhan model analisis, ekstrinsik dan intrinsik, otonomi dan sosiologi, strukturalisme dan postrukturalisme, mesti melibatkan masyarakat imajiner sebagaiamana yang terkandung dalam karya sastra (Junus, 1986).
Sesuai dengan perkembangan teori sastra, masyarakat pembaca dianggap sebagai dimensi karya yang mengandung makna paling kaya. Masyarakat pembacalah yang memungkinkan para pembaca berhasil untuk memberikan pemahaman yang berbeda-beda terhadap karya yang sama. Perbedaan yang dimaksudkan terdiri atas perbedaan ruang dan waktu. Sebagai akibat perbedaan ruang, sebuah karya dapat ditafsirkan secara bermacam-macam sesuai dengan latar belakang masing-masing pembaca. Sebuah karya sastra pada gilirannya dapat mengevokasi keberagaman budaya dalam ruang yang tak terbatas. Karya sastra adalah pelita, yang melaluinya dapat ditunjuk berbagai-bagai bentuk kebudayaan lokal, sebagaiamana terkandung dalam diri pembaca. Perbedaan waktu juga menampilkan perbedaan penafsiran. Baik dalam teori maupun sejarah sastra, perbedaan waktu inilah yang dianggap lebih bermakna sebab karya sastra akan tetap hidup sepanjang masa. Karya sastra yang telah lahir ribuan tahun yang lalu, masih menampilkan makna yang berbeda-beda sehingga tetap bermanfaat bagi masyarakat (Wahid, 2006).
Sebagai dua diskresi, sastra dan masyarakat berkembang dengan irama yang juga relatif sama, sastra melalui unsur tokoh-tokoh dan kejadian yang diintegrasikan oleh makanisme pemplotan, masyarakat melalui unsur aksi dan interaksi, status dan peranan yang diintegrasikan oleh mekanisme institusionalisasi. Plot jelas hanya ada dalam karya sastra sebab kejadian dan tokoh-tokoh merupakan bahan kasar, unsur-unsur yang siap pakai, dapat dibekukan dan dimanipulasi, dirangkai sebagai seni waktu. Sebaliknya, dalam kehidupan sehari-hari kejadian mengalir terus tanpa berhenti, karena itulah, tidak ada sorot balik, tidak ada teknik cerita. Keduanya memanfaatkan medium bahasa, baik lisan maupun tulisan, sebagai bahasa sastra dan bahasa sehari-hari.
Berbeda dengan masyarakat pada umumnya, masyarakat sastra ditandai oleh adanya berbagai kepentingan yang berkaitan dengan: 1) citra estetis, 2) ilmu pengetahuan, 3) manfaat pragmatis, 4) nilai ekonomis, dan 5) nilai dokumentasi. Kepentingan mengenai citra estetis meruapakan masalah utama sebab keindahan meruapakan hakikat karya sastra, karya seni pada umumnya, yang pada gilirannya akan merupakan umpan balik bagi perilaku sosial itu sendiri, dalam rangka menanamkan nilai-nilai moral. Kepentingan dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, dalam hal ini secara khusus dikaitkan dengan kritik, esai, dan penelitian mengenai karya sastra itu sendiri, pada gilirannya akan memicu kulaitas aktivitas kreatif berikutnya, manfaat pragmatis dilakukan oleh pembaca biasa, pada umumnya untuk mengisi waktu luang. Manfaat pragmatis juga dilakukan oleh para penguasa untuk mempertahankan kedudukannya, kelompok tertentu, seperti Marxis untuk menyampaikan ideologinya. Nilai ekonomi dilakukan oleh penerbit dan toko buku yang secara keseluruhan berorientasi finansial. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, kepentingan sebagai dokumentasi meliputi pemakaian karya sastra semata-mata sebagai gejala kedua, sebagai obyek penelitian disiplin yang lain. Sesuai dengan hakikatnya, sastra harus mempertahankan kualitas otonomi, ciri-ciri estetis yang diperoleh melalui regulasi diri, kemampuan dalam mengakumulasikan dan mengeksploitasi seluruh unsurnya. Di pihak lain, sastra juga memiliki misi dan tujuan-tujuan tertentu, sesuai dengan kecenderungan masyarakat yang melatarbelakanginya. Terjadi tarik-menarik di atara keduanya, silang sengketa antara hakikat dan manfaat, visi dan misi, kualitas emosional dan intelektual, sastra sebagai proyeksi individu sekaligus transindividu.

       Sastrawan menulis karya sastra, antara lain, untuk menyampaikan model kehidupan yang diidealkan dan ditampilkan dalam cerita lewat para tokoh. Dengan karya sastranya, sastrawan menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat itu pada hakikatnya universal, artinya diyakini oleh semua manusia. Pembaca diharapkan dalam menghayati sifat-sifat ini dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan nyata (Teeuw, 2003: 321).
        Untuk itu, seorang pengarang berusaha untuk memperlihatkan kemungkinan tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia yang subtil (halus) dan bervariasi dalam karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah kemampuan pengarang untuk membayangkan, mengkhayalkan, dan menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang pengarang yang memiliki daya imajinatif yang tinggi  bila dia mampu memperlihatkan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan kehidupan, masalah-masalah, dan pilihan-pilihan dari alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan berhasil tidaknya suatu karya sastra. Dalam kaitan dengan proses penciptaan karya sastra, seorang pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat (realitas objektif). Realitas obyektif bisa berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup. Karya sastra menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan diri sendiri, lingkungan, dan juga Tuhan. Karya sastra berisi penghayatan sastrawan terhadap lingkungannya. Karya sastra bukan hasil kerja lamunan belaka, melainkan juga penghayatan sastrawan terhadap kehidupan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab sebagai sebuah karya seni (Hadi W.M, 2008: 3).

       Karya sastra memiliki peran yang penting dalam masyarakat karena karya sastra merupakan ekspresi sastrawan berdasarkan pengamatannya terhadap kondisi masyarakat sehingga karya sastra itu menggugah perasaan orang untuk berpikir tentang kehidupan. Membaca karya sastra merupakan masukan bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Para penguasa sering melarang peredaran karya-karya sastra yang dianggap membahayakan pemerintahannya. Buku-buku dimusnahkan dan sastrawan-sastrawan diasingkan. Pramoedya Ananta Toer pernah diasingkan ke Pulau Buru. Karya Mochtar Lubis berjudul Senja di Jakarta juga pernah dilarang beredar oleh Sukarno. Kekerasan ini terjadi karena sastrawan lewat karyanya berusaha melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan penguasa 
       Pemecahan persoalan sosial lewat karya sastra terkait dengan konvensi-konvensi kesusastraan. Konvensi-konvensi itu selalu ada dalam aktivitas kesusastraan karena konvensi-konvensi itu menentukan sejauh mana suatu obyek dapat dianggap sebagai karya sastra pada umumnya atau sebagai karya yang baik atau yang buruk pada khususnya. Sastrawan tidak dilarang untuk melakukan “pendobrakan” terhadap konvensi-konvensi sastra karena masyarakat sastralah yang nanti akan menilai apakah “pendobrakan” itu masih dalam batasan keindahan karya sastra atau tidak. Sastrawan juga perlu memperhatikan konvensi-konvensi sastra yang berlaku sebelumnya karena “pendobrakan” terhadap konvensi sastra akan terlihat maknanya jika dipertentangkan dengan konvensi sebelumnya (Teeuw, 1988: 29).
       Ada hubungan yang menarik ketika konvensi sastra itu dikaitkan dengan struktur sosial. Menurut Faruk (1994: 44-47) kemungkinan hubungan tersebut ada empat, yaitu hubungan kelembagaan, hubungan permodelan, hubungan interpretatif, dan hubungan pembatasan. Hubungan yang pertama adalah hubungan kelembagaan yang menganggap konvensi-konvensi tersebut sebagai sebuah lembaga sosial yang diterima dan dipertahankan oleh masyarakat. Perubahan pada konvensi-konvensi tersebut akan berakibat perubahan pada struktur sosial dan perubahan pada struktur sosial akan berakibat perubahan pada konvensi-konvensi kesusastraan.
Pada dasarnya masyarakatlah yang menghasilkan kebudayaan sebab yang pertama kali memanfaatkan kompetensi manusia adalah masyarakat itu sendiri. Meskipun dernikian, dengan adanya hasil-ha aktivitas manusia, maka kebudayaan itu pun menghasilkan bentuk-bentuk masyarakat tertentu. Teknologi media massa menghasilkan mesyarakat pemirsa yang berbeda-beda. Atas dasar penjelasan di atas, maka baik karya sastra sebagai hasil aktivitas kebudayaan di satu pihak, maupun sebagai hasil interaksi manusia dalam masyarakat di pihak yang lain, memiliki nilai yang sama. Dengan kalimat lain, karya sastra, seperti juga karya seni yang lain, dan dengan sendirinya keseluruhan basil ciptaan manusia, sekaligus dihasilkan oleh masyarakat dan kebudayaan.
Baca Lengkap....

Sejarah Perpustakaan di Indonesia

Sejarah perpustakaan di Indonesia tergolong masih muda jika dibandingkan dengan negara Eropa dan Arab. Jika kita mengambil pendapat bahwa sejarah perpustakaan ditandai dengan dikenalnya tulisan, maka sejarah perpustakaan di Indonesia dapat dimulai pada tahun 400-an yaitu saat lingga batu dengan tulisan Pallawa ditemukan dari periode Kerajaan Kutai. Musafir Fa-Hsien dari tahun 414M menyatakan bahwa di kerajaan Ye-po-ti, yang sebenarnya kerajaan Tarumanegara banyak dijumpai kaum Brahmana yang tentunya memerlukan buku atau manuskrip keagamaan yang mungkin disimpan di kediaman pendeta.

Pada sekitar tahun 695 M,, di Ibukota Kerajaan Sriwijaya hidup lebih dari 1000 orang biksu dengan tugas keagamaan dan mempelajari agama Budha melalui berbagai buku yang tentu saja disimpan di berbagai biasa.Di pulau Jawa, sejarah perpustakaan tersebut dimulai pada masa Kerajaan Mataram. Hal ini karena di kerajaan ini mulai dikenal pujangga keraton yang menulis berbagai karya sastra. Karya-karya tersebut seperti Sang Hyang Kamahayanikan yang memuat uraian tentang agama Budha Mahayana. Menyusul kemudian sembilan parwasari cerita Mahabharata dan satu kanda dari epos Ramayana. Juga muncul dua kitab keagamaan yaitu Brahmandapurana dan Agastyaparwa. Kitab lain yang terkenal adalah Arjuna Wiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa. Dari uraian tersebut nyatabahwa sudah ada naskah yang ditulis tangan dalam media daun lontar yang diperuntukkan bagi pembaca kalangan sangat khusus yaitu kerajaan. Jaman Kerajaan Kediri dikenal beberapa pujangga dengan karya sastranya. Mereka itu adalah Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang bersama-sama menggubah kitab Bharatayudha. Selain itu Mpu panuluh juga menggubah kitab Hariwangsa dan kitab Gatotkacasrayya. Selain itu ada Mpu Monaguna dengan kitab Sumanasantaka dan Mpu Triguna dengan kitam resnayana. Semua kitab itu ditulis diatas daun lontar dengan jumlah yang sangat terbatas dan tetap berada dalam lingkungan keraton.

Periode berikutnya adalah Kerajaan Singosari. Pada periode ini tidak dihasilkan naskah terkenal. Kitab Pararaton yang terkenal itu diduga ditulis setelah keruntuhan kerajaan Singosari. Pada jaman Majapahit dihasilkan dihasilkan buku Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Sedangkan Mpu Tantular menulis buku Sutasoma.

Pada Kegiatan penulisan dan penyimpanan naskah masih terus dilanjutkan oleh para raja dan sultan yang tersebar di Nusantara. Misalnya, jaman kerajaan Demak, Banten, Mataram, Surakarta Pakualaman, Mangkunegoro, Cirebon, Demak, Banten, Melayu, Jambi, Mempawah, Makassar, Maluku, dan Sumbawa. Dari Cerebon diketahui dihasilkan puluhan buku yang ditulis sekitar abad ke-16 dan ke-17. . Perpustakaan mulai didirikan mula-mula ntuk tujuan menunjang program penyebaran agama mereka. Berdasarkan sumber sekunder perpustakaan paling awal berdiri pada masa ini adalah pada masa VOC (Vereenigde OostJurnal Pustakawan Indonesia volume 6 nomor 160 Indische Compaqnie) yaitu perpustakaan gereja di Batavia (kini Jakarta) yang dibangun sejak 1624. pada abad ke-17 Indonesia sudah mengenal perluasan jasa perpustakaan (kini layanan seperti ini disebut dengan pinjam antar perpustakaan atau interlibrary loan).

Lebih dari seratus tahun kemudian berdiri perpustakaan khusus di Batavia. Pada tanggal 25 April 1778 berdiri Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) di Batavia. Bersamaan dengan berdirinya lembaga tersebut berdiri pula perpustakaan lembaga BGKW. Pendirian perpustakaan lembaga BGKW tersebut diprakarsai oleh Mr. J.C.M. Rademaker, ketua Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda). Ia memprakarsai pengumpulan buku dan manuskrip untuk koleksi perpustakaannya. Perpustakaan ini kemudian mengeluarkan katalog buku yang pertama di Indonesia.

Pada tahun 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan namanyapun diubah menjadi Museum Pusat. Koleksi perpustakaannya menjadi bagian dari Museum Pusat dan dikenal dengan Perpustakaan Museum Pusat. Nama Museum Pusat ini kemudian berubah lagi menjadi Museum Nasional, sedangkan perpustakaannya dikenal dengan Perpustakaan Museum Nasional. Pada tahun 1980 Perpustakaan Museum Nasional dilebur ke Pusat Pembinaan Perpustakaan. Perubahan terjadi lagi pada tahun 1989 ketika Pusat Pembinaan Perpustakaan dilebur sebagai bagian dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Perkembangan Perpustakaan Perguruan Tinggi di Indonesia dimulai pada awal tahun 1920an. Mengikuti berdirinya sekolah tinggi, misalnya seperti Geneeskunde Hoogeschool di Batavia (1927) dan kemudian juga di Surabaya dengan STOVIA; Technische Hoogescholl di Bandung (1920), Fakultait van Landbouwwentenschap (er Wijsgebeerte Bitenzorg, 1941), Rechtshoogeschool di Batavia (1924), dan Fakulteit van Letterkunde di Batavia (1940). Setiap sekolah tinggi atau fakultas itu mempunyai perpustakaan yang terpisah satu sama lain.

Di samping perpustakaan yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, sebenarnya tercatat juga perpustakaan yang didirikan oleh orang Indonesia. Pihak Keraton Mangkunegoro mendirikan perpustakaan keraton sedangkan keraton Yogyakarta mendirikan Radyo Pustoko. Sebagian besar koleksinya adalah naskah kuno. Koleksi perpustakaan ini tidak dipinjamkan, namun boleh dibaca di tempat. Pada masa penjajahan Jepang hampir tidak ada perkembangan perpustakaan yang berarti. Jepang hanya mengamankan beberapa gedung penting, di antaranya Bataviaasch Genootschap van Kunten Weetenschappen. Selama pendudukan Jepang openbareleeszalen ditutup. Volkbibliotheek dijarah oleh rakyat dan lenyap dari permukaan bumi. Karena pengamanan yang kuat pada gedung Bataviaasch Genootschap van Kunten Jurnal Pustakawan Indonesia volume 6 nomor 162 Weetenschappen, maka koleksi perpustakaan ini dapat dipertahankan, dan merupakan cikal bakal dari Perpustakaan Nasional.

Perkembangan pasca kemerdekaan mungkin dapat dimulai dari tahun 1950an yang ditandai dengan berdirinya perpustakaan baru. Pada tanggal 25 Agustus 1950 berdiriperpustakaan Yayasan Bung Hatta dengan koleksi yang menitikberatkan kepada pengelolaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Indonesia. Tanggal 7 Juni 1952 perpustakaan Stichting voor culturele Samenwerking, suatu badan kerjasama kebudayaan antara pemerintah RI dengan pemerintah Negeri Belanda, diserahkan kepada pemerintah RI. Kemudian oleh Pemerintah RI diubah menjadi Perpustakaan Sejarah Politik dan Sosial Departemen P & K.

Dalam rangka usaha melakukan pemberantasan buta huruf di seluruh pelosok tanah air, telah didirikan Perpustakaan Rakyat yang bertugas membantu usaha Jawatan Pendidikan Masyarakat melakukan usaha pemberantasan buta huruf tersebut. Pada periode ini juga lahir Perpustakaan Negara yang berfungsi sebagaiperpustakaan umum dan didirikan di ibukota provinsi. Perpustakaan Negara yang pertama didirikan di Yogyakarta pada tahun 1949, kemudian disusul Ambon (1952); Bandung (1953); Ujung Pandang (Makassar) (1954); Padang (1956); Palembang (1957); Jakarta (1958); Palangkaraya, Singaraja, Mataram, Medan, Pekanbaru dan Surabaya (1959). Setelah itu menyusul kemudian Perpustakaan Nagara di Banjarmasin (1960); Manado (1961); Kupang dan Samarinda (1964). Perpustakaan Negara ini dikembangkan secara lintas instansional oleh tiga instansi, yaitu Biro Perpustakaan Departemen P & K yang membina secara teknis, Perwakilan Departemen P & K yang membina secara administratif, dan pemerintah daerah tingkat provinsi yang memberikan fasilitas.
Baca Lengkap....

Perkembangan Perpustakaan Klasik di Berbagai Negara

Perkembangan perpustakaan klasik di berbagai negara:
1. Sumeria dan Babylona
Perpustakaan sudah dikenal sejak 3000 tahun yang lalu. Penggalian di bekas kerajaan Sumeria menunjukkan bahwa bangsa Sumeria sekitar 3000 tahun SM telah menyalin rekening, jadwal kegiatan, pengetahuan yang mereka peroleh dalam bentuk lempeng tanah liat (clay tables). Tulisan yang digunakan masih berupa gambar (pictograph), kemudian ke aksara Sumeria. Kebudayaan Sumeria termasuk kepercayaan, praktik keagamaan dan tulisan Sumeria kemudian diserap oleh Babylonia yang menaklukkannya. Tulisan Sumeria kemudian diubah menjadi tulisan paku (cunciform) karena mirip paku. Semasa pemerintahan Raja Ashurbanipal dari Assyria (sekitar tahun 668-626 SM) didirikan perpustakaan kerajaan di ibukota Nineveh, berisi puluhan ribu lempeng tanah liat yang dikumpulkan dari segala penjuru kerajaan (Sulistyo Basuki:1991). Untuk mencatat koleksi digunakan system subjek serta tanda pengenal pada tempat penyimpanan.Banyak dugaan bahwa perpustakaan ini terbuka bagi kawula kerajaan.

2. Mesir
Pada masa yang hampir bersamaan, peradaban Mesir Kuno pun mengalami perkembangan. Teks tertulis di perpustakaan Mesir berasal dari sekitar tahun 4000 SM, namun gaya tulisannya berbeda dengan tulisan Sumeria. Orang Mesir menggunakan tulisan yang disebut hieroglyph. Tujuan hieroglyph ialah memahatkan pesan terakhir dimonumen untuk mengagungkan raja. Sementara tulisan yang ada di tembok dan monument dimaksudkan untuk memberikan kesan pada dunia. Perpustakaan di Mesir bertambah maju berkat penemuan penggunaan rumput papyrus sekitar tahun 1200 SM. Untuk membuat lembar papyrus, isi batang papyrus dipotong menjadi lembaran tipis, kemudian dibentangkan satu demi satu dan ditumpuk. Kedua lapisan kemudian dilekatkan dengan lem, ditekan, diratakan, dan dipukul sehingga permukaannya rata. Dengan demikian, permukaan lembaran papyrus dapat digunakan sebgai bahan tulis, sedangkan alat tulisnya berupa pena sapu dan tinta. Perkembangan perpustakaan Mesir terjadi semasa raja Khufu, Khafre, dan Ramses II sekitar tahun 1250 M. Perpustakaan Raja Ramses II memiliki koleksi sekitar 20.000 buku.

3. Yunani
Peradaban Yunani mengenal jenis tulisan yang disebut mycena sekitar tahun 1500 SM. Tapi kemudian, tulisan itu lenyap tergantikan oleh 22 aksara temuan orang Phoenicia, yang dikembangkan menjadi 26 aksara seperti yang kita kenal sekarang ini. Yunani mulai mengenal perpustakaan milik Peistratus (dari Athena) dan Polyerratus (dari Samos) skitar abad ke-6 dan ke-7 dan Pericies sekitar abad ke-5 SM. Pada saat itu, membaca merupakan pengisi waktu senggang dan merupakan awal dimulainya perdagangan buku. Filsuf Aristoteles dianggap sebagai orang pertama kali mengumpulkan, menyimpan, dan memanfaatkan budaya masa lalu.Koleksi Aristoteles kelak dibawa ke Roma.

Perkembangan perpustakaan zaman Yunani Kuno mencapai puncaknya semasa abad Hellenisme, yang ditandai dengan penyebaran ajaran dan kebudayaan Yunani. Ini terjadi berkat penakhlukan Alexander Agung berserta penggantinya. Pembentukan kota baru Yunani dan perkembangan perintahan monarki. Perpustakaan utama terletak di kota Alexandria Mesir berdiri sebuah museum, yang salah satu bagian utamanya ialah perpustakaan dengan tujuan mengumpulkan teks Yunani dan manuskrip segala bahasa dari semua penjuru. Berkat usaha Demertrius dari Phalerum, perpustakaan Alexandria berkembang pesat dengan koleksi pertamanya 200.00 gulung papirus hingga nantinya mencapai 700.00 gulungan pada abad pertama SM.

Perpustakaan kedua disebut Serapeum.Disini koleksi yang dimiliki sejumlah 42.800 gulungan terpilih, kelak berkembang mencapai 100.000 gulung. Semua gulungan papirus ini disunting, disusun menurut bentuknya, dan diberi catatan untuk disusun menjadi sebuah bibliografi sastra Yunani. Semua pustakawan perpustakaan Alexandria ini merupakan ilmuwan ulung, termasuk pujangga Callimachus yang menyusun 120 jilid bibliografi sastra Yunani.

Seperti halnya Alexandria, kota Pergamun di Asia kecil menjadi pusat belajar dan kegiatan sastra. Pada abad ke-2 SM, Eumenes II mendirikan sebuah perpustakaan dan mulai mengumpulkan semua manuskrip, bahan bila perlu membuat salinan manuskrip lain. Untuk penyalinan tersebut digunakan sejumlah besar papirus yang diimpor dari Mesir. Karena khawatir persediaan papirus di Mesir habis dan rasa iri akan pesaingnya, raja mesir menghentikan ekspor papirus ke Pergamun. Akibatnya, perpustakaan Pergamun harus mencari bahan tulis lain selain papirus. Maka dikembangkanlah bahan tulis baru yang disebut parchment atau kulit binatang, terutama biri-biri atau anak lembu.

Sebenarnya bahan tulis ini sudah lama dikenal Yunani, namun karena hargnya lebih mahal daripada papirus, maka banyak orang yang lebih memilih papirus. Parchment dikembangkan dan akhirnya menggantikan bahan tulis papirus hingga ditemukannya mesin cetak pada abad pertengahan. Koleksi perpustakaan Pergamun mencapai 10.000 gulungan. Dalam perkembangannya, koleksi perpustakaan Pergamun nantinya diserahkan ke perpustakaan Alexandria sehingga perpustakaan Alexandria menjadi perpustakaan terbesar pada zamanya.

5. Byzantium
Kaisar Konstantin Agung menjadi raja Roma Barat dan Timur pada tahun 324. Ia meimlih ibukota di Byzantium, kemudian diubah menjadi Konstantinopel. Ia mendirikan perpustakaan kerajaan dan menekan karya Latin, karena bahasa Latin merupakan bahasa resmi hingga abad ke-6. koleksi ini kemudian ditambah dengan karya Kristen dan non-Kristen, baik dalam bahasa Yunani meupun Latin. Koleksinya tercatat hingga 120.000 buku. Waktu itu gereja merupakan pranata kerajaan yang paling penting. Karena adanya ketentuan bahwa seorang uskup harus memiliki sebuah perpustakaan, maka perpustakaan gereja berkembang. Kerajaan Byzantium kaya, berpenduduk pasat, secara kultural, intelektual, dan politiknya cukup matang, yang diperkaya oleh ajaran Yunani dan Timur serta dipengaruhi tradisi Roma dalam pemerintahan. Kerajaan ini bertahan hingga abad ke-15. Pada pertengahan abad ketujuh hingga pertengahan abad ke-9, terjadi kontroversi mengenai ikonoklasme, yaitu penggambaran Yesus dan orang kudus lainnya pada benda. Akibat larangan ini, banyak biara ditutup dan hartanya disita, dan kemudian biarawan Yunani mengungsi ke Italia. Selama periode ini, hiasan menuskrip dengan menggunakan huruf hias, gulungan maupun maniatur tidak digunakan dalam karya keagamaan maupun Bibel. Setelah kontronersi berakhir, minat terhadap karya Yunani kuno berkembang lagi. Selama 300 tahun karya Yunani disalin, ditulis kembali, diberi komentar, dibuatkan ringkasan satra Yunani bahkan juga dikembangkan ensklopedia dan leksikon Yunani.

6. Arab
Agama islam muncul pada abad ke-7, dan mulai menyebar ke sekitar daerah Arab. Dengan cepat pasukan Islam menguasai Syria, Babylonia, Mesopotamia, Persia, Mesir, seluruh bagian utara Afrika, dan menyebrang ke Spanyol. Orang Arab berhasil dalam bidang perpustakaan dan berjasa besar dalam penyebaran ilmu pengetahuan dan matematika ke Eropa.

Pada abad ke-8 dan ke-9, ketika Konstantinopel mengalami kemandegan dalam hal karya seluler, Bagdad berkembang dan menjadi pusat kajian karya Yunani. Ilmuwan Muslim mulai memahami pikiran Aristoteles. Ilmuwan Muslim mengkaji dan menerjemahkan karya filasafat, pengetahuan, dan kedokteran Yunani ke dalam bahasa Arab; kadang-kadang dari versi bahasa Syriac ataupun Aramaic. Puncak keemasannya terjadi pada masa pemerintahan Abbasiyah Al-Makmun, yang mendirikan “rumah kebijakan” (Bait al-Hikmah), yaitu sebuah lembaga studi yang menggabungkan unsur perpustakaan, akademi, dan biro terjemahan, pada tahun 810. Selama abad ke-8, ilmu alam, metematika, dan kedokteran benar-benar dipelajari. Karya Plato, Aristoteles, Hippocrates, dan Galen juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, termasuk pula penelitian asli dalam bidang astrologi, alkemi, dan magis. Dalam penaklukan ke timur, orang Arab berhasil mengetahui cara pembuatan kettas daroi orang Cina; pada abad ke-8 di Bagdad telah berdiri pabrik kertas. Teknik pembuatan kertas selama hampir lima abad dikuasai orang Arab. Karena harganya murah, banyak, dan mudah ditulis, maka produksi buku melonjak dan perpustakaan pun berkembang. Begitupun perpustakaan mesjid dan lembaga pendidikan. Perpustakaan kota Shiraz memiliki katalog disusun menurut tempat dan kelola oleh staf perpustakaan. Pada abad ke-11, perpustakaan Kairo memiliki sekitar 150.000 buku.

Di Spanyol, orang Arab mendirikan Perpustakaan Corboda yang memiliki 400.00 buku. Di perpustakaan Corboda, Toledo dan Seville, karya klasik diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dari bahasa Syriac. Ketika Spanyol direbut tentara Kristen, ribuan karya klasik ini diketemukan, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan disebarkan ke seluruh Eropa.

7. Renaissance
Renaissance mulai pada abad ke-14 di Eropa Barat.Secara tidak langsung, Renaissance tumbuh akibat pengungsian ilmuwan Byzantium dari Konstantinopel.Mereka lari karena ancaman pasukan Ottoman dan Turki. Sambil mengungsi, ilmuwan ini membawa serta manuskrip penulis kuno. Ilmuwan Italia menyambut kedatangan ilmuwan ilmuwan Byzantioum ini dan mendorong pengembangan kajian Yunani dan Latin. Karya ini kemudian tersebar ke Eropa Utara dan Barat, sebagian di antaranya disimpan di perpustakaan biara maupun universitas yang mulai tumbuh.
Baca Lengkap....