Tampilkan postingan dengan label Alexa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Alexa. Tampilkan semua postingan

Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia

sejarah perkembangan bahasa indonesia
1) Perkembangan Bahasa Indonesia Sebelum Merdeka
Pada dasarnya Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu di pakai sebagai bahasa penghubung antar suku di Nusantara dan sebagai bahasa yang di gunakan dalam perdagangan antara pedagang dari dalam Nusantara dan dari luar Nusantara.

Perkembangan dan pertumbuhan Bahasa Melayu tampak lebih jelas dari berbagai peninggalan-peninggalan misalnya:
  • Tulisan yang terdapat pada batu Nisan di Minye Tujoh, Aceh pada tahun 1380
  • Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang pada tahun 683.
  • Prasasti Talang Tuo, di Palembang pada Tahun 684.
  • Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, pada Tahun 686.
  • Prasati Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, pada Tahun 688.

Dan pada saat itu Bahasa Melayu telah berfungsi sebagai:
  1. Bahasa kebudayaan yaitu bahasa buku-buku yang berisia aturan-aturan hidup dan sastra.
  2. Bahasa perhubungan (Lingua Franca) antar suku di indonesia
  3. Bahasa perdagangan baik bagi suku yang ada di Indonesia maupun pedagang yang berasal dari luar indonesia.
  4. Bahasa resmi kerajaan.

Bahasa melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara, serta makin berkembang dan bertambah kokoh keberadaannya karena bahasa Melayu mudah di terima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antar pulau, antar suku, antar pedagang, antar bangsa dan antar kerajaan. Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa persatuan bangsa Indonesia, oleh karena itu para pemuda indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa indonesia menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa indonesia. (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).

2) Perkembangan Bahasa Indonesia Sesudah Merdeka
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam rapat, para pemuda berikrar:
  1. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia.
  2. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
  3. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Ikrar para pemuda ini di kenal dengan nama “Sumpah Pemuda”. Unsur yang ketiga dari “Sumpah Pemuda” merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa indonesia. Pada tahun 1928 bahasa Indonesia di kokohkan kedudukannya sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia di nyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945, karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 di sahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Di dalam UUD 1945 di sebutkan bahwa “Bahasa Negara Adalah Bahasa Indonesia,(pasal 36). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa indonesia di pakai oleh berbagai lapisan masyarakat indonesia.

Peresmian Nama Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahas persatuan bangsa indonesia. Bahasa indonesia di resmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, Bahasa Indonesia berposisi sebagi bahasa kerja. Dari sudut pandang Linguistik, bahasa indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu-Riau dari abad ke-19.

Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaannya sebagi bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan “Bahasa Indonesia” di awali sejak di canangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan “Imperialisme bahasa” apabila nama bahasa Melayu tetap di gunakan.

Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang di gunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, bahasa indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Meskipun di pahami dan di tuturkan oleh lebih dari 90% warga indonesia, bahasa indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di indonesia sebagai bahasa Ibu. Penutur Bahasa indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) atau mencampur adukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa Ibunya.

Meskipun demikian , bahasa indonesia di gunakan di gunakan sangat luas di perguruan-perguruan. Di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa bahasa indonesia di gunakan oleh semua warga indonesia. Bahasa Melayu dipakai dimana-mana diwilayah nusantara serta makin berkembang dengan dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai didaerah-daerah diwilayah nusantara dalam pertumbuhan dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosa kata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa.

Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek. Perkembangan bahasa Melayu diwilayah nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komikasi rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antar perkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia dalam sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Untuk memperoleh bahasa nasionalnya, Bangsa Indonesia harus berjuang dalam waktu yang cukup panjang dan penuh dengan tantangan.

Perjuagan demikian harus dilakukan karena adanya kesadaran bahwa di samping fungsinya sebagai alat komunikasi tunggal, bahasa nasional sebagai salah satu ciri cultural, yang ke dalam menunjukkan sesatuan dan keluar menyatakan perbedaan dengan bangsa lain.

Ada empat faktor yang menyebabkan Bahasa melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia, yaitu:
  1. Bahasa melayu adalah merupakan Lingua Franca di Indonesia, bahasa perhubungan dan bahasa perdagangan.
  2. Sistem bahasa melayu sederhana, mudah di pelajari karena dalam bahasa melayu tidak di kenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus).
  3. Suku Jawa, Suku Sunda, dan Suku2 yang lainnya dengan sukarela menerima bahasa melayu menjadi bahasa indonesia sebagai bahasa nasional.
  4. Bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk di pakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas.
Baca Lengkap....

Jenis Wacana Tulis

a. Wacana Narasi
Wacana narasi menyajikan peristiwa-peristiwa dalam suatu rangkaian kesatuan dalam urutan waktu tertentu. Dalam wacana narasi, penulis menyajikan jalinan suatu peristiwa yang dapat disebut sebagai cerita. Tujuan utamanya bukan untuk memberikan gambaran tentang masalah atau objek menurut pengamatan penulis, melainkan memberikan suatu kisah yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu. Oleh karena itu, karangan yang disajikan dengan wacana narasi bersifat dinamis. Narasi menekankan uraiannya pada jalinan peristiwa dalam hubungan waktu. Penyajiannya tidak selalu bersifat progresif.yang penting dalam narasi ialah uraia tantang kejadian, yang disajikan tidak selalu mulai dari awal, tetapi dapat pula dimulai kisahnya dari bagian kejadian yang penting yang menarik perhatiannya.

Ada tiga prinsip penting dalam narasi, yakni keutuhan, koherensi, dan penekanan. Keutuhan ceritera pada narasi dibangun dengan mengarahkan rincian setiap bagian ceritera pada satu ide yang membangun keseluruhan ceritera. Tiap-tiap bagian ceritera di hubungkan dengan bagian-bagian cerita yang lain sehingga terjadi jalinan peristiwa yang erat.di antara peristiwa-peristiwa yang berada dalam jaringan tersebut ada satu peristiwa yang mendapat penekanan, yang menjadi pusat perhatian.

b. Wacana Deskripsi
Wacana deskripsi memberikan penjelasan tantang sesuatu masalah atau objek yang disajikan. Wacana deskripsi memberikan gambaran objek seperti apa adanya, maka wacana deskripsi bersifat statis. Wacana deskripsi dapat di bedakan dua macam, yakni deskripsi ekspositori dan deskripsi literer. Deskripsi ekspositori mempunyai ciri-ciri yang hampir sama dengan wacana eksposisi. Tujuan wacana ekspositori adalah memberikan gambaran yang mendalam tantang suatu masalah atau objek namun tatap mengemukakan gambaran yang bersifat konkret saja. Uraiannya bersifat analitis dan tidak memberikan kesan emosional.

Deskripsi literer menyajikan uraian sesuatu masalah secara rinci. Perbedaannya dengan deskripsi ekspositori terletak pada kesan yang di timbulkannya. Uraiannya dititikberatkan pada sifat lahiriah serta keberadaannya sebagai sesuatu yang berwarna kehidupan dan berbagai sifat yang lain.

c. Wacana Eksposisi
Wacana eksposisi memberikan penjelasan mengenai suatu masalah atau objek secara mendalam. Tujuannya supaya pembaca memperoleh pengertian yang jelas terhadap masalah yang disajikan. Wacana eksposisi membahas hakikat masalah serta hubungan-hubungannya, baik hubungan antara bagian-bagian masalah itu sendiri maupun hubungan-hubungannya dengan masalah yang lain. Oleh karena itu, wacana eksposisi banyak di gunakan dalam karangan ilmiah.

Dalam wacana eksposisi dikenal beberapa jenis pembagian, antara lain definisi dan analisis. Definisi merupakan jenis eksposisi yang sering digunakan karena mendasari penjelasan yang disajikan dalam suatu karangan. Dapat atau tidaknya pembaca memahami penjelasan yang disajikan dalam suatu karangan, antara lain bergantung pada dapat atau tidaknya penulis mengemukakan definisi yang memadai. Analisis merupakan wacana eksposisi yang menjelaskan suatu masalah dengan mengemukakan uraian keseluruhan masalah menjadi bagian-bagian sehingga pembaca dapat memahami masalah tersebut.

d. Wacana Argumentasi
Wacana argumentasi mengarahkan pembaca kepada suatu sikap tertentu terhadap suatu masalah atau objek yang dikehendaki oleh penulis. Dalam mengarahkan sikap tersebut wacana argumentasi menyajikan bukti yang dikemukakan dengan cara yang meyakinkan sehingga pembaca dapat menarik kesimpulannya sendiri secara logis dan mengakui kebenaran pandangan yang dikemukakan pengarang.

Wacana argumentasi berdasar pada pikiran yang kritis dan logis. Dalam menyajikan fakta dan bukti yang lain, penulis harus senantiasa memperhatikan apakah semuanya itu memang dapat digunakan sebagai bukti yang benar.
Baca Lengkap....

Apresiasi Karya Sastra Prosa Fiksi

apresiasi-prosa-fiksi
A. Pengertian Gaya dalam Karya Fiksi
Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin stilus yang mengandung arti leksikal ‘ alat untuk menulis’.

Istilah gaya dalam karya sastra mengandung pengertian “cara pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat mneyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Berdasarkan uraian tersebut di atas, Scharbach menyebut gaya “ sebagai hiasan, sebagai sesuatu yang suci, sebagai sesuatu yang indah dan lemah gemulai serta perwujudan manusia itu sendiri”.

Dari beberapa pengertian gaya tersebut di atas, jelaslah bahwa gaya dalam karya fiksi adalah sebuah kekuatan atau kemampuan pengarang untuk menyampaikan perasaannya lewat kreasi cipta tulis untuk menyentuh perasaan pembaca.

Sekalipun pengarang berangkat dari satu ide yang sama, terdapat juga perbedaan karena pengarang mengungkapkan gagasannya dalam wacana ilmiah yang menggunakan gaya yang bersifat lugas, jelas, dan menjauhkan unsur-unsur gaya bahasa yang mengandung makna konotatif. Sedangkan pengarang dengan wacana sastra justru akan menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, konotatif, serta variasi dan keharmonisan kalimat sehingga mampu menuansakan keindahan.

Gaya bahasa yang efektif dalam karya fiksi adalah bahasa yang dapat mengungkapkan pesan atau informasi secara tepat sesuai dengan maksud yang ingin di kemukakan oleh penulis dengan itu pembaca dengan mudah memahaminya.

B. Unsur-unsur Gaya dalam Karya Fiksi
Unsur gaya dalam karya fiksi adalah bagian yang tak dapat terlupakan oleh para pengarang agar ciptaannya dapat menggugah perasaan pembaca. Dalam membaca beberapa karya fiksi mari kita mengutip dan memperhatikan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam tiap-tiap kaya fiksi tersebut, diantaranya:
1. Pilihan kata dari tiap pengarang,
2. Penataan kata dan kalimatnya, dan
3. Nuansa makna serta suasana penuturan yang ditampilkannya.

Dalam penulisan karya fiksi pengarang mempergunakan pemilihan kata yang berbeda-beda tetapi harus tetap mempergunakan bahasa yang efektif secara menyeluruh pada setiap unsur, baik yang menyangkut pemakaian ejaan, pengimbuhan, pemilihan kata, pengalimatan, dan pengalineaannya. Setiap pengarang punya gaya bahasa tersendiri yang sesuai dengan jiwanya, emosi, apresiasi bahasanya, pengarang harus merasa bebas mempergunakan bahasa untuk ciptaannya. Susunan kalimat, pilihan kata, dan penggunaan titik koma adalah hak penuh bagi pengarang. Yang harus diperhatikan lagi, bahwa pengarang tidak terlepas dari perbendaharaan kata.

Unsur-unsur gaya yang terdapat dalam karya fiksi sangatlah beragam sesuai dengan apa yang akan disampaikan pengarang dan ciri khas pengarang itu sendiri. Dari banyaknya pengarang juga terdapat perbedaan-perbedaan pilihan kata dan kalimat seperti cerpen yang berjudul “Retak-retak Waduk Raksasa” karangan Rohyati Salihin, cerpen yang berjudul “Nostalgia” Karangan Danarto, novel yang berjudul “Kering” oleh Almarhum Iwan Simatupang. Masih banyak lagi karangan-karangan yang dapat kita kutip kemudian dipelajari untuk mengetahui unsur gaya yang terdapat pada masing-masing karya fiksi tersebut.

Setelah mengapresiasi dari ketiga contoh karya fiksi di atas, maka terdapat unsur-unsur gaya yang masing-masing berbeda. Unsur-unsur gaya yang terdapat dalam karya fiksi atau cipta sastra yakni;

1. Unsur-unsur Kebahasaan berupa kata dan kalimat, dan
a. Pemilihan dan penataan kata istimewa
  • pada kutipan cerpen berjudul “Retak-retak Waduk Raksasa”, hampir tidak dijumpai pemilihan kata-kata istimewa,
  • pada kutipan cerpen berjudul “Nostalgia”, dijumpai pilihan kata dalam penataan yang istimewa, sedangkan
  • pada kutipan novel berjudul “Kering”, banyak dijumpai pemilihan kata yang istimewa pula.

b. Pemilihan dan penataan kalimat istimewa
  • pada kutipan cerpen berjudul “Retak-retak Waduk Raksasa”, sama sekali tidak menunjukkan variasi kalimat panjang dan pendek. Maka pada saat membaca karya seperti itu tidak jauh bedanya kita membaca koran.
  • pada kutipan cerpen berjudul “Nostalgia”, terdapat variasi kalimat panjang dan pendek, sedangkan
  • pada kutipan novel berjudul “Kering”, telah kita jumpai adanya kalimat-kalimat panjang dan pendek selain menunjukkan unsur-unsur yang istimewa, baik dalam hal pemilihan kata maupun kalimat-kalimatnya serta telah dijumpai pula gaya bahasa seperti repetisi, oratorik, dan klimaks. Kata dan kalimatnya pun banyak yang bermakna gelap sehingga pembaca terkadang kesulitan dalam memaknai apa yang telah dibacanya. Berbeda dengan kutipan-kutipan lainnya.

2. Alat gaya yang melibatkan masalah khiasan, seperti metafor, metonimi, simbolik, dan majas.

C. Hubungan Gaya dengan Ekspresi Pengarang
Gaya pada dasarnya berhubungan erat dengan cara seorang pengarang dalam menampilkan gagasannya. Penampilan atau pengekspresian gagasan itu lebih lanjut terwujud dalam bentuk gaya bahasa dengan segala aneka ragamnya. Jika dibagankan, hubungan gaya dan ekspresi itu dapat digambarkan sebagai berikut.

Dari bagan di atas, jelaslah bahwa gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya lewat media sehingga mewujudkan bahasa yang indah dan harmonis. Adapun pendapat mengatakan bahwa gaya adalah orangnya atau pengarangnya karena lewat gaya kita dapat mengenal bgaimana sikap dan endapan pengetahuan, pengalaman, dan gagasan pengarangnya. Demikianlah uraian tentang masalah unsur gaya dalan karya fiksi, pada dasarnya kita telah mengkaji masalah-masalah yang penting dalam makalah ini tentang unsur gaya dalam karya fiksi.
Baca Lengkap....

Imam Al Ghazali (Tokoh Filsafat dan Tasawuf Terkemuka)

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali, yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazali).

Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya, yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya”. Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid, yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya. Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad.

Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”

Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi. Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini.

Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi”.

Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu”.

Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.

Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.

Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari) di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran.

Karya-Karyanya
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah: Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah, yaitu: Arba’in Fi Ushuliddin; Qawa’idul Aqa’id; Al Iqtishad Fil I’tiqad; Tahafut Al Falasifah; Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.

Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya: (1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul; (2) Mahakun Nadzar; (3) Mi’yarul Ilmi; (4) Ma’ariful Aqliyah; (5) Misykatul Anwar; (6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna; (7) Mizanul Amal; (8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi; (9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah; (10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi; (11) Qanun At Ta’wil; (12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim; (13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam; (14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin; (15) Ar Risalah Alladuniyah; (16) Ihya’ Ulumuddin; (17) Al Munqidz Minad Dhalalah; (18) Al Wasith; (19) Al Basith; (20) Al Wajiz; (21) Al Khulashah.

Aqidah dan Madzhab Beliau
Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”

Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah.

Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.

Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).

Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”
Baca Lengkap....

Definisi Metafisika Dalam Ranah Filsafat

Seringkali ditemukan orang atau di televisi menyebut kata “metafisika”, sayangnya metafisika tersebut selalu condong dan dikaitkan ke arah yang ghaib/goib, ilmu nujum, perbintangan, pengobatan jarak jauh dan macam-macam lainnya. Beda dalam ranah filsafat, nama metafisika itu sendiri diberikan oleh Andronikos dari Rodhos pada tahun 70 SM terhadap karya-karya yang disusun sesudah buku Physika, tetapi harus diingat bahwa ini bukan secara kronologis (bukan karena Physika maka Metafisika ada) tetapi kebetulan karena muncul buku Physika maka barulah terbit istilah metafisika (Siswanto, 2004:3). Penyelidikan metafisika mula-mula hanya mencakup sesuatu yang ada di belakang dunia fisik, tetapi lalu berkembang menjadi ke penyelidikan terhadap segala sesuatu yang ada.

Di sini kita lihat bahwa metafisika memiliki tingkat keumuman yang paling tinggi, memang benar bahwa metafisika mencakup ke arah pembicaraan tentang alam ghaib atau ketuhanan, tetapi itu segi khususnya saja bukan segi umum dari metafisika itu sendiri. Metafisika pun menyelidiki tentang sesuatu yang objek fisik juga seperti manusia, hewan, tumbuhan, dan benda alam lainnya. Dari sini semakin jelas bahwa metafisika tidak sekedar tentang alam ghaib tetapi juga tentang semua yang ada.

Definisi Metafisika Menurut Para Filsuf
Metafisika sudah banyak didefinisikan oleh para filsuf sejak zaman Yunani sampai posmodern. Tentu definisi yang ada dapat mewakili maksud dari metafisika sebenarnya, coba silakan disimak berbagai definisi berikut:
  • Aristoteles: Metafisika adalah cabang filsafat yang mengkaji yang-ada sebagai yang-ada
  • Anton Bakker: Metafisika adalah cabang filsafat yang menyelidiki dan menggelar gambaran umum tentang struktur realitas yang berlaku mutlak dan umum
  • Frederick Sontag: Metafisika adalah filsafat pokok yang menelaah ‘prinsip pertama’ (the first principle)
  • Van Peursen: Metafisika adalah bagian filsafat yang memusatkan perhatiannya kepada pertanyaan mengenai akar terdalam yang mendasari segala yang-ada
  • Michael J. Loux: Metafisika adalah ilmu tentang kategori (Siswanto, 2004:7).

Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para filsuf di atas, tidak ada satu pun yang langsung menyebutkan bahwa metafisika adalah penyelidikan terhadap hal ghaib! Begitulah kira-kira definisi metafisika dalam ranah filsafat. Setelah membaca artikel ini diharapkan orang yang masih membenturkan metafisika kepada hal-hal ghaib dan sejenisnya agar cepat bertobat dan memperbaiki pemikirannya terhadap metafisika.

Daftar Pustaka

Siswanto, Joko. 2004. Metafisika Sistematik. Yogyakarta: Penerbit Taman Pustaka Kristen.
Baca Lengkap....

Teori Semiotik Menurut Para Ahli

teori-semiotik
 
C.S Peirce
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.
Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.

Ferdinand De Saussure
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut.

Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).

Roland Barthes
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006).

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.

Baudrillard
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).

Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah ‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.

J. Derrida
Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.

Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.

Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.

Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.

Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).

Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.

Ogden & Richard
Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan teori semiotika trikotomi yang dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori Barthes yang didalamnya terdapat perkembangan hubungan antara Petanda (signified) dengan Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi dua yaitu Peranti (Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier) itu sendiri. Petanda merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti merupakan Denotasi dari Penanda. Pada teori ini Petanda merupakan makna, konsep, gagasan, sedang Penanda merupakan gambaran yang menjelaskan peranti, penjelasan fisik obyek benda, kondisi obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak selalu) berupa ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang memiliki suprasegmen tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud obyek/benda/fungsi aktual (Christian).
Baca Lengkap....